top of page

Hasil pencarian

9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Melumpuhkan Gerombolan G30S tanpa Peluru

    SERMA purnawirawan Edi B. Somad, veteran Pertempuran Bekasi semasa Perang Kemerdekaan yang dikaryakan di Yonavet Koramil 07 Tambun, Bekasi,selalu ingat kejadian yang dialaminya pada 3 Oktober 1965 saat sedang piket. Kejadian itu merupakan kelindan dari peristiwa 1 Oktober yang terjadi di ibukota. “(Tengah) malam 1 Oktober itu saya sedang piket di Koramil Tambun. Danramilnya Pak Sadikin. Sama kawan-kawan saya dikonsinyir sampai pagi. Tapi sebelum saya pulang siangnya, saya dikasih info sama kawan-kawan lain bahwa di Jalan Kalijambe (Tambun Selatan, red. ) ada gerombolan tentara seragam loreng-loreng pada ngaso ,” ujar Edi kepada Historia. Ternyata yang diinfokan itu adalah pasukan Yon 454/Raiders yang melarikan diri setelah terlibat baku tembak dengan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, kini Kopassus) di Pondok Gede dekat PAU Halim Perdanakusuma pada 3 Oktober pagi. Mengutip Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang , pasukan Raiders itu sebagian sudah dikonsolidasikan setelah terjadi gencatan senjata yang “dimediasi” perwira Angkatan Udara. “Sedangkan sisanya yang masih ikut petualangan mengundurkan diri ke Tambun. Pengejaran segera dilakukan, hasilnya 237 orang menyerah tanpa membawa korban,” tulis Pour. Info tentang pasukan yang diterima Edi dan kawan-kawannya itu lalu diteruskan ke danramil. Tak lama setelah itu, Edi ditugaskan mendatangi dan membujuk gerombolan tentara tadi agar merapat ke markas Koramil Tambun yang saat itu bertempat di Gedung Tinggi Tambun (kini Gedung Juang Tambun). Jantung Edi sempat berdegup kencang saat tiba di depan gerombolan itu dan disambut dengan kokangan senjata. Setengah mati ia berupaya menenangkan diri agar dapat menjalankan misi dan menjaga supaya jangan sampai memicu letusan senjata. “Siapa itu?” tanya seorang dari gerombolan, sebagaimana ditirukan Edi. “Saya Edi, dari Koramil.” “Ada apa?” “Saya ada perintah dari danramil, Pak Sadikin, bahwa kalian tidak bersalah. Hanya terbawa-bawa (perintah provokatif). Jadi bagaimana, kalian mau melarikan diri tapi tak ada tujuan atau bisa kami koordinir? Nanti bisa dikembalikan ke kesatuan,” kata Edi. Edi B. Somad mengisahkan bagaimana ia dan rekannya di Koramil Tambun melucuti gerombolan pasukan liar terafiliasi PKI tanpa pertumpahan darah (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Tidak langsung memberi jawaban, gerombolan itu “meraba-raba” apakah tawaran Edi itu jebakan atau bukan. Untuk membuktikan bahwa tawaran itu bukan jebakan, dua perwakilan dari mereka lalu ikut Edi ke markas Koramil. Di sana mereka diberi tahu bahwa mereka akan dijamin, tidak hanya keamanannya, namun juga makanan dan rokok. “Mereka akhirnya setuju. Syarat dari kita, semua senjata supaya dikumpulkan di gudang markas. Pas masuk ke markas, kita jelaskan lagi bahwa kita tentara semua kawan. Itu senjatanya ada (senapan mesin) Bren, senapan otomatis (Chung), Thompson, senjata anti-tank. Andaikata waktu itu kita frontal, wah Tambun bisa jadi lautan api sama dia. Orang kita di koramil juga cuma enam orang. Mereka senjatanya komplit,” sambung Edi. Pimpinan mereka pun dipertemukan dengan Sadikin di kantornya. Setelah itu, Edi diperintahkan mengontak Kodim 0507 Bekasi untuk kemudian meneruskan info itu ke Kodam Jaya. Edi dan