top of page

Hasil pencarian

9588 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Captain Marvel, Antara Nostalgia dan Isu Feminisme

    KEKALUTAN mengacaukan sebuah misi rahasia. Alih-alih menyelamatkan mata-mata, Vers (Brie Larson) dan rekan-rekan militer bangsa Kree justru disergap. Vers sempat ditangkap dan diinterogasi Talos (Ben Mendelsohn), pemimpin bangsa Skrull, tapi lantas bisa melarikan diri meski harus terdampar ke planet C-53 alias bumi. Adegan itu jadi pilihan duet sutradara Anna Boden dan Ryan Fleck untuk membuka film bertajuk Captain Marvel . Keduanya ingin lebih dulu menghadirkan asal-usul sang jagoan yang superhero perempuan terkuat di Marvel Cinematic Universe (MCU) yang berpusar pada rentang masa 1995. Kedatangan Vers di bumi tak pelak menarik perhatian bos agen SHIELD, Nick Fury (Samuel L. Jackson). Walau harus melewati “perkenalan” rumit, Vers dan Fury akhirnya bisa akur dan bertandem untuk meladeni Talos dan anak-anak buahnya yang juga mengejar Vers ke bumi.  Seiring petualangan menghadapi Talos dkk., Vers dan Fury lamat-lamat mendapati pemahamanbahwa apa yang dilakukannya bersama pasukan Kree pimpinan Yonn-Rogg (Jude Law) dalam memerangi bangsa Skrullternyata tak seperti dugaannya. Sepanjang perjalanannya, Vers juga mengetahui bahwa dirinya bukanlah bangsa asli Kree, melainkan bangsa manusia asal bumi bernama Carol Danvers yang sebelumnya merupakan pilot tempur Angkatan Udara Amerika Serikat (AU AS). Untuk lebih detail tentang keseruannya, jauh lebih baik menyaksikannya langsung di bioskop-bioskop tanah air, di mana produksi ke-21 MCU ini sudah tayang sejak 6 Maret 2019. Di film ini juga Anda akan tahu sedikit-banyak tentang mua sal “Avengers Initiative” yang jadi core seri-seri “Avengers”. Jangan pula segera beranjak dari kursi bioskop saat film usai lantaran ada dua adegan post-credit di pengujung film yang akan berkelindan dengan produksi MCU berikutnya yang juga patut dinanti – Avengers: Endgame. Selain apiknya efek visual, film berdurasi 124 menit itu juga akan membawa Anda sedikit-banyak bernostalgia dengan sejumlah hal di era 1990-an. Era 1990-an hadir mulai dari musicscoring , suasana,hingga teknologinya. Eksistensi komputer jadul dengan loading yang leletkala Vers dan Fury mencoba mengakses sebuah CD ( compact disc ),misalnya. CD sudah beredar sejak 1982 meski baru jadi perangkat penyimpanan populer menggantikan floppy disc alis disket pada 2000-an. Di beberapa adegan lain, penonton yang tumbuh di era 1990-anakan dimanjakan selipan-selipan lagu sohor era itu, seperti “Come as You Are” (Nirvana), “Only Happy When It Rains” (Garbage), “Man on the Moon” (REM) hingga “Just a Girl” (No Doubt). Di sisi lain, beberapa pembeda akan sangat terasa ketimbang 20 produksi MCU terdahulu. Selain tetap ada selingan-selingan komedi yang menyegarkan dan menjadi film terakhir dengan (mendiang) Stan Lee sebagai cameo , Captain Marvel sarat akan isu feminisme. Sarat Agenda Feminisme Di negara asalnya, AS, Captain Marvel baru resmi rilis pada 8 Maret 2019, bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional. Bukan kebetulan, lantaran jadwal rilis Marvel semula 2 November 2018. Captain Marvel juga menjadi film superhero perempuan solo pertama dari MCU, yang tak mau kalah dari DC Entertainment yang lebih dulu menelurkan Wonder Woman (2017). MCU selama ini hanya menghadirkan para jagoan perempuan macam Black Widow, The Wasp, Shuri, Scarlet Witch , atau Valkyrie sebagai sidekicks . Dalam 20 produksi sebelum Captain Marvel, MCU juga belum pernah mempercayakan penggarapannya pada sineas perempuan. “(Captain Marvel) ini jadi film pertama dengan karakter utama jagoan perempuan dan yang pertama digarap sutradara perempuan (Anna Boden). Tentu ini pertaruhan yang besar tapi film ini sangat layak dinanti. Paketan dua jam tentang pemberdayaan perempuan dengan kekuatan visual yang Anda harapkan dari sebuah blockbuster Marvel,” ungkap Patricia Puentes dalam ulasannya di CNET , Minggu (10/3/2019). Dalam salah satu adegan, Anna Boden menggambarkan bagaimana diskriminasi gender pernah dialami Carol Danvers dalam masa lalunya saat menjalani orientasi untuk menjadi pilot perempuanAU AS. Dalam riset dan pendalamannya, Brie Larson, pemeran Carlon Danvers, berkonsultasi langsung dengan para pilot tempur AU AS dan Brigjen Jeannie Leavitt, perempuan pilot AS pertama yang mendobrak hegemoni kaum adam pada 1993. Para pemeran film Captain Marvel bersama Brigjen Jeannie Leavitt (Foto: defense.gov) “Saya sangat respek tentang betapa seriusnya dia (Brie Larson) mendalami perannya. Dalam film, mereka bekerjasama sebagai sebuah tim dan itu yang kami lakukan di AU. Memiliki teladan yang positif, seseorang yang bekerja keras dan berjibaku demi kebebasan dan keadilan, itu yang kami lakukan di AU dan Captain Marvel menjadi role model yang patut dicontoh para pilot muda kami,” ujar Brigjen Leavitt di situs Kemenhan AS, defense.gov , 8 Maret 2019. Satu dari Sekian Versi Karakter Captain Marvel merupakan karya mendiang Stan Lee dan ilustrator Gene Colan. Sosoknya pertamakali dimunculkan dalam komik Marvel Super-Heroes edisi ke-12 pada Desember 1967. Tom DeFalco dan Gilber Laura dalam Marvel Chronicle: A Year by Year History mengungkapkan, versi pertama Captain Marvel bukanlah seorang manusia bernama Carol Danvers, melainkan pahlawan alien laki-laki yang dijuluki Captain Mar-Vell. “Captain Mar-Vell adalah perwira militer Kree yang dikirim sebagai mata-mata ke bumi. Tetapi kemudian oleh Kree dia dianggap pengkhianat dan seterusnya bertarung melindungi bumi dari segala ancaman jahat dari lain semesta.” Hingga kini, setidakada tujuh versi Captain Marvel. Khusus di film ke-21 MCU, karakter yang diambil adalah versi Carol Susan JaneDanvers yang aslinya punya julukan Ms. Marvel, buah karya penulis Roy Thomas yang didampingi ilustrator Gene Colan. Carol Danvers muncul pertamakali di komik Marvel Super-Heroes edisi ke-13 pada Maret 1968, sebagai kepala keamanan pangkalan udara AU Cape Canaveral. Danvers mendapatkan kekuatannya setelah DNA-nya terpapar ledakan peralatan teknologi yang sedang dikembangkan Dr. Walter Lawson alias Captain Marvel, ilmuwan alien Kree yang menyamar di bumi. Captain Marvel edisi awal (1968) dengan seragam superhero berwarna perak dan hijau ciptaan Roy Thomas Tapi seperti yang diketahui bersama, produser tim penulis (Nicole Perlman dan Meg LeFauve) justru membawa karakter Danvers sebagai Captain Marvel itu sendiri meski basis ceritanya tetap mengacu pada versi Carol Danvers ciptaan Roy Thomas. Terkait improvisasi ini, Roy Thomas mengaku tak keberatan. “Saya mengenalkan sosoknya (Carol Danvers) sebagai kepala keamanan di Cape Canaveral, namun identitasnya (dalam film) sebagai pilot tempur masih masuk akal. Mulanya aneh melihat karakter yang saya ciptakan bersama Gene Colan dikembangkan setelah 50 tahun oleh orang-orang berbakat, sampai dia menjadi pahlawan utama Marvel. Tapi mereka patut dipuji dan saya senang bisa memberi sesuatu (karakter Carol Danvers) untuk bisa mereka kembangkan,” tutur Roy Thomas saat diwawancara Majalah Trip Wire , 13 Februari 2019.

