top of page

Sejarah Indonesia

Poorwo Soedarmo dan Gizi Anak Negeri

Dari Poorwo Soedarmo lahir slogan Empat Sehat Lima Sempurna. Berperan besar dalam mencetak ahli gizi hingga memberi fondasi pada PKK.

Oleh :
30 Januari 2025
bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Prof. Dr. Poorwo Soedarmo dijuluki Bapak Gizi. (Repro Saya dan Gizi).


EROPA Barat yang belum pulih dari kehancuran akibat Perang Dunia II ternyata menyisakan banyak harapan. Tak hanya soal ekonomi, tapi juga di bidang-bidang lain. Hal inilah yang ditemui Poorwo Soedarmo, dokter lulusan STOVIA, kala singgah di Belanda dalam tugasnya sebagai dokter di kapal SS Polydorus milik Blue Funnel Line dengan trayek Jakarta-Amsterdam pada 1949.


Perang Dunia II yang menghancurkan ternyata juga mengkatalisasi bidang sains. Tak hanya dalam soal teknologi militer, tapi juga dalam bidang-bidang lain seperti kesehatan, medis, bahkan gizi.


“Antara tahun-tahun 1940-1950 lah berkembang nutrition science di Eropa, karena data yang ditemukan di penjara-penjara massal,” kata Poorwo Soedarmo dalam otobiografinya, Gizi dan Saya.


Harapan akan perkembangan sains yang ditawarkan Eropa itulah yang menggugah Poorwo untuk mendalami ilmu gizi. Sebab, selain perkembangan ilmunya cukup pesat di Eropa, kondisi gizi masyarakat di tanah airnya masih amat memprihatinkan sehingga butuh penanganan serius. Untuk itulah Poorwo yang lahir di Malang, 20 Februari 1904, kemudian memutuskan untuk kuliah gizi.


“Saya yakin, bahwa baik dunia kedokteran dan cendekiawan lain, maupun pemerintah dan masyarakat belum mengenal peranan penting malnutrisi pada perorangan dan negara. Perubahan pikiran harus segera dimulai, bukan hanya pada dokter, melainkan juga pada semua Departemen pemerintah dan masyarakat. Soalnya perbaikan makanan dalam arti persediaan bahan makanan yang baik dalam jumlah yang cukup dan terjangkau masyarakat harus diusahakan oleh pemerintah, sesuatu yang hanya tercapai bila pemerintah, dokter dan masyarakat sadar gizi. Alasan-alasan ini mendorong saya untuk mengambil keputusan akan mengabdi pada nutrisi sekembali ke Indonesia dari Eropa,” ujar Poorwo.


Kiprah Poorwo dalam bidang kesehatan dimulai setelah lulus dari STOVIA pada 1927. Sempat ditempatkan di Centraal Buurgerlijk Ziekenhuis (CBZ, kini RS Cipto Mangunkusumo) sebagai dokter di Bagian Penyakit Kulit/Kelamin, dia lalu ditugaskan di perusahaan tambang, Bangka Tin Winning.


Sepulangnya ke Jawa, Poorwo berturut-turut mendapat tugas di Malang, Cirebon, dan Cianjur. Di ketiga kota itulah dia mendapat hukuman karena dianggap “pemberontak” alias pernah melakukan kebijakan yang tak sejalan dengan kebijakan yang ada.


Sempat melanjutkan pendidikan lanjutan di Batavia di pengujung era kolonilisme Belanda, Poorwo kemudian mendapat tugas sebagai kepala Dinas Kesehatan Banten semasa pendudukan Jepang. Kedudukannya berada di Serang selaku ibukota.


Sejatinya, banyak pasien yang mesti ditanganinya di Banten. Mereka adalah para romusha yang dipekerjakan untuk membuka jalur keretaapi Bayah-Saketi. Kondisi mereka bukan hanya kurang gizi, tapi kurang makan.


“Romusha umumnya kekurangan makanan, obat-obatan masih sedikit, dokter dan juru rawat cuma beberapa orang saja, dan perhatian terhadap orang sakit atau mati boleh dikatakan tak ada. Di jalan antara 5-6 km antara pulau Manuk dan Bayah, setiap hari dapat disaksikan romusha, yang menderita penyakit borok yang menarik-narik menuju pasar atau ke gedung kosong seperti bioskop buat bergelimpangan di sini menunggu ajalnya. Pun di kota-kota sepanjang jalan antara Saketi dan Jakarta, pasar dan pinggir-pinggir jalan atau halaman gedung sudah penuh dengan bangkai hidup yang menunggu maut ini,” kenang Tan Malaka, bapak bangsa yang ketika itu bekerja di tambang batubara tempat para romusha membangun jaringan transportasi keretanya, dalam Dari Penjara ke Penjara, Bagian Dua.


