top of page

Hasil pencarian

9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Hikayat Sebuah Lonceng Tua

    Di sudut sebelah barat kawasan pendopo Kabupaten Cianjur, lonceng tua itu terpuruk seperti orang sakit. Tak banyak orang tahu asal usul benda kuno tersebut. Termasuk Irvan Rivano Muchtar, Bupati Cianjur. “Saya sama sekali tidak tahu riwayat lonceng itu, tapi karena saya yakin itu benda sangat bersejarah maka tak ada niat dari pemerintah Kabupaten Cianjur untuk menyingkirkannya,” ujar Irvan kepada Historia . Bagi kalangan sepuh di kota beras itu, keberadaan lonceng kabupaten (demikian orang Cianjur menyebutnya) memiliki kenangan tersendiri. Pepet Johar (71), masih ingat, bagaimana saat remaja dulu dirinya selalu menjadikan bunyi lonceng itu sebagai acuan untuk mengetahui waktu. “Pada akhir tahun 1950-an, secara rutin lonceng kabupaten kerap dibunyikan tiap hari, dan jumlah pukulannya disesuaikan dengan angka jam yang sedang berlangsung…,” ungkap pengelola Bumi Ageung (Museum Prawiradiredja II, bupati Cianjur ke-10) itu. Lebih jauh lagi, tahun 1900-an, lonceng kabupaten pernah dijadikan pengingat berlangsungnya jam malam. Dari para leluhurnya, Dadan (75) mendapat cerita: seiring lonceng dipukul sembilan kali di waktu malam, maka sambil menunggang kuda, beberapa upas (petugas keamanan kabupaten) berkeliling untuk memeriksa apakah masih ada penduduk berkeliaran atau tidak. “Jika mendapatkan penduduk termasuk para bocah masih berada di luar rumah maka mereka langsung disuruh untuk ngampih (segera masuk rumah),” tutur seniman senior di Cianjur itu. Lonceng kapubaten pun di era Hindia Belanda pernah berfungsi sebagai pemberi informasi telah terjadinya suatu peristiwa penting di Cianjur. Dalam Preanger Bode tertanggal 23 Maret 1910, dikisahkan ketika bupati terkemuka Cianjur R.Prawiradiredja II mangkat pada 17 Maret 1910, lonceng kabupaten dibunyikan beberapa kali tepat pada jam 6 pagi, disusul bunyi beduk bertalu-talu dari Masjid Agung Cianjur . Banyak versi yang beredar sekitar asal-usul lonceng kabupaten. Namun jika mengacu kepada tulisan yang tertera di kepala lonceng (BORCHHARD GEGOTEN IN T AMBAGD QWARTIR TOT BATAVIA 1774), besar kemungkinan lonceng itu dibuat di Batavia oleh Johan Christian Borchhard, seorang pengrajin lonceng Eropa terkemuka pada abad ke-18. “Lonceng buatan Borchhard tersebar dari Belanda hingga Afrika Selatan,” ujar Valeron Najoan, penulis sejarah yang rajin menelusuri arsip-arsip tua berbahasa Belanda. Borchhard sebenarnya seorang berkebangsaan Jerman, namun menjelang kematiannya pada 1777, ia kerap bermukim di Enkhuizen, Belanda. Dari penelisikan yang dilakukan oleh Valeron, ada dua lonceng karya Borchhard yang dibuat di Batavia, khusus untuk Gubernur Jenderal VOC (Maskapai Perdagangan Hindia Belanda) ke-29 Petrus Albertus van Der Parra. Lonceng pertama selesai pada 1772 sedangkan lonceng kedua rampung pada 1774, setahun sebelum van Der Parra meninggal secara mendadak. “Jika melihat kisah tersebut, saya memiliki pendapat lonceng yang terdapat di muka pendopo Cianjur itu adalah lonceng kedua. Itu dibuktikan dengan tahun yang tertera di kepala lonceng yakni 1774. “ ungkap Valeron. Lantas muncul pertanyaan: bagaimana lonceng tersebut bisa berada di Cianjur? Soal itu memang belum terjawab secara pasti oleh para peneliti sejarah dan para sejarawan. Dalam buku Sejarah Cianjur karya Raden Makbul Husein dan Abdur Rauf, disebutkan bahwa lonceng itu konon dihadiahkan oleh VOC untuk Aria Waratanudatar (bupati pertama Cianjur). “ Ketika Aria Cikondang sebagai utusan sang ayah, datang ke Batavia ia lantas dihadiahi sebuah lonceng sebagai tanda mimitraan (kerjasama),” tulis Raden Makbul Husein dan Abdur Rauf. Keterangan di atas jelas rancu secara historis. Logikanya, Aria Wiratanudatar berkuasa jauh sebelum tahun 1774 (waktu ketika lonceng itu selesai dibuat). Dia menjadi penguasa di Cianjur dari tahun 1677 hingga 1691. Jadi perbedaannya hampir seratus tahun. Ada dua kemungkinan lonceng itu bisa disimpan di Cianjur. Pertama, bisa jadi itu dihibahkan pemerintah Hindia Belanda kepada Cianjur di awal abad ke-19, sebagai simbol penghargaan. Menurut Jan Breman dalam buku Keuntungan Kolonial dari Kejapaksa , sejak awal abad ke-18 Cianjur merupakan sumber devisa terbesar bagi pemerintah Hindia Belanda pasca VOC runtuh akibat korupsi. Terutama untuk komoditas kopi. Kedua, lonceng itu dihadiahkan khusus untuk Bupati Prawiradiredja II karena prestasinya yang sangat hebat dalam membangun Cianjur. Besar kemungkinan benda itu diberikan oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1904 ketika pemerintahan Cianjur mengadakan pesta peringatan ke-40 berlangsungnya pemerintahan Prawiradiredja II. Bataviaasch Nieuwsblad tertanggal 26 Agustus 1904, mengisahkan bagaimana saat itu para pejabat dan pemuka komunitas Eropa, Tionghoa dan tokoh-tokoh bumiputera memberikan berbagai aneka hadiah menarik kala itu kepada sang bupati. Namun pastinya soal ini harus ditelisik lebih serius lagi oleh para peneliti sejarah dan para sejarawan, sehingga tidak ada lagi orang Cianjur yang buta pada sejarah kotanya sendiri.

  • Kapur Barus, Agen Persebaran Agama di Nusantara

    Pada Maret 2017, Presiden Joko Widodo meresmikan Kilometer 0 Peradaban Islam Nusantara di Barus, Tapanuli Tengah, Sumatra Utara. Sejak lama, Barus menjadi tempat persinggungan pedagang antarbangsa. Mereka datang dari berbagai tempat terutama untuk mendapatkan kapur barus yang berguna untuk mengawetkan mayat. Keramik dan piring yang ditemukan di situs Lobu Tua membuktikan pedagang dari Tiongkok dan Arab pernah datang ke Barus. Selain untuk mendapat kapur barus, para pedagang juga singgah untuk menunggu perjalanan berikutnya. “Orang-orang seringkali menunggu selama beberapa bulan untuk menunggu angin yang cocok untuk pelayaran mereka,” kata arkeolog Agus Widiatmoko dalam diskusi buku Gerbang Agama-Agama Nusantara di Museum Nasional, Jakarta, 25 Oktober 2017. Pejabat di Direktorat Sejarah Kemendikbud itu mencontohkan, I Tsing ketika hendak menuju Nalanda (India) harus singgah di Swarna Dwipa selama enam bulan. “I Tsing belajar tentang tata bahasa Sanskrit sebelum memperdalam ajaran Budha di Nalanda. Untuk menunggu angin ke barat, ia harus nunggu enam bulan,” kata Agus. Menurutnya, ada kemungkinan I Tsing berangkat ke India melalui Barus karena letak Pantai Barat Sumatera yang berdekatan dengan India. Dengan adanya kontak dagang dan waktu singgah yang cukup lama, interaksi antara masyarakat lokal dengan orang asing terjalin. Dari interaksi inilah agama-agama luar masuk ke Nusantara melalui Barus, kemudian menyebar ke wilayah lain. “Sampai abad ke-17, perairan di utara Sumatera belum bisa ditempuh karena Malaka dikuasai perompak,” kata Rusmin Tumanggor, penulis buku Gerbang Agama-Agama Nusantara. Bukti-bukti hadirnya beragam agama di Barus juga bisa dilihat dari mantra-mantra yang digunakan dalam pengobatan tradisional di sana. Menurut Rusmin, dari semua jenis mantra pengobatan, mantra Hindu yang paling mula ada. “Hindu yang masuk di sana tidak begitu progresif menghindukan, siapa yang mau masuk saja. Jika benar Hindu di Bali dari India, tidak akan mungkin bisa sampai ke Bali tanpa transit terlebih dahulu di Barus," kata Rusmin. Rusmin mengurutkan berdasarkan temuannya: Hindu yang pertama kali masuk ke Barus, diikuti Yahudi, Kong Hu Cu, Islam, kemudian Kristen. Masuknya Yahudi ke Barus bisa ditemukan dari mantra pengobatan berbahasa Ibrani yang dia temukan di Pustaha Batak. “ Ben somerlah bi rahaman bi rahamin …” yang artinya “dengan Tuhan yang dermawan dan penyayang.” Agama Kong Hu Cu masuk melalui Barus sejak 250 SM. Selain temuan arekologis berupa pecahan keramik Tiongkok di Lobu Tua yang ditemukan Denys Lombard, hal yang menjadi pembukti ialah mantra pengobatan yang ditujukan pada Dewa Kwan Khong –dewa penentu orang hidup di batas Nirwana dalam agama Ru, cikal-bakal Kong Hu Cu– yang ditemukan Rusmin. Mantra itu berbunyi “ Hong, ulosi aha on songon tumbaga huling, palua sahitna, hipashon imana …” Artinya, kurang lebih “Hong, sematkan ulos ke tubuhnya, seperti Tumbaga Huling, sembuhkan sakitnya, kelegaan baginya.” Sementara, Islam masuk melalui Barus diperkirakan jauh sebelum masuk ke Samudra Pasai. “Pada 1963 Hamka mengatakan Islam awalnya bukan di Samudra Pasai pada abad ke-15 tapi masuk beberapa dasawarsa ketika Nabi Muhammad SAW mengajarkan Islam di Jazirah Arab, tempat itu adalah Barus,” kata sejarawan JJ Rizal yang menjadi moderator diskusi. Catatan dari masa Dinasti Tang (abad ke-7 sampai abad ke-10), Hsin Tang Shu , menyebutkan bahwa di pesisir Sumatera terdapat permukiman Islam. Bukti lain, temuan berupa makam Syekh Rukunuddin, bertarikh 672 M, di Makam Mahligai, Barus. Ketika Van Der Tuuk, utusan Perkumpulan Alkitab Belanda, masuk ke Barus pada 1851 untuk mengkristenkan Batak, sudah ada Islam di pesisir pantai. Van der Tuuk, menurut Rusmin, akhirnya memilih untuk menyebarkan Kristen ke daerah pedalaman karena di daerah pesisir sudah banyak pemeluk Islam. Meski beragam agama masuk melalui Barus, Rusmin menjelaskan bahwa pluralisme tetap terjaga. Ketika Islam masuk ke Barus, orang-orang yang sudah memeluk agama lain tidak dipaksa untuk masuk Islam. “Hindu yang sudah ada tidak diotak-atik. Hanya dijelaskan ada agama baru. Hal serupa juga terjadi ketika para misionaris masuk ke Barus,” kata Rusmin.

