top of page

Sejarah Indonesia

Polusi Jenderal

Polusi Jenderal

Kelebihan perwira dalam tubuh militer Indonesia kembali terjadi sejak beberapa tahun belakangan. Bukan fenomena baru.

5 Juli 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Didi Kartasasmita semasa KNIL (repro buku "Pengabdian bagi Republik"

PADA 17 Juni 2019, Presiden Joko Widodo menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 37 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Tentara Nasional Indonesia. Melalui peraturan tersebut, personil aktif TNI kembali diperbolehkan menduduki jabatan sipil. 


Pejabat fungsional TNI, yang meliputi pejabat fungsional keahlian dan pejabatan fungsional keterampilan, menurut peraturan tersebut berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada kepala unit kerja atau organisasi di mana yang bersangkutan ditugaskan. Prajurit yang menduduki jabatan fungsional dipindahkan dalam jabatan struktural, maka jabatan fungsionalnya diberhentikan. Namun, setelah prajurit itu diberhentikan dari jabatan fungsional TNI, dapat diangkat kembali sesuai dengan jenjang jabatan fungsonal TNI terakhirnya berdasarkan perundang-undangan, apabila tersedia formasi jabatan.


Penandatanganan perpres tersebut menimbulkan pro-kontra di masyarakat yang memang sudah khawatir sejak perpres masih jadi wacana. “Penempatan TNI aktif pada jabatan sipil dapat mengembalikan fungsi kekaryaan TNI yang dulunya berpijak pada doktrin dwifungsi ABRI (fungsi sosial-politik) yang sudah dihapus sejak reformasi,” ujar Direktur Imparsial Al Araf, dikutip kompas.com, 13/2/19.


Terlepas dari pro-kontra yang ada, perpres tersebut merupakan langkah pemerintah dalam mengatasi kelebihan perwira di tubuh TNI yang ada sejak 2010.


“Ini softlanding, bagian dari rencana yang dulu kita tolak, bagaimana tentara masuk wilayah sipil. Secara halus sih baik, tapi semangat di belakangnya, semangatnya bagi-bagi jatah, bagi-bagi jabatan karena banyak jenderal yang nganggur; surplus perwira,” kata Muhammad Isnur, ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dikutip cnnindonesia.com, 2 Juli 2019.


Masalah kelebihan perwira bukan fenomena baru di Indonesia. Pada 1999, Menhankam/Pangab Jenderal Wiranto sampai menggulirkan rencana pemensiunan 4000 militer aktif yang dikaryakan di berbagai jabatan sipil. “Tentara yang dikaryakan itu diberi dua pilihan. Mereka dipersilakan untuk mengambil pensiun dengan tetap menjadi pejabat sipil atau kembali ke ABRI, tetapi kehilangan jabatan sipilnya,” tulis PanjiMasyarakat No. 48, 17 Maret 1999.


Langkah tersebut diambil Wiranto sebagai upaya perlahan penghapusan dwifungsi ABRI sebagaimana diamanatkan Reformasi sekaligus mengatasi kelebihan jumlah perwira yang tak sebanding dengan ketersediaan jabatan di tubuh ABRI. “Mereka yang kembali ke Mabes ABRI tak dapat jabatan karena sudah berada di luar struktur. Dia harus ngantri lagi dan tidak tahu jabatannya apa. Mungkin dia juga kalah bersaing dengan rekan-rekan seangkatan yang masih berada di dalam struktur,” kata Wiranto, dikutip PanjiMasyarakat.


Akibat kebijakan itu, banyak perwira lebih memilih pensiun dari militer. Letjen Sutiyoso, yang saat itu menjabat sebagai gubernur DKI Jakarta, salah satunya. “Wong saya sudah di sini. Saya juga mulai mencintai pekerjaan atau tugas ini. Kalau memang harus memilih, saya akan memilih sebagai sipil saja,” kata Sutiyoso.


Namun, masalah kelebihan perwira itu jelas belum separah pada masa revousi. Kelindan antara keterlambatan pemerintah membentuk institusi militer, kondisi institusi militer yang dibentuk masih jauh dari ideal, dan suasana revolusi menjadi pangkal persoalan itu. Siapapun orang bisa jadi jenderal, entah lewat penunjukan dari kelompoknya atau penunjukan diri sendiri. “Bayangkan saja, ada anak muda yang dapat pangkat jenderal, lalu bikin pasukan sendiri yang bisa diindoktrinasinya,” ujar panglima Komandemen Jawa Barat Jenderal Mayor Didi Kartasasmita dalam memoarnya, Pengabdian Bagi Kemerdekaan.


Akibatnya, jenderal-jenderal bermunculan. Di ibukota Yogyakarta bahkan sampai muncul gurauan “Tidak mungkin kita kalah oleh tentara Belanda, sebab jumlah jenderal kita lebih banyak!”


Didi yang ikut diminta membantu pengorganisasian militer secara profesional sampai heran bercampur kesal melihat realitas tersebut. “Ya, pada waktu itu di Yogya sudah polusi jenderal,” ujarnya.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page