Namun, para romusha itu tak dapat ditangani Poorwo. Sebab, keberadaan mereka amat jauh dari Serang. “Kewajiban sebagai dokter keresidenan tak dapat dipenuhi, karena untuk ke luar kota harus mendapat izin,” aku Poorwo.


Poorwo masih bertugas di Banten ketika Jepang kalah perang, bahkan hingga saat Agresi Militer Belanda II. Namun setelah “diusir” dari sana, Poorwo hijrah ke Jakarta yang kala itu sudah diduduki Belanda.


“Di Jakarta saya melapor kepada perwakilan Departemen Kesehatan RI. Tidak ada kerja. Saya dianjurkan menunggu dan saya siap menunggu perintah,” aku Poorwo. 


Sambil menunggu keadaan dan tanpa pekerjaan itulah Poorwo melamar pekerjaan ke Blue Funnel Line. Setelah diterima, dia menjadi dokter kapal di SS Polydorus.


Pada Februari 1949, Poorwo bertolak dari Jakarta menuju Amsterdam. Selama menunggu kepulangannya ke Indonesia, September 1949, Poorwo memperdalam lagi ilmu kedokterannya. Selain belajar tentang pemberantasan malaria, dia menemui para ahli untuk berdiskusi dan membaca banyak majalah serta jurnal. Ketika membaca majalah dan jurnal itulah Poorwo menjadi tahu bahwa gizi orang Indonesia termasuk yang terburuk di dunia pada 1948 itu. Kekurangan gizi, seperti para romusha (pekerja paksa) zaman Jepang serta anak-anak yang busung lapar yang dilihatnya di Banten dulu, sangat rentan terhadap penyakit-penyakit. 


Tak hanya di Amsterdam, Poorwo bahkan ke London untuk memperdalam ilmu kedokterannya. Selama di London ia mengumpulkan sebanyak mungkin bacaan terkait gizi dan terpikir olehnya untuk ikut memperbaiki gizi orang Indonesia sepulangnya nanti ke Indonesia.


Di Amsterdam pun Poorwo memantau nutrisi anak-anak Belanda. Kala itu, Belanda sedang melaksanakan minum susu gratis bagi anak-anak sekolah. 


Namun, di lapangan banyak anak-anak Belanda tak suka minum susu sapi. Guru-gurunya mengeluhkan masalah itu ke pemerintah. Ia bertanya pada Prof. Jansen soal masalah susu itu.  


“Pembagian susu di sekolah itu sisa tindakan resmi pemerintah yang dimulai pada 1944 setelah berakhir Perang Dunia II,” kata Prof. Jansen, dikutip Poorwo. “Ketika itu semua anak negeri Belanda dalam keadaan kurang gizi. Sekarang pembagian itu sudah tidak perlu lagi, karena mereka sudah dapat cukup susu di rumah. Itulah sebabnya susu gratis di sekolah tidak laku lagi.” 


Kasih Paham Urusan Gizi


Sekembalinya ke Indonesia, Poorwo melaporkan kepada pemerintah Republik Indonesia apa yang dibaca dan didengarnya dari para ahli gizi di Belanda. Kala itu ilmu gizi tak menjadi kajian penting, bahkan masih asing di Indonesia.


Di antara yang sedikit menaruh perhatian terhadap urusan gizi bangsa adalah dr. Johannes Leimena, adik kelasnya di STOVIA yang menjadi menteri muda kesehatan pada beberapa kabinet. Perhatian yang sama soal gizi membuat Poorwo bisa bekerja sama dengan Leimena. Poorwo kemudian diangkat Leimena menjadi ketua Lembaga Makanan Rakyat (LMR) di yang bernaung di bawah Kementerian Kesehatan.


Demi memperbaiki gizi, Poorwo menganggap perlu mengajari rakyat Indonesia dalam memandang makanan. Beberapa jenis makanan yang bergizi pun harus diperkenalkannya. Untuk mempermudah pekerjaannya itu, Poorwo lalu membuat slogan Empat Sehat Lima Sempurna. 


Menurut sejarawan asal India Vivek Neelakantan dalam Science, Public Health and Nation-Building in Soekarno-Era, Empat Sehat Lima Sempurna merupakan modifikasi yang dilakukan Poorwo pada kebutuhan gizi bangsa dari beberapa model. Dari model kecukupan nutrisi ala kuliner khas Sunda, program nutrisi Amerika Serikat.  


