Hasil pencarian
9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Membawa Kasus 1965 ke Publik Internasional
BEBERAPA elemen masyarakat, dari aktivis hingga akademisi, bergabung untuk mengadakan International People’s Tribunal 1965 (IPT 1965) atau Pengadilan Rakyat Internasional. Langkah ini diambil karena pemerintah belum mampu menyelesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan genosida yang terjadi pada 1965-1966. “Setelah lima puluh tahun, apa political will dari pemerintah? Hampir gak ada,” kata Reza Muharam, aktivis IPT 1965. IPT 1965 merupakan sebuah pengadilan alternatif. Bentuknya tidak formal seperti pengadilan negara atau lembaga yang dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Putusannya tidak mengikat. Reza menjelaskan, IPT merupakan pengadilan moral. Kendati pengadilan nonformal, IPT tidak dibuat secara asal. Format pengadilan dijalankan sesuai prosedur pengadilan HAM formal. Ada hakim, penuntut, saksi, dan yang dituntut. Jaksa akan mendakwa negara Indonesia sebagai yang bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran HAM 1965. Sidang akan dilangsungkan pada 10-13 November 2015 di Den Haag, Belanda. Tahun 2015 dipilih karena bertepatan dengan peringatan 50 tahun tragedi tersebut. Sedangkan putusan akan diselenggarakan di Jenewa pada 2016. Rencananya akan ada tujuh sampai sembilan hakim yang akan dipanelkan. Salah satu hakim yang sudah memberikan konfirmasi adalah Asma Jahangir, pengacara senior dari Pakistan yang pernah menjadi Special Rapporteur PBB mengenai eksekusi kilat, sewenang-wenang, dan di luar hukum dari tahun 1998 sampai 2004. Tujuan IPT 1965 untuk mendapat pengakuan nasional maupun internasional atas tindakan genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan negara Indonesia pada peristiwa 1965 dan setelahnya. Tujuan lainnya, agar tindakan serupa tidak terjadi lagi di Indonesia. Pengadilan serupa pernah dilakukan negara lain. Misalnya, Pengadilan Rakyat untuk kasus kekerasan seksual oleh tentara Jepang selama Perang Dunia II, yang dikenal dengan Tokyo’s People Tribunal: The Woman’s International War Crimes Tribunal for The Trial Of Japan’s Military Sexual Slavery, Japan (TPT). Dilangsungkan pada 2000 dan diputuskan tahun 2001. Hasilnya, sepuluh orang tertuduh (Kasiar Hirohito, sembilan komandan militer berpangkat tinggi, serta menteri terkait) dinyatakan bersalah. Salah satu pelanggaran HAM setelah G30S adalah genosida. Saat itu terjadi pembunuhan massal terhadap orang-orang yang dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Faktanya, yang menjadi korban bukan hanya dari kalangan PKI, tapi orang yang tidak ada sangkut-pautnya dengan PKI pun menjadi korban. “Genosida lebih tinggi dari pelangaran HAM berat,” kata Bonnie Setiawan, aktivis IPT 1965. Hasil IPT yang tidak formal merupakan suatu kelemahan. Namun, dengan adanya IPT, kasus pelanggaran HAM tersebut terangkat ke ranah Internasional. Hasil dari IPT akan menjadi tekanan publik kepada pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan persoalan HAM setelah kasus G30S. “Yang kita harapkan dari IPT, kita punya dokumen lengkap di luar yang sudah ada. Misinya untuk memobilisasi tekanan publik kepada negara,” kata Reza.*
- Sejarawan Asvi Warman Adam: Saya Bukan Pengkhianat Negara
SEJARAWAN Dr. Asvi Warman Adam memberikan kesaksiannya di Pengadilan Rakyat Internasional kasus 1965 di Den Haag, Belanda. Dia dihadirkan sebagai saksi ahli untuk menjelaskan peristiwa kejahatan kemanusiaan yang terjadi pada masa Orde Baru. Sebelum menyampaikan kesaksiannya, Asvi terlebih dahulu menjelaskan kenapa dia hadir dan memberikan kesaksiannya dalam pengadilan ini. “Saya bukan pengkhianat negara. Kesaksian saya ini berdasarkan tugas saya sebagai peneliti yang ditunjuk oleh Komnas HAM pada 2003 untuk meneliti pelanggaran HAM Orde Baru,” kata Asvi. Pada 2003, Komnas HAM meminta Asvi untuk meneliti dan menginventarisasi kejahatan kemanusiaan apa saja yang pernah terjadi pada masa Orde Baru. Setelah menemukan bukti-bukti yang kuat, Asvi dan tim bersepakat untuk menjadikan kasus pemenjaraan paksa anggota dan simpatisan PKI di Pulau Buru sebagai kasus pelanggaran HAM berat. “Pulau Buru itu jelas pelanggaran HAM berat. Ada sekitar sepuluh ribu orang ditahan tanpa pengadilan. Pulau Buru persis seperti gulag di masa Stalin memerintah Uni Soviet,” kata sejarawan LIPI itu. Menurut Asvi pemerintah Orde Baru juga dengan sengaja melanggengkan isu bahaya komunisme sebagai cara untuk menundukkan lawan politik mereka. Bahkan tuduhan ini digunakan untuk melancarkan proyek-proyek pembangunan pemerintah. Masyarakat yang tidak mau tunduk kepada pemerintah seringkali dicap sebagai PKI. Asvi mengungkapkan hal yang sama terjadi baru-baru ini di Jatigede, petani di Jatigede dituduh PKI karena tidak mau menyerahkan lahannya untuk dijadikan waduk. Menurut saksi ahli ini, tuduhan tersebut merupakan dampak yang berlaku sejak zaman Orde Baru. Selain Asvi ada empat saksi lain yang telah memberikan kesaksiannya. Namun berdasarkan pertimbangan keselamatan diri para saksi, saksi-saksi tersebut dirahasiakan nama dan penampilannya di dalam persidangan. Salah satu saksi korban memberikan keterangan tentang penderitaan dia sebagai tahanan di Pulau Buru. “Kami makan tikus dan ular. Ular yang paling panjang yang pernah kami tangkap panjangnya sembilan meter. Ular itu dibagi-bagi dagingnya untuk makan kami ketika di Pulau Buru,” tuturnya. Seorang peneliti juga memberikan kesaksiannya mengenai pembunuhan massal yang terjadi di luar Jawa. Saksi ketiga tersebut mengungkapkan tentang apa yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur. “Di Pulau Sabu ada 34 laki-laki ditembak, itu terjadi pada kurun tanggal 29-30 Maret 1966. Di Sumba Barat dan Sumba Timur 40 orang laki-laki ditembak mati, di Alor 409 laki-laki dibunuh, di Kupang Timur 58 orang itu semua terjadi pada kurun tahun 1966-1968,” kata saksi. Ketika jaksa mengajukan pertanyaan siapa yang melakukan eksekusi mati di luar hukum tersebut, saksi tersebut menjawab pelaku datang dari TNI dan polisi dengan bantuan warga setempat yang dipaksa. “Kalau mereka tidak membantu, mereka diancam akan dibunuh,” katanya. Sampai berita ini diturunkan, keterangan saksi-saksi masih terus berlanjut. Ratusan peserta turut hadir dalam pengadilan ini, termasuk wartawan dari pelbagai media massa mancanegara.
