- Amanda Rachmadita
- 9 Okt
- 4 menit membaca
SASTRA Hindia Belanda tak hanya memberikan gambaran tentang sejarah kolonialisme dalam konteks politik dan militer, tetapi juga menjadi cerminan dari dampak penjajahan terhadap suatu bangsa melalui beragam kisah seputar kehidupan masyarakat di wilayah koloni. Salah satu isu yang menarik perhatian yaitu kesetaraan gender serta peran perempuan dalam kesusasteraan di masa itu.
Budayawan Sunda, Hawe Setiawan, menyebut setidaknya ada dua pengarang yang dapat menjadi objek pembahasan menarik saat berbicara tentang peran perempuan dalam sastra Hindia Belanda, yakni Suwarsih Djojopuspito dan Partini Djajadiningrat.
“Partini Djajadiningrat menulis dengan nama pena Arti Purbani. Ia adalah penulis novel dalam bahasa Belanda yang judulnya Widyawati. Melihat latar belakangnya, Partini memiliki kaitan dengan Hoessein Djajadiningrat. Sedangkan Suwarsih Djojopuspito berasal dari lingkungan menak di kawasan Bogor... Pembahasan mengenai Suwarsih lebih banyak membahas karyanya dalam bahasa Belanda, padahal ia juga menulis karya sastra di luar bahasa Belanda. Tapi ini jarang dibahas,” kata Hawe dalam Simposium Festival Seni Multatuli bertajuk “Sastra Hindia Belanda Kita” sesi kedua di Aula Multatuli Setda Lebak, Banten, pada 20 September 2025.
Menurut Hawe, Suwarsih Djojopuspito tak hanya memiliki tempat dalam sejarah perkembangan sastra Hindia Belanda, perempuan kelahiran tahun 1912 itu juga merupakan fenomena unik dalam sejarah sastra Sunda. Penyebabnya karena novel pertamanya berjudul Maryanah ditulis pertama kali oleh Suwarsih dalam bahasa Sunda. Akan tetapi karyanya itu tidak dipublikasikan. Oleh karena itu, novel berbahasa Belanda berjudul Buiten Het Gareel menjadi novel pertama Suwarsih yang diterbitkan. Setelah hampir dua dasawarsa kemudian novel Maryanah diterbitkan.
“Buiten Het Gareel, buiten itu artinya di luar; sementara gareel berarti jalur, kira-kira kalau diartikan seperti di luar jalur. Jadi, ketika membaca novel itu kita bisa mengartikannya seperti di luar pemerintahan. Novel ini bercerita tentang orang-orang yang mau hidup di luar jalur pemerintah... Karyanya dalam bahasa Belanda ini kemudian dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia tahun 1980-an dengan judul Manusia Bebas,” jelas Hawe.
Kendala yang dihadapi Suwarsih ketika hendak menerbitkan karyanya yang ditulis dalam bahasa di luar bahasa Belanda menunjukkan bahwa jalan ke dalam sastra Hindia Belanda lebih terbuka daripada jalan ke dalam sastra yang mengandalkan bahasa ibunya. Tak heran jika timbul kesan nama Suwarsih lebih erat melekat pada sejarah sastra Hindia Belanda ketimbang sejarah sastra Sunda.
“Kalau kita bicara mengenai Suwarsih, saya punya kesan kita bicara tentang seorang terpelajar yang menemukan jalan yang tidak mudah untuk masuk ke dalam tradisi sastranya sendiri yang diwadahi oleh bahasa ibunya sendiri dan menjalin komunikasi dengan lingkungan sekelilingnya... dan saya kira ini tidak selalu mudah, kadang-kadang lebih mudah menjalin komunikasi dengan bahasa kedua,” kata Hawe.
“Bagi Suwarsih, bahasa Sunda adalah bahasa ibu. Dia berasal dari Cibatok, Bogor. Ayahnya seorang dalang yang memiliki kaitan dengan Keraton Cirebon, sementara ibunya warga Indonesia keturunan Tionghoa dari kalangan muslim. Pasti bahasa ibunya adalah bahasa Sunda, sedangkan bahasa Belanda adalah bahasa kedua... Tapi rupanya Suwarsih bagian dari generasi terpelajar Indonesia yang lebih fasih mengemukakan pikirannya dalam bahasa Belanda... Nah, kesulitan membangun hubungan dengan tradisi sastra Sunda pada Suwarsih bukan disebabkan oleh dirinya sendiri atau kualitas sastranya, tapi disebabkan oleh hal-hal di luar kualitas sastranya... misalnya pemakaian bahasa, penggarapan cerita dan sebagainya,” tambah pria yang juga dosen Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan itu.
