- Petrik Matanasi
- 8 Sep
- 2 menit membaca
Diperbarui: 9 Sep
SEWAKTU berkuasa, pemerintah Hindia Belanda biasanya mengerahkan tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) untuk menyelesaikan segala kerusuhan di Nusantara (Indonesia) sebagai solusinya. Kerusuhan yang berakar dari ketimpangan ekonomi, misalnya, adalah perkara penting yang harus diselesaikan pemerintah kolonial selalu dengan kekerasan.
Hal itu antara lain berangkat dari fakta tak memadai jumlah polisi yang berada di bawah kendali dari Binnenland Bestuur (BB/Departemen Dalam Negeri) di banyak daerah. Polisi desa atau polisi umum biasanya kalah jumlah oleh perusuh.
Mula-mula, tentara KNIL jadi andalan. Namun, penggunaan militer lebih luas yang diinginkan Gubernur Jenderal Van Heutz mendapat banyak penolakan. Sang “penakluk” Aceh itu akhirnya mendapat jawaban pada kepolisian. Ia pun segera menugaskan Boekhoudt dan Priester untuk merancang usulan reorganisasi kepolisian.
“Reformasi demikian kiranya masih sejalan dengan semangat membangun –upaya menyejahterakan masyarakat – namun dalam kenyataan lebih mencerminkan meningkatnya kecemasan terhadap aktivitas politik masyarakat bumiputra,” tulis Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan.
Salah satu hasil dari reformasi itu yakni perlahan diadakan sebuah pasukan polisi yang kadang personelnya diambil tentara. Namanya adalah Gewapende Politie atau Polisi Bersenjata. Polisi jenis ini muncul pada 1912. De Indisch Courant tanggal 30 Maret 1939 menyebut, pembentukan Polisi Bersenjata melibatkan Hoorweg mewakili polisi dan Jenderal Mayor Gerth van Wijk mewakili KNIL.
Pada 1912, ketika Polisi Bersenjata terbentuk, mantan Mayor Kavaleri Andre Bruno Johan Posno (1865-1931) dipercaya menjadi komandan pertamanya. Pria kelahiran Semarang, 12 Mei 1865 ini merupakan tentara yang dikaryakan ke kepolisian.
“Pada 27 Januari 1912, (Posno, red.) dilantik menjadi kepala Polisi Bersenjata di bawah Departemen Dalam Negeri, dengan gaji 900 gulden tiap bulan,” ungkap Arsip Stamboeken Ambtenaren en Gouvernementsmarine, 1836-1940, archive 2.10.36.22, inventory number 934, folio 138 dari Arsip Nasional Belanda.
Penarikan tentara ke dalam Polisi Bersenjata jelas tak hanya melibatkan sang komandan. Di antara tentara yang diambil ke dalam Polisi Bersenjata berasal dari Korps Marsose, satuan khusus antigerilya KNIL yang sangat mobil dan terkenal dengan reputasinya yang kejam di Aceh.
Polisi semacam ini, yang terlatih layaknya militer, sudah ada di Aceh Besar pada 1881 dengan jumlah 200 orang. Mereka tak bersenjata pistol seperti koboi, tapi senapan laras panjang.
Kemiripan dengan polisi terdahulu di Aceh Besar membuat Polisi Bersenjata tentu sanggup menghadapi perlawanan keras. Tentu saja perlawanan dari rakyat yang kebanyakan bersenjata golok seadanya sedangkan para Polisi Bersenjata bersenjatakan senjata api dengan amunisi banyak.
Dalam otak masyarakat kolonial yang didominasi orang Eropa, polisi bersenjata itu dianggap sangat berguna. Pasukan jenis ini jelas bukan untuk mengayomi masyarakat bumiputra yang termarjinalkan dan miskin. Masyarakat hanya bisa melihat tentara brutal dipekerjakan sebagai polisi bersenjata tersebut.
Para personel Polisi Bersenjata diasramakan. Mereka berbeda dari polisi pada umumnya. Namun dengan segala pengistimewaan itu, umur Polisi Bersenjata justru tidak panjang. Posno pun menjadi komandan pertama sekaligus terakhir Korps Polisi Bersenjata yang sangat militeristik itu. Sebagai polisi, pasukan Polisi Bersenjata itu tak mampu sepenuhnya mengejar penjahat yang lari ke desa-desa meskipun para personelnya yang mantan KNIL terlatih dalam pertempuran di desa-desa.
“Polisi ini tak cakap untuk melakukan penyelidikan, karena pegawai-pegawainya tak dididik dalam hal ini,” catat Oudang dalam Perkembangan kepolisian di Indonesia (1952).*













Komentar