top of page

Sejarah Indonesia

Perangi Komunis Demi

Perangi Komunis Demi Uang

Dalam detasemen Belanda di Perang Korea (NDVN) terdapat bekas KNIL yang perangi RI. Motif keikutsertaan mereka beragam, di antaranya karena duit.

23 Agustus 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Detasemen Belanda di Perang Korea (NDVN). Ada beragam motif personelnya ikut serta di dalamnya. (Foto: nllegioen.eu)

PERANG tampaknya tak pernah jauh dari Sersan Satu Raden Moardjiman. Tak lama setelah Perang Pasifik/Perang Dunia II usai, serdadu Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) itu terlibat dalam Perang Kemerdekaan Indonesia. Begitu perang tersebut selesai, dia ikut ke Belanda bersama para serdadu yang dipulangkan pasca-pengakuan kedaulatan Indonesia. Namun, tak lama di Belanda, dia kembali ke Asia untuk perang yang lain lagi.

 

Setelah Perang Dunia II usai, Perang Dingin muncul. Kali ini antara blok Timur yang komunis dengan blok Barat yang kapitalis. Kerajaan Belanda selaku anggota NATO jelas terlibat perang ini. Belanda ikut mengirim pasukan untuk Perang Korea. Mereka tergabung dalam Netherlands Detachment United Nations (NDVN).

 

“Detasemen Perserikatan Bangsa-Bangsa Belanda (NDVN) didirikan setelah siaran pers yang dikeluarkan pada 11 Agustus 1950 meminta sukarelawan untuk melapor. Meski pemerintah Belanda menahan diri, jumlah relawan yang mendaftar cukup banyak. Dalam empat hari, 1.044 sukarelawan menanggapi panggilan tersebut,” tulis BCM Kester dalam “Van Wimpel tot Oranje Strik, Nederlandse Militairen in de Koreaoorlog: Een Verkenning van de Beeldvorming in Pers, Bioscoopjournaal en Speelfilm”, termuat di buku Het Beeld in de Spiegel: Historiografische Verkenningen: Liber Amicorum voor Piet Blaas.

 

“Namun, hanya relatif kecil persentase yang memenuhi syarat untuk tugas tersebut. Mayoritas –sekitar 80%– terdiri dari mantan veteran Hindia Belanda yang tidak bisa atau tidak mau menetap di dalam masyarakat Belanda dan senang keluar lagi.”

 

Sersan Satu Raden Moardjiman menjadi bagian dari NDVN. Selain dia, veteran perang revolusi kemerdekaan Indonesia yang terkenal adalah Jim Arthur Nelson Loth dan Willem David Henri Eekhout (1917-1965).

 

“Sebagian besar dari kami pergi karena kami membutuhkan uang, beberapa karena kesulitan rumah tangga, yang lain karena alasan idealis. Saya sendiri kembali untuk mendapatkan bayaran,” kata Kopral Fiévez dari Arnhem berusia 23 tahun, seperti dikutip De Telegraaf tanggal 3 Oktober 1952.

 

Sersan Harry van Mil dari Nijmegen butuh uang untuk membayar utangnya yang dulu dipakai untuk sekolah. Ketika lowongan sukarelawan dibuka, Harry sudah memiliki seorang istri dan dua anak. Motif serupa juga terjadi pada Prajurit Jan Kort dari Rotterdam.

 

“Saya juga akan pergi ke Korea untuk mencari uang,” kata prajurit Jan Kort yang masih 19 tahun.

 

Kort butuh uang untuk mengawini pacarnya dari Amsterdam, Annie Schut. Di masa sulit ekonomi itu, biaya melangsungkan perkawinan terasa amat berat.

 

“Saya berharap bisa menabung sekitar 3000 gulden dalam setahun,” sambung Kort.

 

Jangankan untuk menghelat pesta seperti Kort, untuk menghidupi keluarga secara layak pun saat itu kebanyakan orang Belanda merasa sulit. Sebab, negeri mereka belum pulih dari kehancuran akibat pendudukan Nazi. Maka kesempatan menjadi serdadu pun tak disia-siakan penduduk seperti E. Claassens dari Roosendaal.  

 

“Saya seorang penambang dan sopir, tetapi sebagai warga sipil, saya tidak bisa mendapatkan penghasilan yang cukup untuk memberikan pendidikan yang layak kepada anak-anak saya,” aku Prajurit E. Claassens yang ketika itu berusia 31 tahun seperti dikutip Volkskrant tanggal 3 Oktober 1952.

 

Para anggota NDVN itu tak menerima uang saku. De Telegraaf edisi 3 Oktober 1952 menyebut mereka mendapat gaji sebagai personel profesional. Gaji mereka 100 gulden tiap bulan. Selain itu, mereka juga mendapat tunjangan. Sebelum dikirim ke Korea, mereka menerima delapan gulden setiap hari selama berada di kamp pelatihan.

 

Namun, tak semua yang mendaftar itu karena butuh uang. Ada pula yang bergabung karena alasan ingin petualangan. Ini terjadi pada Kopral J. van Wuykhuise dari Den Haag. Ketika Perang Korea pecah, usianya masih 23 tahun. Lalu, ada pula yang bergabung karena masalah keluarga sehingga menjadi anggota detasemen yang dikirim ke Korea itu sebagai pelariannya. Yang pasti, dengan motif masing-masing, para anggota NDVN bersikap profesional dengan tugas mereka.

 

“Semangat anak buah saya luar biasa,” kata Letnan Satu Krans van Dorsser dari Amsterdam. Dia adalah komandan bagi 106 orang dalam sebuah detasemen Belanda di Korea itu. “Mereka dengan gembira berpartisipasi dalam upaya PBB. Setiap orang adalah antikomunis yang gigih," sambungnya.

 

“Perjuangan PBB di Korea sungguh layak diperjuangkan. Komunis harus dihentikan dengan segala cara,” kata Wakil Komandan Detasemen Letnan Satu Gerard Pikkert.

 

Gerard yang berasal dari Apeldoorn juga pernah bertugas di Indonesia. Empat tahun dia bertugas sebagai pilot-pengamat artileri. Bahkan, dia pernah ditawan di Sumatra setelah pesawatnya jatuh.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Soeharto Menemukan "Tempatnya" di Barak KNIL

Soeharto Menemukan "Tempatnya" di Barak KNIL

Sebagai anak “broken home”, Soeharto pontang-panting cari pekerjaan hingga masuk KNIL. Copot seragam ketika Jepang datang dan pulang kampung dari uang hasil main kartu.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Melatih Andjing NICA

Melatih Andjing NICA

Martin Goede melatih para mantan interniran Belanda di kamp. Pasukannya berkembang jadi andalan Belanda dalam melawan pejuang Indonesia.
Anak Jakarta Jadi Komandan Andjing NICA

Anak Jakarta Jadi Komandan Andjing NICA

Sjoerd Albert Lapré, "anak Jakarte" yang jadi komandan kompi di Batalyon Andjing NICA. Pasukannya terdepan dalam melawan kombatan Indonesia.
bottom of page