“Poorwo Soedarmo dengan kreatif menyesuaikan slogan nutrisi Amerika ‘eat the basic seven every day’ (susu, sayuran, buah-buahan, telur, daging, keju, sereal dan roti, serta mentega, red.) yang digalakkan pada Perang Dunia II. Ia menyegarkannya dalam ‘empat sehat, lima sempurna’ yang juga diniatkan sebagai diversifikasi berdasarkan hidangan ala makanan Sunda yang terdiri dari nasi dengan sayuran (dan lalapan), daging sebagai lauknya, tempe, dan pepaya, atau bahan-bahan lain yang mudah didapat masyarakat setempat,” tulis Neelakantan. 


Dari nasi ada karbohidrat. Dari lauk ada protein. Dari sayur dan buah ada vitamin, dan dari susu didapat kalsium. Jadi rakyat Indonesia diajari untuk tidak hanya mengejar kalori karbohidrat saja.


“Jadi tentu saja Empat Sehat Lima Sempurna itu kan hanya mencerminkan keberagaman makanan: nasi, sayur, lauk, buah dan susu,” terang Guru Besar Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Dr. Ali Khomsan kepada Historia.ID.


Poorwo, lanjut Neelakantan, tentu sadar bahwa kondisi setiap keluarga di berbagai daerah tak dapat disamakan. Oleh karenanya ia juga menambahi slogan “mura, tetapi baik”. Dengan begitu, lauk untuk kebutuhan protein tidaklah harus daging dan telur tapi juga bisa dengan alternatif tempe, misalnya. Lalu Poorwo menambahkan susu sebagai penyempurna, sesuai apa yang dilihatnya di Belanda dulu.


“Pencetusnya mungkin melihat selama ini yang bisa minum susu itu hanya penjajah Belanda. Kemudian muncul seolah-olah bisa menyempurnakan makanan yang kita konsumsi,” sambung Prof. Ali. 


Namun, susu hewani masih jadi barang mewah di masa itu sehingga kemudian dibutuhkan bantuan asing. Bantuan itu datang dari UNICEF. Menurut buku Almanak Pertanian: 1954, UNICEF memberikan bantuan sebesar 190 ribu dolar yang kemudian digunakan untuk membangun NV Saridele di Yogyakarta, sebuah pabrik susu berbahan dasar alternatif: kedelai. 


“Susu kedelai itu kalau dilihat protein dan lemaknya hampir sama tapi kualitas kalsiumnya berbeda, di mana kalsium dari susu sapi perah itu lebih baik daripada yang berasal dari nabati ya,” jelas Prof. Ali. 


Agar pemahaman akan gizi terhadap masyarakat bisa terus disebarluaskan, maka diperlukan lebih banyak akademisi dan ahli gizi dari kalangan anak negeri. Pasalnya, selama ini di LMR Poorwo dibantu tiga ahli gizi asing yang semua perempuan dari Belanda: C.F. Guillaume, W. Pranger, dan J.W.B. Visser. Poorwo lalu merintis Sekolah Ahli Diet di ruangan LMR setelah keluar Surat Keputusan Menteri Kesehatan No. 211351/uu tanggal 27 September 1950.   


Tetapi pendidikan di sana masih berkonsep kursus karena belum merupakan sebuah lembaga. Pada 1953, namanya diganti jadi Sekolah Ahli Makanan Indonesia. Baru pada 1955, Sekolah Ahli Makanan Indonesia digabungkan dengan Akademi Gizi/Diet yang baru didirikan itu dan diresmikan pada 1957. Kelak pada 1966 Akademi Gizi yang berubah lagi namanya jadi Akademi Pendidikan Nutrisionis ditempatkan di bawah Pendidikan Departemen Kesehatan. 


“Lulusan Akademi Gizi harus mampu menjalankan tugas-tugasnya, seperti yang tergambar dalam Ikhtisar Masalah Makanan, ialah menginfiltrasi berbagai bagian di kementerian-kementerian dan mengajak bagian-bagian ini menjalankan tugasnya dalam National Food Policy. Lulusan Akademi Gizi juga harus mampu mendeteksi subjek di lapangan gizi yang perlu disurvei/riset,” tulis Poorwo. 


Sejalan dengan itu, Poorwo juga mendirikan Sekolah Juru Penerangan Makanan (SJPM) pada 1953. Meskipun kemudian namanya berubah menjadi Sekolah Pembantu Ahli Gizi (SPAG), model sekolah ini jadi cikal-bakal Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).


