top of page

Sejarah Indonesia

Salim Said Meninggal Dunia

Salim Said Meninggal Dunia

Salim Said awalnya ingin menjadi seniman. Ia kemudian menjadi wartawan spesialis tulisan film dan perfilman. Belakangan dikenal sebagai ilmuwan politik militer.

17 Mei 2024

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Salim Said (1943-2024). (Youtube Mizan).

SALIM SAID, tokoh pers dan perfilman serta pakar politik militer, meninggal dunia di usia 80 tahun pada Sabtu, 18 Mei 2024 pukul 19.33 WIB setelah sempat dirawat di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat. Jenazahnya disemayamkan di rumah duka di Jalan Redaksi No. 149 Kompleks Wartawan PWI, Cipinang, Jakarta Timur. Rencananya jasad almarhum akan dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan, pada Minggu siang. 


Salim Said lahir di Desa Amparita, Parepare, Sulawesi Selatan, pada 10 November 1943. Dia mengenyam pendidikan dasar di Parepare. Setelah lulus Sekolah Menengah Atas di Solo, Jawa Tengah, dia kuliah di Jurusan Psikologi Universitas Indonesia, tetapi tidak selesai karena aktivitasnya sebagai demonstran dan wartawan. 


Salim berhasil lulus dari Jurusan Sosiologi FISIP UI pada 1976 dengan menulis mengenai sejarah sosial film Indonesia. Dia tidak mengalami kesulitan karena selama bertahun-tahun menulis kritik film di majalah Tempo. Dia menjadi wartawan selama 25 tahun dan redaktur harian Pelopor Baru, Angkatan Bersenjata, dan majalah Tempo (1971–1987). 



Salim melanjutkan pendidikan pascasarjana bidang hubungan internasional di Ohio University, Athens, Ohio, Amerika Serikat pada 1979. Setelah mendapat gelar MA tahun 1980, dia diterima pada program doktor ilmu politik di Ohio State University, Columbus, Ohio, Amerika Serikat. Setelah mendapat gelar MA kedua pada 1983, Salim memperoleh gelar Ph.D dalam ilmu politik pada 1985 dengan disertasi mengenai peran politik militer Indonesia pada periode revolusi kemerdekaan. 


Dalam bukunya, Dari Gestafu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian, Salim mengaku awalnya ingin menjadi seniman. Semasa remaja di Parepare, dia mulai menulis cerita pendek dan puisi. Pada usia 16 tahun, Salim hijrah ke Pulau Jawa dengan ambisi menjadi seniman. Dia kemudian menulis sejumlah telaah karya sastra.  


Salim yang tertarik pada seni peran pernah belajar teater di Akademi Teater Nasional Indonesia, menyutradarai pertunjukan drama, dan ikut tampil sebagai aktor. Di kemudian hari, dia belajar dunia perfilman, menyutradarai dan beberapa kali tampil di depan kamera. 


Namun, Salim menyadari bakat seninya tidak berkembang, justru daya kritisnya yang kuat. Dia pun menyalurkannya melalui tulisan-tulisan tentang kritik film dan sastra. Salim menerbitkan beberapa buku mengenai film dan perfilman di antaranya Profil Dunia Film Indonesia (1982). Kendati tidak lagi berambisi menjadi seniman, Salim sempat menjadi anggota Dewan Film Nasional dan Dewan Kesenian Jakarta, bahkan ketua lembaga kesenian itu selama sepuluh tahun. 



Gagal menjadi seniman, Salim memutuskan menjadi ilmuwan politik militer. Dia telah menerbitkan sekitar sepuluh buku yang umumnya mengenai peran politik militer Indonesia, seperti Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military in Politics, 1945–49 (1991) dan Militer Indonesia dalam Politik: Dulu, Kini, dan Kelak (2001). 


Pada awal Reformasi, Salim ditunjuk mewakili kaum cendekiawan pada Badan Pekerja MPR RI. Dia kemudian diangkat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Republik Ceko (2006–2010).  


Setelah itu, Salim menjadi pengajar tetap di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut, Sekolah Staf dan Komando TNI, dan Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Dia juga dikukuhkan menjadi Guru Besar Ilmu Politik Universitas Pertahanan Indonesia dan Universitas Muhammadiyah Malang. 


Di usia senjanya, Salim masih produktif menulis dengan menerbitkan buku Dari Gestapu ke Reformasi: Serangkaian Kesaksian (2013), Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto (2016), Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno, dan Soeharto (edisi diperkaya, 2018), dan Ini Bukan Kudeta: Reformasi Militer Indonesia, Mesir, Thailand, dan Korea Selatan (2018).* 

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page