top of page

Sejarah Indonesia

Tukang Catut Dan Lintah Darat Musuh

Tukang Catut dan Lintah Darat Musuh Kemerdekaan

Ada beberapa profesi yang mengganggu kemerdekaan Indonesia, seperti lintah darat dan tukang catut. Mempersulit kehidupan ekonomi rakyat.

7 Agustus 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Elite pengusaha pribumi berkumpul di pabrik tekstil Kantjil Mas. (Repro “The Formation of the Pribumi Business Elite in Indonesia, 1930s-1940s”).

WAKTU Indonesia menyatakan diri merdeka pada 17 Agustus 1945, Haji Kiagoos Abdul Ghany Azis amatlah senang. Sebagai orang yang urusan perut dan periuknya tak terikat dengan pemerintah kolonial, pilihannya adalah Republik Indonesia.

 

Sebagai orang yang punya jatidiri, Ghany Azis amat memperhatikan harga diri. Maka dirinya tak bisa ikut-ikutan “fomo” (Fear of Missing Out) jadi tentara seperti kebanyakan orang. Dia masih tetap ingin menjadi dirinya sendiri: pedagang.

 

“Saya tidak mau mengumpulkan pemuda untuk membentuk pasukan, lalu mengangkat diri sebagai mayor, seperti beberapa orang yang saya kenal, tetapi kemudian malah aktif menjadi tukang catut,” tegas Haji Kiagoos Abdul Ghany Azis dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1983-1984.

 

Seorang komandan di zaman perang biasanya punya kuasa besar pada sebuah wilayah. Kuasa itu tak hanya meliputi teknis militer, namun juga dalam hal perdagangan. Besarnya kekuasaan seorang komandan itu acapkali dimanfaatkannya untuk berdagang dengan curang atau mencatut.

 

Istilah “tukang catut” sangat jarang ditemui sekarang kendati praktiknya masih eksis. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, mencatut adalah memperdagangkan (sesuatu) dengan cara yang tidak sewajarnya dan mengambil untung sebanyak-banyaknya (seperti memperdagangkan karcis bioskop dengan harga lebih daripada harga resmi).

 

“Cara berdagang semacam ini khas pada masa peralihan dari keadaan ke masa damai. Dunia perdagangan dicirikan oleh adanya black market atau pasar gelap, dan biasanya barnag yang diperjual-belikan itu belum dapat diperoleh di pasaran,” terang Priguna Sidharta dalam memoarnya, Seorang Dokter dari Losarang.

 

Keberadaan pasar gelap dan tukang catut tentu merugikan masyarakat. Masyarakat harus membayar mahal dibandingkan di pasar biasa, namun di pasar biasa barang yang mereka butuhkan tidak ada.

 

Tukang catut jelas mengacaukan dunia perdagangan Indonesia. Para pedagang sungguhan tentu juga dirugikan. Menurut Ghany Azis, ada beda antara pedagang sejati dengan tukang catut.

 

“Bagi saya, catut bukan perdagangan, juga bukan dagang spekulasi yang halal, melainkan suatu kejahatan dalam sosial ekonomi yang merugikan rakyat dan negara,” kata Ghany Azis pada awal pidato radionya di depan anggota Persatuan Tenaga Ekonomi (PTE) pada 1947. “Sebagai pedagang, kita tidak hanya mempunyai tanggungjawab kepada usaha yang kita jalankan tetapi juga kita bertanggungjawab kepada kemakmuran negara dan rakyat.”

 

Pasar gelap telah menjadi tembok pemisah antara pedagang dari Indonesia dengan luar negeri, begitu menurut Ghany Azis. Pasar gelap mirip dengan blokade ekonomi yang dijalankan Belanda terhadap Republik Indonesia, menghambat perdagangan luar negeri Indonesia. Perekonomian Republik Indonesia yang baru merdeka tentu saja terganggu.


Perdagangan gelap, menurut Ghany Azis, juga dianggap telah menyuburkan korupsi. Ghany Azis menaruh curiga pada golongan opurtunis yang mendirikan badan perusahaan niaga atas restu pemerintah. Mereka memperdagangkan ke luar negeri apa yang menjadi kebutuhan rakyat di dalam negeri. Perusahaan itu umumnya cepat mandek karena tidak bisa memelihara sumber barang dagangannya.

 

“Dalam perjalanan saya ke daerah-daerah yang kaya di beberapa buah desa di Keresidenan Kedu, saya melihat lapangan bahan untuk eksport sebetulnya luas sekali, yaitu hasil perkebunan kepunyaan rakyat, misalnya tembakau, vanila, pinang, kapuk, kakao dan lainnya. Tetetapi semua ini tidak dapat kita terima demikian saja dari rakyat, karena rakyat di situ terikat oleh sistem ijon  dan ngoyot, yaitu satu sistem yang menyebabkan rakyat menjual hasil tanahnya sebelum hasil itu dipungut,” terang Ghany Azis.

 

Sistem-sistem itu (ijon dan ngoyot) dijalankan para lintah darat.  Sistem-sistem itu tak hanya dijalankan di daerah Kedu, Jawa Tengah saja tapi juga daerah-daerah lain. Rakyat petani yang kena ijon dan ngoyot rawan menjadi dekat dengan kemiskinan dan kelaparan. Jadi bersama tukang catut, tukang ijon alias lintah darat itu menjadi musuh bagi rakyat banyak di awal kemerdekaan. Menurut Ghany Azis, perdagangan ekspor-impor akan lancar jika penghidupan rakyat serta sistem produknya diperbaiki dan ditingkatkan.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Banjir Aceh dan Tapanuli Tempo Dulu

Banjir Aceh dan Tapanuli Tempo Dulu

Sumatra Utara dan Aceh dulu juga pernah dilanda banjir parah. Penyebabnya sama-sama penebangan hutan.
bottom of page