- Martin Sitompul

- 17 Jul
- 4 menit membaca
Diperbarui: 18 Jul
DI usianya yang memasuki 100 tahun, Rumah Batik Oey Soe Tjoen masih memproduksi batik berkualitas tinggi. Namun, tak banyak orang yang pernah mendengar atau mengetahui merk batik Oey Soe Tjoen. Hanya sedikit pula orang yang bisa memiliki batik Oey Soe Tjoen. Proses pembuatannya begitu rumit, detail, dan memakan waktu bertahun-tahun. Mutu itulah yang terus dijaga pengrajin batik Oey Soe Tjoen dari generasi ke generasi.
“Dimulai dari dari kakek dan nenek saya yang membuat. Mereka berasal dari keluarga pembatik. Setelah menikah, mereka diperbolehkan mencantumkan nama pada kain yang dibuat. Tetapi karena pada saat itu yang diperbolehkan nama laki-laki, meskipun yang mengerjakan nenek, nama yang dicantumkan kemudian adalah kepala keluarga, yaitu Oey Soe Tjoen,” tutur Widianti Widjaja, generasi ketiga pengelola Rumah Batik Oey Soe Tjoen dalam jumpa pers “100 Tahun Batik Oey Soe Tjoen” di bilangan Cilandak, kemarin (16/7).
Batik Oey Soe Tjoen (selanjutnya disebut OST) dikenal sebagai batik tulis tertua di Indonesia. Berdiri sejak 1925 di Kedungwuni, Pekalongan, oleh Oey Soe Tjoen dan istrinya Kwee Tjoen Giok Nio (Kwee Nettie). Sejak mula pernikahan mereka, pasangan Oey Soe Tjien dan Kwee Nettie sepakat meninggalkan usaha batik cap keluarga masing-masing untuk berkonsentrasi pada pembuatan batik tulis murni halus. Peralihan orientasi bisnis itu menimbang bahwa pengusaha batik halus murni di Pekalongan masih sedikit disebabkan proses pembuatan yang rumit dan lama.

Pada awalnya, corak batik OST terinspirasi oleh corak Buketan dengan bunga khas Belanda, seperti tulip dan mawar. Oey Soe Tjoen kemudian membuat pakem batik tulis halus di atas kain mori dengan kedalaman detail, pewarnaan, dan motif percampuran kebudayaan peranakan Tionghoa, Jawa, Arab, dan Belanda. Keputusan Oey Soe Tjoen terbukti tepat. Batik OST ternyata begitu diminati masyarakat, khususnya kalangan elite. Batik OST yang awalnya sekedar pakaian telah bergeser menjadi benda bernilai tinggi penanda status sosial. Ia bahkan dijadikan sebagai mas kawin bagi sebagian keluarga Tionghoa pada masa sebelum pendudukan Jepang.
“Waktu itu batik OST dianggap sebagai batik yang high class sehingga bagi yang mempunyai batik OST dianggap kelasnya di atas rata-rata,” terang Widianti. “Dalam pernikahan keluarga peranakan, bagi pihak laki-laki untuk menunjukkan kepada pihak perempuan bahwa dia mapan, dengan membelikan batik OST. Semakin banyak batik OST di tempat perempuan, berarti secara tidak langsung menjadi pengakuan bagi pengantin pria berasal dari keluarga cukup mapan.”
Widianti menambahkan, pembuatan batik OST seluruhnya dikerjakan dengan tangan (hand made). Untuk menghasilkan komposisi warna dan gradasi, sistem pewarnaannya menggunakan teknik celup dan dikerjakan secara bolak-balik. Baik isen-isen maupun temboknya juga dikerjakan bolak-balik sehingga membuatnya proses produksinya jadi lebih lama. Untuk setiap helai kain Batik OST, rata-rata dihasilkan melalui proses pengerjaan selama tiga tahun.
“Untuk satu batik, teorinya kita membutuhkan waktu tiga tahun. Tapi, faktanya bisa lebih. Kalau musim kemarau kita bisa mengerjakan, tapi kalau musim hujan, kita lebih pasif karena tidak bisa mewarnai. Untuk pewarnaan kita butuh matahari. Jadi, kalau musim hujan kita agak mengurangi pewarnaan,” jelas Widianti.
Menurut sejarawan Peter Carey, Batik OST termasuk batik pesisir yang banyak mendapat pengaruh dari luar. Hal ini tidak lepas dari lokasi Pekalongan yang terletak di pesisir utara Jawa yang merupakan pusat perdagangan di masa lalu. Oleh karena itu, Batik OST mampu menceritakan sejarah budaya peranakan Tionghoa dan pantai utara Jawa yang berkembang pesat sebagai tempat pertemuan bagi para pelancong, pedagang, dan pemuka agama. Meski mendapat pengaruh akulturasi budaya, Carey menyebut Batik OST sangat mementingkan keaslian dalam proses pembuatannya. Pada era generasi pertama, Oey Tjoe Soen pernah ditawarkan untuk menggunakan kain sutra, namun ditolak.
“Ini seperti batik pesisir, ada banyak pengaruh dari luar, tapi mereka membuat tafsiran dalam mengembangkan batik yang sangat khas dan jauh melampaui atau jauh berbeda. Ini bukan tiruan tapi sebuah kreatifitas. Jadi ini adalah salah satu bench mark, panutan yang punya standar yang tinggi sekali,” ujar Peter Carey, yang juga penulis buku batik pesisir Fabric of Enchantment: Batik from the North Coast of Java.