kelima kawannya lalu mengupayakan pengadaan logistik yang mereka janjikan. “Ya rokok, makanan, semua kita minta bantuan warga sekitar saja. Nasi, lauk, kita minta masakin warga. Saya telefon Kodim Bekasi untuk minta bantuan dikontak ke Kodam. Minta truk 40, untuk mengangkut anggota pasukan PKI yang sudah dilumpuhkan,” ujarnya. Namun, Edi dan komandan Sadikin kaget. Sekira pukul 5 sore bantuan yang datang bukannya truk untuk mengangkut personel, malah konvoi pasukan RPKAD dengan pansernya. “Pak Sadikin marah. Komandan pansernya dilabrak. ‘Saudara jangan unjuk gigi di sini! Kalau mau unjuk gigi, tadi tuh waktu senjata mereka masih di tangan. Sekarang tinggal orangnya doang, senjata sudah dilucuti, malah ditakuti’,” kata Edi menirukan kemurkaan komandannya. Gedung Juang Tambun yang pada 1965 dipakai sebagai Markas Koramil Tambun (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Sementara, melihat kedatangan pasukan RPKAD yang mereka hadapi di Halim di pagi harinya, gerombolan Yon 454/Raiders yang sedang mengaso itupun kocar-kacir melarikan diri. Hanya sekira 200-an sisanya yang bisa ditahan di markas Koramil. Baru ketika malam, tiba truk-truk yang diminta untuk membawa sisa gerombolan itu ke Jakarta. Para personil yang kabur lalu –diketahui kemudian bahwa tidak hanya berasal dari Yon 454/Raiders saja tetapi juga dari Tjakrabirawa dan Brigif I Kodam Jaya– meneruskan perjalanan dan dikabarkan menyerahkan diri di Markas Corps Polisi Militer (CPM) di Cirebon karena kelaparan. “Setelah melapor di Cirebon, laporan CPM Cirebon diteruskan ke markas Resimen Tjakrabirawa. Mereka lalu dijemput Resimen Tjakrabirawa dan kemudian dimasukkan kembali ke asramanya (Kala Hitam) di Jalan Tanah Abang D, sebelum dijebloskan ke Penjara Salemba,” ujar Maulwi Saelan dalam memoarnya, Dari Revolusi 45 sampai Kudeta 66: Kesaksian Wakil Komandan Tjakrabirawa.

  • Yang Dikenang Ary Sudarsono tentang Bung Karno

    ARY SUDARSONO, legenda bola basket Tanah Air, punya kenangan tersendiri terhadap sosok Presiden Sukarno. Dalam sejumlah kesempatan formil, Ary seringkali tampil mengenakan busana resmi ditambah songkok hitam khas Sukarno. Dia memakainya agar tampak seperti Bung Karno, idolanya sejak belia. Karena itulah sesekali ia memperlihatkan foto-foto Sukarno yang tersimpan di galeri foto smartphone -nya, termasuk foto kamarnya yang dihiasi satu potret besar Bung Karno. Ary mengakui, sikapnya terhadap Bung Karno itu berkebalikan dari ayahnya, Sudarsono Brotomidjojo. “Ya bapak gue yang ikut pasang meriam ke Istana (Peristiwa 17 Oktober 1952) tuh. Waktu jadi tentara ikut Pak Nas (Abdul Haris Nasution). Meskipun dia akui Sukarno orang hebat,” ujar Ary kepada Historia.id. Ngapel ke Istana Dijemput Tjakrabirawa Kekagumannya pada Sukarno beriringan dengan keterpesonaannya pada putri bungsu Bung Besar, Sukmawati Soekarnoputri. Sejak Sekolah Rakyat (SR) hingga SMA di Perguruan Cikini, Ary jadi teman satu sekolah Sukma. Witing tresno jalaran soko kulino , Ary pun kepincut Sukma. Pada 1963, Ary jadi satu dari sekian ABG yang mengais cinta anak keempat Sukarno itu. “ Gue dulu hampir jadi mantunya Sukarno. Pacaran sama Sukma, kita satu sekolah dulu. Sebenarnya belum pacaran serius. Suka-sukaan aja gitu. Ya cinta monyet lah. Tapi karena gue suka telepon, diajak main dong ke Istana. Dulu di sekolah paling cakep dia, primadonanya di sekolah,” kenangnya. Ary sering ngapel  ke