- Amanda Rachmadita
- 23 Jul
- 4 menit membaca
PERANG Jawa berlangsung selama lima tahun (1825–1830). Kendati berhasil menangkap dan membuang Pangeran Diponegoro ke luar Jawa, perang ini menyebabkan kerugian besar bagi Belanda. Demi menumpas perlawanan Pangeran Diponegoro, pemerintah kolonial menghabiskan dana yang sangat besar bahkan nyaris membuat Belanda bangkrut.
Besarnya kerugian yang harus ditanggung Belanda membuat pemerintah kolonial berupaya untuk mencegah perang ini terulang kembali. Di antaranya dengan memasukkan Pangeran Diponegoro dan keluarganya ke dalam daftar orang-orang berbahaya bagi keamanan dan ketertiban. Hal ini membuat masyarakat kesulitan mendapatkan informasi mengenai sang pangeran di pengasingan maupun sepak terjangnya dalam mengobarkan Perang Jawa.
Atas dasar ini, menurut sejarawan Inggris, Peter Carey, menyebarkan informasi mengenai Pangeran Diponegoro, termasuk membahas Babad Diponegoro yang ditulis sang pangeran saat diasingkan ke Manado, merupakan tindakan melawan pemerintah kolonial Belanda.
Babad Diponegoro yang diakui sebagai Memory of the World oleh UNESCO tahun 2013 disusun saat sang pangeran diasingkan di Fort Nieuw Amsterdam, Manado. Proses pengerjaan babad yang berisi 1.150 halaman folio itu terbilang singkat, yakni sembilan bulan (20 Mei 1831 hingga 3 Februari 1832). Peter Carey menyebut babad ini ditulis hanya dengan seorang juru tulis yang mengejawantahkan tuturan Pangeran Diponegoro dalam tembang macapat atau berhuruf pegon. Penyusunan babad ini ditujukan untuk pendidikan anak atau keluarga baru Pangeran Diponegoro yang lahir di pengasingan.
Setelah Pangeran Diponegoro meninggal di Fort Rotterdam, Makassar pada 8 Januari 1855, Asisten Residen Yogyakarta yang fasih berbahasa Jawa, Johannes Petrus Zoetelief tertarik menerjemahkan Babad Diponegoro ke dalam bahasa Belanda. Dia mengusulkan ide tersebut kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen atau Lembaga Kebudayaan dan Pengetahuan Batavia. Menurutnya, babad ini sangat penting karena bisa menjadi rujukan bagi orang-orang Belanda.
“Belanda bisa melihat, seumpamanya naskah ini diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda, [babad] ini bisa menjadi bacaan rujukan untuk taruna di Leiden atau Delft. Seumpamanya Babad Diponegoro diterjemahkan, [...] ini akan menjadi bantuan yang sangat peting bagi pihak asing untuk mengetahui seluk beluk pikiran seorang pribumi Nusantara, khususnya Jawa,” kata Peter Carey dalam acara bedah buku Babad Diponegoro dan Sketsa Perang Jawa yang diselenggarakan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dalam rangka memperingati 200 Tahun Perang Jawa, di Perpusnas RI, Rabu (23/7/2025).
Kendati dipandang naskah penting, proses penerjemahan Babad Diponegoro ke dalam bahasa Belanda tidak pernah tuntas. Meski begitu pada 1860-an, Bataviaasch Genootschap telah membuat salinan Babad Diponegoro dalam huruf pegon dan aksara Jawa.
Penangkapan dan pembuangan Pangeran Diponegoro ke luar Jawa, tak sepenuhnya memadamkan perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Setelah kematian sang pangeran, para tokoh pergerakan kemerdekaan mengikuti jejaknya dan menjadikan Babad Diponegoro sebagai bacaan penting. Pembangkangan terhadap pemerintah kolonial diperlihatkan dengan menyebarkan pamflet tentang Pangeran Diponegoro. Di dalam pamflet itu terdapat kutipan dari Babad Diponegoro. Pemerintah kolonial membakar seluruh pamflet itu di tengah jalan pada 1930-an.
Mengapa Perang Jawa dan Pangeran Diponegoro membakar semangat perjuangan kemerdekaan Indonesia? Sebab, kata Peter Carey, hal ini berkaitan dengan martabat manusia, yang tercoreng karena kolonialisme. Sejarawan yang puluhan tahun meneliti Pangeran Diponegoro itu menyebut ada tiga kata yang dapat merangkum Perang Jawa, yaitu “I want respect, saya mau dihargai.”