  • Perempuan dalam Pemilu Pertama

    MENJELANG pemilu nasional pertama, 1955, beragam manuver politik dilakukan partai politik. Salah satunya, usaha menjaring pemilih perempuan. Beberapa partai politik mengambil cara dengan membentuk organisasi sayap perempuan. Partai Murba membentuk Perwamu (Persatuan Wanita Murba), Partai Kebangsaan Indonesia mendirikan Parkiwa (Partai Kebangsaan Indonesia bagian Wanita), Partai Indonesia Raya membentuk Wanita Nasional, dan Wanita Demokrat Indonesia berafiliasi dengan PNI. “Setelah Pemerintah RI kembali ke Jakarta, partai politik mengadakan perkumpulan-perkumpulan wanita. Mungkin untuk membantu perolehan suara dalam pemilihan umum,” kata Sujatin Kartowijono dalam memoarnya Mencari Makna Hidupku . Organisasi sayap perempuan ini bertugas memperkenalkan partai pada kelompok-kelompok perempuan dan menyebarluaskan ideologi mereka. Kegiatan yang dilakukan beragam, seperti bakti sosial atau kegiatan perkumpulan perempuan di kampung-kampung. Usaha kedua, seringnya cukup efektif lantaran anggota yang kadung masuk akan merasa sungkan bila tidak memilih partai yang berafiliasi dengan organisasinya. Keaktifan organisasi perempuan sayap partai ditambah dengan rutinnya mereka bersinggungan dengan rakyat bawah otomatis membuat citra partai menjadi baik di mata rakyat. Rakyat yang terkesan kemudian menyumbangkan suara mereka dalam pemilu. “Suara rakyat ini menjadi jalan utama partai untuk mendudukkan wakilnya yang mayoritas laki-laki di parlemen, padahal kerja-kerja akar rumput tersebut dilakukan oleh perempuan,” tulis Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Organisasi sayap perempuan yang sudah dibentuk jauh sebelum pemilu 1955, seperti Aisyiyah dan Wanita Katolik, juga digunakan untuk mendulang suara. Aisyiyah yang berada dalam naungan Muhammadiyah, menjadi agen kampanye Masyumi sebagai wadah politik organisasi Islam. Pun dengan Wanita Katolik yang merupakan sayap perempuan Partai Katolik. Selain pembentukan sayap perempuan, partai politik juga menjalin relasi dengan organisasi perempuan yang ada. Sukanti Suryochondro dalam Potret Pergerakan Wanita Indoesia menyebut PKI menjadi dekat dengan Gerwani (semula bernama Gerwis) menjelang pemilu 1955. Kedekatan antara parpol dan organisasi perempuan tak semata untuk penjaringan suara. Kanal-kanal ini menjadi perantara suara-suara perempuan dalam politik. Beberapa anggota Gerwani, seperti Nyonya Mudikdo dan Umi Sarjono, masuk DPR dari Fraksi PKI. Bhayangkari, organisasi istri polisi, juga mendapat jalan untuk menyalurkan suaranya. Bhayangkari memang memutuskan tidak ikut pemilu 1955 secara mandiri melainkan berkampanye untuk angkatan kepolisian. Sebagai imbalan dari dukungan Bhayangkari, kepolisan menambahkan tiga butir tuntutan dalam kampanye mereka: UU perkawinan yang adil, menolak Peraturan Presiden No. 19 tahun 1952 tentang Uang Pensiun Janda PNS, dan pembuatan lembaga pengadilan anak. Berbeda lagi dengan Perwari yang sejak semula tak mau ikut andil dalam pemilu. Alih-alih merapat ke partai politik seperti Gerwani, Perwari mengirimkan program perjuangan yang berisi penghapusan buta huruf, pembentukan UU perkawinan yang adil, dan kesejahteraan nasib buruh ke 15 parpol. Namun hanya PSI dan PNI yang menyetujui program tersebut. Meski secara organisasi Perwari tidak mendekat ke partai mana pun, beberapa anggota Perwari masuk ke PNI. Supeni, yang kemudian hari menjadi duta besar RI keliling, salah satunya. Dalam tubuh PNI, Supeni duduk sebagai Ketua Badan Pekerja Aksi Pemilihan Umum PNI (PAPU PNI). Tugasnya mengunjungi daerah-daerah untuk memberi penjelasan tentang pemilu. Seringkali Supeni memberi ceramah politik pada kader-kader PNI tentang tata cara kampanye untuk memenangkan PNI dalam pemilu. Hasilnya tak sia-sia, PNI menjadi partai dengan suara terbesar dalam pemilu. Namun, pemilihan umum itu mengecewakan kaum perempuan karena sangat sedikit wakil perempuan yang dipilih. Dari 257 kursi di DPR, hanya ada 19 perempuan yang terpilih, yakni 4 orang dari PNI dan Masyumi, 5 dari NU, serta 1 dari PSI.

  • Razia Homoseksual Zaman Kolonial

    Tiga perempuan ditetapkan sebagai tersangka karena kampanye hitam. Dalam video yang viral, mereka menyebut jika Joko Widodo terpilih kembali menjadi presiden maka azan akan dilarang dan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) akan dilegalkan. Selama ini memang kelompok LGBT mendapat penolakan dari berbagai kalangan dalam bentuk aturan yang diterbitkan pemerintah-pemerintah daerah, persekusi, pemidanaan, pembubaran acara, dan sejumlah kekerasan lainnya. Penolakan itu dengan berbagai alasan. Mulai soal moral, penyebab bencana, sampai keyakinan kalau kelompok LGBT telah dirasuki jin sehingga harus di- ruqyah . Upaya menghapus kelompok LGBT dari masyarakat bukan hal baru di Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda bahkan membentuk satuan khusus Polisi Susila (z edenpolitie ) untuk menangkap pria-pria homoseksual. Peristiwa itu dikenal sebagai Skandal Susila ( zedenschandaal ). Sejarawan Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda, menulis antara Desember 1938 dan Mei 1939, polisi di seluruh Hindia Belanda menggelar operasi besar-besaran terhadap lebih dari 200 pria. Kebanyakan mereka adalah warga Eropa, termasuk di dalamnya pejabat tinggi. Mereka dicurigai bersalah karena berhubungan seks dengan anak laki-laki di bawah umur. Perbuatan itu, baik di Hindia Belanda maupun di Belanda, diancam pidana. Sekalipun larangan demikian sebenarnya sudah berlaku sejak 1918. Dari 223 yang ditahan, 171 dinyatakan terbukti bersalah. Mereka dijatuhi hukuman. Koran-koran dengan penuh perhatian mengikuti razia kaum homoseksual itu. Sebab, sebelumnya belum pernah digelar operasi besar-besaran semacam itu. “Aksi itu dalam pemberitaan dirujuk sebagai aksi atau operasi pembersihan rumah besar-besaran, pembersihan akhlak, atau proses pembersihan,” tulis Marieke. Secara formal, razia polisi memang menyasar pria yang berhubungan badan dengan anak laki-laki di bawah umur (di bawah 21 tahun). Karena ini memang diatur dalam Pasal 292 Wetboek van Strafrecht  (Kitab Undang-Undang Pidana Hindia Belada). Pedofilia adalah tindak pidana.  Namun, menurut Marieke sebenarnya operasi ini memberikan kewenangan kepada polisi untuk memberantas homoseksualitas. Pasalnya, sebelum 1938 jarang orang dituntut karena hal itu. “Kemudian sangat jelas pula kalau sasaran kepolisian umumnya adalah para homoseksual, khususnya pria,” tulis Marieke. Sebelumnya, meskipun masyarakat memandang berdasarkan norma Kristiani sebagai tidak alamiah, abnormal, dan haram, homoseksualitas di Hindia Belanda dibiarkan saja. Homoseksual tidak termasuk perbuatan yang diancam pidana.  Persoalan moral yang didengungkan sebelum 1938 lebih menargetkan praktik  prostitusi yang terkait perdagangan perempuan dewasa dan anak. Baru setelah dibentuk Polisi Susila, kaum homoseksual menjadi sasaran utama. "Homoseksualitas dipandang tidak hanya sebagai aib yang mencemari akhlak mulia masyarakat, namun juga dimaknai sebagai suatu kejahatan," tulis Marieke. Polisi Susila dibentuk pula di sejumlah kota. Ia menjadi bagian dari reserse. Di Surabaya misalnya, prakarsa pembentukannya datang dari pejabat menengah dan tinggi kepolisian yang beranggapan bahwa kesusilaan umum adalah ciri masyarakat modern. Sej umlah dokter spesialis juga menulis artikel terkait dengan penyimpangan perilaku seksual.  “Sikap lemah lembut dan halus yang diasosiasikan dengan homoseksual tentu saja dianggap tidak pantas bagi sarana kekerasan yang sekaligus mencitrakan wajah negara kolonial,” tulis Marieke. Homoseksual juga ternyata ada di lingkungan kepolisian. Ada empat pejabat polisi menjadi terdakwa, ditahan, dan dituntut. Tiga darinya dibawa ke pengadilan dan dijatuhi hukuman.  “Bagi kepolisian, skandal kesusilaan itu mebuka peluang untuk menunjukkan bukan kelemahannya, namun justru kekuatan dan akhlak mulianya. Dengan cara itu pula, kekuatan dan akhlak mulia dari negara,” tulis Marieke. Antihomoseksual dan Politik Skandal kesusilaan di Hindia Belanda tak berdiri sendiri. Skandal serupa muncul juga di tempat lain pada 1930-an. Di Malaya-Inggris, Belanda, dan Jerman-Nazi. “Meski dengan skala berbeda, semuanya menunjukkan kemiripan pola,” catat Marieke. Menurutnya, aksi perburuan homoseksual muncul dalam periode ketidakpastian politik ekonomi. Ditambah lagi, masyarakat tengah terpecah oleh pertentangan politik internal yang tajam. Ketika sentimen antihomoseksual meruak di Belanda, pengaruh Nazi tengah merasuk. Banyak pejabat tinggi Belanda bersimpati pada pandangan politik Nazi, termasuk soal kebencian mereka terhadap kaum homoseksual. Sentimen antihomoseksual itu pun terbawa ke negara jajahannya, bahkan lebih masif. Menurut sejarawan Onghokham,kampanye itu tak sepenuhnya bisa dilaksanakan di Belanda karena harus berhadapan dengan masalah hak asasi kelompok borjuis yang sedang tumbuh. Sementara di Hindia Belanda, para elite politik Belanda bisa menerapkan kebijakan dan politik yang berkedok pada moralitas puritan itu. “Di koloni, politik represif itu dapat dilancarkan tanpa kritik dan tantangan yang berarti dari pemerintah kolonial,” tulis Onghokham dalam “Kekuasaan dan Seksualitas,” Prisma , Juli 1991. Aksi Polisi Susila kemudian terkesan berkaitan dengan persaingan dan perebutan kekuasaan. Mulanya aksi itu menyasar pejabat-pejabat tinggi atau anggota partai-partai politik. Berawal dari desas-desus kemudian ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung dugaan itu.   Ditambah lagi pemikiran masyarakat umum yang memandang homoseksualitas sebagai kelemahan dan kelembekan karakter laki-laki. Maka, pria homoseksual dianggap tak layak diberi kepercayaan untuk mengemban tugas memimpin masyarakat di zaman yang penuh ketidakpastian saat itu. Dari kurun waktu kemunculannya, gerakan antihomoseksual di Hindia Belanda dan Jerman seolah muncul saling bersambungan. Di Jerman, homoseksual menjadi musuh negara. Perburuannya sejak 1936 menjadi kebijakan resmi negara.

