top of page

Sejarah Indonesia

Wartawan Historia Raih Penghargaan Dari Kementerian Pendidikan Dan Kebudayaan

Wartawan Historia Raih Penghargaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Tulisan wartawan Historia tentang kegilaan para tokoh bangsa dalam membaca meraih penghargaan dalam lomba jurnalistik pendidikan keluarga.

5 November 2019

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Martin Sitompul (kedua dari kanan), reporter Historia menjadi salah satu penerima penghargaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam malam Apresiasi Pendidikan Keluarga 2019.

Martin Sitompul, reporter Historia.id, memperoleh penghargaan dari Direktorat Pembinaan Pendidikan Keluarga, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam malam “Apresiasi Pendidikan Keluarga Tahun 2019” di Balai Kartini, Jakarta (6/11/2019).


Penghargaan itu diberikan setelah Martin menulis artikel berjudul “Gila Baca Pendiri Bangsa”. Melalui artikel ini, Martin mengangkat kebiasaan membaca buku para tokoh pergerakan nasional seperti Sukarno, Hatta, RA Kartini, Abdul Rivai, HOS Tjokroaminoto, dan Tan Malaka.


Artikel Martin berangkat dari diskusi publik bertajuk “Literasi Kita, Masa Depan Bangsa” di Perpustakaan Nasional, Jakarta (31/07/2019). Tapi Martin tak berhenti hanya mengutip keterangan narasumber diskusi.


Martin mengatakan, dia menelusuri kembali biografi dan sumber sejarah lain tentang kegemaran tokoh-tokoh pergerakan nasional terhadap buku. Dia menemukan pengakuan unik Hatta tentang buku. Dalam surat bertanggal 20 April 1934, Hatta menulis dia bisa hidup di mana saja asalkan bersama buku. Sekalipun itu di penjara. Ketika itu, Hatta sedang menjalani hukuman di Penjara Glodok, Batavia. Martin menemukan surat itu dimuat oleh suratkabar Daulat Ra’jat, 10 Mei 1934.


Dari kebiasaan membaca buku, para tokoh pergerakan nasional mampu merangkai gagasannya sendiri tentang beragam hal: kemanusiaan, kemerdekaan, agama, ideologi, politik, filsafat, emansipasi wanita, dan identitas. Inilah alasan Martin mengambil tema tentang kebiasaan membaca tokoh pergerakan nasional untuk artikelnya.


“Secara khusus (artikel ini) mengulik bagaimana minat dan budaya membaca membentuk gagasan para pendiri bangsa,” kata Martin. Tokoh pergerakan nasional juga mengenal dunia dan pikiran-pikiran terhebat dari membaca buku. “Kendati hidup di dunia kolonial, Sukarno telah membayangkan akan kemerdekaan bangsanya dan menjadi bangsa yang digdaya,” tulis Martin.


Sementara itu, HOS Tjokroaminoto, pendiri Sarekat Islam sekaligus salah satu guru politik Sukarno, berupaya mengawinkan gagasan sosialisme dengan nilai-nilai Islam setelah melahap banyak buku. Menurut Martin, eksplorasi gagasan itu bisa mewujud sebab Tjokro sama sekali tidak alergi dengan buku-buku beraliran kiri.


Sikap Tjokro ini bertolak belakang dengan sikap sekelompok masyarakat hari ini. Razia terhadap buku-buku tanpa membacanya terlebih dulu semakin merajalela di beberapa kota Indonesia. Bagi Martin, ini cukup aneh. Seperti ada keterputusan kultur literasi di masyarakat.


“Padahal kultur literasi ini sudah disemai oleh para pendiri bangsa yang umumnya bibliofil (pecinta buku),” kata Martin. Dia berharap artikelnya bisa menjadi refleksi betapa pentingnya budaya membaca buku.


Senada dengan Martin, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terus menerus menekankan pentingnya kebiasaan membaca buku. Kementerian menginginkan kebiasaan ini berakar dan bertumbuh dari lingkungan keluarga. Dari pemikiran tersebut, Kementerian mencanangkan program Gerakan Literasi Nasional (GLN) melalui Direktorat Pendidikan dan Keluarga.


“GLN diharapkan menjadi pendukung keluarga, sekolah, dan masyarakat mulai dari perkotaan sampai wilayah terjauh untuk berperan aktif dalam menumbuhkan budaya literasi,” kata Dr. Sukiman, Direktur Pembinaan Pendidikan Keluarga.


Salah satu strategi GLN ialah menumbuhkan budaya literasi keluarga melalui penghargaan jurnalistik. Penghargaan ini diwujudkan dalam Lomba Jurnalistik Pendidikan Keluarga. Lomba ini terbagi atas dua kategori: feature dan opini.


Untuk menyeleksi artikel karya jurnalis, panitia mengundang juri dari beragam kalangan. Mulai pakar pendidikan, organisasi profesi wartawan, pegiat pendidikan keluarga, sampai orang dalam Kementerian. Juri telah menyeleksi 72 artikel feature di media daring terkait budaya literasi keluarga.


Dari hasil seleksi itu, artikel Martin dianggap sebagai salah satu artikel yang layak memperoleh penghargaan. Selain kepada Martin, Kementerian juga memberikan penghargaan kategori Feature untuk Hari Setiawan dari jemberpost.net dan Susanto dari suaramerdeka.com.


Harris Iskandar, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat, mewakili Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim, mengatakan karya para jurnalis ikut mendukung program literasi Kementerian. Menurutnya, jurnalis juga mempunyai pengaruh dalam masyarakat dan berperan layaknya pendidik.


“Para jurnalis ini juga adalah pendidik, pendidik bagi masyarakat. Influencer yang memberikan pengaruh pada masyarakat,” ungkap Harris.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio dikenal memiliki selera humor yang tinggi. Selama menjadi tahanan politik Orde Baru, dia mendalami agama Islam, sehingga merasa tidak rugi masuk penjara.
Khotbah dari Menteng Raya

Khotbah dari Menteng Raya

Tak hanya mendatangkan suara, Duta Masjarakat juga menjadi jembatan Islam dan nasionalis sekuler. Harian Nahdlatul Ulama ini tertatih-tatih karena minim penulis dan dana.
Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Wacana penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto kian santer. Dinilai sebagai upaya pengaburan sejarah dan pemutihan jejak kelam sang diktator.
Cerita dari Pengasingan Bung Karno di Rumah Batu Tulis

Cerita dari Pengasingan Bung Karno di Rumah Batu Tulis

Setelah terusir dari paviliun di Istana Bogor, Bung Karno melipir ke Hing Puri Bima Sakti alias Rumah Batu Tulis sebagai tahanan rumah.
bottom of page