Sepeninggal Oey Tjoe Soen, Batik OST dilanjutkan oleh anaknya, Oey Kam Long (Muljadi Widjaja) pada 1976. Di tangan Muljadi dan istrinya, Lie Tjien Nio (Istijanti Setiono), Batik OST terus berkembang. Meski zaman bergerak maju, desain batik klasik karya Oey Soe Tjoen dan Kwee Nettie tetap dipertahankan. Pasangan Muljadi dan Istijanti membuat berbagai batik tulis halus dengan ragam hias Buketan, Urang Ayu, Merak Ati dan Cuwiri. Pelaksanaan proses produksi dan pengawasan mutu dilakukan oleh Istijanti sedangkan Muljadi berperan dalam pemasaran produk. Pada generasi inilah Batik OST lebih dikenal di luar negeri.
Pada 2002, Rumah Batik Oey Soe Tjoen diwariskan kepada Oey Kiem Lian (Widianti Widjaja), putri dari Muljadi Widjaja. Bersama suaminya, Oey Ien King (Setyo Purwanto), Widianti meneruskan usaha Batik OST di rumah yang sama saat Rumah Batik Oey Soe Tjoen berdiri pertama kali di Kedungwuni, Pekalongan. Hingga kini, Batik OST telah beranjak 100 tahun dan masih eksis, termasuk sebagai batik legendaris di kalangan pecinta batik.
Secara berkelakar, Damiana Widowati, ketua pameran dan perwakilan Sahabat Oey Soe Tjoen, mengumpamakan bahwa yang sanggup memiliki Batik OST bukan hanya mereka yang punya uang, tapi juga harus panjang sabar karena proses pembuatannya yang tak sebentar. Untuk itulah, pameran 100 tahun Batik Oey Soe Tjoen bertajuk “Keteguhan Hati Merawat Warisan” bakal diselenggarakan pada 25 Juli – 3 Agustus 2025 mendatang. Instalasi batik yang bertempat di Galeri Emiria Soenassa, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, ini jadi kesempatan untuk menikmati karya seni dari Rumah Batik Oey Soe Tjoen dari tiga generasi.
“Ini adalah perjalanan jiwa dari tiga generasi,” pungkas Damiana.
























Komentar