- Petrik Matanasi
- 2 Okt
- 4 menit membaca
SEBUAH Fakultas Sastra, tanpa universitas, dibentuk di kompleks gedung Recht Hogeschool (Sekolah Tinggi Hukum) Batavia, sebelah barat Koningsplein (kini Lapangan Monas) setelah Perang Dunia II mulai di Eropa. Beberapa doktor di Batavia pun dijadikan guru besar di dalamnya. Pada 4 Desember 1940, Faculteit der Letteren en Wijsbegeerte (Fakultas Sastra dan Humaniora) itu dibuka.
Recht Hogeschool lebih dulu ada di kompleks gedung itu. Recht Hogeschool, yang kadang disingkat RH atau RHS, adalah pengembangan dari Recht School yang setara SMK, tapi mencetak pegawai kehakiman yang di antaranya menjadi hakim. Recht School sebelumnya berada di Merdeka Selatan. Sekolah tinggi hukum ini tak hanya mencetak pengacara atau ahli hukum, beberapa bekas mahasiswa di sini, baik yang lulus maupun berhenti di tengah jalan, terlibat dalam pergerakan nasional Indonesia.
Uang kuliahnya 300 gulden setahun dan boleh dicicil empat kali. Sekitar 40 orang pun menjadi mahasiswa pertama dari fakultas itu. Mahasiswanya oleh Profesor August Johan Bernet Kempers (1906-1992) pun “dimanjakan” dengan banyak bacaan. Sebuah ruang perpustakaan sederhana berdinding gedek (bambu) dibangun di sana. Buku-buku koleksi museum di gedung sebelah kampus hukum itu pun dipindah sebagian. Selain juga membeli buku-buku baru. Perpustakaan itu buka sampai malam.
Tentara Fasis Tak Suka Buku
Namun perang mengancam Jawa dan pulau-pulau lain di Nusantara. Perpustakaan kecil berdinding bambu itu pun isinya lalu dipindahkan ke ruang dosen.
Sementara, latihan militer banyak diberikan. Milisi lokal bermacam bentuk pun diadakan. Tak terkecuali Profesor Bernet Kempers yang kadang harus memberi kuliah Sejarah Kebudayaan Hindia, ikut latihan dengan seragam mirip Hansip.
Meski tentara Jepang sudah akan memasuki Jakarta, perkuliahan terus dilanjutkan. Kempers sempat memindahkan sebagian buku ke museum saat itu.
Setelah Jakarta menjadi kota terbuka yang ditinggalkan tentara Belanda, tentara Jepang masuk dan menguasai Jakarta. Banyak gedung dikuasainya. Tak terkecuali gedung kampus hukum, yang kini alamatnya adalah Jalan Merdeka Barat Nomor 13 Jakarta.
Oleh Jepang, gedung itu tak hendak dijadikan sekolah lagi. Pemanfaatannya justru untuk kepantingan lain.
“Saya dengar bahwa ketika gedung itu diduduki, beberapa serdadu Jepang melempar-lemparkan buku-buku dari perpustakaan kami yang diusahakan oleh Prof. Bernet Kempers ke luar jendela,” aku Setyawati Suleiman, salah satu arkeolog perempuan Indonesia awal, dalam Untuk Bapak Guru: Persembahan Untuk Memperingati 89 tahun Prof. Dr. AJ Bernet Kempers.
Orang terpelajar jelas prihatin dengan kejadian itu. Istri dari Dr. de Jong, dosen fakultas sastra, yang juga ikut mengajar bahasa Belanda Abad ke-17 pun ikut risih. Dia berusaha menyelamatkan buku itu dari sikap barbar para tentara Jepang tadi. Namun itu dihalangi seorang Indonesia yang juga mengajar di kampus itu.
“Nyonya, ingat nyawa Nyonya,” cegah Dr Prijono (1905-1969), yang paham serdadu bawahan yang dilihatnya bukan hanya tak bisa berpikir jernih tapi juga bisa serampangan membunuh orang-orang sipil tak bersenjata yang menghalangi langkahnya.
Bukan hanya Bernet Kampers yang tak dihargai kemanusiaannya di kamp tawanan perang Jepang, buku-buku yang dikumpulkannya pun tak diperlakukan dengan baik oleh tentara Jepang. Waktu tentara Jepang baru masuk Jakarta, buku-buku itu masih ada di rak-rak masing-masing. Setelah tentara Jepang memasuki gedung-gedung, buku-buku jadi korban sikap barbar mereka.