- Sepuluh Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pengadilan Rakyat Internasional Kasus 1965
SIDANG perdana Pengadilan Rakyat Internasional ( International People’s Tribunal ) dalam kasus kejahatan serius terhadap kemanusiaan pada 1965-1966 akan diselenggarakan di Den Haag hari ini, Selasa, 10 November, pukul 09:00 pagi waktu Belanda. Inisiatif masyarakat sipil Indonesia itu berangkat dari itikad menyelesaikan perkara yang tak pernah terlihat jelas titik terang penyelesaiannya oleh negara Indonesia. Berikut sepuluh hal yang perlu diketahui tentang Pengadilan Rakyat Internasional 1965. 1. Apa itu International People’s Tribunal? International People’s Tribunal adalah bentuk pengadilan yang digelar oleh kelompok-kelompok masyarakat dan bersifat internasional untuk membahas kasus-kasus pelanggaran HAM berat dan dampaknya. Mekanisme ini berada di luar negara dan lembaga formal seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kekuatannya berasal dari suara para korban dan masyarakat sipil, nasional dan internasional. 2. Apakah People’s Tribunal sama dengan Pengadilan Internasional? Tidak. IPT berbeda dari pengadilan internasional seperti ICTR di Rwanda dan ICTY (Yugoslavia). Pengadilan internasional dibentuk Dewan Keamanan PBB atau Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Otoritas IPT terletak pada landasan moralnya bahwa hukum adalah juga instrumen masyarakat sipil yang tidak dimiliki semata oleh kekuasaan negara. 3. Kenapa People’s Tribunal harus diselenggarakan? Sebagai pengadilan rakyat, kekuatan Tribunal terletak pada kapasitasnya untuk memeriksa bukti-bukti, melakukan pencatatan sejarah yang akurat mengenai genosida dan kejahatan kemanusiaan yang telah dilakukan, dan menerapkan prinsip-prinsip hukum kebiasaan internasional pada fakta-fakta yang ditemukan. Selanjutnya, Tribunal ini melangkah memasuki kekosongan yang ditinggalkan oleh negara, tetapi tidak dimaksudkan menggantikan peran negara dalam proses hukum. 4. Bagaimana mekanisme dan prosesnya? Tribunal memiliki format pengadilan HAM secara formal. Pada tahap awal, IPT membentuk Tim Peneliti profesional dan menyusun Dewan Hakim internasional. Tim peneliti bertugas menghimpun, meneliti, dan mengkaji data dan kesaksian, dan merumuskannya secara hukum dan menyerahkannya kepada Tim Penuntut/jaksa. Jaksa akan mendakwa negara, berdasarkan bukti-bukti yang disajikan tentang pihak mana yang bertanggung jawab atas genosida dan kejahatan kemanusiaan yang meluas atau sistematis yang dilakukan negara. Bukti yang disajikan terdiri dari dokumen, bahan-bahan visual (audio), keterangan-keterangan saksi, dan sarana hukum lain yang diakui. Berdasarkan bahan dan bukti tersebut, Dewan Hakim akan menimbang, merumuskan dakwaan, dan menjatuhkan sanksi-sanksi hukum kepada para tersangka, serta mengusulkan reparasi dan ganti rugi bagi para korban dan penyintas kepada negara yang harus menyelesaikannya secara hukum. Para hakim akan menghasilkan putusan berdasarkan materi yang disajikan dan memanggil negara terkait agar mereka menyadari bahwa sejauh ini mereka telah gagal untuk bertanggung jawab kepada para korban, baik secara hukum maupun moral. Putusan ini juga akan digunakan sebagai dasar untuk mengubah narasi sejarah; selain itu digunakan sebagai dokumen lobi untuk resolusi PBB mengenai kejahatan-kejahatan ini. 5. Apa saja contoh kasus yang menggunakan mekanisme tribunal ini dan bagaimana hasilnya? Tokyo’s People Tribunal: The Women’s International War Crimes Tribunal for the Trial of Japan’s Military Sexual Slavery, Japan (TPT). TPT dibentuk tahun 2000 sebagai respon atas kejahatan seksual yang dilakukan Jepang pada Perang Dunia II. Tribunal ini bertujuan mengangkat “comfort system” agar menjadi perhatian komunitas internasional, menuntut keadilan terhadap mereka yang bertanggung jawab, serta dampak berkelanjutan dari impunitas tersebut yang dialami para korban. Russell Tribunal on Palestine (RtoP) . RToP dibentuk tahun 2009 sebagai tindakan atas diamnya komunitas internasional terhadap berbagai pelanggaran hukum internasional yang dilakukan Israel. Tujuanya memobilisasi dan mendorong keterlibatan masyarakat sipil internasional dalam isu Palestina. Tribunal ini menyelidiki keberlanjutan pendudukan Palestina oleh Israel serta tidak dipenuhinya berbagai resolusi PBB, termasuk opini dari Mahkamah Keadilan Internasional ( International Court of Justice) mengenai pembangunan tembok pemisah oleh Israel di wilayah Palestina. RToP juga menyelidiki tanggung jawab Israel dan negara-negara lain, khususnya Amerika Serikat, negara-negara Uni Eropa, dan organisasi internasional terkait (PBB, Uni Eropa, Liga Arab). Nama Russel diambil dari nama filsuf Inggris Bertrand Russel yang pertama kali merintis penyelenggaraan tribunal dalam kasus kejahatan kemanusiaan Amerika dalam perang Vietnam. 6. Apa saja contoh kasus-kasus kejahatan serius di negara lain yang belum terselesaikan? Di negara-negara lain, kasus-kasus kejahatan serius ada yang terselesaikan dan ada yang masih menuntut penyelesaian. Yang terselesaikan bisa dengan pendekatan keadilan yang retributif ( retributive justice ), misalnya melalui mekanisme pengadilan, atau melalui mekanisme restoratif ( restorative justice ) seperti rekonsiliasi, pemulihan dan kompensasi serta memorialisasi. Sementara itu beberapa kasus kejahatan serius yang pernah terjadi di dunia masih menunggu penyelesaian. Salah satu yang cukup terkenal adalah kejahatan serius masa lalu yang terjadi di bawah kediktatoran Presiden Fransisco Franco di Spanyol, di mana lebih dari 100.000 orang dibunuh dan dihilangkan, 300.000 bayi diculik, serta ratusan ribu lainnya menjadi korban kekerasan. Hingga hari ini, pemerintah yang berkuasa di Spanyol masih belum menindaklanjuti tuntutan penyelidikan atas kejahatan serius ini. 7. Apa tujuan IPT 1965? IPT bermaksud mendesak penyelesaian secara hukum dan berkeadilan oleh negara atas kasus-kasus pelanggaran HAM seputar pembantaian 1965 dan dampaknya yang selama ini terabaikan melalui pengadilan formal. IPT tidak dimaksud, dan tidak bertugas, menjadi pengganti ( substitute ) dari negara untuk menggelar pengadilan formal, menjatuhkan sanksi hukum, dan menjamin ganti-rugi dan reparasi bagi para korban dan penyintas. Sebagai sarana tekanan politik dan moral, IPT mendorong masyarakat, yaitu warga, partai politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, para korban dan penyintas, dan masyarakat internasional, negara-negara luar, lembaga PBB dan organisasi lain agar mendesak negara melakukan tugas peradilan formal, yaitu melakukan penelitian seksama, memeriksa kasus-kasus dan kesaksian korban dan penyintas, serta menyelesaikan kasus kasus tersebut secara hukum. 