- Petrik Matanasi
- 8 Agu
- 3 menit membaca
HINGGA hari ini, kawasan Stadion Tambaksari masih nyaman untuk berolahrga. Taman Mundu (dulu Taman 10 November) yang berada di depannya menjadi tempat rekreasi rakyat banyak ketika sore. Penjual sepatu macam Abdoelmoeloed tempo dulu sama dengan penjual makanan di sini: sangat dibutuhkan.
Abdoelmoeloed merupakan Digulis yang punya ikatan dengan Tambaksari. Itu terjadi nyaris seabad lalu.
Setelah pelayaran panjangnya, Abdoelmoeloed (baca: Abdulmulud) memilih tidak kembali ke Tulungagung. Dirinya memilih bertahan di kota Surabaya, kota pertama yang diinjaknya setelah beberapa tahun tinggal di Papua, tepatnya di Kamp Tanahmerah, Boven Digoel.
Dulunya, Abdoelmoeloed cukup berpengaruh di Tulungagung. Menurut De Avondpost tanggal 14 Maret 1931, dulunya Abdoelmoeloed salah satu pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Tulungagung.
Di Surabaya, Abdoelmoeloed memilih menjadi borjuis kecil dengan “membuka toko sepatu di Tambaksari.” Pada 1931 itu, Tambaksari sudah ramai. Rumah-rumah sudah banyak berdiri di sana.
Salah satu penduduk yang tinggal di Tambaksari adalah Roekiyem Soepratijah, kakak kandung Wage Rudolf Supratman, beserta suaminya, Willem Mauritius van Eldik alias Sastrodihardjo (1882-1954). Menurut Momon Abdul Rohman dkk. dalam Wage Rudolf Supratman Sang Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya, pasangan Roekiyem-Sastrodihardjo sudah tinggal di sana pada 1924 dan dikunjungi Supratman. Sektiar tahun 1937, pemimpin Parindra di Surabaya, dr Soetomo, mengunjungi Supratman yang piawai bermain biola itu. Supratman tinggal di Tambaksari sekitar setahun, 1937-1938.
Tambaksari juga punya poros jalan bernama MULO Laan (Indonesia: Jalan MULO). MULO merupakan singkatan dari Meer Uitgebreid Lager Onderwijs atau sekolah setara SMP. MULO Laan kemudian menjadi Jalan Teratai. Selain punya sekolah, Tambaksari juga punya tempat berolahraga yang dalam pertandingan resminya membutuhkan sepatu, sepakbola.
Kawasan Tambaksari dulunya hutan, begitu yang diberitakan Nieuwe Courant tanggal 9 Juli 1949. De Indische Courant tanggal 25 April 1932 memberitakan, klub sepakbola HBS Soerabaja sekitar April 1932 memohon kepada pemerintah untuk diizinkan menyewa lahan di daerah Tambaksari demi kepentingan klub mereka, setidaknya untuk berlatih. Maka berdirilah HBS Stadion. Dulu, ada beberapa lapangan di situ.
“Jadi selain lapangan Tambaksari itu ada juga lapangan yang lainnya, sekarang sudah ada yang hilang, ada yang jadi lapangan tenis,” terang Rojil Bayu Aji, sejarawan olahraga dan pengajar Universitas Negeri Surabaya, kepada Historia.
Pade era 1940-an, Stadion HBS sudah lebih dikenal sebagai Stadion Tambaksari. Antara lain dibuktikan dengan pemberitaan Nieuwe Courant tanggal 16 Agustus 1949. Menurut berita itu, panitia persiapan Perayaan 17 Agustus hendak mengadakan pertemuan pada sekitar pukul 09.00 pagi tanggal 17 Agustus 1949 di Gedung Nasional di daerah Bubutan, lalu sekitar pukul 16.00 WIB mengadakan pertandingan sepakbola dan korfball (kasti) di Tambaksari. Kendati Surabaya masih menjadi daerah pendudukan tentara Belanda, pendukung kaum Republik yang kuat di dalam kota tak ciut nyali. Mereka dengan berani mengadakan peringatan hari Kemerdekaan Indonesia.
Setelah tentara pendudukan Belanda angkat kaki dari Surabaya, orang Indonesia mengambil alih penguasaan administrasinya. Stadion Tambaksari tak hanya digunakan untuk laga sepakbola tapi juga kerap untuk rapat umum. Niuewe Courant tanggal 22 Mei 1950 memberitakan, pada Sabtu (21 Mei 1950) sore Stadion Tambaksari dijadikan tempat rapat umum dengan pembicaranya mantan komandan Badan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI) bersama Kolonel Sungkono. Lalu, pada awal tahun 1951, sebagaimana diberitakan Java Bode edisi 25 Januari 1951, sebuah rapat umum diadakan oleh Panitia Irian untuk mengambilalih Irian yang masih diduduki Belanda. Semangat kaum nasionalis begitu kencang di Stadion Tambaksari. Tak heran jika stadion ini dinamai Gelora 10 November.
Pentingnya Stadion Tambaksari membuat otoritas Indonesia setempat lalu berusaha dominan di stadion ini. Koran Java Bode tanggal 31 Maret 1952 memberitakan, Dewan Kota Surabaya mengusulkan agar sewa atas stadion Tambaksari tak diberikan lagi kepada klub HBS Soerabaja.
Pada 1952, Stadion Tambaksari menjadi tempat diadakannya Pekan Olahraga Nasional (PON) ke-2. Hampir bersamaan, klub kebanggaan warga Surabaya, Persebaya Surabaya, menjadikan Tambaksari sebagai “rumahnya” hingga beberapa dekade ke depan.
“Akhirnya menjadi kebanggaan Surabaya,” ujar Rojil Bayu Aji mengomentari Lapangan Tambaksari, yang belakangan juga jadi venue acara-acara musik, terutama rock, hingga menahbiskan Surabaya menjadi “Kota Rock”.*













Nikmati nonton bola langsung dengan kualitas HD secara gratis di Live TV Online. Saksikan siaran dari Liga Inggris, La Liga, Piala Dunia, serta berita sepak bola terkini. Jangan lewatkan pertandingan seru, akses sekarang juga di [https://livetvonline.id/](https://livetvonline.id/).
Artikel ini sangat informatif dan menggugah, berhasil menggambarkan peran penting Stadion Tambaksari dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia dengan bahasa yang jelas dan padat. Tulisan yang menginspirasi!