- Petrik Matanasi
- 31 Jul
- 2 menit membaca
BURUKNYA reputasi para pengusaha Indonesia yang mengekspor hasil bumi membuat banyak perusahaan Belanda menghentikan impor komoditas itu dari Indonesia. Mereka kesal, banyak barang yang diimpor ternyata isinya berkualitas buruk, beberapa bahkan berisi sampah.
Kondisi yang terjadi pada tahun 1964 itu membuat Ibrahim Tambunan alias Bram Tambunan, pengusaha berjuluk “Raja Ban”, prihatin. Sebagai bentuk kepeduliannya, dia lalu menemui Presiden Sukarno.
“Mereka tiba pada kesimpulan bahwa kita harus mempunyai kantor di Belanda dan berbadan hukum Belanda. Kantor inilah yang akan mengimpor hasil bumi dari Indonesia,” catat Kwik Kian Gie dalam Menelusuri Zaman.
Mendapat dukungan Presiden Sukarno, Bram pun putar otak. Dalam pikirannya, dia akan meminta Ferry Sonneville untuk membuka kantor dagang tersebut di Amsterdam sekaligus dijadikan direkturnya.
Bram kenal siapa Ferry di luar lapangan bulutangkis meski nama Ferry besar dari bulutangkis. Ferry sarjana ekonomi jebolan Belanda. Tak main-main, dia kuliah di Nederlandsch Economiesche Hogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi Belanda), Rotterdam, tempat dulu Bung Hatta kuliah. Di kampus itu Ferry bersahabat dengan teman sesama mahasiswa asal Jawa bernama Kwik Kian Gie.
Dalam soal akademis, Ferry bukanlah mahasiswa biasa. Menurut Wisnu Subagyo dalam Ferry Sonneville, Karya dan Pengabdiannya, Ferry adalah mahasiswa cerdas. Tak heran bila dia meraih sarjana ekonomi dengan gelar Doktorandus (Drs.) pada 1963. Hanya saja, sepulang ke Indonesia Ferry lebih menseriusi dunia olahraga sehingga dia tak dikenal di dunia bisnis seperti Kwik kawannya.
Bram tahu Ferry juga kenal dengan Sukarno. Bukan karena Ferry menjadi instruktur jiujitsu untuk kepolisian dan masyarakat umum, Sukarno mengenal Ferry sebagai pahlawan bulutangkis Indonesia. Ferry menjadi bagian tim bulutangkis Indonesia yang membuat Indonesia untuk pertama kalinya menjuarai Thomas Cup di tahun 1958. Ferry juga bagian dari tim yang menjuarai Thomas Cup berikutnya, pada 1961 dan 1964. Selain itu, Ferry juga berkali-kali menjadi juara berbagai turnamen dunia bulutangkis.
Berbekal itulah Bram lalu menghadap Presiden Sukarno. Dia mengusulkan nama Ferry, yang sarjana ekonomi lulusan Belanda, untuk mengurus pendirian sekaligus memimpin kantor dagang di Amsterdam yang telah disepakatinya dengan presiden.
Namun, itu ternyata ide buruk di mata Sukarno. Sukarno marah dan tak setuju.
“Bagaimana dia bisa berpikir pahlawan dan tokoh nasional dalam bidang olahraga mau dijadikan pegaawai untuk berdagang,” kata Sukarno kepada Bram seperti dicatat Kwik.
Sukarno tidak setuju menjadikan Ferry sebagai pegawai atau berdagang meski jabatan yang akan diembannya adalah direktur yang memimpin perusahaan dagang. Sukarno tampaknya masih terpengaruh pikiran priyayi Jawa bahwa berdagang merupakan hal yang harus dihindari priyayi setelah Indonesia merdeka.
"Berbisnis dalam arti berdagang atau usaha komersial secara dagang mencari untung, itu pantangan nenek moyang,” catat Sujamto dalam Refleksi Budaya Jawa: dalam Pemerintahan dan Pembangunan.
Mengetahui namanya telah ditolak Sukarno, Ferry akhirnya mengusulkan kepada Bram agar teman kuliahnya, Kwik, saja yang ditunjuk melakukan tugas itu. Usul itu diterima Bram yang kemudian mendatangi Kwik di rumahnya. Kwik diberi 30.000 gulden untuk pergi ke Amsterdam dan mengurus izin pembentukan perusahaan berbadan hukum Naamloze Vennootschap (NV) atau Perseroan Terbatas (PT) dengan nama NV Handelsonderneming Ipilo. Urusan pun beres. Dalam hitungan bulan, teh, kopi, karet, gaplek, temulawak dan lain-lain bisa diekspor lagi ke Belanda lewat perusahaan yang dipimpin Kwik dari 1965-1970 itu.
Sementara Kwik sukses menjadi direktur di Amsterdam, Ferry tetap di Jakarta dan terus menseriusi bulutangkis hingga sukses dalam prestasi. Mantan ketua umum Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) itu namanya melegenda di dunia bulutangkis.











terima kasih , sejarah yang luput untuk dibaca