  • Dilaknat hingga Akhir Hayat

    GARA-GARA nila setitik, rusak susu sebelanga. Pepatah itu amat pas digunakan untuk melukiskan nasib Moacyr Barbosa Nascimento, goleiro (kiper) timnas Brasil di Piala Dunia 1950. Publik negeri Samba yang semua memujanya, berbalik 180 derajat melaknatnya. Prestasi melimpah Barbosa seakan tiada arti lantaran dikambinghitamkan dalam satu momen – final Piala Dunia 1950 kontra Uruguay di Estadio do Maracana. Di era 1940-an, Barbosa diakui sebagai salah satu kiper terbaik dunia. Bersama klubnya Vasco da Gama, gelar Campeonato Sul-Americano de Campeones diraihnya pada 1948. Begitupun Campeonato Carioca, turut dipersembahkannya pada tahun 1945, 1947, 1949, 1950, 1952, dan 1958. Tidak ketinggalan, satu titel Copa America untuk Selecao (julukan Brasil) di tahun 1949. Maka, kiper berkulit legam itu menjadi harapan rakyat Brasil di perhelatan Piala Dunia pertama pasca-Perang Dunia II. Tuan rumah tak terkalahkan di babak penyisihan. Di laga puncak, 16 Juli 1950, di Stadion Maracana, Brasil bersua tim tetangga Uruguay yang berada di posisi kedua. Brasil hanya butuh hasil imbang karena pada fase lanjutan setelah penyisihan, formatnya masih babak grup. Dalam dua laga awal, Brasil menghancurkan Swedia 7-1 dan Spanyol 6-1. Berada di posisi teratas, Brasil hanya butuh satu poin untuk juara. Publik Brasil yakin itu takkan sulit diraih timnasnya. Maka, mereka sudah sangat siap untuk berpesta. “Wali Kota Rio (de Janeiro) dalam pidato sebelum pertandingan, malah sudah menyanjung tim (Brasil) sebagai juara dunia,” ungkap Joseph L Arbena dan David G LaFrance dalam Sport in Latin America and Caribbean . Nyaris 200 ribu penonton, mayoritas suporter tuan rumah, menyesaki Maracana saat laga puncak dimainkan. Riuh di tribun penonton baru “meledak” di menit ke-47 ketika Albino Friaca Cardoso memecah kebuntuan Brasil. Namun, Uruguay menyamakan kedudukan di menit 66 lewat gol Juan Alberto Schiaffino. Petaka buat Brasil tiba di menit 79 kala Alcides Ghiggia memaksa Barbosa memungut bola dari gawangnya untuk kedua kali. Barbosa diperdaya Ghiggia dari pinggir kotak penalti. Bola di kaki Ghiggia yang dikira hanya akan dilepaskan sebagai umpan, justru meluncur ke gawangnya ke arah tiang dekat. Barbosa yang sudah bergerak keluar sarang untuk memotong bola, mati langkah. Skor 2-1 untuk Uruguay bertahan sampai wasit George Reader asal Inggris meniup peluit akhir. Seisi stadion nyaris terdiam kecuali sektor tribun yang dihuni suporter Uruguay. “Final yang sampai sekarang dikatakan sebagai bencana nasional. Diperparah karena dimainkan di stadion kebanggaan (kota) Rio, Maracana,” tulis Teresa A Meade dalam A Brief History of Brazil . Ratusan ribu penonton langsung keluar stadion dengan tertunduk lesu, termasuk yang di tribun kehormatan. Beberapa suporter bahkan sampai bunuh diri kemudian. Publik Brazil mengenang kekalahan itu sebagai Maracanazo atau Bencana Maracana. Saat Presiden FIFA Jules Rimet menyerahkan trofi Piala Dunia ke para pemain Uruguay, tak ada perayaan megah. “Saat saya berjalan menuju lapangan, saya merasakan keheningan yang luar biasa. Tidak ada pengawal kehormatan, tak ada lagu kebangsaan dan tak ada upacara (perayaan pemenang). Hanya ada saya sendiri,” tutur Jules Rimet yang dituangkan dalam bukunya, The Wonderful Story of World Cup . Sementara, Schiaffino punya kesan lain ketika mengenang momen itu. “Saya menangis lebih keras ketimbang orang Brasil. Sungguh membuat saya sangat sedih melihat mereka menderita seperti itu. Kami semua merasa sangat emosional,” ujarnya. Toh, sekembalinya mereka ke Uruguay publik merayakan kemenangan itu dengan pesta pora. Di Brasil, publik yang murka lalu menjadikan Barbosa kambing hitam. Dia dijadikan musuh nomor satu, dikutuk seantero negeri. Para orangtua di Brasil bahkan menyamakannya dengan demit, mereka menyebut nama Barbosa untuk menakut-nakuti anak-anak mereka jika susah diatur. Kiper yang tak pernah mengenakan sarung tangan itu mengaku tak mengerti kenapa dia yang paling disalahkan. Toh, gol Ghiggia ke gawangnya bukan blunder murni kiper tapi memang berasal dari skema permainan dan kecerdasan Ghiggia dalam melakukan gerak tipu. Lagipula, bukan hanya dia yang tampil melawan 11 pemain Uruguay. “Karier internasionalnya (di timnas) berakhir di final melawan Uruguay itu, namun dia baru benar-benar pensiun (di level klub) pada 1963 di usia 42 tahun. Tahun di mana dia dihadiahi gawang terbuat dari kayu yang digunakan di Stadion Maracana pada Piala Dunia 1950,” sebagaimana dikutip Donn Risolo dalam Soccer Stories: Anecdotes, Oddities, Lore and Amazing Feats . Barbosa membawa pulang gawang itu dan membakarnya di halaman belakang rumahnya. Segenap stakeholder sepakbola Brasil sejak itu tak pernah mau dekat-dekat dengan Barbosa. Konon, mereka takut ketularan nasib buruk. Di satu waktu, Barbosa dilarang ikut hadir dan menyaksikan timnas Brasil latihan jelang Piala Dunia 1994. Di waktu lain, Presiden CBF (induk organisasi sepakbola Brasil) Ricardo Teixeira melarang Barbosa menjadi komentator untuk laga-laga timnas Brasil. Persekusi terhadapnya berlangsung hingga lebih dari empat dekade. “Hukuman maksimal untuk kejahatan di Brasil 30 tahun. Saya menjalani hukuman yang tidak saya lakukan selama 43 tahun,” ucap Barbosa pada 1993, seperti dikutip Tom Winterbottom dalam A Cultural History of Rio de Janeiro after 1889: Glorious Decadence . Setengah abad setelah tragedi final di Maracana itu, Barbosa mengembuskan nafas terakhir di Praia Grande, 7 April 2000, akibat serangan jantung. Baru di akhir hayat, Barbosa tak lagi dilaknat. Brasil sendiri sejak itu tak pernah mau punya kiper berkulit hitam, hal yang baru berubah pada Piala Dunia 2002 ketika kiper berkulit hitam Nelson de Jesus Silva alias Dida menjadi kiper utama. “Dia (Barbosa – red .) berjasa besar buat tim Brasil namun kemudian dihukum setelah pertandingan. Faktanya, dia kiper nomor satu dan menunjukkan jasa besarnya untuk sepakbola Brasil. Penting untuk menggarisbawahi jasa-jasanya,” ujar Dida dalam testimoninya di biografi Barbosa, The Last Save of Moyacyr Barbosa, karya Darwin Pastorin.