8. Kenapa IPT diselenggarakan sekarang? Presiden baru, Joko Widodo, (sejak 20 Oktober 2014) berjanji selama kampanye pemilihannya untuk menangani pelanggaran HAM masa lalu, termasuk yang terkait dengan 1965. Namun, persoalan ini kemudian dikesampingkan dari daftar prioritas. Jaksa Agung yang baru, HM Prasetyo, menyatakan bahwa “solusi permanen” harus dicari untuk pelanggaran hak asasi manusia masa lalu termasuk “tragedi 1965” ( The Jakarta Post , 22 Mei 2015). Solusi ini akan dicari dalam upaya rekonsiliasi. Dengan demikian pemerintah mengabaikan fase pencarian kebenaran dan keadilan, padahal tanpa fase tersebut upaya rekonsiliasi tak banyak bermakna. Dari reaksi pemerintah saat itu telah jelas bahwa mekanisme domestik untuk dapat melaksanakan apa yang direkomendasikan laporan Komisi 2012 sama sekali tidak memadai. 9. Mengapa Den Haag, Belanda, yang dipilih penyelenggaraan Tribunal? Tribunal akan diselenggarakan pada 10-13 November 2015 di Den Haag. Den Haag dipilih karena kota ini dikenal sebagai simbol keadilan dan perdamaian internasional. Peace Palace terletak di sana, sebagaimana juga Mahkamah Pidana Internasional. Beberapa pengadilan khusus dan penting diselenggarakan di sana atau memiliki sekretariat di kota tersebut, seperti Tribunal Yugoslavia. Tribunal Tokyo (Pengadilan Perempuan Internasional atas Kejahatan Perang karena Perbudakan Seksual Militer Jepang) menyelenggarakan sidang putusannya di Den Haag (2001). 10. Apa hasil dan dampak yang diharapkan dari IPT 65 ini? a) Untuk pemerintah Indonesia . Hasil Tribunal ini memang tidak otomatis mengikat negara Indonesia secara legal-formal. Tetapi karena sifatnya sebagai mekanisme Pengadilan Rakyat di tingkat internasional, ia dapat menjadi landasan hukum bagi masyarakat untuk menuntut negara agar menghadirkan keadilan pada tragedi 1965 sekaligus memutus impunitas para pelaku peristiwa 1965-1966. Hasil Tribunal kasus 1965 juga dapat menjadi sumber legitimasi bagi negara Indonesia untuk membuktikan diri sebagai negara yang mampu memenuhi pertanggungjawaban dan menjadi bagian dari komunitas internasional yang dihormati karena ketanggapannya dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu. b) Untuk masyarakat umum. Hasil Tribunal ini akan menjadi preseden yang baik dalam proses penyelesaian sejarah konflik politik Indonesia periode 1965-1966 secara lebih adil. Dengan demikian diharapkan berkontribusi pada penciptaan iklim politik Indonesia yang mengakui dan menghormati hak azasi manusia. Di masa depan, cara-cara berpolitik dengan menggunakan kekerasan (baik genosida maupun kejahatan kemanusiaan) tidak akan dengan mudah ditolerir, baik oleh negara maupun masyarakat. c) Untuk korban . Bagi para korban tragedi 1965-1966 dan keluarganya, hasil Tribunal ini dapat berkontribusi pada proses pemulihannya sebagai korban genosida dan kejahatan kemanusiaan. Sebab, proses Tribunal ini dipandang sebagai salah satu upaya pencarian kebenaran tentang peristiwa 1965 dan segala bentuk ketidakadilan yang terjadi pada para korban (dan keluarganya). Adanya pengakuan dari negara bahwa telah terjadi ketidakadilan dan kekerasan yang sistematis dan meluas dalam bentuk genosida dan kejahatan kemanusiaan pada periode 1965-1966 merupakan kunci dari proses pemulihan para korban. Upaya-upaya pemulihan korban yang dimaksud di antaranya dengan proses rehabilitasi, reparasi, dan restitusi. Dampak lain yang diharapkan dari hasil Tribunal ini adalah menyurutnya stigmatisasi terhadap para korban dan keluarganya sebagai pihak yang memiliki kaitan, secara langsung maupun tidak langsung, dengan PKI. Menyurutnya stigmatisasi tersebut diharapkan akan berujung pada pulihnya kedudukan hukum para korban dan keluarganya di hadapan hukum. IPT juga ditujukan untuk mendapatkan pengakuan internasional atas tindak genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan negara Indonesia pada “peristiwa 1965” dan setelahnya, juga atas keterlibatan negara Barat tertentu dalam kampanye militer terhadap mereka yang disebut-sebut sebagai pendukung Gerakan 30 September. Selain itu untuk menarik perhatian internasional yang berkelanjutan terhadap genosida dan kejahatan kemanusiaan yang dilakukan negara Indonesia pada peristiwa pembantaian 1965 dan setelahnya; dan terhadap kelambanan negara untuk membawa pelaku ke pengadilan, antara lain dengan mengundang Pelapor Khusus Pelanggaran HAM di Masa Lalu ke Indonesia.*
- Arsip Konferensi Asia Afrika Menjadi Warisan Ingatan Dunia
SEBANYAK 565 lembar arsip foto, 7 reel arsip film, dan 37 berkas arsip tekstual setebal 1778 lembar menjadi saksi sejarah berlangsungnya Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, 18-24 April 1955. Arsip KAA mulai dari potret para delegasi, notulensi rapat, rekaman pidato, hingga surat menyurat, terdokumentasi dengan baik dalam koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Pada 8 Oktober 2015, UNESCO (Organisasi PBB bidang Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan), mengumumkan Arsip KAA itu sebagai Warisan Ingatan Dunia. Sepanjang peradaban dunia modern, KAA menjadi konferensi internasional pertama yang mempertemukan antar bangsa-bangsa Asia dan Afrika. Pencetusnya adalah Indonesia, India, Pakistan, Sri Lanka, dan Burma (Myanmar) yang diwakili perdana menteri masing-masing (Ali Sastramidjojo, Pandit Jawaharlal Nehru, Muhammad Ali, Sir John Kotelawala, dan U Nu). Kelima negara sponsor itu mempersiapkan KAA dalam Konferensi Panca Negara yang diadakan di Bogor tahun 1954. Mereka mengupayakan forum yang bisa menggaungkan suara rakyat Asia dan Afrika ditengah dominasi bangsa kulit putih dan Perang Dingin. Dari 29 negara peserta dan 200 delegasi itu lahirlah manifesto Dasasila Bandung. Sepuluh prinsip yang termaktub dalam Dasasila Bandung mencerminkan cita-cita luhur seluruh peserta KAA: merdeka dari imperialisme dan hidup berdampingan secara damai. Dari perspektif kearsipan, konten dan konteks KAA punya nilai historis yang amat penting. “Peristiwa ini adalah peristiwa yang langka. Karena setelah itu tidak ada lagi Konferensi Asia Afrika. Jadi, arsipnya sangat bernilai,” kata Mustari Irawan, Direktur Arsip Nasional