  • Bandit-bandit Kakap Batavia dan Sekitarnya

    BELUM hilang kenangan penduduk tentang sosok Si Tjonat, Si Pitung, dan Si Ronda, penduduk Batavia dan Ommelanden  mesti berkarib lagi dengan sosok bandit lainnya. Mereka adalah Si Gantang, Si Kesen, dan Si Oesoep. Nama mereka sohor sepanjang 1900-1930-an.

  • Monumen yang Ternoda

    SETELAH jadi sasaran aksi vandalisme pada Jumat (15/2/19), sekira 25relief di Monumen Serangan Umum 1 Maret,Kompleks Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta sudah kembali tampak kinclong pada 4 Maret 2019. Hal itu dikarenakan tim Konservator Museum Benteng Vredeburg yang dipimpin Darsono langsung bergerak cepat membersihkannya. “Kurang lebih seminggu kita bersihkan dengan berbagai cara. Karena noda catnya sudah lengket sekali, satu-satunya cara kami cat ulang. Tapi di bagian penyangga selasar dan patung tidak kami cat karena itu terbuat dari batuan andesit. Kami kesulitan meski sudah kami coba pakai minyak. Pakai pengencer cat juga kurang maksimal, pun begitu dengan semprotan air bertekanan tinggi. Catnya sudah masuk ke pori-pori batu,” terang Darsono kepada Historia. Aksi tak terpuji itu jelas merugikan. Pasalnya, benda yang jadi sasaran merupakan benda bersejarah. “Kita tidak bisa menghitung kerugian karena itu merupakan bagian sejarah yang sangat penting yang ada di Yogya. Semua pihak, termasuk Gubernur Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) X turut prihatin. Beliau berpesan, agar ke depannya jangan terulang lagi bagaimanapun caranya,” sa mbu ng nya. Tim Darsono mengebut pembersihan itu lantaran plasa monumen akan dijadikan tempat upacara sebagai salah satu rangkaian peringatan 70 tahun Serangan Umum pada Jumat, 1 Maret 2019. Meski belum 100 persen, sekira 25 relief itu sudah tampak kinclong pada Minggu (4/3/19) lalu. Di Balik Monumen 1 Maret Gagasan TNI manunggal dengan rakyat sangat terlihat dari lima patung yang ada di Monumen 1 Maret:tiga sosok tentara bersenjata diapit dua sipil. Sementara di 25 relief di bawahnya, dituturkan Darsono, mengisahkan perang gerilya pasca-Agresi Militer Belanda II dan Serangan Umum 1 Maret 1949. “Karena Serangan Umum (1 Maret 1949) itu di Yogya merupakan peristiwa yang sangat heroik. Apalagi peringatannya kini sedang diajukan Dinas Kebudayaan Provinsi DIY ke pemerintah pusat, untuk dijadikan hari besar nasional,” paparnya. Monumen yang dibuat lima tahun setelah Soeharto menjadi presiden itu merupakan karya Saptoto, seniman yang juga membuat Monumen Pancasila Sakti. “Monumen, patung, dan reliefnya dibuat seniman dari ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) Saptoto. Dibuatnya ya dari permintaan tokoh-tokoh seperti Pak Harto dsb.,” lanjut Darsono. Bagian selasar dan penyangga patung di Monumen 1 Maret yang belum bisa dibersihkan (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Soeharto berperan besar dalam pembangunan monumen yang menelan biaya sebesar Rp20.870.000,00 itu. Sebagaimana dicatat RB Soegiantoro dalam “Pengalaman Semasa Gerilya”, termuat di Warisan (daripada) Soeharto , dia menyumbang Rp5 juta. Begitu pembangunan rampung, Soeharto turun tangan meresmikannya. “ Tepatnya 1 Maret 1973 , diresmikan langsung oleh Soeharto ,” ujar Darsono. Dalam peresmiannya, Soeharto untuk kali pertama berbagi kisah pengalamannya bergerilya di luar kota Yogyakarta selaku komandan Brigade X-Mataram berpangkat overste (letnan kolonel), kepadapublik. Selain baku tembak untuk menahan ofensif Belanda di Kampung Nyutran pada 19 Desember 1948 (Agresi Militer II), dia juga menceritakan upayanya menyerang Belanda 10 hari setelah Yogyakarta direbut Belanda, dan nyaris tertangkap Belanda di Imogiri medio Februari 1949. “Persis jam satu malam, rumah yang saya tempati dilewati kompi Belanda yang akan menyerang Imogiri. Tapi entah mengapa, satu jam sebelumnya lampu yang ada di muka rumah tiba-tiba mati. Sehingga musuh tidak tahu. Rumah itu terletak antara Kotagede dan Imogiri,” kenang Soeharto. Soeharto juga menceritakan tentang inspeksi terakhirnyake sejumlah basis pasukan republik pada malam 29 Februari 1949 jelang serangan umum. “Anak buah saya percaya bahwa saya kebal peluru. Sekalipun tidak benar, tapi saya tidak membantahnya. Karena dapat membantu menyusun moril prajurit-prajurit,” lanjutnya. Upacara peresmian monumen itu ditutup dengan penyalaan api perjuangan yang apinya diambil dari Desa Bibis, Bantul. Di masa revolusi, desa itu jadi markas Soeharto di luar kota. “Sejak peresmian, mulanya monumen itu berada di bawah pengawasan dan pemeliharan diserahkan oleh pihak Gedung Agung (Istana Kepresidenan Yogyakarta), bukan Museum Benteng Vredeburg. Dulu itu sempat tak terawat, banyak rumput panjang di sekitarnya. Mulai tahun 2000 pengelolaannya diserahkan ke museum karena memang masih di areal museumsehingga sekarang sudah bisa terkondisikan dan dinikmati pengunjung,” kataDarsono. Monumen Indoktrinatif Sosok Soeharto begitu menyolok di mayoritas relief itu ketimbang figur-figur lain macam Sukarno, Sri Sultan HB IX, atau Panglima besar Sudirman. Di tiga adegan terakhir relief bahkan terpahat gambar-gambar yang mendeskripsikan Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan” saat sudah menjadi Presiden kedua RI. Monumen dan relief ini hanyalah satu dari sejumlah proyek Seminar Angkatan Darat III pada 1972. Seminar ini, menurut Katharine E. McGregor dalam Ketika Sejarah Berseragam , merupakan upaya pertama framing peran militer dalam revolusi kemerdekaan. Utamanya, framing politis berbalut motif Jawa kuno terkait sosok Soeharto sebagai penguasa rezim Orde Baru. Sekira 25 adegan relief di selasar Monumen Serangan Umum 1 Maret (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Selain lewat pembangunan monumen, upaya framing dilakukan dengan pembuatan beberapa film perjuangan, termasuk Janur Kuning (1979) yang sangat mempahlawankan Soeharto. “Salah satu instruksi yang diberikan oleh Seminar Angkatan Darat 1972 kepada militer ialah agar mereka mengedarkan versi mereka sendiri melalui museum, monumen, film dan buku pelajaran sekolah,” tulis McGregor. Detail-detail di berbagai monumen maupun relief yang dibuat, dengan demikian, merupakan medium penyampai pesan politis penguasa. Semisal, lima patung yang menggambarkan seorang prajurit, pelajar, pedagang, petani, dan perempuan sebagai perwakilan golongan dalam revolusi kemerdekaan. Lalu, patung singa perlambang angka satu (tanggal satu), patung api berlidah tiga dengan makna bulan tiga atau Maret, tulisan Jer Basuki Mawa Beya yang berarti kemenangan membutuhkan pengorbanan, serta Tetesing Ludiro Kusumoning Bawono yang merujuk angka 1949.  “Relief di monumen juga sebagai cara memberikan narasi historis kepada pesan utama monumen, atau untuk mengendalikan tafsiran-tafsiran terhadap pesan monumen. Pesan terkait peran Soeharto dalam Serangan Umum dan kembalinya (panglima) Sudirman ke Yogyakarta (dari gerilya),” tambah McGregor.