  • Wujud Kuntilanak dalam Sinema dan Naskah

    Berambut kusut panjang terurai, mengenakan gaun panjang berwarna putih, dengan suara tawa melengking. Itulah wujud kuntilanak dalam imaji muda-mudi berusia 20-an saat ini. Menurut, Faqihudien Abi, mahasiswa di sebuah perguruan tinggi di Yogyakarta, gambaran kuntilanak bergaun putih yang dia miliki berasal dari film-film –yang diperankan– Suzanna. Jawaban serupa juga dikatakan oleh tiga narasumber lain. Susanna merupakan ikon horor tahun 1980-an. Meski film-filmnya yang menampilkan kuntilanak –semisal Sundel Bolong (1981) dan Malam Satu Suro (1988)– diproduksi tahun 1980-an, ketika muda-mudi tadi belum lahir, film-film itu sering ditayangkan ulang stasiun-stasiun televisi swasta pada awal 2000-an. Eksistensi kuntilanak, satu dari sekian banyak jenis hantu di Indonesia, telah ada sejak lama. Di dalam serat, kata dosen sastra Jawa Universitas Indonesia Prapto Yuwono, sosok kuntilanak digambarkan sebagai penggoda ibu-ibu yang baru melahirkan. Kuntilanak suka mencuri bayi. Maka, dalam budaya Jawa, ibu yang sedang mengandung dibekali gembolan berisi gunting, bangle , bawang putih, dan lain-lain supaya tak diganggu kuntilanak. “Atau dia nembang kidung “Lingsir Wengi”. Kalau surup (menjelang magrib –red.), orang-orang zaman dulu menyanyikan lagu “Lingsir Wengi”. Itu penolak bala sebenarnya, bukan pemanggil setan seperti yang diceritakan dalam film,” ujarnya. Naskah-naskah selalu menggambarkan kuntilanak dengan sosok perempuan cantik, berambut panjang, bisa terbang, tawa cekikikan melengking, dan sering berada di atas pohon. Ia bisa berubah wujud menjadi sosok mengerikan ketika marah. Namun, kata Prapto, kuntilanak sebetulnya tak beda dari sundel bolong. “Kalau dia sudah marah akan menjadi sundel bolong yang lubangnya pindah-pindah. Penggambarannya seram, bukan cantik lagi. Penggambaran di sinema kurang seram, selalu baju putih. Menurut saya, itu visualisasi saja. Sebenarnya hitam, di atas pohon, justru rambutnya yang kelihatan, kalau ketawa ya cekikikan, dan sering terbang,” sambung Prapto. Kuntilanak, kolong wewe, dan genderuwo merupakan anak buah dari makhluk gaib yang menjaga suatu daerah. Suluk Plencung , ditulis pada 1791, menyebutkan beberapa nama penunggu suatu wilayah. Semisal, carub bawor yang menunggu daerah Lamongan atau Ki Samahita di Magelang. Babad Tanah Pekalongan juga menyebutkan para penunggu tempat angker, seperti Kali Sambong yang dijaga siluman welut putih dan Alas Gambiran yang dijaga Dewi Lanjar, suruhan Ratu Kidul. “Kolong wewe, jin, dan lain-lain semua punya fungsi dan tugas masing-masing. Pemimpin tertingginya itu Roro Kidul,” kata Prapto. Gambaran kuntilanak seperti yang diuraikan Prapto agaknya tak seluruhnya masuk ke kepala para sineas. Maka, film-film horor kuntilanak pun menampilkan sosok kuntilanak berupa perempuan cantik bergaun putih seperti yang diperankan Susanna. Film-film horor acapkali menceritakan kuntilanak adalah arwah penasaran dari perempuan yang meninggal ketika sedang mengandung atau perempuan yang mati karena korban kejahatan sehingga mati membawa dendam. Setelah menjadi hantu, si perempuan punya kekuatan untuk membalaskan dendamnya. Namun, di akhir cerita biasanya akan ada tokoh lelaki yang mengalahkan hantu tersebut, biasanya kiai, ustad, atau pria agamis lain. “Dalam film horor, perempuan ketika hidup menjadi korban. Ketika mati, dia punya kekuatan tapi harus dikalahkan. Akhirnya, back to order lagi, perempuan bagaimanapun harus ditundukkan. Di satu sisi, memperlihatkan bagaimana budaya patriarki memandang perempuan. Perempuan itu menakutkan kalau cantik sekaligus pintar, femme fatale ,” ujar Dr. Suma Riella, dosen sastra Prancis Universitas Indonesia yang menulis disertasi “Kaidah, Makna Das Unheimliche , dan Konstruksi Nilai Kajian Genre Atas Empat Film Horor Rumah Angker Indonesia”. Gambaran itu menjadi representasi visual kuntilanak di lebih dari 30 film horor yang diproduksi sejak 1960-an hingga 2017. Karena itulah sineas Rizal Mantovani berusaha mendobraknya. Lewat trilogi film kuntilanaknya yang dirpoduksi antara tahun 2006-2008, dia mencoba menampilkan wujud lain kuntilanak. Sosok kuntilanak dalam film Rizal tak mengenakan gaun putih panjang maupun berwajah cantik. “Dia (Rizal – red .) mencoba menawarkan versi baru kuntilanak tapi kan nggak laku, tidak ditiru. Yang terfiksasi dalam kepala masyarakat itu kuntilanak versi Suzanna, berbaju putih. Itu menurut saya dipengaruhi film-film. Jadi imajinasi kita pun terbentuk,” sambung Riella.