Republik Indonesia dalam diskusi publik bertajuk “Arsip Konferensi Asia Afrika Diakui UNESCO Jadi Warisan Dunia” di Gedung ANRI Jakarta Pusat, 28 Oktober 2015. Bagi Indonesia, KAA menorehkan tinta emas dalam perjalanan sejarah bangsa. Republik yang belum genap berusia sepuluh tahun itu, tampil sebagai pelopor kebangkitan bangsa-bangsa kulit berwarna. Beruntung, sebagai tuan rumah, pemerintah Indonesia menyimpan segala rupa arsip terkait KAA. Kementrian Sekretariat Negara menjadi penyumbang terbanyak Arsip KAA yang dihimpun ANRI. Selain dari lembaga resmi, ANRI juga menghimpun memori KAA dari arsip-arsip pribadi. Tokoh Indonesia yang menyimpan rekaman penting KAA diantaranya: Roeslan Abdulgani (sekretaris jenderal KAA), Lambertus Nicolas Palar (duta besar Indonesia untuk PBB), dan Mohammad Yamin (delegasi Indonesia untuk KAA bidang kebudayaan). Semua arsip itu dapat diakses dan masih terawat dengan baik sampai saat ini. Sejak tahun 2012, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), ANRI, Kementrian Luar Negeri, dan Komite Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU) telah menominasikan Arsip KAA untuk diajukan ke UNESCO. “Proses nominasi itu diajukan bersama negara sponsor KAA yang lain, yaitu, India, Pakistan, Srilanka, dan Myanmar. Tujuannya adalah untuk melestarikan memori bersejarah itu sebagai Warisan Ingatan Dunia,” tutur Wardiman Djojonegoro, anggota KNIU. “Arsip KAA ini menjadi pencerahan bagi bangsa kita. Kita harus hidupkan. Agar masyarakat tahu pada masa lalu bangsa kita adalah bangsa yang besar. Bangsa yang menginspirasi bangsa lain untuk memerdekakan diri dari kolonialisme” kata Mustari. Diterimanya Arsip KAA sebagai Warisan Ingatan Dunia , menurut Al Busyra Basnur, Direktur Diplomasi Publik Kementrian Luar Negeri Indonesia, kian menegaskan penerimaan dunia atas peran internasional Indonesia di masa lalu. “Semangat Bandung masih tetap relevan hingga sekarang dan untuk masa depan. Penerimaan ini diharapkan mendorong bangsa kita untuk berperan lebih besar di panggung internasional sesuai dengan semangat Bandung,” kata Busyra Sementara itu, Duta Arsip Indonesia, Rieke Dyah Pitaloka menekankan pentingnya sosialisasi Arsip KAA kepada masyarakat. Menurut Rieke, sebelum menjadi memori dunia, penting kiranya menjadikan Arsip KAA sebagai memori publik Indonesia. “Kita tidak bisa mendorong orang lain untuk mau memasukan ingatan-ingatan tentang Konferensi Asia Afrika jika bangsa kita sendiri tidak mau melakukan hal itu,” kata Rieke. Arsip KAA, lanjut Rieke, juga punya nilai pembelajaran bagi para pengambil kebijakan yang saat ini duduk dalam pemerintahan dan Dewan Perwakilan Rakyat. “Dari Arsip KAA kita bisa bercermin dari masa lalu, menyerap spirit para negarawan saat itu. Mereka mengambil keputusan politik yang betul-betul memayungi semua kepentingan,” pungkas Rieke. Menurut rencana, ANRI selanjutnya akan mengusulkan Arsip Gerakan Non Blok (GNB) tahun 1961 dan Arsip Tsunami Aceh tahun 2004 sebagai Warisan Ingatan Dunia.
- Lencana Merah Putih Dilucuti, Pejuang Medan Pasang Badan
TAK jauh dari pusat kota Medan, tepatnya di Jalan Veteran (dulu Jalan Bali), berdiri sebuah gedung tua yang menyimpan cerita masa lalu. Di pinggir gedung, terukir prasasti epos zaman revolusi. Isinya: “Markas NICA di Gedung Pension Wilhelmina Jalan Bali ini, tanggal 13 Oktober 1945, digempur pemuda pejuang Kota Medan karena seorang tentara NICA mencopot lencana Merah Putih dari baju seorang anak remaja yang liwat di muka markas tersebut dan menginjak-injaknya. 7 orang pemuda gugur, 7 orang NICA tewas, dan 96 orang NICA lainnya luka-luka” “ Itulah starting point perang kemerdekaan di Sumatera Utara,” kata Muhammad Tok Wan Hari (82 tahun), eks Tentara Pelajar Indonesia yang disambangi Historia di kediamannya (23/10/2015). Tentara Sekutu dalam kontingen Alied Forcers Netherlands East Indies (AFNEI) tiba di Medan sejak 9 Oktober 1945. Di bawah pimpinan Brigadir Jendral T.E.D. Kelly dari Inggris, misi AFNEI adalah melucuti dan memulangkan pasukan Jepang. Selain itu, mereka juga bertugas membebaskan tentara Sekutu yang tertawan saat Perang Dunia II. Dalam AFNEI, ikut pula tentara sipil Belanda dalam kesatuanNetherlands Indies Civil Administration (NICA). Di Medan, tentara NICA membentuk Medan Batalion yang bermarkas di Pension (penginapan) Wilhelmina di Jalan Bali, dekat pusat pasar. Letnan Raymond Westerling menjadi komandan batalion ini. “Mereka itu (tentara NICA) anak buahnya Westerling yang mau mengembalikan kekuasaan Belanda di Sumatera Utara,” ujar Muhammad Tok Wan Hari, mantan wartawan senior kota Medan. Kejadian bermula ketika seorang anak remaja tengah melintas di depan Pension Wilhelmina. Anak itu hanya seorang pedagang pakaian bekas namun dia mengenakan lencana Merah Putih di dadanya. Tentara penjaga markas memanggil anak itu, melucuti lencana dari bajunya. Setelah menginjak-injak lencana Merah Putih, tentara NICA memaksa anak itu menelan lencananya. Anak itu melawan tapi kena gampar tentara NICA. Anak yang teraniaya itu melarikan diri dan memberitahu masyarakat akan perlakuan tentara NICA. Berita langsung menyeruak ke penjuru kota. Kemarahan rakyat Medan membuncah. Para pemuda berbondong-bondong ke Jalan Bali. Selain anak-anak muda nasionalis, turut pula bandit atau para jago kota Medan. Selamat Ginting dan Timur Pane adalah pimpinan laskar-laskar pemuda. Penyerbuan ke markas NICA terjadi pada 13 Oktober 1945. “Senjata yang paling banyak digunakan dalam perkelahian disana adalah parang sehingga bacok-membacok sangat ramai,” dalam Perjuangan Rakyat Semesta Sumatera Utara yang diterbitkan Forum Komunikasi Ex Sub Teritorium VII Komando Sumatera (1979). Korban jatuh di kedua belah pihak. Masing-masing tujuh orang meninggal. Gedung Pension Wilhelmina berhasil diambilalih para pemuda. Sebanyak 132 tentara NICA mengalami luka-luka. Mereka diangkut ke markas pemuda pimpinan Selamat Ginting, tak jauh dari Jalan Bali. Setelah dipukuli, mereka dikirim ke rumah sakit, ada juga yang dibunuh. Pada 18 Oktober 1945, Inggris mengumumkan agar orang-orang Indonesia menyerahkan senjatanya. Tuntutan itu dijawab dengan giatnya pembentukan laskar-laskar di Medan dan sekitarnya, seperti Berastagi dan Pematang Siantar. Anggota laskar bahkan mencari senjata yang dibuang Jepang ke dasar laut, dekat pelabuhan Belawan. Pertempuran demi pertempuran meluas, menandai dimulainya perang kemerdekaan di Sumatera Utara.