  • Kisah Bowo Anak Kebayoran

    Kiprah Prabowo Subianto begitu mentereng sebagai prajurit TNI. Potretnya yang gagah acapkali terlihat dalam balutan seragam Kopassus. Namun cerita masa kecil calon presiden kita ini tak banyak dikulik kepada publik. Bagaimana kisah masa kecil Bowo –panggilan akrab Prabowo?   “Waktu itu (masa kecil), saya banyak dipengaruhi kakek saya, Pak Margono seorang pejuang perintis kemerdekaan,” kata Prabowo kepada tabloid The Politic dilansir Gerindra TV . Trah Prabowo berasal dari keluarga aristokrat yang ikut mewarnai perjalanan sejarah negeri ini. Kakeknya, Margono Djojohadikusumo adalah pengikut Budi Utomo, anggota BPUPKI, dan pendiri Bank Negara Indonesia (BNI). Nama kedua Prabowo diambil dari nama pamannya, Subianto Djojohadikusumo, perwira yang gugur dalam Pertempuran Lengkong di Tanggerang, Januari 1946. "Akhirnya waktu saya lahir, saya diberikan nama Prabowo Subianto agar seolah-olah menggantikan anaknya (Margono) yang gugur, untuk meneruskan cita-cita mereka," tutur Prabowo. Hidup Berpindah-pindah Prabowo Subianto Djojohadikusumo lahir di Jakarta, 17 Oktober 1951. Anak ketiga dari pasangan Sumitro Djojohadikusmo dengan Dora Sigar. Nama saudari-saudaranya antara lain Maryani, Biantiningsih, dan Hashim Djojohadikusmo. Prabowo bertumbuh sebagai anak Kebayoran yang tinggal di Jalan Sisingamangaraja, ketika kawasan itu belum seramai dan semacet sekarang. Ayah Prabowo, Sumitro juga bukan orang sembarangan. Sumitro merupakan guru besar bergelar profesor di Fakultas Ekonomi UI dan menjabat sebagai dekan di sana. Prabowo kecil sering diajak Sumitro main ke kampus tempatnya mengajar di bilangan Salemba, Jakarta Pusat. Di zaman Sukarno, Sumitro lebih dikenal sebagai politisi kawakan dari Partai Sosialis Indonesia (PSI). Di tengah perjuangan politiknya, Sumitro memilih membelot bersama sejumlah panglima militer pembangkang dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Semesta (Permesta). Bergelut dalam gerakan yang menentang pemerintah menyebabkan Sumitro terpaksa melarikan diri dari Indonesia. Sumitro hidup berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain mengindari penangkapan. Dalam pelariannya, Sumitro difasilitasi oleh diplomat senior Des Alwi yang juga sama-sama pentolan PSI. Di balik “petualangan” ini, ada istri dan anak-anak yang ikut kena imbas sepak terjang politik Sumitro. “Ayah mereka (Sumitro) terus giat melanjutkan perjuangan dan sekaligus menghindari kemungkinan tertangkap oleh pihak Jakarta yang terus mengintai ke mana keluarga ini pergi. Inilah mengapa keluarga Sumitro tak pernah menetap lebih dari dua tahun,” tulis tim penulis biografi Sumitro Jejak Perlawanan Begawan Pejuang: Sumitro Djojohadikusumo. Prabowo waktu kecil. Tampan dan imut. Foto: Prabowo Subianto/Instagram Usia Prabowo baru menginjak lima tahun saat Sumitro memilih jalan terjal sebagai buronan negara. Selama masa pelarian ayahnya, Prabowo menginjakan kaki di berbagai berbagai belahan dunia. Berturut-turut, Prabowo bermukim di Singapura selama dua tahun, di Hongkong setahun, di Malaysia dua tahun, di Swiss dua tahun, dan di Inggris dua tahun.  “Ia mengikuti ayahnya yang berpindah-pindah dalam masa pengasingan. Tak heran, sikapnya pun kebarat-baratan dan cenderung arogan,” tulis Femi Adi Soempeno dalam Prabowo: Dari Cijantung Bergerak ke Istana. Menurut Prabowo, dirinya kerap mengalami diskriminasi di negara-negara yang disinggahinya. Sedari kecil, dia terbiasa hidup dalam lingkungan minoritas. Lambat laun, Bowo tumbuh menjadi anak yang tangguh.  “Waktu saya sekolah di luar negeri, seringkali saya satu-satunya anak yang bukan kulit putih. Bagi saya itu adalah suatu pengalaman yang sangat mendidik,” kenang Prabowo. “Di sekolah saya sering dihina. Saya merasakan bagaimana hidup sebagai minoritas.” Anak Brilian Singapura menjadi negeri asing pertama yang disinggahi Prabowo. Di kawasan Bukit Timah, keluarga Sumitro tinggal berdekatan bersama sepuluh keluarga pelarian PRRI-Permesta yang lain. Keluarga Sumitro bermukim di Delkeith Road. Tak banyak cerita yang diperoleh dari Singapura. Sekira tahun 1959, Prabowo pindah ke Hongkong. Tersebutlah nama Kolonel Jacob Frederick Warouw yang berjasa mempersiapkan perpindahan ini. Warow adalah atase militer Indonesia di Beijing, yang juga menjabat sebagai wakil perdana menteri Permesta. Warouw menyediakan flat berkamar tiga yang cukup besar untuk ditempati Sumitro bersama istri, anak perempuannya, dan juga Prabowo. Prabowo bersama ibunya, Dora Sigar dan saudari-saudaranya: Maryani, Bianti, dan Hashim. Foto: Prabowo Subianto/Instagram Dilansir laman resmi prabowosubianto.info. di Hongkong, Prabowo senang main perang-perangan bersama anak sebayanya. Ketika Prabowo mengetahui bahwa salah satu teman mainnya ada yang anak tentara, Prabowo meminta izin untuk dipinjami bedil milik ayahnya. Menurut teman-temannya semasa di Hongkong , Prabowo adalah anak yang pemberani dan cenderung cepat marah. Sisi temperamental Bowo mulai terlihat. Setahun kemudian, tepatnya tahun 1960, Prabowo pindah lagi ke Malaysia. Di sana, Bowo tinggal bersama keluarganya di daerah Petaling Jaya, Kuala Lumpur. Sumitro membuka pabrik perakitan alat elektronik untuk menghidupi keluarganya. Sementara itu, Bowo kecil bersekolah di Victoria Institution, sekolah Inggris paling bergengsi di Malaysia. Usianya masih menginjak sembilan tahun. Saat itu, hubungan Indonesia dengan Malaysia mulai memburuk. Bowo acapkali mendapat olok-olok dari teman sekolahnya yang berisi umpatan kepada Presiden Indonesia, Sukarno. Ledekan itu malah bikin Bowo jadi berang pada ayahnya. Bowo mempertanyakan alasan mengapa keluarganya memilih tinggal di Malaysia seraya melontarkan ultimatum. “Saya tahu Papi berseberangan dengan Sukarno. Tapi saya tidak tahan, semua meledek negara kita. Kalau sampai satu tahun lagi saya di sini, saya akan menjadi pro Sukarno,” demikian ucapan Bowo sebagaimana tercatat dalam biografi Sumitro. Memasuki masa remaja, Prabowo hijrah ke Eropa. Dia dan keluarganya menetap di Swiss. Bowo bersekolah di International School yang terletak di Zurich. Sebagian besar yang bersekolah di sana adalah anak-anak dari Amerika.   Hari pertama masuk sekolah, lagi-lagi Bowo dilecehkan. Sebagai anak baru, Bowo memperkenalkan dirinya berasal dari Indonesia. Seseorang kemudian menanyakan dirinya apakah rakyat Indonesia masih tinggal diatas pohon. Pengalaman itu tak bisa dilupakan oleh Prabowo sampai kapanpun. “Saya akhirnya lebih merasakan kita harus belajar dari Barat. Kita harus akui keunggulan-keunggulan mereka tapi kita juga harus bertekad suatu saat untuk membangun negara kita untuk tidak kalah dengan bangsa lain,” kata Prabowo. Dari Swiss, Prabowo pindah lagi ke Inggris. Pada usianya yang ke-16, Prabowo menamatkan pendidikan bangku sekolah di American School, London. Memasuki perguruan tinggi, Prabowo bahkan diterima sebagai mahasiswa di tiga universitas terkemuka di Amerika Serikat, salah satunya Colorado University. Secara intelegensi, Prabowo tergolong anak brilian. Kecerdasannya di atas rata-rata orang Indonesia saat itu. Itu tak mengherankan sebab Prabowo mengenyam pendidikan di negara maju. Dari segi mentalitas, wataknya cukup keras karena pengalaman bertahan hidup di negeri asing sebagai minoritas. Sumitro kemudian menyarankan Prabowo untuk pulang ke Indonesia. Hal itu dimaksudkan agar Prabowo memperluas jaringan dan relasi, serta pengalaman bergaul dengan sesama aktivis muda dari kalangan PSI. Siapa nyana, pada akhirnya Prabowo memutuskan untuk menjadi prajurit TNI.