Dari tiga kata tersebut, dapat disimpulkan apabila penduduk lokal dihargai, maka Perang Jawa tidak akan terjadi. Jika Belanda menghargai penduduk lokal dengan baik, tidak ada perlawanan untuk mengusir Belanda. Sikap saling menghargai itu pada akhirnya memungkinkan terjalinnya hubungan saling pengertian.
Memoar Perang Jawa
Selain Babad Diponegoro, buku lain yang dapat menjadi referensi untuk mengetahui Perang Jawa adalah Sketsa Perang Jawa Tahun 1825: Kesaksian Pelaku Sejarah, memoar Kanjeng Raden Adipati Ario Joyodiningrat, seorang tokoh yang setelah Perang Jawa menjadi Bupati Karanganyar (1832-1864).
Memoar itu aslinya berjudul Schetsen Over den Oorlog van Java (1857), berisi 114 halaman, dan ditulis dalam bahasa Melayu pasar. Judul memoar tersebut diberikan oleh sejarawan Belanda, Jan Hageman. Ketika itu, Hageman tengah mengumpulkan bahan untuk bukunya tentang Perang Jawa, Geschiedenis van den Oorlog op Java van 1825 tot 1830. Hageman berhasil menyakinkan Joyodiningrat, yang sebelumnya dikenal sebagai Raden Mas Joyoprono, untuk menulis memoar. Dia juga melakukan wawancara ekstensif dengan Joyodiningrat selama perjalanannya ke Jawa Tengah pada 1842 dan 1854.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia periode 1993-1998, Wardiman Djojonegoro menyambut baik penerbitan buku tentang Pangeran Diponegoro dan Perang Jawa. Dia memandang buku tersebut dapat memberikan pandangan baru dalam melihat peristiwa bersejarah di masa lalu. Sebab, menurutnya, pembahasan mengenai Perang Jawa, masih kerap menggunakan perspektif Belanda.
Sementara itu, menurut peneliti sejarah, Christopher Reinhart, buku Sketsa Perang Jawa yang disunting oleh Peter Carey dan Aditia Gunawan dapat menjadi pembuka jalan bagi anak muda yang ingin menggali informasi tentang Perang Jawa.
“[Buku] Ini cocok untuk generasi muda. Kenapa? Karena buku ini ringkas dan cepat jalan ceritanya. [...] menurut saya, buku Sketsa Perang Jawa ini paling cocok untuk menjadi pintu masuk bagi generasi saya yang ingin mulai mengenal Perang Jawa,” kata Reinhart.
Menurut Reinhart, meski tergolong ringkas, buku Sketsa Perang Jawa memuat beragam kisah menarik yang dapat menjadi jembatan untuk menggali lebih dalam tentang Perang Jawa. Berlawanan dengan Babad Diponegoro yang merupakan otobiografi sang pangeran, buku yang ditulis oleh Joyodiningrat memberikan perspektif berbeda dalam melihat peristiwa bersejarah tersebut.
“Dalam bukunya, Joyodiningrat seperti sedang mengobservasi apa yang terjadi pada masa itu. Dan hampir dari setengah bukunya itu membahas tentang penyebab terjadinya Perang Jawa, mulai dari pajak, korupsi, dan segala macamnya, yang selama ini kita, di buku-buku sejarah yang umum, tidak tahu,” jelas Reinhart.
Menurut Peter Carey, Joyodiningrat ikut ambil bagian dalam Perang Jawa. Ketika perang pecah pada 1825, di usia yang tergolong muda, ia bergabung dengan Diponegoro. Berdasarkan pengalamannya itulah, Joyodiningrat mengisahkan kembali perjuangan Pangeran Diponegoro dan pasukannya di tengah perang melawan Belanda.
“Ketika perang, Joyodiningrat berada begitu dekat dengan Pangeran Diponegoro. Oleh karena itu, buku Sketsa Perang Jawa ini mengandung banyak informasi personal yang terperinci dan sangat luar biasa. [...] Raden Adipati Ario Joyodiningrat, trah langsung dari Hamengkubuwono II, adalah sejarawan pribumi pertama dari Perang Jawa,” kata Peter Carey.*












Tulisan yang Menarik.. Diponegoro// Semangat Patriotisme yang akan Selalu Menyala.. “I want respect, saya mau dihargai.”