top of page

Sejarah Indonesia

Petualangan Inspektur Frans

Dia ada dalam gerakan Westerling. Katanya untuk memata-matai gerakan Westerling.

22 Agustus 2023
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Inspektur Polisi Frans Najoan (Foto: Java-bode)

Sehari setelah kekacauan akibat Peristiwa APRA –yang dipimpin Raymond Paul Pierre Westerling; menewaskan hampir 100 anggota TNI–  di Bandung pada 23 Januari 1950, Kapten Westerling ke Jakarta. Dia mendatangi Hotel Des Indes di bilangan Harmoni untuk menemui Menteri tanpa portofolio Republik Indonesia Serikat (RIS) bernama Sultan Hamid II. Westerling datang bersama Frans Najoan.


“Saya memerintahkan Westerling supaya Frans Najoan pada kira-kira jam tujuh menyerbu sidang dewan menteri yang akan bersidang pada jam lima sore. Di dalam penyerbuan itu, semua menteri harus ditangkap sedangkan Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwono, Sekretaris Jenderal Ali Budiardjo, dan Kolonel Simatupang harus ditembak mati seketika itu juga. Saya harus mendapat luka enteng,” aku Sultan Hamid II –yang mengaku kemudian ingin minta kepada presiden dan wakil presiden RIS untuk diperbolehkan menyusun kabinet baru dan menjadi menteri pertahanan– dalam sidang perkaranya seperti tercatat dalam Process Peristiwa Sultan Hamid II.



Berbeda dari Westerling yang –bekas kapten pasukan khusus Belanda– namanya begitu dikenal di Indonesia karena kekejamannya, nama Frans kurang populer. Dia adalah perwira polisi yang gemar berpetualang. Menurut koran De Telegraaf tanggal 11 Maret 1953, dia menjadi polisi sejak zaman Hindia Belanda.


Frans diperkirakan lahir sekitar tahun 1923. Di zaman pendudukan Jepang, kariernya memburuk dan akhirnya dia menghilang dari “peredaran”. Sebelum 1947, menurut Arsip Kabinet Perdana Menteri RI Yogyakarta no: 129 (Perihal Aksi Westerling), Frans sempat berada di Sekolah Polisi Mertoyudan, Magelang. Dia kemudian ke Jakarta pada 1947.


Di Jakarta, yang dari 1946 hingga 1949 berstatus sebagai daerah pendudukan Belanda, Frans aktif lagi di kepolisian Belanda. Dia ditempatkan di bagian intelijen keamanan. Frans berpangkat Inspektur Polisi kelas satu ketika mengakhiri kariernya di Kepolisian Belanda. Usai Konferensi Meja Bundar (KMB, Desember 1949) yang mengakui kedaulatan Indonesia, pemerintahan NICA digantikan pemerintahan RIS dan RI, begitu pula kepolisiannya.



Sebelum KMB itulah Frans berkenalan dengan Westerling di Jalan Maluku, Jakarta pada awal Desember 1949. Lantaran cocok, Westerling dan Frans kerap bersama di sekitar Bandung dan Jakarta sekitar tahun 1950.


Westerling punya anggapan bahwa RIS selain korup, juga tak lebih dari “anak Jepang.” Bertolak dari pandangan itu, Westerling minta pada Frans untuk meggalang hubungan dengan para intel polisi. Di kalangan polisi masa transisi itu, setidaknya Komisaris Polisi Asbeck Brusse—yang menjabat komandan Veldpolitie (polisi lapangan seperti Brigade Mobil)—juga ikut gerakan rahasia Westerling ini.


“Saya masuk dalam gerakan itu karena hendak mengetahui bagaimana jalannya gerakan Westerling,” aku Frans Najoan di pengadilan, seperti dicatat Proces Peristiwa Sultan Hamid II.



Frans mengaku ditugaskan menyusup oleh Komisaris Polisi Moh. Jasin, atasan Najoan di kepolisian Jakarta, bukan Mohamad Jasin komandan Brigade Mobil atau Mohamad Jasin yang kemudian menjadi Jenderal Angkatan Darat. Jasin yang ini adalah polisi intelijen. Najoan diperintahkan untuk melapor kepada Overste Agerbeek.


Frans dan Westerling akhirnya bertemu Sultan Hamid II, yang disapa Max, di Des Indes pada 24 Januari 1950. Frans sudah mengenal Max sejak akhir 1949, setelah diperkenalkan seorang anggota KNIL Indo bernama Bens. Sebelumnya, Bens bertanya ke Frans apakah ia bersedia bergabung dengan gerakan Westerling—yang ingin merobohkan Republik Indonesia Serikat (RIS), Frans setuju saja.


Frans dan Westerling baru keluar dari Des Indes sekitar jam 04.00 sore. Setelah mendapat perintah dari Max, keduanya seperti tidak serius apalagi punya daya untuk menyerbu rapat Dewan Menteri di Jalan Pejambon. Tak jelas apa yang diperbincangkan Frans dan Westerling selama naik mobil keliling kota usai dari Des Indes.


Sekitar 07.00, Frans dan Westerling berada di depan Hotel Des Galeries Harmonie lalu menuju Jalan Nusantara dan melewati Pajambon, tempat Dewan Menteri bersidang. Rencana penyerbuan pada 07.00 yang diperintahkan itu tak pernah terlaksana. Ketika Westerling dan Frans lewat di tempat rapat para menteri itu, tempat itu sudah sepi. Rapat dewan Menteri RIS yang dimulai pukul 05.00 itu ternyata rampung pada 6.30 malam. Westerling lalu menyuruh Najoan untuk memberitahu Max bahwa penyerbuan tak bisa dilaksanakan.

Commentaires

Noté 0 étoile sur 5.
Pas encore de note

Ajouter une note
Mayor Udara Soejono Sang Eksekutor Kartosoewirjo

Mayor Udara Soejono Sang Eksekutor Kartosoewirjo

Mayor Soejono disebut sebagai eksekutor imam DI/TII S.M. Kartosoewirjo. Dia kemudian dieksekusi mati karena terlibat G30S.
Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Bung Karno dan Sepakbola Indonesia

Meski punya pengalaman kurang menyenangkan di lapangan sepakbola di masa kolonial, Bung Karno peduli dengan sepakbola nasional. Dia memprakarsai pembangunan stadion utama, mulai dari Lapangan Ikada hingga Gelora Bung Karno.
Juragan Besi Tua Asal Manado

Juragan Besi Tua Asal Manado

Bekas tentara KNIL yang jadi pengusaha kopra dan besi tua ini sempat jadi bupati sebelum ikut gerilya bersama Permesta.
Perdebatan dalam Seminar Sejarah Nasional Pertama

Perdebatan dalam Seminar Sejarah Nasional Pertama

Seminar Sejarah Nasional pertama tidak hanya melibatkan para sejarawan, melainkan turut menggandeng akademisi dan cendekia berbagai disiplin ilmu serta unsur masyarakat. Jadi momentum terbitnya gagasan Indonesiasentris dalam penulisan sejarah nasional Indonesia.
Berlan Kampung Serdadu dan Anak Kolong

Berlan Kampung Serdadu dan Anak Kolong

Sedari dulu, Berlan adalah daerah militer. Di zaman KNIL, Jepang, ataupun Indonesia, tetap sama.
bottom of page