  • Pencipta Mars ABRI

    Robertus Robet, aktivis demokrasi dan HAM, ditangkap polisi terkait orasinya dalam aksi Kamisan pada 28 Februari 2019. Dosen dan ketua jurusan sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ) itu lantang menentang masuknya kembali militer aktif ke pemerintahan seperti pada masa lalu yang disebut dwifungsi ABRI. Dalam orasinya, Robet mengajak teman-teman muda untuk mengingat lagu yang dinyanyikan pada masa Reformasi tahun 1998. Lagu ini sudah populer sejak 1990-an. Robet menyanyikannya: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Tidak berguna Bubarkan saja Diganti Menwa Kalau perlu diganti Pramuka. Naik bis kota gak pernah bayar Apalagi makan di warung Tegal “Lanjutannya terlalu sensitif,” kata Robet. “Tapi, lagu ini jangan-jangan mesti kita ingat kembali. Kenapa? Karena ada ancaman yang muncul di depan kita. Generasi-genarasi baru yang muncul mesti mulai mencipta lagu-lagu semacam ini untuk menghadapi tantangan-tantangan zamannya.” Penggalan video orasi Robet yang direkam dan diunggah di akun Youtube Jakartanicus, kemudian menyebar di media sosial. Robet ditangkap pada Kamis dini hari (7/3). Polri menetapkannya sebagai tersangka ujaran kebencian karena menghina TNI. Lagu yang dinyanyikan Robet itu plesetan dari Mars ABRI. Selain di kalangan ABRI, lagu inibiasanya dipakai untuk siaran khusus di RRI atau TVRI. Lagu ini juga biasa menjadi pembuka acara “Kamera Ria” di TVRI . Bait awalnya begini: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Setiap saat siap sedia Mempertahankan, menyelamatkan Negara Republik Indonesia Lagu dan aransemen “Mars ABRI” diciptakan seorang anggota ABRI kelahiran Tarutung, Sumatra Utara, bernama Mangasa Adil Tampubolon. Dia mempelajari musik selama empat tahun di Akademi Musik Yogyakarta. Setelah lulus pada 1960, dia menandatangani ikatan dinas dengan TNI-AD. Pada saat yang sama, dia menyunting putri Solo bernama S. Rohima. Mereka dikaruniai tiga anak: Yendro Ario Damero, Arino Lakso, dan Tri Ria Utami. Dalam majalah Dharmasena edisi Februari 1992 terbitan Pusat Penerangan Hankam, disebutkan M.A. Tampubolon pernah bertugas cukup lama di Pusat Penerangan Hankam (sekarang Puspen ABRI). Sesuai  profesi yang ditekuninya, dia memegang jabatan terakhir sebagai kepala Biro Musik Paban IV Spersman (Staf Personel, Pembinaan Tenaga Manusia, dan Pendidikan) Hankam sebelum pensiun tahun 1985. Selain Mars ABRI, M.A. Tampubolon juga menciptakan Mars dan Hymne Persit Kartika Candra Kirana (Organisasi Istri Anggota TNI-AD), Mars dan Hymne Ikatan Kesejahteraan Keluarga ABRI, ABRI Masuk Desa Manunggal, dan Taman Mini Indonesia Indah. “Kedua lagu terakhir (ABRI Masuk Desa dan  Taman Mini Indonesia Indah) diciptakan almarhum memenuhi permintaan Ibu Tien Soeharto, namun belum sempat dipopulerkan karena masih harus diadakan revisi/penyempurnaan di beberapa bagian,” tulis Dharmasena . Selain itu, dia  juga mengarang kurang lebih 40 lagu Pop (lagu-lagu remaja), tetapi masih dalam koleksi pribadi dan belum sempat dipasarkan. M.A. Tampubolon meninggal dunia dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel Caj. pada Minggu, 19 Januari 1992. Dia memiliki empat tanda penghargaan: Bintang Gerilya, Satya Lencana Kemerdekaan I dan II, dan Satya Lencana Penegak.

  • Senasib Sepenjajahan

    KETIKA dalam perjalanan kembali dari Bandung ke Jakarta, Jang Yunwon, pencari suaka asal Korea, sekonyong-konyong dihampiri polisi militer Jepang. Ia ditangkap dan dibawa ke markas polisi militer ke-16 di Thamrin, Jakarta. Penangkapan itu terjadi tak lama setelah Jepang menguasai Indonesia. Jang Yunwon menjadi salah satu korban tahap pertama operasi Pencarian Pengkhianat yang dilancarkan Tentara ke-16 AD Jepang. Ia, menurut Kim Moon Hwan, kolumnis harian berbahasa Korea di Indonesia Hanin News, merupakan orang Korea pertama yang menetap di Indonesia. Jang Yunwon menjadi buron setelah memberikan bantuan dana untuk gerakan perlawanan rakyat Korea pada 1 Maret 1919. Dia kemudian mencari suaka ke Beijing sampai akhirnya menetap di Batavia dan menjadi penasihat Gubernur Jenderal Hindia untuk urusan Jepang sebelum akhirnya ditangkap. Jang Yunwon yang ditahan selama beberapa hari di Markas Polisi Militer di Thamrin, mengalami penyiksaan dan pemukulan sebelum dipindah ke Penjara Glodok. Beberapa hari setelahnya, Jang Yunwon dipindahkan ke Penjara Salemba. Bersama 50 tahanan lain yang sebagian orang kulit putih, Jang dipaksa berjalan kaki dari Glodok ke Salemba. “Ini adalah cara Jepang mempermalukan orang kulit putih,” kata Kim Moon Hwan dalam Seminar Memperingati 100 tahun Pergerakan 1 Maret 1919 di Unika Atma Jaya (4/03/2019). Sementara Jang Yunwon dipenjara, orang-orang Korea ditugaskan oleh tentara Jepang untuk menjadi sipir bagi tahanan perang. Ada sekira 14 ribu orang Korea yang dikirim Jepang ke Indonesia untuk keperluan menjaga penjara di Jakarta, Bandung, Cilacap, Surabaya, dan Malang. Namun, orang-orang Korea yang dikirim ke Indonesia tak semua bertugas menjaga penjara. “Selama bertugas di Indonesia, mereka juga jadi pengajar Heiho. Lewat sana orang-orang Korea berinteraksi dengan orang Indonesia. Mereka berbagi nasib yang sama, dijajah Jepang,” kata Rostineu, Dosen Bahasa dan Budaya Korea UI, yang juga menjadi pembicara seminar. Para sipir Korea itu tak tahan dengan sikap semena-mena Jepang. Ketika Jepang makin terdesak dalam Perang Dunia II, kontrak kerja mereka diperpanjang sepihak oleh Jepang. Para sipir Korea itu pun melawan, namun kalah dan dihukum. Meski berpakaian militer Jepang, sebagian dari mereka antipati terhadap Jepang. Perasaan senasib sebagai kaum terjajah dan diperlakukan sewenang-wenang oleh Jepang ini membuat beberapa orang Korea memilih ikut andil dalam perjuangan Indonesia. Faktor geografis tak jadi penghalang untuk melawan penjajahan bersama bangsa lain. “Di Garut empat orang Korea terlibat dalam perlawanan terhadap Jepang. Mereka ikut terjun ke medan perang,” kata Hendi Johari, pembicara seminar. Pasca-kekalahan Jepang, orang-orang Korea di Indonesia ini mengalami masa sulit. Di satu sisi, mereka khawatir dibabat habis tentara Sekutu sebagai pemenang perang, di sisi lain, kembali ke kampung halaman menjadi hal yang muskil dilakukan. Jang Yunwon yang kemudian bebas setelah Jepang kalah, mendirikan HImpunan Rakyat Korea di Jawa pada 1 September 1945. Himpunan ini menyatukan orang-orang Korea yang berusaha kembali ke negerinya. Meski demikian, sedikit yang berhasil pulang. Jang Yunwon sendiri tetap tinggal di Jakarta sampai meninggal tahun 1947.