“Buku-buku tersebut oleh penghuni yang baru (yakni Kempeitai atau Polisi Rahasia Jepang) dilempar-lempar keluar melalui jendela-jendela mereka di ruangan panjang yang berbatasan dengan gedung museum,” terang Koentjaraningrat dalam Jembatan Antar Generasi.
Perpustaakan Museum Gajah berada di bagian belakang museum. Di situlah Profesor Jawa Kuno Poerbatjaraka (1884-1964) berkantor. Beberapa pejabat Jepang, tapi bukan Kempeitai pun, berkantor di situ. Koentjaraningrat yang kala itu baru lulus Sekolah Menengah Tinggi (SMT), kini setara SMA, dipekerjakan di perpustakaan museum itu. Koentjaraningrat melihat para pejabat Jepang itu cukup sopan dan jauh berbeda dari para perwira Kempeitai di gedung sebelah. Koentjaraningrat sendiri telibat dalam penyelamatan buku-buku yang dilemparkan Kempeitai dari gedung sebelah itu.
Jeritan Dari Kementerian Pertahanan
Meski jauh-jauh datang ke Hindia Belanda untuk bekerja, kecintaan pada seni dan kebudayaan membuat sebagian orang Eropa di Batavia tetap “menghidupkan” cinta tersebut. Dengan banyaknya mereka yang punya hobi sama itu maka kemudian muncul perhimpunan bernama Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.
Lembaga tersebut kemudian membangun museum dan perpustakaan di Jalan Majapahit 3. Pada 1868 museumnya dipindah ke Jalan Merdeka Selatan 12 yang masih dipakai sampai sekarang sebagai Musuem Nasional alias Museum Gajah. Nama alias muncul dari adanya patung gajah perunggu di halaman depan yang merupakan hadiah Raja Thailand Chulalongkorn saat berkunjung pada 1871.
Perhatian terhadap kebudayaan yang tinggi di masa Hindia Belanda itu berkurang drastis pada saat pendudukan Jepang. Tentara ke-16 Angkatan Darat Kekaisaran Jepang yang memerintah Jawa tak memberikan pendidikan menarik. Sekolah-sekolah yang dibuka kemudian dijadikan sebagai alat mendukung perang yang dilancarkan Jepang di front Pasifik. Rakyat Indonesia hendak diarahkan militer Jepang, yang mengeklaim “saudara tua”, sebagai pendukung perang tersebut.
“Kami semua kecewa bahwa pemerintah pendudukan Jepang tidak mau mengadakan sekolah-sekolah untuk humaniora,” aku Setyawati Suleiman, bekas mahasiswa fakultas sastra di sebelah barat Lapangan Gambir itu.
Museum Gajah kemudian mengadakan kursus bahasa Jawa. Pengajarnya Dr. Poerbatjaraka dan lainnya. Membaca di perpustakaan Museum Gajah pun juga masih diperbolehkan, namun membaca di sana tidak lagi setenang seperti sebelum tentara Jepang datang.
“Saya dengar dari teman-teman bahwa membaca di ruang baca museum bukan hal yang menyenangkan karena seringkali terdengar teriakan orang-orang yang disiksa Kempeitai di bekas ruangan para profesor,” terang Setiyawati.
Kempeitai menjadikan kantornya tidak hanya untuk mengurusi masalah administrasi saja, melainkan juga tempat menggali informasi dengan metode yang sangat kejam, menyiksa. Siksaan-siksaan itu melahirkan jeritan keras yang suaranya menembus gedung sebelah.
Mereka yang diperiksa itu berasal dari bermacam-macam golongan sepanjang mereka mencurigakan bagi tentara Jepang. Ketika seseorang mendengar koleganya tertangkap dan dibawa Kempeitai ke gedung itu, kengerian dari gedung itu langsung terbayang.
“Jeritan orang-orang yang disiksa di sana oleh para anggota Kempeitai membuat pilu hati setiap orang yang mendengarnya,” kenang antroplog cum budayawan Koentjaraningrat.
Koentjaraningrat bekerja sekitar tiga tahun di perpustakaan museum itu. Hampir setiap hari ada yang menjerit dari gedung sebelah itu, menurutnya.
Namun penyiksaan tak hanya didengar mereka yang suka membaca di museum tersebut. Orang-orang yang sekadar berkunjung saja pun pernah mendengar jeritan dari gedung sebelah itu.
“Kekejaman Jepang kudengar sendiri pada waktu berkunjung Museum Gajah,” kenang Lasmidjah Hardi, perempuan aktivis, dalam Lasmidjah Hardi, Perjalanan Tiga Zaman.










Komentar