  • Tempat Pendidikan Buddha di Nusantara

    TAK semua tinggalan masa Hindu-Buddha di Indonesia merupakan candi pemujaan. Seperti Situs Nalanda di India, Indonesia juga punya bangunan kuno sebagai tempat belajar ajaran Buddha dan asrama bagi para pendeta. Arkeolog Agus Widiatmoko menguraikan pusat-pusat pendidikan Buddha di India muncul sejak awal masehi. Ditandai dengan adanya Situs Piprahwa dari abad 1 dan 2 M, Situs Nagarjunakonda abad 3 M, Situs Ganwaria dari abad 4 M, dan Situs Nalanda yang didirikan masa pemerintahan Gupta pada abad 5 M. Masa Gupta, ditandai dengan pendirian tempat pendidikan Nalanda yang membawa ajaran Buddha memasuki era sumber ilmu pengetahuan. Memasuki abad 6 M, tak hanya dikenal dengan institusi Buddha yang menghasilkan karya seni, Nalanda juga menjadi pusat ajaran Mahayana. Memasuki periode Pala pada akhir abad 8 M hingga akhir abad 11 M, tradisi di Nalanda memainkan peran penting. Di masa jaya Pala yang memerintah di Bengal dan Bihar itu, Buddha menjadi ajaran dan praktik resmi di kerajaan. Pada masa ini pula, pertumbuhan dan perkembangan Buddha Mahayana sangat pesat, khususnya aliran tantrayana. Pada periode Pala banyak didirikan vihara sebagai bagian dari universitas dan pusat pendidikan Buddha. Antara lain vihara Vikramasila, Odantapuri, Somapura, dan Jagaddala. Di antara universitas itu, Nalanda menjadi unggulan dan acuan. “Pusat-pusat pendidikan itu telah mempengaruhi ajaran Buddha di Nusantara,” kata Agus dalam pidato kebudayaan yang berjudul “Hubungan Muoro Jambi, Nalanda, Vikramasila dan Candi Borobudur” di acara Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) di Hotel Grand Inna Malioboro, Yogyakarta, Kamis malam (23/11). Dari hasil penelitian arkeologi di Situs Batujaya, Karawang, dapat diketahui telah ada pembangunan candi bercorak Buddha pada abad 6-7 M dan pembangunan tahap kedua abad 8-10 M. Bukti awal kemampuan penduduk Nusantara membangun candi sebenarnya sudah sejak milenium pertama. I-Tsing, pengelana asal Tiongkok yang datang ke Nusantara pada abad 7 M, dalam Nanhai Ji Gui Neifa Zhuan (Kiriman Catatan Praktik Buddhadaharma dari Laut Selatan), menyebut di wilayah kekuasaan Foshi ada pusat pendidikan Buddha. Tepatnya di daerah yang oleh orang India Selatan disebut Suvarnadvipa atau kini bernama Sumatra. Sumber lain, prasasti di India, Nalanda copperpalate dari abad 9 M yang ditemukan di Vihara I Nalanda, menyebut hubungan bilateral Raja Pala dengan keturunan Dinasti Syailendra bernama Balaputradewa dari Sumatra. Sriwijaya membangun vihara di Nalanda demi kepentingan pengembangan pusat pendidikan di Nusantara, dan pusat studi ilmu filsafat Mahayana di Nalanda menjadi rujukan Buddha di Sriwijaya. “I-Tsing bilang ada pusat pendidikan di Sumatra. Ini menarik. Kalau memang ada, di mana?” kata Agus. Agus kemudian menjelaskan Situs Muarajambi di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi. Kawasan ini sudah ada sejak abad 7-12 M seiring keberadaan Kerajaan Sriwijaya dan Melayu Kuno yang berpusat di Sumatra. Secara umum, ada dua kompleks bangunan, yaitu vihara dan tempat pemujaan. Ada pembagian ruang di bagian vihara di antaranya ruang tinggal, halaman, tempat ritual ( cetiyaghara ), pendopo ( mandapa), dan fasilitas lain sebagai kelengkapan bangunan, kolam dan sumur. Sementara kuil pemujaan hanya terdiri dari satu satuan ruang. Dalam satu satuan ruang berpagar keliling terdapat pusat ritual atau candi induk, mandapa, struktur stupa. Dengan adanya situs ini, kata Agus, menunjukkan sejak awal perkembangan Buddha di Nusantara, telah ada lokasi untuk mendidik para penganutnya. “Penemuan Prasasti Karangberahi di Jambi, setidaknya dimaknai kekuasaan Sriwijaya pada abad 7 M ikut mendorong kemajuan pendidikan Buddha khususnya di Muarajambi,” jelasnya. Menurut Agus, terkait hubungannya dengan India, ada kesamaan antara Muarajambi dengan Situs Nalanda dan Situs Vikramasila di India. Dua situs Buddha di India punya kronologi masa perkembangan yang saling berkesinambungan. Situs Nalanda dari abad 5-12 M. Situs Vikramasila dari sejak abad 8-13 M. Sedangkan Situs Muarajambi dari abad 7-12 M. Dari sisi arsitektur dan teknologi bangunan, ketiganya pun nampak mirip. Sama-sama memakai bata sebagai bahan utama. Pun soal pola dan satuan bangunan, meski ada beberapa penyesuaian dengan kondisi geografi lokal. Masing-masing situs mempunyai kompleks bangunan vihara dan kuil pemujaan. “Kesamaan ini menunjukkan, lokasi yang dipakai sebagai pusat pendidikan Buddha pada dasarnya tempat tinggal para biksu dalam menjalankan pendidikan Buddha,” kata Agus. Ketiganya juga memilih pola lokasi yang sama. Bangunan-bangunan itu tak jauh dari aliran sungai besar. Sumber daya air di sekitar ketiga situs itu pun melimpah. Meski mirip dengan di India, pusat pendidikan di Sumatra sebenarnya sudah berkembang sebelum pendirian vihara di Nalanda oleh Sriwijaya. Ini terkait berita I-Tsing pada abad 7 M yang sempat tinggal dua bulan di wilayah Sriwijaya untuk memperdalam sabdavidya sebelum ke Nalanda. “Sriwijaya mendirikan vihara di Nalanda dapat dimaknai sebagai upaya menjadikan Suvarnadvipa setara dengan pusat pendidikan di Nalanda,” ujar Agus. Tak cuma di Sumatra, Agus menambahkan, di wilayah Yogyakarta pun ada bangunan yang diperkirakan menjadi pusat pendidikan Buddha. Di kawasan itu terdapat tinggalan Buddha, Candi Sewu dan Candi Sojiwan. Kedua candi itu difungsikan sebagai bangunan pemujaan. “Di dekatnya ada Ratu Boko. Itu kalau menurut saya pribadi vihara besar,” katanya. Sebab, pola ruang yang ada di Ratu Boko punya kemiripan dengan bangunan vihara lainnya. Padahal, selama ini situs itu lebih sering dikaitkan dengan keraton. “Ini harus dikritisi,” tegasnya.

  • Bisnis Gelap Zaman Perang

    SUATU malam yang dingin, Ishak (bukan nama sebenarnya) masih tertidur pulas ketika sang komandan regu dan seorang kawannya membangunkan prajurit remaja tersebut. Dia lantas diperintahkan untuk bersiap-siap. Sepuluh menit kemudian, mereka bertiga sudah berjalan ke suatu tempat yang hanya sang komandan yang tahu. Menjelang subuh, mereka sudah sampai di sebuah gubuk yang masuk wilayah Pakisaji (termasuk Malang). Setelah menunggu sekitar lima menit, tetiba muncul dua orang bercelana loreng tentara Belanda. Tanpa banyak cakap, sang komandan menyerahkan segepok uang merah (uang yang dikeluarkan oleh Pemerintah Sipil Hindia Belanda) lantas memberikannya kepada salah satu dari orang tersebut. Usai menghitung jumlahnya, satu orang lainnya lantas meletakan bawaan mereka yang dibungkus kain hitam. Begitu dibuka, ternyata dua benda yang dibungkus kain itu adalah dua pucuk senjata. “Satu jenis Lee Enfield, satu lagi jenis Brengun,” ungkap eks anggota TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar) itu. Cerita Ishak memang bukan sekadar omong kosong belaka. Sekira 1946-1948, bisnis penyelundupan senjata marak terjadi di wilayah Malang. Dalam Sangkur dan Pena , Asmadi sempat merekam soal ini. Bahkan secara gamblang, dia menyebut kisaran harga senjata dalam kurs uang putih (uang yang dikeluarkan pemerintah RI): Dua Ratus Limapuluh Rupiah untuk sepucuk Brengun dan Seratus Rupiah untuk sepucuk Lee Enfield. Uniknya, kata Asmadi, bisnis senjata tersebut tidak hanya melibatkan tentara Belanda berkulit sawo matang, tapi juga tentara bule juga. Biasanya mereka menjadi pemimpin yang mengatur alur penjualan itu. “Supaya lebih aman, transaksi kerap juga dibayar dengan barang-barang mentah seperti kopi, tembakau, teh, kina dan lain-lain,” ujar penulis yang merupakan eks anggota TRIP Malang itu. Setelah Perjanjian Renville disepakati oleh pihak RI dan Belanda, bisnis senjata malah semakin subur dan terkesan “legal”. Di Malang, rute perjalanan senjata selundupan itu bermula dari pos-pos militer Belanda di Malang, kemudian dialirkan melalui jalan raya Malang-Kepanjen. Dengan kereta api, barang-barang itu diangkut ke Kepanjen. Sesampainya di sana lalu dipindahkan ke truk-truk militer yang wajib membawanya ke garis demarkasi. Di garis demarkasi, kedua pihak yang sebenarnya tengah bermusuhan itu bertemu dalam suasana akrab. “Sikap bermusuhan sama sekali lenyap dan suasana malah menjadi penuh persahabatan karena kedua belah pihak bisa menepati janjinya masing-masing,” tulis Asmadi. Sejarawan asal Australia Robert B. Cribb mengkonfirmasi soal bisnis di zaman perang tersebut. Dalam Gangters and Revolutionaries: The Jakarta People’s Militia and the Indonesian Revolution 1945-1949 , Cribb menyatakan penyelundupan senjata telah terjadi sejak tentara Inggris masuk ke wilayah-wilayah Indonesia pada 1945-1946. Bekerjasama dengan para bandit lokal dan Polisi Sipil Indonesia (yang ada di bawah koordinasi tentara Inggris), tentara Inggris menekuni bisnis itu nyaris tanpa gangguan. Selain milik kesatuan tentara Inggris sendiri, senjata-senjata itu pun sebagian besar adalah hasil rampasan dari tentara Jepang yang disimpan di Singapura. Dari gudang-gudang, secara sistematis senjata-senjata itu lantas mengalir ke Batavia lewat angkutan-angkutan militer dan sesampai di Pelabuhan Tanjungpriok lalu berpindah tangan ke pihak Republik via para pelacur Pasar Senen. “Koneksi dunia hitam juga penting dalam rantai perdagangan senjata itu karena merekalah yang secara langsung bertanggungjawab terhadap aliran senjata itu ke pihak pembeli,” ujar Cribb. Kebiasaan tentara Inggris itu kemudian diteruskan oleh para tentara Belanda yang mendambakan “uang tambahan” untuk bersenang-senang. Pasar Atom adalah tempat favorit untuk melakukan transaksi, selain di batas kota yang masuk dalam wilayah pinggiran Jakarta seperti Bekasi dan Karawang. Tidak hanya dengan uang, senjata pun ditukar dengan candu. Itu seperti dilakukan pada 1948 oleh Letnan Muda Sho Bun Seng, anggota telik sandi TNI (Tentara Nasional Indonesia) dari unit Singa Pasar Usang di Padang, Sumatera Barat. “Barang-barang haram itu kami jual dengan harga tinggi di Singapura, tapi tak jarang langsung ditukar dengan senjata dan amunisi,” kenang lelaki yang menapaki masa tuanya di utara Jakarta itu.*