“Juru penerangan kebagian tugas membuat masyarakat sadar akan mutlak perlunya menyusun hidangan sehari-hari menurut syarat kesehatan dan sadar 4 sehat 5 sempurna. Pada 1995 kita lihat puluhan ribu Posyandu menjalankan penerangan sadar gizi dan sadar susunan makanan sehat. Juru penerangan makanan dalam organisasi Dinas Kesehatanlah yang mendidik dan mengawasi keadaan PKK ini, bersama dengan pegawai kesehatan lain,” tambahnya.


Konsistensinya dalam menggalakkan pemahaman tentang gizi dan pemberantasan masalah kwarshiorkor atau malnutrisi berat turut menasbihkan Poorwo sebagai guru besar Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) pada 1958. Itu didapatnya setelah memperkenalkan “home economics” atau ilmu kesejahteraan keluarga setahun sebelumnya. 


Poorwo mempelajarinya ketika sejenak mengunjungi Amerika Serikat pada 1955. Ia menengok praktik-praktik home economics mulai dari tingkat sekolah menengah sampai di lingkungan perusahaan.  


Dalam home economics, aspek kehidupan keluarga beserta kebahagiaan dan kesejahteraan jadi perhatian. Cakupannya meliputi hubungan inter dan antarkeluarga, bimbingan anak dalam keluarga, makanan sehari-hari, pakaian, perumahan, kesehatan, penghasilan dan cara mempergunakannya, pengelolaan rumah tangga, keamanan, serta perencanaan yang bersifat sehat dan tepat. Hasilnya diseminarkan LMR di Akademi Gizi kurun 9-14 September 1957. 


“Hasil seminar ialah, bahwa diharapkan adanya koordinasi atau kerjasama antar-kementerian, jawatan-jawatan, badan-badan, dan organisasi-organisasi dalam suasana kekeluargaan. Sukses terbesar ialah gerakan PKK yang dipelopori Ibu Hk. Istriati Moenadi, istri Gubernur Jawa Tengah,” tukas Poorwo. 


Sebagaimana Empat Sehat Lima Sempurna-nya yang jadi perhatian penuh pemerintah bahkan hingga era akhir Orde Baru, sejak 1965 home economics yang diperkenalkan Poorwo dijadikan pedoman yang disederhanakan menjadi 10 program PKK. 


Meski bukan semua, gebrakan-gebrakan itu menjadi pembukti besarnya kiprah Poorwo dalam bidang gizi di tanah air hingga dia pensiun pada 1971.


“Setelah pensiun Prof. Poorwo tidak bersedia lagi dilibatkan dalam kegiatan ilmu gizi/pengelolaan kurikulum gizi, tetapi perhatian beliau untuk masalah gizi tak pernah berhenti,” tulis pakar gizi Prof. Dr. Soemilah Sastroamidjojo dalam kolom kesan-kesan di otobiografi Soedarmo, yang wafat pada 13 Maret 2003.*

 

Tulisan ini dikerjakan oleh Petrik Matanasi dan Randy Wirayudha

Comments

Rated 0 out of 5 stars.
No ratings yet

Add a rating
Sikap Belanda Terhadap Kabinet Sutan Sjahrir

Sikap Belanda Terhadap Kabinet Sutan Sjahrir

Pengangkatan Sutan Sjahrir sebagai perdana menteri disambut positif oleh tokoh-tokoh Belanda karena Sjahrir bukan kolaborator Jepang. Memudahkan proses perundingan dengan Belanda.
Waktu Indonesia Masih Kekurangan Pesawat

Waktu Indonesia Masih Kekurangan Pesawat

Para diplomat dan pejabat Indonesia bertaruh nyawa waktu naik pesawat ke luar negeri. Bahaya datang dari patroli Belanda dan juga kondisi pesawat yang ditumpangi.
Iran dan Program Nuklirnya (Bagian II)

Iran dan Program Nuklirnya (Bagian II)

Iran memulai program nuklirnya dengan bantuan Amerika. Perlahan pasca-Revolusi Iran dianggap sebagai ancaman.
Aroma Hadrami yang Membumi

Aroma Hadrami yang Membumi

Khazanah kuliner Nusantara kian lengkap berkat pengaruh orang-orang keturunan Arab.
Ratu Ester, Wanita Israel di Takhta Kerajaan Persia

Ratu Ester, Wanita Israel di Takhta Kerajaan Persia

Kisah Ratu Ester tercatat dalam kitab sejarah Yahudi maupun kepercayaan Kristen. Menyingkap hubungan Israel dan Persia di masa silam.
bottom of page