  • Peringatan Serangan Umum 1 Maret Menuju Hari Besar Nasional

    KENDATI Serangan Umum 1 Maret 1949 berperan penting dalam membuktikan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional via Radio AURI PC2, peristiwa itu hingga kini masih diperingati sebatas oleh pemerintah Kota Yogyakarta. Tak seperti Pertempuran Surabaya yang dijadikan Hari Pahlawan, Serangan Umum hanya dirayakan secara lokal. Salah satunya, oleh Komunitas Djokjakarta 1945. Bersama dengan ratusan reenactor (pereka ulang sejarah) dari seluruh Jawa, Medan, dan Palangkaraya, Komunitas Djokjakarta 1945 menghelat aksi teatrikal Serangan Umum 1949 di Jalan Malioboro-Kompleks Benteng Museum Vredeburg, Jumat 1 Maret 2019. Aksi teatrikal itu menjadi puncak acara peringatan 70 tahun Serangan Umum yang diadakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY. Dengan mengadakan peringatan itu, Pemprov DIY amat berharap Serangan Umum 1 Maret dijadikan hari besar nasional. Tujuannya, agar generasi milenial di seantero negeri insyaf bahwa operasi militer TNI bersama elite sipil dan rakyat Yogya patut dibanggakan bersama, tidak hanya oleh orang Yogyakarta. “Ini juga salah satu keinginan Ngarso Dalem Sultan Hamengkubuwono X, agar peristisa ini tidak hanya berhenti sebagai peringatan rutin yang hanya dimiliki beberapa orang dan kota tertentu. Sementara sebetulnya Serangan Umum 1 Maret punya makna yang sangat besar bagi kita sebagai bangsa Indonesia,” terang sejarawan UGM Profesor Sri Margana dalam sarasehan dan diskusi “Peringatan 70 Tahun Serangan Umum 1 Maret 1949” di Hotel D’Senopati, Jumat malam, 1 Maret 2019. Serangan Umum (SU) digagas Menhan Sri Sultan Hamengkubuwono IX untuk mematahkan propaganda Belanda. Setelah melancarkan Agresi Militer II pada 19 Desember 1948 dan menahan pimpinan republik, Belanda mengklaim Indonesia sudah musnah. Sosiodrama/teatrikal kolosal di depan Benteng Vredeburg pada 3 Maret 2019 menjadi puncak peringatan 70 tahun Serangan Umum 1 Maret (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Gagasan Hamengkubuwono IX itu lalu diterima Panglima Sudirman dan ditindaklanjuti dengan memerintahkan Letkol Soeharto untuk melaksanakan serangan kilat selama enam jam itu. Alhasil, pada pagi 1 Maret Belanda dikejutkan serangan yang datang dari berbagai sudut mata angin Yogyakarta. SU memberi bukti kepada para delegasi Komisi Tiga Negara, yang sedang berada di dalam kota, RI dan TNI-nya masih eksis. “Hasil dari operasi itu menjadi bahan para elite sipil untuk berjuang secara diplomatik, yang kemudian membuat Belanda mau berunding. Dari situ pula negara-negara lain di dunia satu per satu makin banyak yang mengakui kedaulatan Indonesia. Berlanjut kemudian pada hasil Konferensi Meja Bundar yang membuat Belanda mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember 1949,” tambah Margana. Hari Penegakan Kedaulatan RI? Ide membuat SU menjadi hari besar nasional pertamakali diutarakan Sri Sultan Hamengkubuwono X kepada Presiden Joko Widodo. “Pada 31 Oktober 2018, Sultan sebagai Gubernur DIY sudah bertemu dan minta menjadikan Serangan Umum menjadi hari besar nasional,” ujar Kepala Dinas Kebudayaan DIY Aris Eko Nugroho. Presiden memberi lampu hijau. Prosesnya kini sudah “setengah jalan”. Pihaknya, kata Aris, sudah mengajukan naskah akademik ke Sekretariat Negara. “Pada 21 Februari kita juga sudah berkirim surat ke Kementerian Pertahanan dan sekarang kita menunggu keputusan pemerintah pusat,” lanjutnya. Naskah akademik itu dibuat oleh tim peneliti dan pengkaji yang dipimpin Sri Margana, tak lama setelah Sultan Hamengkubuwono X menghadap Presiden Jokowi. Tim merangkum semua buku, memoar, serta tuturan pelaku peristiwa. “Selain itu, akhir tahun lalu kita juga membuat seminar di Dinas Kebudayaan DIY untuk mendapatkan usulan, masukan, dan kritikan lebih lanjut dari para tokoh. Setelah naskahnya rampung, kita juga diminta mempresentasikannya ke Setneg terkait alasan-alasan serta tujuan pengusulan ini. Kalau disetujui, nanti akan diadakan lagi seminar berskala nasional yang hasilnya akan diajukan secara resmi untuk ditetapkan oleh presiden,” sambung Margana. Untuk penamaan harinya, Margana mengakui belum final dan siapapun diperkenankan memberi usulan. Namun, dia menyimpulkan ada satu yang paling logis: Hari Penegakan Kedaulatan Republik Indonesia. “Tanggal 17 Agustus 1945 kan negara sudah proklamasi, tapi tidak lama kemudian Belanda agresi untuk menguasai lagi. Jadi para tentara dan rakyat berjuang untuk menegakkan kedaulatan. Dan pada 17 Agustus itu kan belum semua negara mengakui keberadaan Indonesia, tapi setelah peristiwa itu banyak negara yang sudah mau mengakui kedaulatan negara kita,” kata Margana. Prof. Sri Margana dalam Seminar Kesejarahan dalam rangka Peringatan 70 tahun Serangan Umum 1 Maret 2019 (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Pertimbangan lain kenapa “Hari Penegakan Kedaulatan Republik Indonesia” yang dipilih sementara, karena tim ingin menggarisbawahi bahwa kedaulatan Indonesia yang ditegakkan lewat Serangan Umum itu tidak akan berhasil tanpa kemauan bersatu dari elite sipil, TNI, dan rakyat. Kedaulatan yang ditegakkan jadi merupakan milik bersama. Namun, kemunculan usulan yang berbarengan dengan masa kampanye justru menimbulkan pertanyaan, kenapa baru sekarang? “Karena dulu fokus soal peristiwa ini masih berkutat pada siapa penggagasnya. Ada banyak klaim. Utamanya Soeharto. Apalagi waktu masih era Orde Baru soal ini masih cukup panas secara politik karena Pak Harto masih hidup, masih memimpin. Tapi setelah Pak Harto lengser, baru muncul banyak saksi-saksi sejarah lain,” jelas Margana. “Semua memiliki kontribusi pada bidangnya masing-masing. Karena dalam peristiwa Serangan Umum, ada begitu banyak peran yang harus dimainkan dengan baik. Kita harus menempatkan peran setiap tokoh pada zaman dan peristiwa itu sendiri. Kenapa baru sekarang peristiwa ini diusulkan? Ya tidak dimungkiri bahwa secara politis sekarang suasananya lebih kondusif sejak reformasi.”