  • Ketika Sukarno dan Kennedy Berdebat

    HARI masih belum terlalu terik di negara bagian Maryland, Amerika Serikat. Presiden John F. Kennedy bergegas menuju pangkalan Angkatan Udara Andrews. Ada apa gerangan? Rupanya seorang tamu penting telah datang. Pada 24 April 1961, Presiden Sukarno berkunjung ke Amerika Serikat. Pukul 10 pagi, pesawat Pan Am yang membawa rombongan Sukarno mendarat. Presiden Kennedy menerima secara langsung kedatangan Sukarno dengan upacara penyambutan. Pertemuan dilanjutkan ke Washington untuk mengadakan pembicaraan informal. Turut mendampingi Sukarno, Wakil Perdana Menteri Pertama Johanes Leimena, Menteri Luar Negeri Subandrio, dan Duta Besar Zairin Zain. “Ini adalah isyarat sambutan kehormatan luar biasa yang dilakukan presiden Amerika kepada pemimpin Indonesia,” kata Walentina Waluyanti de Jonge dalam Tembak Bung Karno, Rugi 30 Sen. Setibanya di Gedung Putih, Presiden Kennedy membuka pembicaraan. Nota percakapan antara Kennedy dan Sukarno termuat dalam arsip Foreign Relations of the United States, 1961-1963, Volume XXIII: Southeast Asia , dokumen nomor 172. “Mengapa Anda menginginkan Irian Barat?” tanya Kennedy sembari menjelaskan bahwa orang Papua yang ber-ras Melanesia berbeda dengan orang Indonesia pada umumnya yaitu Melayu Mongoloid. Kennedy juga mengingatkan uang yang dikeluarkan oleh Belanda untuk mengelola wilayah tersebut lebih banyak daripada hasil yang didapatkan. “Wilayah itu adalah bagian dari negara kami; Irian Barat harus segera dilepaskan,” ujar Sukarno. “Tetapi, orang Papua itu dari ras yang berbeda,” sanggah Kennedy. Sukarno membalasnya dengan mengurai analogi. “Apakah rakyat Amerika semuanya ras kulit putih?” tanya Sukarno. “Sebuah bangsa bukan sekedar masalah ras atau warna kulit.” Sebagaimana orang-orang kulit hitam dan berwarna lainnya di Amerika, Sukarno menjelaskan maksudnya bahwa Indonesia terdiri dari bermacam-macam ras. Johanes Leimena ikut menimpali Kennedy, bahwa akar budaya dan sejarah Irian Barat banyak dipengaruhi dari Maluku. “Mengapa Anda sangat menginginkan wilayah ini?” Kennedy kembali bertanya. Bisa jadi dia meminta alasan lain. ` “Karena wilayah ini adalah bagian dari bangsa kami,” tegas Sukarno. “Orang Dayak dari Kalimantan juga terbelakang mirip dengan orang Papua di Irian Barat. Hawaii adalah bagian dari Amerika tetapi orang Hawaii berbeda ras dengan orang Amerika kebanyakan. Orang Papua? Ya. Mereka pun ras yang berbeda dan begitu pula orang Dayak. Tetapi orang Dayak senang menjadi bagian dari Indonesia.” Pada kesempatan itu, Kennedy juga mengonfirmasi pandangan Menteri Luar Negeri Belanda Joseph Luns yang menganggap Indonesia akan mengancam wilayah timur dari Irian Barat. Sukarno menampik tudingan itu. Mengenai wilayah Timur dari pulau Irian (Papua Nugini), Sukarno menegaskan wilayah itu bukan bagian dari teritorial Indonesia sehingga tak ada alasan bagi Indonesia untuk mencaploknya. Kennedy tampak memahami tuntutan Indonesia atas wilayah Irian Barat. Namun kepada Sukarno, dia menekankan suatu hal. Masalah Irian Barat akan menjadi rumit dan sukar penyelesaiannya apabila terjadi aksi militer di Irian Barat. Kendati tiada kesepakatan soal Irian Barat, kedua presiden tersebut pada prinsipnya setuju untuk menolak politik kolonialisme. Pembicaraan pun bergeser ke topik lain seputar komunisme di Asia Tenggara dan Indonesia. Kennedy juga menawarkan tim ekonominya untuk membantu program pembangunan semesta Indonesia berjangka delapan tahunan (1961-1969). Menurut sejarawan Baskara Tulus Wardaya, Kennedy mengisyaratkan bahwa dia memiliki kepentingan pribadi untuk memastikan konflik Irian Barat berakhir dengan penyelesaian yang baik. Terjadinya suatu perang lokal akan dapat membahayakan kepentingan Amerika di kawasan Asia Pasifik. “Walaupun tidak yakin apakah Bung Karno akan mewujudkan ancamannya untuk menggunakan kekerasan guna menyelesaikan sengketa Irian Barat, pemerintahan Kennedy tetap tidak ingin mengambil resiko bahwa perselisihan itu akan memanas menjadi konflik militer internasional,” tulis Baskara dalam disertasinya yang dibukukan Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953-1963 . Pertemuan antara Sukarno dan Kennedy ditutup dengan sesi foto bersama. Juru foto kepresidenan, Robert Knudsen mengabadikan momen ketika keduanya bercengkrama di halaman belakang Gedung Putih. Sebuah potret penuh persahabatan tergambar ketika Sukarno, Kennedy, dan Caroline, putri sulung Kennedy yang berumur empat tahun, difoto bersama. “Dan sampai sekarang gambar Kennedy beserta keluarganya masih ada di rumahku,” tutur Sukarno kepada Cindy Adams dalam otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat .*

  • Kiprah Bumiputera di Jurnal Kedokteran Era Hindia Belanda

    Selama hampir seabad (1852-1942), Geneeskundig Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie (GTNI) menjadi jurnal medis terkemuka di Hindia Belanda. Hampir seluruh informasi yang dibutuhkan oleh mereka yang hendak mempelajari perkembangan ilmu medis di Hindia Belanda terhimpun di sini. Dengan sendirinya, menjadi kontributor GTNI adalah prestise tersendiri bagi seorang dokter atau peneliti kala itu. Sebelum abad 20, GTNI hanya diisi oleh kontributor Eropa. Lalu, seiring dengan dibukanya sekolah medis di koloni, dokter-dokter kelahiran Hindia mulai ikut mengisi GTNI. Umumnya mereka adalah lulusan STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter Hindia) dan pernah mengenyam pendidikan kedokteran lanjutan di negeri Belanda, baik dari kalangan pribumi maupun Tionghoa. Menurut Hans Pols, sejarawan University of Sydney, lahirnya para penulis medis lokal ini tidak lepas dari peran Christiaan Eijkman. Eijkman, yang dikenal atas penelitiannya tentang penyakit beri-beri, datang ke Hindia Belanda membawa pembaruan dalam penelitian kesehatan modern. Ia membangun sebuah laboratorium medis di rumah sakit militer yang kini menjadi RSPAD Gatot Subroto. “Saat itu dia juga menjadi direktur STOVIA, karena itu ia membolehkan murid-muridnya melakukan penelitian di laboratorium baru itu. Dokter Tjipto Mangunkusumo adalah salah satu yang pernah mengadakan penelitian di laboratorium ini,” tutur Hans Pols. Pengalaman riset semacam itulah yang memungkinkan dokter-dokter pribumi dan juga Tionghoa bisa menulis untuk GTNI. The Medical Journal of the Dutch Indies 1852-1942: A Platform for Medical Research yang disunting Leo van Bergen dkk mencatat sekira 4.500 artikel telah diterbitkan dalam 80 volume GTNI. Dari jumlah itu, sekira 560 artikel ditulis oleh penulis kelahiran Hindia Belanda. Artikel-artikel itu ditulis oleh 195 penulis lokal. Penulis kelahiran Hindia Belanda yang pertama kali tercatat menjadi kontributor GTNI adalah dokter Lim Njat Fat. “Antara 1904 dan 1909 dia menulis empat artikel untuk GTNI. Bersama dengan koleganya, Nel Stokvis-Cohen Stuart, dia menyumbang kontribusi penting untuk pelatihan keperawatan,” tulisvan Bergen dkk. Setelah itu tidak banyak dokter lokal yang menulis untuk GTNI. Hanya dua artikel dari penulis lokal yang terpindai untuk setiap volumenya. Artikel penulis lokal perlahan mulai meningkat jumlahnya sejak 1923. Bahkan, selama periode 1939-1941 rata-rata ada 55 artikel penulis lokal di setiap volume. Hans Pols memindai lima orang dokter-penulis lokal yang produktif menerbitkan artikelnya di GTNI. “Sejak 1924 sampai 1940an jumlah artikel yang ditulis oleh penulis lokal di GTNI mengalami peningkatan. Dan beberapa nama yang sangat aktif menulis di GTNI di antaranya Mas Sardjito menulis 29 artikel, Achmad Mochtar menulis 25 artikel, Raden Soesilo menulis 23 artikel, Mahamad Amir menulis 22 artikel, Mas Soetopo menulis 11 artikel,” tuturnya. Kelima dokter ini memang bukan orang sembarangan. Mereka termasuk tokoh-tokoh yang memiliki kontribusi penting di bidang kesehatan semasa kolonial dan pascakemerdekaan. Sardjito, misalnya, adalah lulusan STOVIA 1915 dan kemudian melanjutkan studinya di Universitas Leiden. Pada 1930an ia menjadi kepala laboratorium kedokteran di Semarang. Selama itu ia banyak menulis tentang bakteriologi, malaria, leptospirosis, kusta, hingga soal-soal kesehatan masyarakat umum. Ketika Indonesia merdeka ia menjadi salah satu pendiri dan juga rektor pertama Universitas Gajah Mada. Ada pula Achmad Mochtar yang merupakan peneliti medis lokal paling berbakat semasa kolonial. Lulus dari Universitas Amsterdam pada 1927 ia kembali ke Hindia Belanda dan meneliti secara intensif penyakit malaria dan kusta. Ia pun aktif menerbitkan laporan penelitiannya di GTNI. Tak hanya soal malaria yang menjadi fokus terbesarnya, tetapi juga soal leptospirosis, kusta, tuberkolusis, dan bakteriologi. “Mochtar bisa saja menjadi pelopor riset medis kala Indonesia merdeka. Tapi, sayangnya ia dituduh terlibat dalam skandal kontaminasi vaksin tetanus dan kemudian dieksekusi oleh Jepang. Padahal dia punya reputasi internasional dan sangat berbakat,” ujar Hans Pols. Dari sisi subjek kajian para dokter lokal tidak berbeda dengan dokter Eropa, mereka menulis hampir semua disiplin ilmu kesehatan. Beberapa isu kesehatan yang menarik minat mereka di antaranya soal praktik dukun, serba-serbi khitan di kalangan muslim, dan juga jamu serta obat herbal Tionghoa. Tak ketinggalan, para dokter lokal ini juga menulis soal kebijakan pemerintah kolonial. Umumnya mereka membandingkan pengalaman mereka di Eropa dengan kondisi di Hindia Belanda. Seperti yang dilakukan oleh dokter Kwa Tjoan Sioe. Termotivasi oleh metode penanganan pasien rawat jalan di Belanda, ia menulis untuk GTNI soal bagaimana dia menginisiasi layanan keperawatan untuk perempuan, baik pribumi maupun Tionghoa, di Jakarta. Tetapi, sebelum pergantian abad, seluruh artikel tentang kebijakan mencoba untuk mendukung kebijakan resmi dari Departemen Kesehatan. Belum terdengar adanya kritik. Kritik mulai terlihat begitu memasuki awal abad 20, ketika para dokter-penulis lokal ikut mengisi GTNI. “Publikasi para dokter lokal Hindia adalah indikasi positif profesionalisme mereka. Sama seperti rekan-rekan Eropanya, mereka menunjukkan pengetahuan medis mereka dengan semakin banyak menulis di GTNI, tidak hanya tentang kasus medis, namun juga masalah kebijakan. Empat dokter Indonesia bahkan berkontribusi dalam edisi ulang tahun GTNI pada 1936. Rupanya dokter Indonesia memiliki keunggulan profesional dan masukan mereka sangat dihargai.” tulis Liesbeth Hesselink dalam The Medical Journal of the Dutch Indies 1852-1942: A Platform for Medical Research .