Istana meski hanya bisa di hari Minggu. Pasalnya, setiap Sabtu Bung Karno lebih sering ke Istana Bogor menemui istri ketiganya, Hartini. Saat ke Istana pun, Ary harus dijemput pasukan Tjakrabirawa karena tak sembarang orang bisa masuk Istana. Ary Sudarsono mengidolakan Bung Karno sejak remaja. (Fernando Randy/ Historia.id ). “Kalau malam Bung Karno pulang dari Bogor, diajak makan malam. Biasanya makan bareng. Ada Rahma (Rachmawati Soekarnoputri) sama pacarnya, Mega (Megawati Soekarnoputri) juga ada pacarnya. Gue yang paling bertahan lama karena gue suka olahraga. Bung Karno paling senang sama orang yang suka olahraga,” tutur Ary mengingat masa belianya. Kala itu, Ary Sudarsono memang sudah menggeluti basket. Ia juga menggandrungi judo. Ia pun mengaku sering diberi Bung Karno wejangan soal olahraga yang berkaitan pembangunan karakter bangsa mengingat di tahun itu si Bung bikin Ganefo (Games of the New Emerging Forces). “Karena sering ketemu Bung Karno itu gue diindoktrinasi soal nation character building lewat olahraga. Dia juga pernah kasih wejangan, ‘Buatlah kalimat sampai dengan titik’, katanya. Karena dulu masih muda banget, gue tanya artinya ke bapak. Katanya, artinya elo harus menjadi generasi penerus, berbuat sesuatu untuk bangsa sampai benar-benar jadi. Lewat bidang apapun, selesaikan sampai tuntas,” paparnya. Namun, Prahara 30 September 1965 memporak-porandakan Bung Karno dan keluarganya. Hubungan Ary dengan Sukmawati pun kena imbas. Namun, Ary tetap menjaga pertemanannya hingga kini. “Pernah beberapa kali bertemu habis itu, lalu enggak pernah lagi karena gue enggak tahu mereka diungsikan ke mana. Enggak boleh tahu juga,” katanya. Ary mengaku tak mengerti betul apa yang terjadi dengan Sukarno. Ia masih pelajar SMP, belum melek politik. Bertanya pada sang ayah pun, Ary tak mendapat jawaban yang memuaskan. “Susahnya punya bapak yang tidak Sukarnois. Dia bilang, ‘ elo pelajarin sendiri aja deh. Orang gue ikut pasang meriam ke Istana, malah elo tanya gue !’ Tapi dari mana-mana gue cari tahu sendiri. Ya kesalahannya Bung Karno cuma satu. Dia enggak mau bubarin komunis. Ya itu keyakinan seseorang sih ya, Bung Karno ingin kasih lihat negara lain bahwa Nasakom bisa bersatu. Tapi itu yang ditentang orang-orang termasuk Angkatan Darat,” tutur Ary. Ary Sudarsono pernah terpilih memerankan Sukarno dalam Haul ke-100 Bung Karno di Istana Bogor. (Fernando Randy/ Historia.id ). Ritual di Istana Bogor Juni 2001 di Istana Bogor menjadi momen tak terlupakan dalam hidup Ary. “Itu waktu di Istana Bogor, Haul ke-100 Bung Karno. Dipanggillah beberapa artis, seperti Ferdi Hasan, Anjasmara. Tapi dari kuncen istananya, malah saya yang ditunjuk. Waktu itu gue tampil membawakan adegan Sukarno memberi wejangan. Aduh, gue lupa waktu itu wejangan apa yang gue dialogkan,” kenang Ary. Untuk keperluan itu, Ary diminta menginap sebelum acara. Ia lalu diinstruksikan oleh bagian rumahtangga istana untuk berjalan keliling istana tanpa sehelai pakaian pun. “Disuruh ritual dulu. Jam 12 malam gue telanjang. Jalan mengitari istana. Terus putaran ketiga, gue naik ke atas. Sampai di atas balik badan lihat jalanan. Ada suara macam-macam, termasuk suara Bung Karno dengan bahasa Belanda. Dari atas gue lihat arah jalanan juga ngelihatnya banyak lampu warna-warni kayak karnaval. Setelah itu kata kuncennya, ‘besok Anda tampil sudah akan seperti Bung Karno sungguhan’,” tandas Ary.

