- Martin Sitompul

- 11 Okt
- 3 menit membaca
HANYA ada lima dokter bedah di Jawa pada awal 1940-an. Tiga orang dari Batavia, dua lainnya di Surabaya. Ini membuktikan keahlian dokter bedah saat itu masih begitu langka dan tentunya dibayar dengan harga mahal. Dokter bedah lumrahnya berperan penting dalam tindakan operasi pasien, baik itu operasi kecil maupun besar.
“Ketika itu jumlah dokter umum masih sangat jarang, apalagi dokter spesialis. Kalau tidak salah, dokter ahli bedah hanya ada lima orang. Tiga dari Jakarta, termasuk saya, dua dari Surabaya,” tutur Soebandrio dalam Kesaksianku Tentang G30S.
Soebandrio adalah salah satu dari lima dokter bedah di Jawa menjelang masa pendudukan Jepang. Anak kedua wedana Kepanjen, Malang ini menyelesaikan studinya di Sekolah Tinggi Kedokteran atau Geneeskundige Hoogeschool te Batavia (GHS) di Salemba, Jakarta. GHS yang berdiri pada 1927 ini merupakan lanjutan dari Sekolah Dokter Jawa (STOVIA) yang telah berdiri sejak 1851. Setelah menyelesaikan pendidikan kedokteran, Soebandrio mengambil spesialis bedah perut.
Dalam memoarnya yang terbit pada 2001, pria kelahiran 1914 itu mengaku telah mengantongi gelar dokter bedah pada 1938. Namun, direktori profil Kami Perkenalkan terbitan Kementerian Penerangan pada 1954 menyebutkan bahwa Soebandrio menyelesaikan pendidikan kedokteran pada 1942. Setamatnya dari GHS, Soebandrio dipekerjakan sebagai asisten kamar bedah Centraal Burgerlijk Ziekenhuis (CBZ) atau Rumah Sakit Umum Pusat Batavia yang kini menjadi RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM).
“Di zaman pendudukan Jepang, ia dikeluarkan dari rumah sakit tersebut karena dianggap menjalankan sikap permusuhan terhadap pemerintah Jepang. Ia pindah ke Semarang dan membuka poliklinik partikelir,” demikian lansir Kami Perkenalkan.
Kendati profesinya hanya dikerjakan segelintir orang dan bergaji lebih dari cukup, Soebandrio tak kerasan menjadi dokter ahli bedah. Soebandrio mulai ikut-ikutan politik pergerakan kemerdekaan Indonesia menjelang akhir pendudukan Jepang. Setelah Indonesia merdeka, Soebandrio bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dipimpin Sutan Sjahrir –saat itu menjadi perdana menteri.
Soebandrio, sebagaimana diulas Ganis Harsono dalam Cakrawala Politik Era Sukarno, masuk ke dalam alas ketiga piramida penopang perjuangan kemerdekaan Indonesia. Mereka yang tergolong dalam kelompok ini adalah orang-orang bertitel dari sekolah-sekolah tinggi Belanda, atau orang-orang yang self-made men yang berkat bakat dan kemampuannya dapat menduduki posisi cukup penting di dalam ataupun di luar pemerintahan.
Sementara itu, Adam Malik, tokoh Angkatan 45, dalam otobiografinya menyebut Soebandrio sebagai dokter ahli bedah yang muda, gesit, lincah, dan pandai bersantai. Secara amat akrab, Soebandrio biasa dipanggil oleh anak-anak muda masa itu dengan nama singkatan: Ban atau Mas Ban.
“Tetapi tak pernah dipanggil Bung Ban,” ungkap Malik dalam Mengabdi Republik Jilid II: Angkatan 45.
Beberapa pekan sesudah proklamasi kemerdekaan berkumandang, seperti dicatat dalam buku Republik Indonesia: Jawa Tengah, berdirilah Dinas Penerangan Propinsi Jawa Tengah di Semarang di bawah pimpinan Soebandrio. Dinas ini dibangun secara swadaya oleh Soebandrio dibantu oleh beberapa pegawai. Soebandrio juga dibantu oleh istrinya yang juga seorang dokter, Hurustiati. Beberapa orang inilah yang mula-mula menggerakkan aktivitas penerangan di Semarang.
Aktivitas Soebandrio dalam politik dan pemerintahan menyebabkan profesinya sebagai dokter bedah terbengkalai. Soebandrio sendiri tak ragu dalam memilih. Dia memutuskan mengundurkan diri dari profesi kedokteran.
“Sejak mengundurkan diri dari RS, saya tidak pernah praktek dokter pribadi. Beberapa teman menyayangkan bahwa saya tidak buka praktek. Sebab, saat itu jumlah dokter masih sedikit.Tetapi, karena sudah menjadi niat saya untuk terjun ke dalam kancah politik, saya tinggalkan bidang pekerjaan yang sebenarnya sesuai dengan bidang pendidikan saya itu,” kata Soebandrio.
Pelan-pelan, Soebandrio menapaki karier politiknya hingga menjadi pejabat tinggi negara. Mulai dari sekretaris jenderal (sekjen) Kementerian Penerangan, Soebandrio kemudian ditunjuk menjadi duta besar Indonesia pertama untuk Inggris dan Uni Soviet. Sekembalinya dari luar negeri, Soebandrio ditunjuk menjadi sekjen Departemen Luar Negeri hingga kemudian menjadi menteri luar negeri pada akhir 1950.
Ketika menjabat menteri luar negeri, kira-kira lebih dari sepuluh tahun Soebandrio sudah meninggalkan pekerjaan awalnya sebagai dokter bedah. Kendati demikian, kemampuan klinis Soebandrio sebagai mantan dokter bedah tak sepenuhnya hilang. Sebab, setelah menjadi pejabat, ia kerap dipanggil untuk membantu menyunat anak-anak pejabat lain. Dipercayakan sebagai tukang khitan anak pejabat, menurut Soebandrio, karena para pejabat itu pada umumnya tahu latar belakangnya sebagai dokter ahli bedah. Dan Soebandrio bersedia melakukan khitan secara probono alias cuma-cuma.
Pada dekade 1960-an, Soebandrio sudah tidak dikenal lagi sebagai dokter. Ia pun sudah menanggalkan gelar dokter (dr.) di belakang namanya. Pada 1962, Soebandrio menerima gelar doktor kehormatan dari Universitas Airlangga atas kiprahnya di bidang politik untuk Republik Indonesia. Sejak saat itu, Soebandrio lebih dikenal dengan sebutan Dr. Soebandrio.*













Komentar