- Penentuan Hari Jadi Kota Makassar
SENIN, 9 November 2015, lapangan Karebosi Makassar sudah padat sejak pagi. Beberapa pejabat pemerintah terlihat menggunakan pakaian adat. Ada gubernur Sulawesi Selatan, walikota Makassar, hingga pelajar. Hari itu seribuan orang, berkumpul dalam rangka peringatan hari jadi Kota Makassar yang ke-408 tahun. Usia kota ini didasarkan pada peristiwa salat Jumat bersama di masjid Tallo, pada 9 November 1607, di masa pemerintahan Raja Gowa ke XIV, I Mangngarangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tumenaga ri Gaukanna. Kesepakatan ini, dirumuskan dalam Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 1 Tahun 2000, tentang Penetapan Hari Jadi Kota Makassar. Sebelumnya hingga tahun 1999, Hari Jadi kota ini disepakati pada 1 April 1906 yang diberlakukan oleh Gubernur Jenderal Idenburg, setelah penaklukan penguasa-penguasa lokal, dan menjadikan Makassar sebagai gemeente (daerah otonom) yang berhak mengatur dan memerintah diri sendiri. Pemberlakuan daerah otonom ini didasarkan pada Undang-undang Decentralisatiewet tahun 1903 juncto Algemenee Matregel van Bestuur tahun 1903. Dimana selain Makassar, status gemeente ini juga diberlakukan untuk Batavia (sekarang Jakarta), Medan, Semarang, dan Surabaya. Tahun 1906 pula dibentuk Dewan Kota ( gemeenteraad ) yang beranggotakan 13 orang, masing-masing terdiri delapan orang Belanda, tiga orang pribumi dan dua orang perwakilan Timur Asing. Dewan ini dipimpin oleh Kepala Pemerintahan Daerah Afdeling Makassar ( Het Hoofd van Plaatselijk Bestuur van de Afdeling Makassar ). Dan tahun 1911, dewan kota diperbesar dengan penambahan dua orang Belanda. Pada 1918, Makassar akhirnya memperoleh walikota ( Burgemeester ) pertamanya dan sekaligus bertindak sebagai ketua dewan kota. Dua puluh tahun kemudian di tahun 1938, status kota berubah menjadi Kotapraja ( Stadsgemeente ) dan menambahkan dua orang pribumi kedalam anggota dewan kota yang menjadi 17 orang. Pemerintah kolonial juga mengeluarkan Bouw en Woonverordening voor de Gemeente (aturan yang digunakan untuk mengatur pendirian bangunan secara tak langsung dalam mekanisme zonasi tempat tinggal). Aturan ini kemudian disempurnakan pada 1942 dan 1952. Perkembangan kota inilah yang kemudian dikatakan, sejarawan Universitas Hasanuddin, Dias Pradadimara sebagai awal mula perkembangan kota Makassar secara modern. “Ingat, perkembangan awal kota Makassar yang kita kenal saat ini bertumbuh di wilayah sekitar Benteng Rotterdam akhir abad 17,” katanya. Untuk itu, kata Dias, menarik garis sejarah pembentukan kota seperti saat ini, maka pengaruh kolonial sangatlah penting. “Kita tidak boleh mengatakan bahwa itu adalah tinggalan masa penjajah. Sikap anti barat, tentu tidaklah beralasan,” katanya. Lalu kemudian apa makna peristiwa 9 November yang dirayakan sebagai hari jadi kota? “Itu adalah serangkaian peristiwa-peristiwa simbolik yang terjadi pada masa kejayaan kerajaan Gowa Tallo. Dan ingat, pusat kerajaan pada masa itu ada Kabupaten Gowa saat ini. Itu tidak ada hubungan dengan kota yang kita kenal sekarang,” kata Dias. “Kalau pemerintah tetap menggunakan peristiwa simbolik pada 9 November, saya kira ini akan mengganggu data sejarah masa depan.” Alasan yang sama dikemukakan sejarawan Universitas Negeri Makassar, Taufik Ahmad. Menurut dia, penentuan hari jadi kota, dilakukan secara politik, maka sebaiknya dipandang juga secara politik pembentukan. “Saya kira kita tak bicara soal entitas etnis Makassar. Jadi cikal bakal kota tentu dimulai pada pembentukan kota secara modern, ya tahun 1906 itu,” katanya. Sementara itu, menurut Sejarawan Universitas Hasanuddin, Edward Poelinggomang penetapan 9 November merupakan peristiwa atau momentum kebesaran di mana berkumpul banyak orang dari berbagai etnis yang melakukan salat bersama. “Saya kira itu momentum untuk melihat betapa kosmopoltannya Makassar masa lalu,” katanya.
- Ketika Resimen Pelopor Menyerang Markas RPKAD di Cijantung
SEJARAH militer Indonesia tak pernah sepi dari insiden bentrokan antara sesama kesatuan. Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, kini Kopassus) pernah bentrok dengan kesatuan elite Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL, kini Marinir) pada 1964 di Kwini dan Pasukan Gerak Tjepat Angkatan Udara (PGT) pada 1965 di Halim Perdanakusumah. Namun, tak banyak orang tahu bahwa RPKAD pun pernah bentrok dengan Menpor (Resimen Pelopor, sekarang Brimob). Dalam Resimen Pelopor, Pasukan Elit yang Terlupakan, Anton Agus Setiyawan dan Andi M. Darlis mengungkap bentrokan yang terjadi pada pertengahan 1968 itu. Insiden diawali oleh datangnya seorang sopir oplet ke asrama Menpor di Kelapa Dua, Depok pada suatu siang. Dia menyerahkan jasad seorang prajurit Menpor. Sebelum pingsan, sopir itu mengatakan kepada petugas pos jaga bahwa prajurit Menpor itu tewas ditembak dari jarak dekat oleh personel RPKAD. Setelah melakukan identifikasi, prajurit Menpor tersebut adalah anggota Kompi F yang baru saja lulus pendidikan. Menerima laporan tersebut, Wakil Komandan Menpor AKBP Soetrisno sontak menjadi berang. Alih-alih menenangkan prajuritnya, dia malah memerintahkan tiga kompi Menpor (Kompi A, Kompi B dan Kompi D) untuk menyiapkan perlengkapan tempur dan mengisi senjata AR 15 dengan lima magasin peluru tajam. “Mereka diperintahkan untuk menduduki Cijantung yang merupakan markas sekaligus asrama RPKAD. Sementara kompi lain diperintahkan bersiaga mengantisipasi serangan balasan,” tulis Anton dan Andi. Tiga kompi ini dipecah kedalam beberapa peleton dan berjalan kaki menuju Cijantung. Peleton pertama yang tiba di Cijantung berhasil menyusup dengan cara memotong pagar kawat di belakang markas RPKAD. Hanya dalam hitungan menit, dua kompi masuk ke markas RPKAD, satu kompi di luar untuk mengantisipasi perangkap RPKAD. Setelah melakukan penyisiran, ternyata asrama sudah dikosongkan. Prajurit Menpor menduduki markas RPKAD hingga pukul 06.00 pagi. Beberapa saat kemudian, datanglah sepasukan tentara dipimpin langsung oleh Pangdam V Jaya Mayjen. Amir Machmud. Dari atas tank, dia berseru agar prajurit Menpor segera meninggalkan Cijantung atau akan dianggap pasukan liar dan diambil tindakan keras. Prajurit-prajurit tidak gentar dan malah mengarahkan senjatanya kepada Pangdam Jaya. Seorang prajurit bertanya kepada AKBP Soetrisno, “Bagaimana, Pak Tris? Pangdam Jaya ditembak, tidak?” Soetrisno memberi perintah untuk menunggu. Tak lama kemudian, Kombes Polisi Anton Soedjarwo, komandan Menpor, yang tidak mengetahui penyerbuan anak buahnya ke markas RPKAD, memerintahkan mereka untuk membubarkan diri. Barulah para prajurit Menpor mengundurkan diri dari Cijantung. Seminggu setelah kejadian itu, pasukan Menpor memakai pakaian sipil dengan menggunakan truk yang diganti pelat nomornya menculik prajurit RPKAD yang pulang cuti. Prajurit RPKAD malang itu ditusuk dengan pisau komando dan mayatnya dibuang di jalan. Pada pekan berikutnya, aksi ini didukung Batalion 530 Brawijaya yang tengah bertugas di Jakarta. “Pasukan ini memberi dukungan berupa tank yang digunakan untuk berkeliling menculik para prajurit RPKAD,” tulis Anton dan Andi. Para petinggi TNI dan Polri segera melakukan penyelidikan. Hasil penyelidikannya tidak pernah diumumkan kepada publik. Menpor dan RPKAD didamaikan dengan cara apel dan kegiatan bersama.
