- Petrik Matanasi
- 3 Agu
- 3 menit membaca
Diperbarui: 4 Agu
SETAMAT dari Normaal School (sekolah guru) pada 1920, Achmad Niti Soemantri menjadi guru pada Standard School (sekolah dasar lima tahun) di Cipanas, Cianjur. Lima tahun mengabdi di sana, pad 1925 dia pindah mengajar ke Volkschool (Sekolah Rakyat, sekolah dasar tiga tahun) di Cianjur.
Namun, pemuda kelahiran Garut, 20 Agustus 1901 itu tak hanya menghabiskan waktunya untuk mengajar. Soemantri juga aktif di suratkabar mingguan Padjadjaran dan Matahari yang terbit di Bandung.
Soemantri terseret arus pergerakan nasional yang paling menggeliat di era 1920-an, menjadi jejaring dari Sarekat Rakyat dan Partai Komunis Indonesia (PKI) seperti para haji di Banten. Dalam Pemberontakan PKI 1926, Soemantri terseret pula. Algemeen Handelsblad dan De Indisch Courant edisi 8 Desember 1926 menyebut, Soemantri adalah “pemimpin kerusuhan di Cianjur dan Sukabumi.” Di dua tempat itu, pemberontakan PKI dianggap gagal.
Soemantri kemudian ke Bandung setelah gagal di Cianjur dan Sukabumi. Di Bandung dia mengambil alih pimpinan pemberontakan setempat.
Pemberontakan itu dengan cepat dibungkam aparat hukum kolonial. De Locomotief dan Bataviaasche Nieuwsblad tanggal 6 Desember 1926 memberitakan, Soemantri dan beberapa kawannya ditangkap pada 6 Desember 1926 sekitar pukul 7.30 pagi. Soemantri dan kawannya ditangkap polisi di dekat Jalan Masjid. Menurut De Locomotief edisi 8 Januari 1927, pada awal tahun itu Soemantri, Oeloeng Kartajaman, dan Mohamad Assari telah ditahanan polisi.
Nasib orang macam Soematri langsung diputuskan tidak lama setelah pemberontakan PKI 13 November 1926 di Jawa yang gagal itu. De Locomotief tanggal 11 Januari 1927 menyebut, Soemantri adalah ketua cabang PKI Cianjur sedangkan Oeloeng Kartajaman, berusia 23 tahun, adalah anggota PKI Cianjur. Mohammad Assaris, 26 tahun, sebelumnya bekerja sebagai operator telepon kelas satu dan dia adalah ketua PKI cabang Sukabumi. Ketiganya diputuskan pemerintah kolonial untuk dibuang ke Tanahmerah, Boven Digoel, Papua Selatan. Maka mereka pun disebut sebagai Digulis, orang buangan karena berseberangan dengan pemerintah kolonial.
Soemantri dibuang ke Digoel dengan ditemani istrinya, yang juga seorang guru sepertinya. De Nieuwe Vorstenlanden tanggal 11 April 1928 memberitakan, waktu di Boven Digoel itulah kemudian Hollandsch Inlandsch School (HIS) alias sekolah dasar tujuh tahun dengan bahasa Belanda, didirikan. Istri Soemantri menjadi salah satu gurunya.
“Pada akhir tahun 1927 sebuah sekolah H.I.S, dan sekolah Islam dibuka untuk anak-anak para tawanan di Kampung A dan Kampung C. Sekolah H.I.S. itu dipimpin oleh seorang Jawa tawanan bernama Hermawan Said, dan istri tawanan bernama Niti Soemantri sebagai salah seorang tenaga pengajar di situ, belakangan dipimpin oleh tawanan asal Minangkabau, bernama Datoek Batoeah. Guru menerima upa f.0,75 sehari sebagai tambahan untuk penerimaan bulanan tetap mereka,” tulis Margaret J. Kartomi dan Hersri Setiawan dalam Gamelan Digul di Balik Sosok Seorang Pejuang.
Soemantri tidak lama di Digoel, hanya sampai tahun 1931. De Locomotief tanggal 17 Desember 1930 mengabarkan, Soemantri termasuk 200 Digulis orang yang diperbolehkan meninggalkan Boven Digoel. Soemantri termasuk ke dalam delapan orang yang memberikan hadiah kepada ratu Belanda berupa peti kayu berukir berisi bingkai kayu sebuah potret ratu.
Setelah kembali ke Jawa Barat, Soemantri tak lagi terang-terangan melawan pemerintah. Buku Orang Indonesia Terkemoeka di Djawa (1944) menyebut Soemantri kembali jadi guru, kali ini di HIS Pasoendan dari 1932 hingga 1936. Namun dia tetap aktif dalam Pegoejoeban Pasoendan. Menurut Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch Indie tanggal 2 September 1939, Soemantri hadir dan berpidato dalam rapat propaganda peguyuban tersebut di Ujungberung.
Dari paguyuban tersebut, Soemantri lalu meluaskan sayap perjuangannya dari bidang pendidikan ke ke bidang ekonomi kerakyatan. Di bidang terakhir, Soemantri berjasa dalam koperasi.













Komentar