Dalam konteks pandangan poskolonial, karya sastra Suwarsih tak hanya melahirkan pertanyaan mengenai sumbangan apa yang dapat diberikan seorang perempuan terpelajar Indonesia dalam mengembangkan tradisi sastranya sendiri, tetapi juga mengupas pemikiran terkait kegelisahannya sebagai perempuan yang memiliki kesadaran gender dan hidup di zaman kolonial.

Hal ini terlihat jelas dalam karya-karya sastra Suwarsih. Ia kerap memberikan gambaran tentang pahit getir ikhtiar perempuan terpelajar untuk menegakkan pendirian, menentukan pilihan, dan membangun kemandirian. Tokoh novelnya menunjukkan bahwa mereka memiliki hak untuk menentukan nasibnya sendiri. Dalam Buiten Het Gareel, pembaca diajak membayangkan perjalanan hidup Suwarsih bersama suami, Sugondo Djojopuspito, seorang guru, aktivis dan tokoh pergerakan kemerdekaan yang berperan dalam sidang Kongres Pemuda kedua, melalui tokoh utama dalam novel tersebut, yakni Sulastri dan Sudarmo.
Sejak bab pertama, novel ini menceritakan tentang kesulitan dan tekanan yang dihadapi orang-orang yang memilih hidup di jalur aktivisme atau bertentangan dengan kebijakan pemerintah kolonial pada 1930-an. Suwarsih menulis novel itu sebagai pengingat bagi generasi baru agar tidak mudah patah semangat dalam berjuang.
“Jika kita menganggap Buiten Het Gareel sebagai novel autobiografis, dari novel ini kita dapat membayangkan seperti apa kekecewaan Suwarsih ketika naskah novel Sundanya ditolak oleh penerbit pemerintah. Bahkan, cerita pengalaman buruk pengarang novel Sunda itulah yang mengawali cerita dalam Buiten Het Gareel. Dengan kata lain, dalam pengalaman Suwarsih, awal kisah novel Belanda adalah akhir perjalanan naskah novel Sunda,” jelas Hawe.
Sementara di novel Maryanah, Suwarsih mengisahkan perjalanan hidup seorang perempuan yang menemukan calon suami sesuai keinginannya. Dalam novel tersebut, Suwarsih hendak memberikan gambaran tentang keadaan yang kerap dihadapi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat melalui sejumlah tokoh yang memiliki karakter beragam. Contohnya, bila Maryanah digambarkan sebagai sosok perempuan yang memiliki tekad besar dalam pendidikan dan tertarik dengan diskusi-diskusi mendalam, di baliknya ada tokoh ibu yang menjadi sasaran penindasan laki-laki.
Kendati menjadi bagian dari sastra Hindia Belanda, karya sastra Suwarsih justru jarang menonjolkan tokoh-tokoh Belanda. Dalam Maryanah, tokoh Belanda hanya dikisahkan sebagai pengacara yang memiliki seorang nyai. Wanita yang menjadi nyai tersebut merupakan teman kecil dan putri dari tukang kebun keluarga Maryanah.
“Jadi yang dikedapankan adalah figur perempuan terpelajar yang selalu sanggup merefleksikan dirinya... Tokoh-tokoh yang ada di dalam novel Suwarsih itu tokoh-tokoh yang kegelisahannya bisa kita ikutin, baik dari dialognya maupun dari deskripsi pengarang sendiri. Yang kedua, sanggup menentukan pilihannya sendiri terutama dalam hal pasangan hidup. Enggak ada tuh ceritanya mau dijodohkan... Dan ketiga ada soal-soal yang berkaitan dengan posisinya sebagai perempuan. Nah, itu yang dianggap sebagai sebab musabab kenapa Balai Pustaka sempat menolak naskah ini, karena soal-soal ini terlalu progresif bagi karya dalam bahasa Sunda,” ungkap Hawe.
Sementara itu, menurut peneliti sastra dan kebudayaan yang juga dosen Universitas Andalas, Sudarmoko, bukan hal yang mudah bagi pengarang bumiputra untuk menerbitkan karyanya di Balai Pustaka. Salah satunya disebabkan oleh proses penyuntingan yang begitu ketat dan berlapis-lapis.
“Proses penyuntingan di Balai Pustaka dilakukan secara bertahap... misalnya, sebelum lolos di bagian ini, harus lebih dulu lolos di bagian sebelumnya dan penyensorannya berjalan dengan cukup ketat apalagi mereka perwakilan dari pemerintah kolonial Belanda untuk mengatur bacaan-bacaan yang akan disebarluaskan,” kata Sudarmoko.*













Komentar