- Petrik Matanasi
- 20 menit yang lalu
- 2 menit membaca
INDUSTRI musik Indonesia menggeliat setelah 1969. Setelah Koes Plus keluar dari kemalangannya lewat album Dheg Dheg Plus, pada 1970 band yang digawangi Koeswoyo bersaudara itu keluar-masuk studio rekaman hingga menghasilkan puluhan album di dekade 1970-an. Beragam genre, mulai dari pop, Jawa, melayu hingga rohani Kristen gigarapnya. Koes Plus punya Tonny Koeswoyo, yang tak hanya bisa memimpin tapi juga mampu membuat lagu yang laris manis. Namun, era tersebut tak hanya milik Koes Plus. Nama-nama lain bermunculan dan ikut berkibar pula. Antara lain D'Lloyd, band dari sebuah perusahaan pelayaran dengan nama mirip.
Djakarta Lloyd adalah perusahaan pelayaran nasional yang didirikan beberapa pejuang kemerdekaan yang kritis seperti Kolonel Darwis Djamin dan pengacara Mr. Budhyarto Martoatmodjo. Seperti perusahaan dan lembaga negara sebelum era 1970-an, perusahaan ini pun punya band. Anggotanya lebih lebih dari empat orang.
Ketika Koes Plus yang baru muncul 1969 terpuruk, perusahaan tadi baru memulai band mereka. Mereka menerima seorang pemuda dari Ambon untuk mengelola band perusahaan tersebut. Band itu lalu dinamai berdasarkan nama perusahaan: D’Lloyd.
Pemuda Ambon yang mengelola D'Lloyd tadi tapi tak langsung bergabung. Dia hanya mengelola bak seorang manajer. Bartje van Houten, namanya. Dia sudah merantau di Jakarta pada 1967. Ketika baru tiba di Jakarta, dia bermain gitar melodi untuk band Sari Agung. Selain pandai bermain gitar, Bartje juga pandai membuat lagu.
Rekan-rekan Bartje kontribusinya tak kalah penting di band. Ada Andre Gultom yang memainkan flute (seruling logam) dan saxophone selain bernyanyi; Budiman Pulungan yang memainkan keyboard; Sangkan Panggabean alias Papang pada bass; Chairoel Daoed pada drum; dan Syamsuar Hasyim alias Syam yang vokalis. Mereka membuat lapisan suara pada lagu-lagu yang dimainkan D’Lloyd menjadi tebal, seperti kebanyakan band era itu.
Syam punya suara yang sesuai tren zaman itu, cocok untuk menyanyikan lagu berlanggam Melayu. Era 1970-an itu, musik pop melayu punya banyak pendengar sama seperti musik pop Jawa dan lain-lain.
Suatu kali, Bartje menulis lagu tentang seorang yang sedih ditinggal kekasihnya. Refrein lagu itu, “kasihnya telah pergi, meninggalkan titik noda,” belakangan lekat dengan ingatan banyak orang.
Sebagian orang menafsirkan refrain tadi bahwa yang ditinggalkan adalah seorang perempuan dalam kondisi sudah ternoda atau tidak perawan lagi. Di era itu, keperawanan seorang gadis masih dipandang penting. Era 1970-an juga marak dengan peredaran dan penggunaan obat terlarang seperti ganja di samping pergaulan bebas muda-mudi. Bartje menangkap permasalahan anak muda itu dan menuangkannya dalam lagu berjudul "Titik Noda". Bersama sembilan lagu lain dalam album D'Lloyd Volume I, lagu "Titik Noda" direkam pada 1970 di bawah label Sakura. Lagu ini menjadi lagu andalan D’lloyd.
“Pemuda berusia 23 tahun inilah yang berhasil mengangkat nama D’Lloyd melalui ciptaannya Titik Noda,” kabar Suara Karya tanggal 29 Januari 1974.
Pemuda 23 tahun yang dimaksud adalah Bartje. Setelah Volume I dirilis, album lain dipersiapkan D'Lloyd sambil menyanggupi undangan manggung di Jakarta dan kota-kota lain.
Kecakapan Bartje tak hanya dikenal karena "Titik Noda" saja. "Mengapa Harus Jumpa" dari album Volume 12 dan "Apa Salah dan Dosaku" dari album Volume 6 pun ciptaan Bartje.
Namun Bartje bukan satu-satunya pencipta lagu di D'Lloyd. Dalam lagu-lagu berirama Melayu, peran Sam cukup besar. Lagu pop melayu terkenal D’Lloyd adalah "Keagungan Tuhan". Pernah ada film dengan judul sama pada 1980, dan lagu "Keagungan Tuhan" itu dinyanyikan penyanyi cilik Puput Novel. Lagu D’Lloyd lain yang terkenal adalah "Hidup Di Bui", yang pernah diributkan sebagian pihak.*