  • Amuk Baret Hijau di Leuncang

    DEN HAAG, 1952. Letnan Kolonel Soegih Arto, tengah menjadi salah seorang peserta sebuah kursus militer yang diadakan oleh Fakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Suatu hari, sopirnya selama di Belanda, mengajak Soegih untuk berkunjung ke rumahnya. “Saya ingin memperlihatkan sesuatu,” ungkap letnan Korps Pasukan Khusus Angkatan Darat Kerajaan Belanda (KST) berkebangsaan Timor tersebut. Singkat cerita, Soegih Arto memenuhi undangan itu. Saat di rumahnya, sang letnan memperlihatkan sejumlah foto yang terkait dengan operasi-operasi militer yang pernah dia ikuti di Indonesia. Di antaranya adalah foto-foto yang memperlihatkan jasad Mayor Abdrurrachman Natakoesoema dan Kapten Edi Soemadipradja, yang terlihat baru saja dieksekusi. “Saya sedih sekali melihat foto mayat kedua rekan seperjuangan itu,” ungkap Soegih Arto dalam biografinya, Saya Menulis Anda Membaca (Sanul Daca): Pengalaman Pribadi Letnan Jenderal (Purn) Soegih Arto. Siapakah sebenarnya Mayor Abdurrachman Natakoesoema dan Kapten Edi Soemadipradja? Bagaimana mereka bisa gugur di tangan sebuah unit khusus tentara Belanda? *** Sumedang, tiga tahun sebelumnya. Samyi tengah bekerja sebagai buruh tani di Sampora ketika rentetan tembakan terdengar dari arah Leuncang. Kendati kedua kampung itu  sama-sama masuk wilayah Desa Cibubuan, Kecamatan Conggeang, tapi jaraknya cukup berjauhan: sekira 4 km. Orang-orang kemudan ramai mengabarkan: Leuncang diserang tentara Belanda. Sejenak dia terhenyak. Terbayang wajah orangtua dan saudara-saudaranya. Kendati mengkhawatirkan kondisi mereka, Samyi dicegah majikannya untuk meninggalkan Sampora. “Tapi karena merasa tak tenang terus, sore harinya saya nekat pulang ke Lencang,“ kenang Samyi, berusia 87 tahun, kepada Historia . Sesampai di Lencang, Samyi menemukan suasana mencekam. Dari kawan-kawannya, terbuhul kisah: sejak pagi buta hingga siang, tentara Belanda mengobrak-abrik Leuncang. Belasan orang menjadi korban, termasuk Mayor Abdurachman Natakoesoema, Komandan Bataliyon II Tarumanegara Divisi Siliwangi. *** Selepas long march (perjalanan panjang dari Jawa Tengah dan Yogyakarta ke basis semula di Jawa Barat) awal 1949, kedudukan Markas Besar Divisi Siliwangi berada di Kecamatan Buah Dua, Sumedang. Karena wilayah itu wewenang Batalyon II Tarumanegara di bawah Mayor Abdurachman Natakoesoema, keamanan Panglima Divisi Siliwangi Letkol Sadikin dan jajarannya menjadi tanggungjawab pasukan itu. “Pengawalan dari Yon II dilaksanakan Kompi III yang dikomandani oleh Kapten Edi Soemadipradja,” tulis Amirmachmud dalam otobiografinya Prajurit Pejuang Namun militer Belanda yang berkedudukan di Sumedang kota sudah mencium keberadaan Letkol Sadikin. Setelah mendapat konfirmasi dari para telik sandi-nya, mereka menyusun rencana operasi perburuan. Sebagai eksekutor dipilihlah Kompi Eric , suatu unit kesatuan Baret Hijau (KST)yang dikenal ganas terhadap para pejuang Indonesia. “Saya tidak pernah memelihara