  • 11 Maestro Bola Kaki Beralih Politisi (Bagian I)

    KENDATI FIFA berupaya sekuat tenaga menjauhkan sepakbola dari politik, olahraga terpopuler di dunia ini sulit jauh dari politik. Malahan, tak sedikit maestro lapangan hijau yang merapatkan diri dengan isu politik kendati tak semua beralih jadi politisi. Diego Armando Maradona, misalnya. Legenda sepakbola Argentina itu tak sekali-dua bicara politik dengan lantang. Maradona dikenal anti-Amerika Serikat. Di otobiografinya, El Diego , Maradona terang-terangan mengagumi sosok pemimpin Kuba Fidel Castro. Maradona juga bersahabat dekat dengan mantan Presiden Venezuela Hugo Chavez di samping Presiden Carlos Menem. Selain Maradona, Johan Cruyff juga nyaring jika bicara politik dan HAM. Dia blak-blakan menentang aksi pembersihan orang-orang kiri di Argentina semasa rezim Jorge Videla. Itu menjadi salah satu faktor Cruyff menolak ikut timnas Belanda ke Piala Dunia 1978 di negeri Tango. Setidaknya ada 11 maestro sepakbola lain yang berkarier sampai di milenium kedua serta tak alergi isu-isu politik dan akhirnya memilih jadi politisi. Ada yang sukses, ada pula yang gagal. Berikut nama-nama itu: George Weah Ikon sepakbola Liberia ini mulai menikmati kecemerlangan karier pesepakbola sejak bergabung di Liga Prancis bersama klub AS Monaco. Karier George Talwon Manneh Oppong Ousman Weah mencapai puncak setelah berseragam merah-hitam, warna kebesaran klub Serie A Italia AC Milan. Di tim asal kota mode itu, Weah bergelimang gelar. Selain dua gelar juara Serie A (1995-1996, 1998-1999), Weah mengoleksi gelar-gelar individu seperti Onze d’Or, Ballon d’Or (1995), dan Golden Foot Legends Award (2005). Setelah gantung sepatu, Weah terjun ke politik dan langsung berniat mencalonkan diri pada Pemilihan Presiden (Pilpres) Liberia 2005 menggunakan kendaraan Partai CDC (Partai Kongres untuk Perubahan Demokratik). Namun, Weah gagal. Menurut BBC News 13 November 2005, Weah dengan perolehan suara 40,6% kalah dari lawannya, Ellen Johnson Sirleaf, yang mendapat suara 59,4%. Pada pemilu 2011, Weah berkenan hanya menjadi calon wakil presiden bersama Winston Tubman. Sialnya, Weah kalah lagi dari Ellen Sirleaf asal Unity Party, 90,7%-9,3%. Weah maju lagi dalam pilpres Liberia 2017 melawan Joseph Boakai dan Charles Brumskine. Meski kalah dari Boakai, Weah lolos ke putaran kedua. Namun, putaran kedua yang sedianya digelar 7 November 2017, ditunda atas perintah mahkamah agung akibat protes Brumskine. Namun, gugatan itu ditolak mahkamah agung. Pada pemilihan putaran kedua Weah menang dan resmi menjadi Presiden Liberia. Pele Semasa menjadi pemain, Edson Arantes do Nascimento atau yang biasa disapa Pele terkesan jarang bicara politik. Maestro yang ibarat dewa bagi masyarakat Brasil ini hanya fokus mengukir prestasi di lapangan hijau bersama klub Santos, kemudian New York Cosmos dan timnas Brasil. Pele ikut mengukir prestasi ikonik Brasil tiga kali juara Piala Dunia (1958, 1962, 1970). Pun begitu, Pele pernah jadi menteri. Pada 1995, Pele ditunjuk Presiden Brasil Fernando Henrique Cardoso untuk menduduki jabatan Menteri Olahraga Luar Biasa. Semasa menjabat, Pele pernah mengajukan program pencegahan korupsi dalam sepakbola Brasil, dijuluki “Pele Law”. Pele, tulis BBC News 25 Maret 1998, mewajibkan klub-klub olahraga mengikuti prosedur dan hukum bisnis, serta menunaikan pajak dalam jangka waktu dua tahun. Pele juga mendesak program itu disetujui badan legislasi Brasil, di mana turut terdapat izin klub-klub mengorganisasi liga kecil yang otomatis memutus monopoli CBF (induk organisasi sepakbola Brasil). Program itu justru ditentang banyak organisasi olahraga. Pele mundur dari jabatannya pada 2001 setelah muncul tuduhan korupsi dana UNICEF 700 ribu dolar Amerika. Tuduhan itu tak pernah terbukti, UNICEF pun membantahnya. Romario Meski berjuluk baixinho atau si kecil, prestasi penyerang Brasil ini samasekali tak kecil. Karier Romario de Souza Faria meroket setelah bergabung dengan klub Eredivisie PSV Eindhoven. Prestasinya yang apik dan stabil membuatnya kemudian dipinang Barcelona. Romario juga melegenda buat para pecinta timnas Brasil. Bersama Selecao (julukan timnas Brasil), Romario mempersembahkan dua trofi Copa America (1989 dan 1997), trofi Piala Dunia 1994, dan gelar juara Piala Konfederasi 1997. Selepas pensiun, Romario terjun ke arena politik. Dengan kendaraan Partai Sosialis Brasil (PSB) di Pemilihan Legislatif 2010, Romario terpilih mewakili Negara Bagian Rio de Janeiro di Camara dos Deputados atau Kamar Perwakilan Rakyat Brasil. Media Brasil Globo4 melaporkan pada Oktober 2010, Romario mendapatkan kursi setelah menempatkan diri di urutan keenam dengan total suara 146.859. Jalan politik Romario kian mulus setelah pada Pemilu 2014 sukses terpilih di Senat Brasil, juga mewakili Negara Bagian Rio de Janeiro. Carlos Valderrama Nama Carlos Alberto Valderrama Palacio melesat sebagai salah satu pesepakbola terhebat Kolombia kala berseragam Deportivo Cali. Kariernya semakin mengkilap setelah merantau ke klub Prancis Montpellier HSC dan klub La Liga Real Valladolid. Di timnas Kolombia, Valderrama masih dihormati sebagai pemain dengan caps atau penampilan terbanyak, 111 laga. Dia menjadi capitan timnas Kolombia di tiga gelaran Piala Dunia (1990, 1994 dan 1998), serta lima turnamen Copa America (1987, 1989, 1991, 1993 dan 1995). Setelah gantung sepatu, pada 2014 Valderrama mencalonkan diri sebagai senat pada Pemilihan Parlemen lewat Partai Sosial Persatuan Nasional. Gianni Rivera Setelah meniti karier di klub medioker Alessandria, Gianni Rivera memahat nama besarnya bersama AC Milan. Tiga titel Serie A, empat gelar Coppa Italia, masing-masing dua trofi Winners Cup dan Piala Champions serta sebiji gelar Intercontinental Cup diraihnya bersama Rossoneri (julukan AC Milan). Adapun bersama Gli Azzurri (julukan timnas Italia), centrocampista (gelandang) kelahiran Alessandria, 18 Agustus 1943 itu memboyong Piala Eropa 1968. Setelah terjun ke dunia politik, karier Rivera sama moncernya. Dengan bendera Partai Demokrasi Kristen, dia merebut satu kursi Parlemen Italia pada Pemilu 1987. Dia terpilih lagi pada 1992 dan 1994 di bawah Pakta Segni. Dua tahun kemudian dia bergabung di Koalisi Uniti nell’Ulivo. Menurut Il Corriere della Sera edis 29 September 2014, Rivera lantas ditunjuk menjadi asisten sekretaris urusan pertahanan di bawah Pemerintahan Romano Prodi. Pada 2005-2009, Rivera duduk sebagai anggota Parlemen (Uni) Eropa.