  • Kematian Igning Bikin Indonesia Pening

    OPSIR Muda Udara II Boediardjo kaget. Sebuah kawat datang dari Yogyakarta ketika pesawat RI-002 yang ditumpanginya menuju Manila masih di udara. Perwira Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) itu langsung sedih. Kawat itu mengabarkan berita duka. Namun, instruktur di Sekolah Radio Telegrafis Udara AURI itu tak langsung memberitakan isi kawat. Sebab, penerbangan tanggal 23 November 1947 itu membawa Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan delegasinya yang akan menghadiri konferensi ECAFE kedua di Baguio, Filipina, 24 November-6 Desember 1947. Baru setelah pesawat mendarat di Bandara Makati, Boediardjo menemui Opsir Udara II Petit Muharto, rekannya dalam penerbangan itu. “Harto, Igning meninggal, tetapi kakakmu juga,” ujarnya, dikutip Irna HN Soewito dan kawan-kawan dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 . Tangis Boediarto pun pecah. Keduanya tak pernah menyangka hidup Igning, nama alias Kapten Ignacio Espina, berakhir tragis. Perwira intelijen AD Filipina itu datang ke Indonesia untuk tugas melatih taktik gerilya. Dia menumpang pesawat yang sama, yang juga diawaki Boediardjo dan Muharto. Yang lebih tragis lagi, Igning tewas bersamaan dengan Kapten AL Deddy Muhardi, kakak Muharto yang ditugaskan mendampingi Igning selama di Yogyakarta. “Tidak terbayangkan bagaimana perasaan Petit, sebab dialah yang harus menyampaikan berita duka ini kepada pihak Filipina,” ujar Boediardjo dalam memoarnya, Siapa Sudi Saya Dongengi . Malam itu juga Muharto mendatangi markas besar Intelijen Angkatan Darat Filipina. Kepada Mayor Primitivo San Agustin, deputi Kepala G-2 AD Filipina, Muharto menyampaikan berita kematian Igning. Tapi alih-alih mendapat simpati atau penghargaan semestinya, Muharto justru dicurigai. Pihak Filipina curiga Muhardi adalah seorang perwira sekaligus agen komunis. Mereka curiga Muhardilah yang membunuh Igning. Muharto jelas kaget. Berulangkali dikatakannya bahwa dia sendiri baru mendapat kabar setelah di Bandara Makati. Namun, upaya itu tak berhasil mengubah pendirian para interogator. Permintaan Muharto agar Boediardjo selaku pemberitahu kabar dihadirkan, ditolak. “Sampai jauh malam Muharto diinterogasi oleh 12 orang yang penuh emosi dan bertele-tele,” tulis Irna. G-2 AD Filipina akhirnya memutuskan agar pemerintah Indonesia segera memulangkan jenazah Igning. Kepada Indonesia juga dimintakan agar menyatakan penyebab kematian Igning adalah kecelakaan, bukan pembunuhan. “RI-002 segera balik ke Yogya,” ujar Boediardjo. Pada 29 November, RI-002 bertolak kembali ke Manila untuk memulangkan jenazah Igning dengan rute Yogyakarta-Pekanbaru-Labuan-Manila. Kendati penerbangan VIP, RI-002 tak hanya mengangkut awaknya plus peti jenazah Igning tapi juga mengangkut 20 siswa penerbang yang akan menempuh pendidikan penerbang di India. Cuaca buruk dan menipisnya bahan bakar memaksa RI-002 mendarat di Changi, Singapura. Kepada komandan RAF (AU Inggris), Pilot Bob Freeberg dan navigator Muharto langsung memberitahukan alasan pendaratan darurat pesawatnya dan juga menjelaskan peti jenazah yang diangkut pesawatnya berisi jenazah Achmad. Lantaran orangtua Achmad orang kaya, dia ingin menguburkan anaknya di kampung halaman, Pekanbaru. Untuk itu, Bob meminta dicarikan bahan bakar agar bisa melanjutkan penerbangan ke Pekanbaru. Begitu RAF percaya, Muharto dan Boediardjo (radio operator) langsung mengontak perwakilan Indonesia di Singapura Mr. Utoyo Ramelan, kakak ipar KSAU Komodor Suryadarma. Orang yang dikontak pun datang tak lama kemudian bersama seorang pejabat, dan memberikan bantuan bahan bakar yang dibayar oleh Kantor Penghubung. Namun sesaat sebelum Bob menerbangkan pesawat, masalah tiba. Director of Civil Aviation (DCA) meminta jurisdictie atas pesawat yang dipiloti Bob itu dan menuntut RI-002 diterbangkan ke Bandara Kallang untuk diperiksa. Pers pun mencium misi rahasia AURI itu. Meski oleh Muharto dijelaskan bahwa pesawat membawa peti jenazah seorang pria asal Riau, The Strait Times memberitakan bahwa jenazah Achmad yang diangkut RI-002 merupakan Achmad Sukarno, presiden Indonesia. Setelah tiga pekan menahan RI-002, DCA akhirnya mempercayai keterangan awak pesawat itu. Pesawat RI-002 pun kembali mengudara menuju Labuan, Kalimantan Utara yang kala itu masih milik Inggris. Sama seperti pendaratan di Changi, begitu mendarat di Labuan Bob-Muharto-Boediardjo langsung ditodong otoritas bandara dengan pertanyaan tentang peti jenazah. Lagi-lagi, jawaban yang sama diberikan oleh para awak RI-002. Belum cepatnya arus informasi membuat otoritas bandara langsung percaya. Maka setelah makan siang dan mendapat bahan bakar, Bob langsung menerbangkan pesawat menuju Manila. Di Bandara Makati, para personil G-2 AD Filipina langsung menjemput peti jenazah Igning begitu RI-002 mendarat. Setelah memeriksa dengan seksama, mereka memastikan bahwa jenazah yang dibawa benar merupakan jenazah Igning. Di acara pemakaman, Muharto ikut memberi kata sambutan. Atas nama para pejuang Indonesia, Muharto mengatakan bahwa Igning merupakan orang baik yang mendapat sambutan luar biasa dari para pejuang. Pemerintah Filipina pun menyatakan masalah Igning selesai bersamaan dengan dikebumikan jasadnya. “Akhirnya segala keraguan lenyap sudah. Persahabatan dan solidaritas Indonesia-Filipina tetap terjaga,” ujar Boediarto.

  • Saling Hajar Masyumi-PKI

    PEMILU 2019 akan berlangsung 44 hari lagi. Namun persaingan antar partai  politik (terutama partai-partai politik terkemuka) dan calon presiden sudah terasa sejak hari-hari kemarin. Berbagai cara dilakukan untuk menonjolkan kualitas masing-masing konstestan. Tak jarang itu dilakukan lewat prilaku saling menjatuhkan dan menjelek-jelekan lawan politik. Media sosial menjadi palagan efektif untuk melontarkan kampanye dan sumpah serapah politik. Kompetisi antara kubu #2019 Ganti Presiden dengan #2019 Tetap Jokowi pun terselenggara dalam situasi yang banal dan nyaris tanpa akal sehat. Situasi yang nyaris sama pernah terjadi menjelang berlangsungnya Pemilu 1955. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia) adalah dua partai politik yang kerap terlibat adu tegang. Tidak hanya lewat poster, para juru kampanye kedua partai politik itu tak jarang menghamburkan provokasi yang kadang menimbulkan adu fisik antar masing-masing massa pendukung. Isu Anti Agama Bagi Masyumi, isu paling efektif untuk menghajar PKI adalah soal isu “keatheisan” partai berlambang palu arit tersebut. Dalam surat kabar Abadi , 30 Maret 1954, tokoh Masyumi Jusuf Wibisono menyatakan adalah suatu kemustahilan bagi pihak-pihak yang akan menyatukan kalangan agama dengan kalangan komunis. Terlebih kaum komunis tidak mengenal Tuhan dan agama. Itu pula yang diyakini para pemimpin Masyumi yang melihat “niat jelek” PKI kala mengusulkan mengganti sila “Ketuhanan yang Maha Esa” dalam Pancasila dengan prinsip kebebasan beragama. “Suatu langkah pertama menuju peresmian “kebebasan propaganda antiagama”,” demikian menurut pernyataan sikap yang dikeluarkan BKOI (Badan Koordinasi Organisasi Islam) dalam Abadi , 18 Januari 1955. Isu yang menempatkan PKI sebagai lawan kaum beragama, disantap habis oleh masyarakat kebanyakan terutama di daerah-daerah. Di Cianjur, Atikah masih ingat saat remaja dirinya berkawan akrab dengan seorang putri dari tokoh PKI setempat. Namun menjelang Pemilu 1955 berlangsung tetiba orangtuanya yang merupakan pengikut Masyumi fanatik melarang Atikah untuk berkawan lagi dengan karibnya itu. “Alasannya dia orang kafir yang membenci agama,” kenang perempuan kelahiran Cianjur 74 tahun lalu tersebut. Menghadapi serangan politik itu, tentu saja PKI tak tinggal diam. Remy Madinier dalam bukunya Partai Masjumi: Antara Godaan Demokrasi&Islam Integral menyatakan sebagai upaya untuk menampik isu tersebut, PKI berupaya keras menampilkan  wajah yang lebih toleran terhadap agama. “D.N. Aidit mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia harus menjadi “taman di mana semua agama dan keyakinan politik hidup secara harmonis dan sama-sama berjuang bahu membahu untuk menghancurkan imperialism”,” ujar peneliti sejarah Maysumi dari Prancis itu. Aidit juga pernah ‘menyiratkan’ bahwa Nabi Muhammad bukan hanya milik golongan tertentu dan PKI tidak anti agama. Pada 28 April 1954 saat sebagai Sekretaris I PKI ia berpidato di depan kader PKI Malang:  “Nabi Muhammad Saw. bukanlah milik Masyumi sendiri, iman Islamnya jauh lebih baik daripada Masyumi. Memilih Masyumi sama dengan mendoakan agar seluruh dunia masuk neraka. Masuk Masyumi itu haram dan masuk PKI itu halal!” ujarnya. Menurut Remy, kata-kata Aidit sontak mendapat respon keras dari para aktivis Masjumi setempat yang langsung mengepung podium tempat Aidit berpidato. Setelah dipaksa oleh Hasan Aidid (Ketua Masjumi Cabang Surabaya), untuk menarik perkataannya, Aidit pun berujar ke khalayak yang mengepungnya:  “Apabila diantara saudara ada yang tersinggung oleh ucapan-ucapan saya, maka saya meminta maaf. Saya hanya ingin mengatakan bahwa PKI tidak anti agama.” Tuduhan Pro AS Menjelang Pemilu 1955, bertiup kencang isu yang menuduh Masyumi bermain mata dengan AS (Amerika Serikat). Kendati ditolak mentah-mentah oleh kalangan pemimpin Masyumi, hubungan antara Masyumi-AS memang pernah terjalin. Setidaknya itu diakui oleh mantan agen intelijen CIA (Agency Intelijen Pusat) Joseph Burkholder Smith dalam Potrait of a Cold Warriors . “Perhitungan kami atas situasi di Indonesia menjelang Pemilu 1955 adalah bahwa Masyumi merupakan kekuatan tanding yang dibutuhkan Indonesia untuk menghentikan kecenderungan Sukarno dan para pendukung politiknya bergerak kea rah kiri, menuju suatu pemerintahan otoriter yang didukung oleh PKI,” tulis Joseph. Sebagai tindak lanjut dari dukungan itu, CIA menggelontorkan dana sebesar $1 juta ke Masyumi. Demikian menurut Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA. Isu yang bertiup kencang itu tentu saja menjadi amunisi yang handal bagi PKI menghajar Masyumi sebagai partai politik yang didukung oleh kaum imperialis. Tak jarang tuduhan itu dilontarkan di depan khalayak dan memanaskan kuping para pendukung partai berlambangkan bulan sabit tersebut. Para pemimpin Masyumi sangat sadar bahwa isu yang ditiupkan PKI itu cukup mengganggu. Dalam sebuah pertemuan Masyumi di Jember pada 21 Juli 1954, Ketua Pengurus Masyumi Cabang Sukabumi Muchtar Chazaly bertanya kepada hadirin: “Apakah di sini ada yang memiliki potret (Dwight D.) Eisenhower (Presiden AS saat itu)?” Pertanyaan itu dijawab secara serempak oleh sekira 10.000 massa Masyumi dengan kata: tidak! Sang politisi Masyumi itu lantas menyimpulkan bahwa itulah buktinya bahwa Masyumi bukan agen AS, seperti yang dituduhkan oleh orang-orang komunis. Secara sinis, Muchtar malah menyebut bahwa justru PKI merupakan agen-agen Uni Sovyet dan Tiongkok karena mereka kerap memajang foto para pemimpin komunis seperti Malenkov, Mao Tse Tung dan lain-lain.