- Cerita Menarik Pemilihan Bupati Sumba Barat
KETIKA menjabat Gubernur Nusa Tenggara Timur (dua periode, 1978-1988), Ben Mboi dihubungi Kepala Staf Angkatan Udara, Ashadi Tjahyadi, terkait pengganti Bupati Sumba Barat, Letkol (TNI AU) Pandago yang meninggal. Ashadi meminta pengganti Pandago berasal dari Angkatan Udara. Ben Mboi menolak. “Marsekal, jangan! Kita jangan bikin NTT menjadi kapling-kapling ABRI, dan sekaligus tempat arisan bupati. Penetapan bupati di bawah pimpinan saya adalah mission type oriented, artinya rakyat membutuhkan leadership macam apa,” jelas Ben Mboi kepada Ashadi, tertulis dalam Ben Mboi: Memoar Seorang Dokter, Prajurit, Pamong Praja. Ashadi menerima alasan Ben Mboi. Namun, tak lama kemudian, Kasospol Kodam Udayana, Kolonel Siregar menemui Ben Mboi di kantornya. Dia meminta agar bupati Sumba Barat diambil kalangan Angkatan Darat. Dia beralasan Sumba Barat masih rawan PKI dan Gerakan 30 September (G30S), maka pimpinan harus dipegang oleh tentara. Ben Mboi menyangkal alasan Siregar dengan mengatakan, “Ah kamu bercanda, rawan G30S, yang benar saja. Tulang-tulang orang PKI sudah hancur semua, you masih bilang rawan G30S. Tidak ada rawan G30S. Tidak ada laporan sospol bahwa masih ada unsur PKI di Sumba Barat. Yang ada rawan kelaparan, kemiskinan. Saya ada calon bupati dari kalangan sipil Sumba Barat!” Mendengar penolakan Ben Mboi, Siregar mengeluarkan ancaman. “Tapi panglima (Udayana) pesan, kalau bupati Sumba Barat bukan dari kalangan AD, besok lusa kalau ada masalah di sana panglima tidak bertanggung jawab,” kata Siregar. Merasa diancam, Ben Mboi memanggil Sekretaris Daerah, Drs. Daud ke ruangannya. Ben Mboi memerintahkan Daud untuk mencatat kata-kata ancaman Siregar lalu mengirimkannya via telegram kepada Presiden Soeharto. Siregar melompat dari tempat duduknya. “Minta ampun, Pak Gubernur. Bukan itu maksudnya.” “Eh, Siregar, kau tentara. Kau lupa saya juga tentara. Yang kau bilang besok lusa kalau ada masalah itu, kau yang akan bikin masalah, sehingga hipotesismu terbukti!” tegas Ben Mboi. “Jadi beritahu panglima, prinsip saya mencari pemimpin rakyat itu adalah orang yang sedekat mungkin secara sosial, politik, kultural kepada rakyat yang dipimpin itu.” Ben Mboi kemudian memilih Drs. Umbu Djima sebagai bupati Sumba Barat yang menjabat selama dua periode (1985-1995). Setelah itu, Umbu Djima menjadi anggota DPR RI dari Partai Golkar (1997-1999). Apakah panglima Udayana gembira atau tidak, bagi Mboi “rakyat harus memperoleh pemimpin seperti kata Joseph de Maistre: Toute nation a le gouvernement qu’elle merite (setiap bangsa/kelompok masyarakat berhak mempunyai pemerintah yang pantas untuk mereka.”
- Kisah di Balik Foto Eksekusi Pejuang Indonesia
BERITA dan foto di harian de Volkskrant edisi Jumat 16 Oktober tentang eksekusi di Indonesia pada zaman perang kemerdekaan dulu, diteruskan oleh televisi dan radio Belanda yang lebih lanjut mengupas foto-foto itu. Memang hanya foto dan slides yang ditemukan di Verzetsmuseum (Museum Perlawanan) Gouda, penjelasan lain tidak ada. Kepada NPO-Radio 1, radio publik Belanda, sejarawan Louis Zweers, spesialis foto-foto dekolonisasi Indonesia, menyatakan penemuan terakhir itu tidak menyertakan konteksnya. Itu berarti, demikian Zweers, tidak ada informasi mengenai di mana, kapan, siapa dan apa yang sebenarnya terjadi. Padahal informasi semacam itu, termasuk siapa yang berada di belakang kamera, esensial bagi foto-foto sejarah. Memang, segera setelah foto tersebar, termasuk di media sosial, publik langsung bereaksi dengan melontarkan pelbagai pertanyaan, seperti siapa saja korban eksekusi itu? Di mana dan kapan eskekusi ini terjadi? Mengapa bagian bawah tubuh korban tidak berpakaian dan hanya ditutupi jerami atau rumput? Tidak semua pertanyaan dikupas oleh televisi dan radio Belanda. Salah satunya adalah kenyataan bahwa enam orang yang dieksekusi itu dalam keadaan setengah telanjang, bagian bawah tubuh mereka tidak berpakaian. Dalam foto bagian itu ditutupi jerami atau rumput. Mengapa demikian? Inikah bentuk pelecehan seksual terhadap orang Indonesia? Pertanyaan ini tidak dilontarkan dalam pengupasan lebih lanjut oleh media elektronika Belanda. Mungkin karena orang tidak tahu jawabannya. Mungkin pula karena orang risih untuk berbicara tentang sesuatu yang jelas-jelas berkaitan dengan moral dan susila. Tiadanya pembahasan jelas memungkinkan spekulasi. Apalagi karena masih ada foto telanjang lain. Foto inilah yang tampaknya bisa memberi penjelasan. Pada foto yang lebih gelap ini terlihat tiga orang. Dua orang Indonesia tidak berpakaian, mereka hanya membawa pakaian. Sedangkan orang lain yang juga berwajah Indonesia mengenakan seragam militer dan membawa senapan. Menariknya di bawah foto ini tertera kalimat bahasa Belanda: “ Voor een verhoor of onderzoek moesten Indonesiërs zich soms geheel ontkleden ”, artinya untuk interogasi atau penyidikan orang-orang Indonesia kadang-kadang harus sepenuhnya melepas busana. Kalimat seperti itu menggiring kita pada kesimpulan bahwa sebelum dieksekusi enam orang tersebut terlebih dahulu telah diinterogasi dan pada saat itu mereka harus melepas pakaian, sepenuhnya telanjang. Mungkin ini untuk memastikan bahwa mereka tidak membawa senjata, jadi tidak berbahaya bagi para interogator. Selain itu juga tidak tertutup kemungkinan bahwa telanjang merupakan penghinaan serta pelecehan seksual tidak langsung. Louis Zweers, dalam wawancara dengan NPO-Radio 1 mengungkap perihal kapan dan di mana foto-foto ini diambil. Menurutnya foto itu diambil di Bandung pada awal tahun 1946. Walaupun dalam wawancara dengan Radio 1 itu, Zweers tidak menjelaskan bagaimana dia bisa sampai pada kesimpulan itu, tetapi dengan melihat foto-foto lain yang ada, Bandung adalah kesimpulan yang masuk akal. Dalam berita harian de Volkskrant edisi Jumat 16 Oktober juga diungkap foto parade militer di depan hotel Savoy Homann di Bandung. Maka bisa dipastikan foto-foto lain yang ada dalam himpunan itu juga diambil di Bandung dan sekitarnya. Lebih lanjut Zweers menegaskan bahwa pada waktu itu situasi Bandung kacau balau. Dalam kekacauan itu paling sedikit ada pasukan Inggris-India (Gurkha) dan satuan-satuan KNIL, keduanya bersama-sama menghadapi para pemuda Indonesia yang berupaya mempertahankan kemerdekaan, menyusul proklamasi 17 Agustus 1945. Zweers yakin enam orang Indonesia yang dieksekusi merupakan dampak bentrokan antara pasukan KNIL dengan para pemuda Indonesia. Yang penting bagi pakar foto dekolonisasi Indonesia ini adalah prajurit Belanda belum tiba. “Mereka baru tiba di Jawa pada bulan Maret 1946,” demikian Zweers. Dengan begitu yang bertanggung jawab bagi eksekusi itu adalah pasukan KNIL yang biasanya terdiri dari orang-orang Indonesia sendiri, orang-orang Ambon, Minahasa dan juga orang Jawa. Foto-foto yang ditemukan di Gouda itu, demikian Zweers, merupakan fase awal upaya Belanda merebut kembali Indonesia. Periode awal menjelang kedatangan pasukan Belanda ini memang sudah diwarnai kekerasan. Korbannya juga termasuk warga sipil, bukan hanya orang Indonesia, tetapi juga warga sipil Belanda, termasuk kalangan Indo yang berdarah campuran Indonesia Belanda. “Periode Bersiap” demikian julukan orang Belanda terhadap periode ini. Ditemukannya foto-foto di Gouda ini semakin memperkeras seruan supaya dilakukan penelitian menyeluruh terhadap perang kolonial Belanda. Termasuk apa yang disebut Periode Bersiap yang merupakan masa-masa penuh trauma bagi kalangan Indo-Belanda.
