top of page

Sejarah Indonesia

Pergundikan Di Perkebunan

Pergundikan di Perkebunan

Jebakan pemilik perkebunan pada buruh perempuan di Deli. Jika tidak ke pelacuran, ya pergundikan. Sama-sama mengalami pelecehan dan penganiayaan.

Oleh :
21 September 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

...

ATIMAH hanya bisa pasrah. Perempuan asal Jawa itu tak berhasil mengubah nasibnya kendati telah merantau. Alih-alih bisa memeperbaiki kehidupan ekonominya dan membantu keluarga, Atimah justru mengalami nasib yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.


Semua itu bermula di perkebunan Deli, tempat Atimah bekerja menjadi buruh. Pada paruh kedua abad ke-19, buruh-buruh perempuan pribumi direkrut dalam skala besar. Di satu sisi, perekrutan itu untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Di sisi lain, merupakan siasat para direksi perkebunan untuk memenuhi kebutuhan sosial dan seksual para pekerja perkebunan yang masih bujang.


Mayoritas buruh perempuan didatangkan dari Jawa dan berasal dari kelompok masyarakat yang sangat miskin. Bagi mereka, kontrak kerja sebagai kuli di perkebunan Sumatera merupakan jalan keluar bagi kehidupan yang tanpa masa depan.


Begitu tiba, para kuli perempuan langsung diperiksa di sebuah kamar kecil di kantor Perkebunan Deli. Di dalam kamar itu terdapat bangku istirahat, meja, cermin, dan peralatan cuci. Pengawas kulit putih kemudian memeriksa mereka satu per satu. Sudah dianggap wajar bila pegawai kulit putih mendapat kesempatan pertama memilih kuli perempuan yang baru tiba. Kuli yang dianggap paling menawan kemudian diambil menjadi gundik pengawas perkebunan.


Para kuli perempuan terpilih tak punya daya untuk menolak. Penolakan dianggap sebagai sikap membangkang yang hanya berujung siksaan.


Hubungan yang terjalin dari kekuasaan si lelaki kulit putih kepada para kulinya menyebabkan relasi ketertindasan yang berlapis. Menurut Reggie Baay dalam Nyai dan Pergundikan di Hindia Belanda, praktik pergundikan di perkebunan jauh lebih buruk dari pergundikan di tangsi maupun di tengah masyarakat sipil.


Praktik pergundikan ini bahkan amat didukung oleh pemilik perkebunan. Para pemuda yang akan berangkat ke perkebunan di Hindia-Belanda disarankan memiliki gundik agar terbebas dari pekerjaan rumah selepas kerja dan kebutuhan seksualnya terpenuhi.


Setiap perjanjian kontrak dengan para asisten perkebunan menjanjikan beberapa fasilitas kepada para pengawas kulit putih bujangan, seperti tempat tinggal dengan kamar berkelambu berikut perabot kayunya, bak mandi, dan kuli kontrak gratis untuk mengurus rumah (gundik) atau disediakan 10 gulden untuk menyewa seorang pelacur. Banyak asisten yang akhirnya memilih kuli kontrak untuk mengurus rumah tangga sekaligus teman tidur.


Namun demikian, pegawai kulit putih muda tidak diperkenankan menikah selama enam tahun pertama masa kerja. Mereka dianggap tak mampu menghidupi keluarga Eropa dengan gajinya. Sementara, pernikahan antara lelaki Eropa dan nyai pribumi pun muskil dilakukan dan hanya menimbulkan keterkejutan bagi masyarakat Eropa. Lagipula, perusahaan tidak dapat menerima hal tersebut. Kalaupun akan menikahi gundiknya, para administrator perkebunan harus menunggu hingga pensiun agar kariernya tidak terganggu.


Para buruh perempuan yang diambil jadi gundik terbebas dari status kuli kontrak berdasarkan aturan yang keluar pada awal abad ke-20. Mereka pun tak lagi kekurangan makan akibat upah yang amat kecil.


