- Petrik Matanasi
- 14 Jul
- 3 menit membaca
RUMAH cilik itu tempak antik dan sederhana namun asri. Gaya era kolonialnya begitu terlihat. Letaknya sekitar 100 meter dari Taman Mundu dan 200-an meter dari Stadion Gelora 10 November di Tambaksari, Surabaya. Persisnya di Jalan Mangga nomor 21 Tambaksari, Surabaya.
Rumah yang terlihat sepi pada 10 Juli 2025 itu dulunya ditempati oleh seorang perempuan Jawa bernama Roekiyem Soepratijah. Roekiyem bersuamikan seorang Indo, Willem Mauritius van Eldik, yang suka memakai nama alias Sastrodihardjo (1882-1954). Willem seorang guru musik, bahkan pernah menjadi guru musik bagi tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL).
Pasangan Indo-Jawa itu telah tinggal lama di sana, yakni pada tahun 1924. Sanak-famili mereka yang dari luar kota kadang menginap di rumah mereka itu. Tak terkecuali adik Roekiyem yang berusia jauh lebih muda, yakni Wage Rudolf (WR) Supratman.
“Juli 1924, Wage Rudolf Supratman tiba di Surabaya. Sambil melepas lelah sebelum, melanjutkan perjalanan ke Bandung, Wage Rudolf Supratman tinggal beberapa lama di rumah kakaknya,” catat Momon Abdul Rohman dkk. dalam Wage Rudolf Supratman Sang Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.
WR Supratman tiba di Surabaya dari Makassar. Selama di Makassar, dia sempat menjadi guru sekolah dasar kelas bawah. Di Makassar pula WR Supratman belajar musik, termasuk bermain biola, dari van Eldick.
Persinggahan WR Supratman ke Surabaya tentu tak semata untuk melepas rindu dengan kakaknya. Ada banyak hal yang bisa dia pelajari dan dapatkan dari kota itu. Sebab, Surabaya adalah kota besar dengan industri yang terus bertumbuh. Menurut Purnawan Basundoro dalam Pengantar Kajian Sejarah Ekonomi Perkotaan Indonesia, di abad ke-19 saja beberapa pabrik terkait industri gula berdiri di Surabaya.
Tentu saja Surabaya memiliki pelabuhan sebagai objek vital dalam perekonomiannya, yakni Tanjung Perak. Dalam Kota dan Jejak Aktivitas Peradaban, Arya W. Wirayuda menyebut Pelabuhan Tanjung Perak menjadi perlintasan ekspor gula serta impor barang-barang lain dan arus industri itu membuat kota Surabaya menjadi semakin modern.
Sebagai kota modern, Surabaya tentu menjadi tempat bagi kaum yang kritis pula. Pada gilirannya, kekritisan itu melahirkan arus pergerakan nasional.
Namun, Supratman hanya singgah saja di Surabaya. Dia kemudian ke Bandung untuk menemui ayahnya yang bertugas di kota tangsi KNIL Cimahi.
Supratman kemudian menjadi wartawan harian Sin Po. Sebagai kuli tinta, Supratman menghabiskan sebagian masa mudanya dengan menggubah lagu. Salah satu gubahannya, “Indonesia Raya”, kemudian dibawakan dalam Kongres Pemuda II yang berlangsung di Batavia, 26-28 Oktober 1928.
Supratman baru kembali lagi ke Surabaya pada April 1937. Tentu dia mengunjungi lagi rumah di Jalan Mangga No 21. Terlebih, kali ini Supratman dalam kondisi tidak sehat. Supratman yang tak beristri beruntung punya kakak dan kawan-kawan perjuangan yang meluangkan waktu untuknya.
“Tokoh Nasionalis kawakan, dr Sutomo (pendiri Budi Oetomo dan Partai Indonesia Raya) bersedia menemuinya,” catat Momon Abdul Rohman dkk.
Partai Indonesia Raya alias Parindra cukup berpengaruh dalam perpolitikan saat itu. Ia punya wakil di Volksraad (Dewan Rakyat).
Di Surabaya yang aura pergerakan nasionalnya cukup pesat itu, Supratman sebagai aktivis tetap memberi kiprah. Dia mendapat kesempatan mengisi pertemuan-pertemuan kaum pergerakan. Di antaranya di Gedung Nasional Indonesia (GNI) yang hingga kini masih dipertahankan aura sejarahnya.
“Beberapa kali ia tampil di mimbar dalam Gedung Nasional Indonesia, Jalan Bubutan, untuk memberikan ceramah mengenai Lagu Kebangsaan Indonesia ciptaannya di hadapan aktivis Parindra,” catat Bambang Sularto dalam Wage Rudolf Supratman.
Namun, dunia pergerakan nasional adalah dunia yang sunyi dan jauh dari keuntungan materi yang bisa mendatangkan kemapanan ala priyayi yang begitu diinginkan kebanyakan orangtua Indonesia sampai hari ini. Supratman merasakan betul kesunyian itu lewat penderitaannya karena gangguan jantung yang dideritanya. Dalam keadaan seperti itu, Supratman masih mesti mengalami penangkapan oleh aparat kolonial.
Kendati jiwa Supratman tak pernah mau menyerah, raganya tak kuasa menahan beban berat yang terus menindihnya. Pada 17 Agustus 1938, sebagaimana koran De Locomotief dan Bataviaasche Nieuwsblad tanggal 17 Agustus 1938 memberitakan, Supratman menghembuskan nafas terakhirnya di rumah Jalan Mangga 21 milik kakaknya yang sekarang jadi museum itu.













Komentar