- Kisah Rumah Tempat Lahirnya Sumpah Pemuda
BANGUNAN di Jalan Kramat Raya 106 Jakarta lebih ramai dari biasanya pada Selasa siang, 27 Oktober 2015. Pengunjungnya murid sekolah, wartawan, dan umum. Tiga ibu-ibu dari instansi pemerintahan asik berfoto di ruang tamu. Tuan rumah sibuk berbenah untuk memperingati Sumpah Pemuda dengan pameran bertajuk “Kisah Perjuangan SM Amin.” Sekira 89 tahun silam, bangunan bergaya Eropa itu juga kedatangan banyak orang. Para pemuda dari berbagai daerah hadir mengikuti Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928. Kongres itu melahirkan Sumpah Pemuda. Sejak 1925, rumah itu sudah ramai. Pemiliknya, Sie Kong Liang, menjadikannya tempat indekos mahasiswa. “Awalnya Jong Java, baru tahun 1927-an dari berbagai daerah. Mohammad Yamin, A.K. Gani kos di sini,” ujar Dwi Nurdadi, pekerja dan pemandu Museum Sumpah Pemuda. Dengan biaya sekira f.7,50 per bulan, mereka menempati kamar-kamar di bagian belakang. Para anggota Jong Java yang kebanyakan mahasiswa STOVIA mendirikan grup kesenian Jawa Langen Siswo. Rumah itu menjadi markas dan tempat latihan menari Jawa. Sehabis makan malam bersama, mereka berdiskusi mengenai hal-hal di lingkungan masyarakat. Mereka kemudian mendiskusikan masalah politik dan pergerakan. Seiring berjalannya waktu, jumlah mahasiswa yang kos di rumah itu bertambah. Mereka berasal dari berbagai daerah dan perguruan tinggi. Di antara mereka, sebagaimana dicatat dalam Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Melahirkan Sumpah Pemuda , terdapat Moh. Yamin, Amir Sjarifuddin, Surjadi (Surabaya), Surjadi (Jakarta), Asaat, Abu Hanifah, AK Gani, Hidajat, F Lumban Tobing, Sunarko, Kuntjoro, Amir, Rusmali, Tamzil, Sumanang, Sambudjo, Urip, Mokoginta, dan Hasan. Di rumah Kramat 106, mereka semakin aktif mendiskusikan masalah sosial-kemasyarakatan, politik dan pergerakan nasional. Pada 1928, mereka namakan rumah itu Indonesische Clubgebouw (IC) –nama populer lain, Indonesische Clubhuis. Banyak pemuda-pelajar tertarik. Mereka bukan hanya mendapat banyak kawan dan wawasan, tapi juga ajang untuk mengasah diri. Amir Sjarifuddin salah satunya. “Seluruh aktivisme ekstra-kurikuler Amir berkembang dari Sekolah Hukum melalui Kramat 106, di mana para mahasiswa hukum dan kedokteran paling progresif tinggal,” tulis Gerry van Klinken dalam Lima Penggerak Bangsa yang Terlupakan: Nasionalisme Minoritas Kristen . Selain studi dan mengurus IC, kesibukan Amir antara lain adalah mengedit jurnal Indonesia Raja milik PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) dan mengajar di Universitas Rakjat di Gang Kenari. Syarat menjadi pimpinan IC tidak mudah, yaitu harus berprestasi baik dalam studinya dan wajib mendekati rakyat. IC berjejaring dengan tempat lain yang menjadi basis pemuda pergerakan, seperti gedung milik Husni Thamrin di Gang Kenari dan Gedung Perguruan Rakyat di Salemba. Merekalah yang menggerakkan terselenggaranya Kongres Pemuda II pada 1928. Persiapan matangnya sering berlangsung di rumah itu. Kramat 106 pula yang menjadi tempat sidang ketiga Kongres Pemuda II, di mana untuk kali pertama W.R. Supratman memainkan lagu Indonesia Raya menggunakan biolanya. Biola itu dipajang di rak kaca yang berada di sebelah kiri museum. “Yang kita punya asli, itu biola WR Supratman. Jadi koleksi kita yang paling penting ya gedung sama biolanya,” ujar Dwi. Kisah di Kramat 106 harus berhenti pada 1934 karena IC tidak mampu membayar sewa kepada Sie Kong Liang. Setelah mendapatkan pernyataan bersalah yang ditandatangani Roesmali, ketua IC, Sie Kong Liang membawa masalah itu ke pengadilan. IC menang berkat pembelaan Moh. Yamin dan Amir Sjarifuddin. Kong Liang naik banding. Atas saran Yamin dan Amir, para pengurus IC tak menghadiri sidang dan melarikan diri. Mereka pindah ke Kramat Raya 156 dan membalik nama IC menjadi CI dengan ketua AK Gani untuk menghindari endusan pemerintah kolonial. Sepeninggal IC, rumah itu bergonta-ganti penghuni sebelum akhirnya jadi bangunan cagar budaya dan Museum Sumpah Pemuda.
