- Petrik Matanasi
- 11 Des 2023
- 3 menit membaca
KOLAM Makale di Tana Toraja merupakan tempat ikonik yang menawarkan keindahan pemandangan alam sekitar. Lokasi di mana Monumen Patung Lakipadada berada itu menjadi tempat favorit masyarakat setempat berolahraga di hari libur ataupun bersantai sambil menikmati aneka makanan yang dijajakan para pedagang. Damai suasananya.
Namun, siapa sangka di tempat damai dengan toleransi tinggi dari penduduknya itu pernah terjadi keributan yang sampai melibatkan penggunaan senjata api. Keributan yang terjadi ketika Indonesia baru seumur jagung itu justru datang dari orang-orang “bersaudara”.
Setelah tahun 1952, wilayah Tana Toraja “diamankan” oleh Kompi II Batalyon 720. Kala itu, Toraja sangat rentan dari gangguan gerombolan Kahar Muzakkar. Komandan Batalyon Infanteri 720 itu awalnya Kapten Andi Sose, sementara komandan kompi adalah Letnan Satu Frans Karangan. Batalyon ini sejarahnya terkait dengan Harimau Indonesia yang dipimpin Wolter Mongisidi.
Baca juga: Di Balik Kematian Wolter Mongisidi
Namun, keberadaan batalyon tersebut pada gilirannya justru menimbulkan ketidakamanan. Keluhan-keluhan orang Toraja kemudian muncul. Dalam Komandan Frans Karangan, Sili Suli menulis, ada oknum batalyon 720 yang menembaki toko milik Marthin Litha, ayah dari mantan anggota DPD RI Litha Brent dan terkait dengan sejarah PO Bis Litha. Selain itu, Kapten Andi Sose juga menyusahkan rakyat dengan memaksakan sebuah acara pasar malam. Bahkan ada isu, Andi Sose hendak memaksakan pembangunan masjid di Kolam Makale.
Anak buah Andi Sose dari Kompi II tidak menyukai tindakan Andi Sose tersebut. Dengan dukungan masyarakat Toraja, Kompi II kemudian melawan komandan mereka dengan sangat keras. Perang saudara yang terkenal sebagai Peristiwa Makale pun pecah pada 4 April 1953. Pada 11 April 1953, pasukan Frans Karangan sukses merebut kota Makale dari tangan pasukan pro Andi Sose.
“Saya sangat sedih atas terjadinya peristiwa antara sesama pejuang dan sesama TNI tersebut,” kata Andi Sose dalam 70 Tahun H. Andi Sose yang disusun Misbahuddin Achmad.
Sebagai hukumannya, pimpinan tentara menggeser Batalyon 720 keluar dari Toraja. Andi Sose juga dicopot dari posisinya.
“Frans Karangan dan pasukannya tetap tinggal di Tana Toraja selama beberapa bulan,” catat Diks Pasende dalam tulisannya di buku Antara Daerah dan Negara: Indonesia Tahun 1950-an, “Politik Nasional dan Penguasa Lokal di Tana Toraja”.
Menurut Sili Suli, Kompi II sempat ditempatkan sebentar di Puccue sekitar Oktober 1953 dan berhasil melumpuhkan 10 anggota gerombolan pengacau di sekitar jalan poros Pare-pare-Pangkajene. Sempat pula anggota kompi itu bertempur melawan pasukan Kahar Muzakkar sampai ke daerah Luwu.
“Kemampuan bertempur Kompi Frans diakui kesatuan TNI lainnya,” tulis Sili Suli.
Kemampuan itu membuat Kompi II pernah dibawa sampai ke Manado. Pada awal 1955, Kompi II akhirnya ditempatkan di Palu dan diperkuat lagi jumlah personel –sebanyak 725 personel– dan persenjataannya.
Tambahan personel itu termasuk yang berasal dari para mantan tenaga bantuan operasi dan mantan KNIL yang direkrut. Sejak awal, Kompi Frans Karangan sudah terdapat mantan KNIL, yang biasa ahli tempur. Di antaranya adalah Pembantu Letnan Samuel Tappang alias Pappang. Hasil perekrutan oleh Kompi Frans Karangan itu melahirkan Batalyon Infanteri 758 yang sempat dinamai Batalyon R.
Baca juga: Batalyon 711 vs Batalyon 719
Dari Palu, Batalyon II kemudian ditempatkan di Rantepao. Setelah berhasil ditugaskan melawan Permesta di Sulawesi Tengah, batalyon ini hendak dihadapkan dengan DI/TII pimpinan Kahar Muzakkar. Untuk itu, sebagai pasukan andalan di Kodam Hasanuddin, Batalyon 758 diberi pendidikan tambahan.
“Setelah menyelesaikan pendidikan raider di Depot Mawang, batalyon 758 berubah menjadi Batalyon Raider Hasanuddin,” catat Sili Suli.
Batalyon Raider Hasanuddin ini kemudian nomor diubah menjadi Batalyon 700 hingga sekarang. Markasnya berada di Tamalanrea, Makassar, tidak jauh dari kampus Universitas Hasanuddin.
Frans Karangan sempat menjadi komandan batalyon raider ini sebelum akhirnya jabatan komandan batalyon raider ini diserahkan kepada Kapten Pither Sumbu. Frans kemudian menjadi Asisten III di Kodam Hasanuddin. Beberapa mantan komandan batalyon ini ada yang kemudian menjadi jenderal, seperti Herman Bernhard Leopold Mantiri dan George Toisutta.*











Komentar