  • Kisah Sedih Sang Gubernur

    Kota Bandung bukan tempat yang tentram pada bulan-bulan setelah proklamasi kemerdekaan. Pasukan Sekutu yang terdiri dari dua batalion (2.000 prajurit) tentara Inggris dari kesatuan Gurkha tiba di sana pada 12 Oktober 1945. Tentara Sekutu dipimpin oleh Komandan Brigade ke-37 Inggris, Brigadir Jenderal Mac Donald. Pasukan Belanda turut tergabung di dalamnya. Gubernur Jawa Barat, Soetardjo Kartohadikusumo kepayahan menghadapi tamu asing bersenjata modern ini. “Saban malam rumah gubernuran di pekarangan bagian belakang mendapat serangan serdadu Belanda dengan granat dari jauh, tetapi tidak sampai mengenai rumah,” tutur Soetardjo dalam memoar Soetardjo: “Petisi Soetardjo” dan Perjuangannya yang dituliskan anaknya Setiadi Kartohadikusumo. Rakyat Bandung tak tinggal diam. Kedatangan Sekutu disambut pamflet yang bertebaran ke berbagai penjuru kota. Isinya seolah-olah menyatakan perang terhadap Sekutu. Segala cara dan senjata dianjurkan untuk digunakan bertempur, mulai dari bambu runcing, golok, senapan, hingga ular berbisa. Cara penyambutan itu diinsiasi oleh berbagai organisasi perjuangan baik politik maupun militer. Saling Serang  Serangan pertama terhadap prajurit patroli Gurkha terjadi pada 21 November 1945. Eskalasi bersenjata selanjutnya memuncak pada tiga hari berturut-turut. Harian Merdeka, 24 November 1945 melaporkan bahwa selama seminggu terakhir, tembakan-tembakan terdengar sepanjang pagi dan malam di seluruh kota. Pada malam hari pertempuran terbuka pecah dan revolusi di Bandung pun mulai memasuki fase yang paling sengit. Pada 26 November 1945, para pemuda mengganggu iring-iringan RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees), organisasi yang mengurus tawanan perang, dari Cimahi menuju bandara di Bandung. Walhasil, iring-iringan tak jadi diterbangkan ke Jakarta. Untuk menyikapinya, Sekutu mengirim sekompi pasukan untuk membersihkan “gerombolan pengacau.” Sebanyak sepuluh orang Indonesia tewas dan lima orang lainnya mengalami cedera. Kontak senjata merembet lagi dan terus berlanjut memasuki Bandung. Dalam suatu pertemuan, Jenderal Mac Donald meminta pertanggungjawaban Soetardjo atas serangan bersenjata pasukan Indonesia. Mac Donald juga meminta agar barikade harus disingkirkan dari jalan. Namun, Soetardjo menolak tudingan dan permintaan Mac Donald. Pertemuan diakhiri dengan tuntutan agar dalam dua hari ke depan, penduduk Indonesia di Bandung harus pindah ke arah selatan. Tuntutan Sekutu membagi kota Bandung diikuti serangkaian ultimatum. Peringatan itu sebagaimana dicatat sejarawan John Smail dalam Bandung Awal Revolusi 1945-1946 antara lain,  tidak ada warga sipil yang diperbolehkan berada pada radius 200 meter dari posisi Sekutu. Selain itu, pihak Indonesia harus menjauhi wilayah sekitar gedung-gedung penahanan tawanan perang Sekutu (RAPWI) meliputi Hotel Savoy Homann dan Hotel Preanger. Setiap penduduk laki-laki yang menjaga atau berada di dekat barikade jalan akan ditembak.  “Hal itu oleh rakyat tidak dipenuhi. Maka setiap malam terjadi lah pertempuran antara tentara Sekutu dan pasukan bersenjata Indonesia. Rumah gubernuran pun acapkali menjadi inceran musuh,” kenang Soetardjo. Situasi genting dan krisis ini kelak menjadi cikal bakal peristiwa Bandung Lautan Api. Mengungsikan Keluarga Gempuran terhadap kota Bandung mengancam keselamatan Soetardjo sekeluarga. Untuk alasan keamanan, Soetardjo mengungsikan keluarganya ke Majalaya. Wilayah yang terletak di arah selatan Bandung itu terkenal dengan curah hujan yang tinggi. Dalam kampung itu, Soetardjo tetap mengawasi jalannya pertempuran bersama bupati Bandung. Di Majalaya, keluarga Soetardjo dititipkan di rumah pesanggrahan Menteri Dalam Negeri Wiranatakumah. Kadangkala, Soetardjo terpaksa bolak-balik ke Bandung untuk urusan kegubernuran dan balik lagi ke Majalaya untuk mengunjungi keluarga.  Apabila situasi kondusif, keluarganya diboyong kembali ke Bandung, Namun, saat situasi memanas, pengungsian kembali terjadi. Pengungsian sering kali berlangsung pada saat hujan lebat. Akibatnya fatal. Bolak-balik mengungsi berdampak terhadap penurunan kesehatan  i stri Soetardjo, Siti Djaetoen Kamarroekmini Pada 1947, Siti Djaetoen, meningggal dunia di Surakarta. Duka ini terjadi setelah Soetardjo dipindahtugaskan ke Jawa Tengah sebagai anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Menurut Soetardjo, selama di Solo, Siti Djaetoen menderita penyakit jantung sesudah mereka sekeluarga pindah dari Bandung disebabkan perjuangan revolusi. “Pada waktu mana ia dengan anak-anaknya seringkali harus saya ungsikan di desa daerah Majalaya sebelah selatan Bandung, seringkali pada waktu malam di bawah hujan lebat,” ujar Soetardjo. Setelah pengakuan kedaulatan, keadaan berangsur-angsur tentram. Soetardjo kemudian menikah lagi dengan janda bupati Bantul, Siti Surat Kabirun (keponakan Sri Sultan Hamengkubuwono IX), dan Koes Sabandinah (adik Sri Paku Alam VII).

bottom of page