- Seorang Raja di Sulawesi Selatan Menentang Perbudakan
KETIKA Sultan Alaudin, raja Gowa XIV, menerima Islam sebagai agama resmi kerajaan, seluruh kerajaan taklukannya di Sulawesi Selatan pun harus ikut. Namun, persekutuan kerajaan dalam ikrar tellu bocco , yakni Bone, Soppeng dan Wajo tidak menerima begitu saja. Ajakan masuk Islam oleh Gowa dianggap sebagai upaya menanamkan kekuasaan di wilayah kerajaan itu. Akhirnya, selama empat tahun, Gowa menyerang tiga kerajaan itu. Perang ini dikenal dengan nama Musu Selleng (Peperangan Islam). Sidenreng dan Soppeng diislamkan pada 1690, Wajo pada 1610 dan Bone pada 1611. Perkembangan Islam di Bone begitu pesat. Raja Bone XIII, La Maddaremeng Matinroe ri Bukaka (periode1631-1640), menerapkan aturan-aturan Islam dengan ketat, tak hanya dalam wilayahnya melainkan ke kerajaan tetangga seperti Soppeng dan Wajo. La Madderemeng, mengeluarkan perintah untuk tidak lagi mempekerjakan ata (budak). Menurutnya, semua umat Islam adalah orang yang merdeka. Bila seseorang mempekerjakannya maka harus memperoleh nafkah sewajarnya. Selain pembebasan budak, La Madderemeng juga menghancurkan berhala dan tidak mengijinkan kepercayaan leluhur yang tidak sesuai syariat Islam. Namun, tindakan itu tak begitu disenangi rakyat dan kalangan istana, bahkan ibunya sendiri, We Tenrisoloreng Datu Pattiro. Kerajaan tetangga yang merasa tertekan dengan aturan La Maddaremmeng secara perlahan menggalang kekuatan dengan kerajaan Gowa. Pada 1640, tulis Mattulada dalam Menuyusuri Jejak Kehadiran Makassar Dalam Sejarah , mengatakan bila We Tenrisoloreng Datu Pattiro ibunda sang raja melakukan perjalanan dan menuju Makassar untuk meminta perlindungan pada Sultan Malikussaid, raja Gowa XV (periode 1639-1653) pengganti Sultan Alaudin yang mangkat. Dalam lontara’ kerajaan Gowa Tallo, beberapa kali utusan kerajaan Gowa menuju Bone untuk meminta penghentian aturan tersebut, namun tak pernah digubris La Madderemeng. Akhirnya, perang pun kembali berkobar. Gowa didukung Wajo, Soppeng dan Sidenreng menghimpun pasukan dalam jumlah besar dan menyerang Bone. Pada 1644, Bone ditaklukkan. La Maddaremeng ditangkap dan ditawan di Makassar. Sementara adiknya La Tenriaja yang mendukung segala aturan La Madderemeng, melarikan diri. Kekalahan inilah yang kemudian dalam lontara’ Bone dituliskan, “Naripoatana Bone seppulo pitu taung ittana.” (maka diperbudaklah (Bone) tujuh belas tahun lamanya). Kekosongan takhta di kerajaan Bone saat itu, menunjuk Karaeng Patingaloang sebagai Mangkubumi Kerajaan Gowa sekaligus paman dari Sultan Malikussaid menjadi raja. Namun, permintaan tersebut ditolak. Dan akhirnya Sultan Malikussaid menjadi raja Bone sekaligus Gowa. Beberapa tahun kemudian, La Tenriaja muncul dan menghimpun kekuatan. Dewan adat Bone mengangkat La Tenriaja sebagai raja tanpa sepengetahuan Gowa. Sultan Malikussaid bersama Karaeng Patingalloang memimpin pasukan untuk memerangi Bone. Bone kalah dan ratusan orang Bone menjadi tawanan termasuk La Tenriaja. Sekutu kerajaan Gowa, kemudian meminta pembagian rata tawanan dari Bone untuk dijadikan budak. Di Gowa, praktik dan sistem perbudakan berlangsung sejak lama. Sejarawan Universitas Hasanuddin Edwar Poelinggomang dalam Makassar Abad XIX , mengutip ikrar Tunipalangga, raja Gowa X (periode 1546-1565) yang berbunyi “ Makkanama na mammio (aku bertitah dan kamu menaati).” Di Makassar penduduk-penduduk taklukan dijadikan budak. Digunakan oleh pedagang atau pemilik tanah sebagai pendayung, pengangkut beban, dan pekerja di lahan pertanian. Maka tak heran, sistem budak ini menjadikan Makassar sebagai pusat perdagangan budak, baik dari Kalimantan, Timor, Manggarai, Solor, dan Tanimbar.
- Lobang Maut Saudara Tua
SELINTAS lubang besar di dinding tanah merah laiknya terowongan pertahanan gerilyawan Viet Cong. Saat menuruni tangganya yang berjumlah 132, situasi rapat dan terlindungi sangat terasa. Begitu rapatnya hingga saat memasuki lebih dalam, bau lembab tanah yang mendominasi udara pengap pun menyeruak tajam di rongga hidung. Menurut pemandu Jefry (45), di goa yang panjangnya 1470 meter tersebut –sisanya 4730 meter belum tereksplorasi– ribuan pekerja paksa ( romusha ) mati menggenaskan. Bukti kisah horor tersebut terekam dari banyaknya ruangan mirip penjara yang difungsikan sebagai tempat penyiksaan. Dengan rongga berbentuk setengah lingkaran yang rata-rata tingginya dua meter – kecuali beberapa rongga memaksa para pengunjung membungkuk– goa ini ditujukan untuk pertempuran gerilya panjang melawan Sekutu. “Lihat saja dari bentuk arsitekturnya, goa ini sengaja diciptakan oleh tentara Jepang dengan ujung-ujung terowongan rahasia yang menembus punggung lain dari bukit itu,” ungkap Jefry. Tujuannya saat musuh masuk lewat pintu utama, para serdadu Jepang bisa cepat keluar dari ujung-ujung goa itu, untuk berbalik mengepung musuh yang terjebak di dalam. Jadi, selain sebagai benteng pertahanan, goa ini juga berfungsi sebagai penjebak musuh. Laiknya benteng pertahanan, goa ini terbagi dalam beberapa ruang untuk rapat, sidang, makan, tahanan, enam ruang amunisi, 12 ruang tidur, 12 barak militer, dan dua ruang tidur romusha . Untuk ventilasi, lorong gua memiliki beberapa saluran lubang ke atas tanah. Di beberapa sudut, terdapat lorong yang menembus bukit ke arah jalan raya untuk menangkap penduduk yang biasa menggunakan jalan tersebut untuk mengangkut hasil panen. “Selain merampas hasil tani penduduk, para tentara Jepang itu menangkapi orang-orang setempat untuk menambah jumlah romusha di goa itu,” ujar Jefry. Kekejaman serdadu Jepang terhadap para romusha dibuktikan lewat sebuah lubang yang mengarah ke bibir jurang Ngarai Sianok. Fungsi lubang tersebut, kata Jefry, sebagai pembuangan mayat romusha yang melawan. Sebelum menjadi mayat, biasanya korban diisolasi terlebih dahulu dalam tempat sempit dalam goa tanpa diberi makan dan minum. ”Di sini mereka buang mayatnya,” kata Jefry sambil menunjuk sebuah lubang seukuran tubuh manusia yang saat ini sudah ditutup oleh semen. Sejak didirikan tahun 1942, goa ini tetap menjadi rahasia. Hingga pada sekitar September 1946, sekelompok pencari kayu bakar menemukan goa ini di balik semak belukar yang lebat. Ketika ditelusuri lebih lanjut memang tak ada yang tersisa di goa itu, kecuali beberapa pucuk pistol dan batok-batok kelapa –tempat makan dan minum romusha – yang berserakan. Menurut Sukidi, beberapa senjata yang ditemukan tersebut, diabadikan di Museum Tri Daya Ekadarma. “Sepertinya sebelum meninggalkan goa ini, tentara Jepang sempat mengangkut amunisi mereka,” ungkap pegawai museum yang terletak berhadapan dengan Taman Wisata Panorama Ngarai Sianok. Pada 11 Maret 1986, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Fuad Hassan meresmikan goa peninggalan tentara Jepang itu sebagai tempat wisata sejarah di Bukittinggi. Sejak resmi menjadi tempat wisata inilah, Goa Jepang mengalami berbagai renovasi. Dinding-dindingnya yang semula asli dari cadas, kemudian ditempeli semen. Menurut Jefry, hal tersebut terpaksa dilakukan sebagai antisipasi pengurangan kadar kelembaban dan mencegah dirusaknya dinding goa oleh tangan-tangan jahil. Tentu saja, upaya itu banyak menimbulkan protes, terutama dari kalangan peneliti dan pecinta sejarah. Mereka menyebut penyemenan itu sebagai suatu kecerobohan karena menghancurkan kondisi asli Goa Jepang Bukittinggi.





