Dengan upah dua setengah gulden per bulan atau delapan sen per hari, para buruh perempuan bahkan tidak bisa memenuhi kebutuhan makan. Menurut Van den Brand dalam De Millionen uit Deli, kuli perempuan setidaknya butuh 15 sen per hari untuk makan, belum termasuk kebutuhan lain. Jika diasumsikan warung di perkebunan mematok harga lebih mahal, setidaknya dalam sehari butuh 17 sen.


Selain itu, di beberapa perkebunan ada aturan bahwa para perempuan tidak akan mendapat upah jika tidak bekerja. Sementara, pengawas perkebunanlah yang menentukan kapan si kuli perempuan bekerja. Sikap semena-mena ini ditambah pula larangan mencari penghasilan tambahan di perkebunan sekitar.


Sistem yang mencekik itu membuat para kuli perempuan umumnya tidak mampu bertahan hidup. Tak mengherankan jika banyak dari kuli perempuan yang tidak menjadi gundik memilih prostitusi sebagai jalan keluar dari masalah.


Para pemilik perkebunan senang-senang saja ketika kuli perempuan diambil menjadi gundik atau terjebak praktik prostitusi. Sejak awal, itulah salah satu alasan perekrutan mereka.

Nasib buruh yang dilacurkan sama buruknya dengan para gundik pegawai kulit putih. Di tangan orang Eropa, mereka jadi korban kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan kekuasaan. Dalam Menjinakkan Sang Kuli, Jan Breman menyebut tuan kebun biasanya lelaki muda berperangai kasar dan agresif. Hubungan homoseksual yang jamak di Perkebunan Deli membuat para pengawas kulit putih seolah perlu menegaskan maskulinitas dan preferensi heteroseksual mereka. Caranya, bersikap kasar dan dengan hidup bersama perempuan (gundik).


Maskulinitas beracun ini pula yang menyengsarakan hidup para buruh dan gundik perkebunan. Lelaki kulit putih, tulis Van den Brand, memperlakukan perempuan dengan sadis. Mereka tak segan memukul dan menyiksa gundik atau kulinya sendiri.


Petugas hukum JTL Rhemrev mencatat seorang administrator Perkebunan Tanjung Kasau bernama Van Beneden punya reputasi buruk dalam memperlakukan gundik dan buruh perempuannya. Ia tak segan menyiksa mereka berkali-kali untuk satu kesalahan. Penganiayaan ini tercatat pula dalam laporan Van den Brand. Seorang buruh perempuan seringkali mendapat hukuman berat untuk kesalahan ringan seperti mengangkat sarungnya, tidak sengaja mengganggu tidur pemilik perkebunan, atau kurang bersih saat mencabuti rumput.


Atimah bahkan mengalami penyiksaan nirmanusiawi. Lantaran sedang mengandung delapan bulan, Atimah tak bisa mengumpulkan ulat cukup banyak. Asisten perkebunan bernama Moens lantas menyiksanya dengan pukulan rotan kemudian pinggangnya diinjak-injak. “Tanpa mengindahkan keadaan sang perempuan yang sedang hamil tua,” tulis Rhemrev.


Akibat penyiksaan itu, Atimah jatuh sakit dan tidak mendapat penghasilan karena tidak bisa bekerja. Dua minggu kemudian, ia melahirkan bayinya dalam keadaan sudah tidak bernyawa. Kepala si bayi ringsek di sebelah kiri hingga mata kirinya tak terlihat.


Menjadi nyai tak lantas bebas dari penganiayaan. Dalam penelitian tentang penyelewengan yang terjadi di Deli, Rhemrev mencatat bahwa seorang gundik bernama Karimah dikurung berminggu-minggu di dalam kamar oleh tuannya dan dipukuli hingga berdarah. Buruh lain disiksa karena menolak pinangan pegawai kulit putih untuk jadi nyainya. Kedudukan inferior para buruh perempuan dan rasisme menjadi faktor tingginya kesewenang-wenangan dan buruknya nasib mereka.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page