  • Islamisasi ala Cheng Ho

    MASYARAKAT Indonesia begitu menghormati Laksamana Cheng Ho sebagai seorang muslim yang melakukan Islamisasi di Nusantara. Karenanya dia diabadikan sebagai nama masjid di berbagai daerah. “Itu bagian dari pencarian identitas yang didasarkan atas fakta sejarah. Sejarah digunakan untuk justifikasi dalam rangka formasi identitas Chinese moslem di Indonesia dan kawasan lain,” ujar Singgih Tri Sulistyono, sejarawan Universitas Diponegoro, kepada Historia . Cheng Ho yang bernama asli Ma Ho lahir pada 1371 dari orangtua Muslim etnis Hui di Yunan. Hui adalah komunitas Muslim campuran Mongol-Turki. Pada 1381, Jendral Fu Yu-te dan pasukan Dinasti Ming menduduki Yunan dan menangkapi semua anak lelaki dewasa dan dan anak-anak. “Mereka dipotong alat vitalnya sebagai teror agar tunduk pada negara. Ma Ho adalah salah satu anak yang dikebiri. Dalam perkembangannya, Ma Ho tampil seperti raksasa dengan tinggi lebih dari dua meter yang mungkin disebabkan defisiensi hormon lelaki akibat emaskulasi,” tulis Sumanto Al Qurtuby dalam Arus Cina-Islam-Jawa . Ma Ho membantu Ceng Chu merebut takhta Dinasti Ming dari keponakannya, Kaisar Kien Wen. Sebagai pelarian politik, Kien Wen konon bersembunyi di Palembang. Ceng Chu atau Kaisar Yun Lo memberi nama Cheng Ho dan menjabat pemegang komando tertinggi atas ribuan abdi dalem di Dinas Rumah Tangga Istana. Menurut Sumanto Kaisar Yung Lo mengganti diplomasi politik dari jalur darat menjadi jalur laut. Dia mengerahkan 62 kapal besar dengan 225 junk (kapal berukuran kecil) dan 27.550 orang perwira dan prajurit termasuk politisi, juru tulis, pembuat peta, tabib, ahli astronomi, ahli bahasa, ahli geografi, dan ahli agama. “Sebagai commander in chief -nya diserahkan kepada Cheng Ho lewat sebuah Dekrit Kerajaan dengan wakil Laksamana Muda Heo Shien (Husain), sekretaris Haji Ma Huan dan Fei Shin (Faisal), juru bahasa Arab selain Ma Huan adalah Hassan, seorang imam pada bekas ibukota Sin An (Changan),” tulis Sumanto. Selain mengemban misi menjalin persahabatan dengan negara-negara lain serta menunjukkan supremasi politik dan ekonomi bangsa Tiongkok, ekspedisi Cheng Ho juga membawa agenda tersembunyi ( hidden agenda ). Penempatan konsul, diplomat, dan duta keliling mesti dibaca dalam penegakan otoritas politik. Demikian pula penempatan konsul dagang mesti dilihat dari aspek ekonomi. “Juga persebaran para juru dakwah Islam di hampir setiap kota yang disinggahi adalah upaya melakukan misionarisme Islam (Islamisasi). Singkatnya, ekspedisi besar itu menyimpan hidden agenda baik untuk kepentingan pragmatis Kekaisaran Ming maupun kepentingan ‘primordial Islam’ Cheng Ho,” tulis Sumanto. Sumanto menguraikan di Palembang, Cheng Ho membentuk masyarakat Tionghoa Islam yang sudah sejak zaman Sriwijaya banyak didiami orang-orang Tionghoa. Dari situ, Cheng Ho membentuk komunitas Tionghoa Islam di Sambas. “Barangkali di Palembang-lah masyarakat Tionghoa Islam di Nusantara yang pertama, kemudian diteruskan di Jawa, Semenanjung dan Filipina,” tulis Sumanto. Kehadiran armada Cheng Ho di pesisir Jawa, terutama pada pelayaran pertama tahun 1405 dan ketiga tahun 1413, disambut cukup antusias oleh masyarakat Islam setempat terlebih para pemuka agamanya. Seperti Maulana Malik Ibrahim, tokoh muslim awal di Gresik, yang menyambut baik rombongan Cheng Ho dan Ma Huan. Cheng Ho kemudian meninggalkan juru dakwah Tionghoa dan pengikutnya yang berhasrat tinggal di Jawa untuk berbaur dengan komunitas Islam guna menyebarkan Islam. “Hampir di setiap pesisir Jawa sejak Sunda Kelapa, Cirebon, Semarang, Demak, Jepara sampai Tuban, Gresik dan Surabaya, Cheng Ho selalu menempatkan orang-orang Islam dari Tiongkok,” tulis Sumanto. Namun, Singgih berpendapat “saya belum pernah melihat bukti bahwa Cheng Ho memiliki misi Islamisasi meski dia seorang muslim. Misi pelayarannya untuk meneguhkan kekuasaan kekaisaran Tiongkok di kawasan laut selatan.” Meskipun demikian, Singgih tak menolak jika ada pengikut Cheng Ho yang turut melakukan pengislaman di pesisir Jawa. “Kalau itu (Islamisasi) bisa terjadi. Sebagian dari anak buah Cheng Ho tetap tinggal di pantai utara Jawa. Bagaimanapun juga ada diaspora Muslim Tionghoa pada periode itu untuk berdagang. Para pedagang ini yang mungkin menyebarkan Islam, karena tiap muslim punya kewajiban dakwah meski hanya satu ayat. Mereka berasal dari Mazhab Hanafi. Dengan demikian mereka berkontestasi dengan Mazhab Syafi’i yang dibawa dari India dan Timur Tengah. Lalu kalah,” ujar Singgih. Dari tahun 1405 hingga meninggalnya tahun 1433, Cheng Ho telah melakukan pelayaran tujuh kali dan mengunjungi 37 negara: dari Champa sampai India, sepanjang Teluk Persia serta Laut Merah hingga pesisir Kenya, termasuk Nusantara. “Prestasi besar ini menjadikan Cheng Ho diberi julukan oleh Kaisar Yung Lo sebagai Ma San Bao (Ma Si Tiga Permata). Pada masyarakat santun, julukan itu menunjuk pada Tri Ratna dalam Buddhisme. Sementara pada lingkungan yang bejat, julukan itu berarti bahwa Ma seorang prajurit jempolan meski tak punya zakar dan penis,” tulis Sumanto. Julukan Ma San Bao yang merujuk pada Tri Ratna (Buddha, Dharma, dan Sangha) seakan menyiratkan agama yang dianut Cheng Ho. Buddha adalah guru, Dharma adalah ajaran dan Sangha adalah para pendeta dan vihara . Kendati dijuluki Ma San Bao, Sumanto tetap yakin Cheng Ho adalah seorang muslim yang melakukan Islamisasi. Meyebut Cheng Ho bukan muslim bahkan dijadikan dewa yang disembah di berbagai kelenteng dengan sebutan Sam Po Kong oleh penganut Konfusianis di Tiongkok “adalah sebuah anakronisme (hal ketidakcocokan dengan zaman tertentu, red. ).”

  • Cara Bang Ali Menggunakan APBD

    WAKTU Ali Sadikin mulai kerja sebagai gubernur DKI Jakarta hampir tak tahu mesti mulai dari mana. Untungnya ada Rencana Induk Pembangunan Jakarta yang dibuat pada masa Gubernur Sudiro yang disusun oleh para ahli dari luar negeri. “Saya tahu sudah ada Rencana Induk Pembangunan Jakarta. Maka saya telaah rencana yang sudah dibuat oleh pendahulu saya itu, saya sesuaikan dengan perkembangan keadaan dan menjadikan rencana itu sebagai pedoman bagi pembangunan kota,” kata Ali Sadikin dalam memoarnya, Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi karya Ramadhan KH. “Tentu saja penyesuaian-penyesuaian itu tidak asal saja. Semuanya harus diperhitungkan dengan cermat, dibahas secara teliti, baru diputuskan.” Bahkan, Ali tidak membenarkan terjadinya penyimpangan dari rencana itu. “Sebab kalau penyimpangan-penyimpangan itu kita biarkan, pasti tak ada gunanya lagi pedoman itu,” kata Ali. Ali membawa dan membahas rencana itu dengan DPRD-GR. Keluarlah surat keputusan DPRD-GR tanggal 3 Mei 1967 tentang Pengesahan Rencana Induk ( Master Plan ) DKI Jakarta 1965-1985. Rencana induk 20 tahun itu merupakan landasan pokok yang pertama ditetapkan untuk membangun Jakarta. Dan itulah salah satu prioritas utama dalam strategi dasar pemerintahan DKI Jakarta. “Maka, berjalanlah Pemda DKI Jakarta dengan pembangunannya, sementara biaya untuk itu sudah saya dapatkan dari usaha sendiri dengan kiat-kiat yang berani,” kata Ali. Kiat-kiat berani itu seperti mengizinkan perjudian dan memungut pajaknya. Sehingga, orang yang tak suka menjulukinya “gubernur judi” atau “gubernur maksiat.” Ali berhasil meningkatkan APBD DKI Jakarta dari Rp1.169.273.293 pada 1966/1967 menjadi Rp89.516.580.000 pada 1977/1978 atau kurang lebih 77 kali lipat dalam waktu sebelas tahun. Pada periode 1969/1970 sampai 1973/1974, anggaran digunakan untuk proyek-proyek pembangunan yang digolongkan menurut pembidangan: pemerintahan, keamanan dan ketertiban, kesejahteraan rakyat, prasarana, perekonomian, dan perbaikan kampung. Sejak 1971/1972 pembidangan kegiatan bertambah satu bidang yaitu PON VIII di Jakarta. “Melihat persentasenya anggaran pembangunan untuk masing-masing bidang bisa saya ingat bahwa untuk bidang prasarana adalah yang tertinggi, rata-rata lebih dari 40%,” kata Ali. Pada periode selanjutnya 1974/1975 terjadi perubahan dalam pembidangan pembangunan karena disesuaikan dengan pedoman yang dikeluarkan menteri dalam negeri. Sejak periode itu, pembidangan yang berlaku adalah bidang ekonomi sosial dan bidang umum yang mendapat anggaran terbanyak, sekira 60%. “Hal ini karena sarana kota waktu itu sudah membaik,” kata Ali. Dalam menggunakan anggaran, Ali berprinsip untuk mengutamakan anggaran untuk pembangunan. Sedangkan untuk anggaran rutin (biaya yang dikeluarkan bagi pelaksanaan umum pemerintahan di luar pembangunan dalam bentuk proyek) di bawah 50%. “Dalam menyusun anggaran RAPBD saya selalu berpedoman kepada ketetapan bahwa anggaran pembangunan harus lebih dari 50% dan anggaran rutin kurang dari 50% dari anggaran. Policy itu tetap saya pelihara, dari mulai saya jadi gubernur sampai selesai tugas (1966-1977),” kata Ali. Kendati anggaran rutin ditetapkan di bawah 50%, Ali tetap memperhatikan kesejahteraan pegawainya. Oleh karena itu, dia meningkatkan anggaran rutin dari Rp14.951.990.000 pada 1974/1975 menjadi Rp39.726.580.000 pada 1977/1978. “Hal ini antara lain disebabkan nafkah para pegawai patut saya naikkan. Dengan begitu kesejahteraan para pegawai Pemerintah DKI Jakarta naik. Penampilan mereka juga tambah menyenangkan. Harga diri mereka juga bertambah tinggi,” kata Ali.

  • Dihadang TKR di Dawuan

    STASIUN Cikampek, 21 November 1945. Sebuah pesan telegram diterima oleh petugas stasiun kereta api dari petugas telik sandi Resimen V di stasiun kereta api di Jakarta. Isinya pemberitahuan tentang keberangkatan satu formasi pasukan Inggris dari unit Gurkha Rifles yang mengawal kereta api logistik serta amunisi dari Jakarta. “Mereka bergerak menuju Bandung tanpa surat izin dari pemerintah Republik Indonesia," ujar Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min dalam Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min karya Dien Madjid dan Darmiati. Komandan Resimen V Cikampek itu lantas memerintahkan jajarannya bersiap siaga melakukan penghadangan. Sebagai pengemban tugas adalah Batalyon Priyatna yang berkedudukan di Dawuan, terletak sekira 10 km dari Stasiun Cikampek. Hari menjelang siang saat dua puluh satu gerbong yang ditarik sebuah lokomotif itu bergerak menuju Bandung dari Stasiun Cikampek. Begitu melintas wilayah Dawuan tetiba kereta api yang tengah berjalan pelan, dihadang oleh satu unit pasukan TKR (Tentara Kemanan Rakjat). Beberapa dari mereka lantas meloncat ke atas lokomotif dan dalam bahasa Inggris yang fasih memerintahkan kereta api berhenti. “Kami minta surat izin untuk memasuki daerah kami dari pemerintah Republik Indonesia?" teriak salah satu dari anggota TKR tersebut. “Apa? Kami harus memakai surat izin? Sejak kapan petugas Allied Forces (Tentara Sekutu) yang ditugaskan ke Indonesia harus memakai izin? Tidak ada, kami tidak usah memakai surat izin!” jawab seorang letnan yang memimpin rombongan Sekutu tersebut. Adu mulut pun kemudian terjadi antara anggota Resimen V Cikampek dengan letnan tentara Inggris itu. Di tengah situasi tersebut, tiba-tiba terdengar rentetan tembakan dari salah satu jendela gerbong. Maka tak ayal lagi, tembakan itu disambut oleh salakan senjata dari ratusan prajurit Batalyon Priyatna. Pertempuran seru pun berlangsung. Mungkin karena kalah jumlah dan ketiadaan pengetahuan akan medan setempat, peleton tentara Inggris dari kesatuan Gurkha itu pun menyerah setelah sebagian besar serdadunya banyak yang tewas. “Seluruh isi gerbong kami sita dan empat orang Gurkha kami sisakan sebagai tawanan,” ujar Darminta, 89 tahun, veteran yang terlibat dalam adu senjata itu. Markas Sekutu di Jakarta lantas geger. Mereka lalu melaporkan soal itu kepada Pemerintah Republik Indonesia. Beberapa jam kemudian Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin menelepon Markas Resimen V Cikampek dan memerintahkan Moefreni untuk mengembalikan isi seluruh gerbong yang dirampas serta membebaskan para serdadu yang tertawan. Namun perintah itu ditolak oleh Moefreni. “Kalau kita terlalu mentolelir, lambat laun mereka akan menginjak kita dan kita akan kehilangan wibawa,” demikian alasan Moefreni. Akhirnya beberapa hari kemudian ditemukan jalan tengah: empat tawanan dari unit Gurkha itu akan ditukar dengan delapan tawanan Indonesia. Salah satunya adalah penyair Chairil Anwar. Sedangkan logistik yang sudah disita tidak akan dikembalikan karena sudah terlanjur dibagi-bagikan kepada semua anggota Resimen V Cikampek dan masyarakat sekitar Dawuan. Pihak Markas Besar TKR menugasi Letnan Kolonel A.E. Kawilarang sebagai wakil Republik yang mengurusi pertukaran tawanan tersebut. Menurut Ramadhan K.H. dalam Untuk Sang Merah Putih , begitu bertemu dengan keempat tawanan TKR itu di Stasiun Jatinegara, Kawilarang langsung disambut dengan teriakan "merdeka." Rupanya empat prajurit itu belajar kebiasaan pasukan TKR selama dalam tawanan di Cikampek. Untuk mencegah terjadinya insiden yang sama, selanjutnya dibuat kesepakatan baru bahwa pihak Sekutu akan melibatkan anggota TKR dari Jakarta dalam setiap misi pengiriman logistik via kereta api. Menurut R.H.A. Saleh dalam Mari Bung Rebut Kembali! , itu terjadi kali pertama pada 11 Desember 1945, saat satu kelompok kadet Akademi Militer Tangerang (AMT) pimpinan Daan Mogot ikut mengawal kereta api yang memuat kiriman logistik untuk para interniran di Bandung. Namun anehnya, hal tersebut tidak diterapkan Sekutu dalam misi pengiriman logistik yang memakai jalur darat lainnya. Kala pasukan dari TKR Jakarta mengawal misi-misi RAPWI via kereta api ke Bandung, di beberapa kota justru penghadangan-penghadangan tetap dilakukan. Salah satu penghadangan yang paling merepotkan militer Inggris terjadi di rute Bogor-Sukabumi-Cianjur-Bandung pada Desember 1945 dan Maret 1946.

bottom of page