tawanan perang, saya memburu mereka memang untuk dibunuh,” ujar Letnan Satu Henk Ulrici, komandan Kompi Eric, dikutip Haagse Post edisi Agustus 1965. Kompi Eric memulai aksinya awal April 1949. Dalam catatan Letkol J.J. Malta, selama beberapa hari mereka bersiap di sekitar kaki Gunung Tampomas, tempat terdekat ke Buah Dua. “Dengan berjalan kaki, mereka mengatasi medan berat Gunung Tampomas yang saat itu sering dilanda hujan dan menunggu kesempatan baik untuk melakukan serangan mendadak,” tulis J.J. Malta dalam De Geschiedenis van 4-3 R.I. in Indonesie (Sejarah Yon 4-3 Resimen Infantri di Indonesia). Meskipun sudah berupaya menjalankan operasi senyap, gerak-gerik Kompi Eric ternyata terpantau jua oleh telik sandi Yon II Tarumanegara. Berdasarkan informasi itu, Mayor Abdurachman segera mengevakuasi Letkol Sadikin dan jajarannya ke wilayah Kompi II pimpinan Kapten Komir Kartaman di Sumedang Timur. Hari-H evakuasi: Senin, 11 April 1949 jam 03.00. Menurut Oyo Salya Sukatma, Mayor Abdurachman menugaskan ajudannya, Letnan II Dadang Mirtaatmadja, untuk menyertai rombongan Letkol Sadikin. ”Dia memimpin satu seksi pasukan lengkap untuk memperkuat satu seksi pengawal khusus panglima yang dipimpin oleh Letnan II R. Otje Djundjunan,” ujar Oyo Salya Sukatma, penulis buku Sejarah 11 April . Abdurachman tak ikut rombongan karena penyakit malarianya sedang kambuh. Tanpa ajudan dan pasukan pengawal, dia memutuskan beristirahat di kampung Leuncang dan berencana akan menyusul begitu malarianya reda. Seiring keberangkatan rombongan panglima Divisi Siliwangi, dari hutan Gunung Tampomas, Kompi Eric diam-diam bergerak menuju Leuncang. Tujuan utama mereka melakukan serbuan kilat sekaligus meringkus Letkol Sadikin. *** Minggu, 10 April 1949. Sepucuk surat dari pos terdepan Yon II di Conggeang (yang bertetangga dengan Buah Dua) diterima Soemawidjaja (Kepala Desa Cibubuan) di Leuncang. Isinya pendek saja: harap waspada, sekitar satu kompi Baret Hijau terlihat di sekitar Conggeang. Namun entah lupa atau “mengecilkan” informasi itu, Soemawidjaja tak menyampaikannya kepada Kapten Edi atau Mayor Abdurachman. Keesokan paginya Cibubuan didera hujan rintik-rintik. Di tengah udara subuh yang membekap tulang sumsum, ratusan prajurit Baret Hijau mengepung Leuncang. Mereka bergerak cepat namun nyaris tanpa suara. Sementara itu, di pinggir kampung, sejumlah bocah tanggung tengah memeriksa jebakan belut yang mereka pasang. Salah satunya bernama Yasin, anak angkat Kapten Edi. Begitu melihat sekelompok tentara bergerak di kegelapan, sang bocah mengira mereka sebagai rekan-rekan bapak angkatnya. “Eh, Jang. Kamu tahu rumah Pak Edi Soemadipradja dan Pak Abdurachman?” tanya salah seorang anggota Baret Hijau bumiputra dalam bahasa Sunda. “Tahu, Pak…,” jawab Yasin dengan wajah sumringah. “Kamu beri tahu ya.” Yasin mengangguk. Dia membimbing “rombongan teman-teman bapaknya” itu ke arah kampung dan menunjuk satu persatu rumah yang didiami anggota Yon II. Begitu situasi medan terkendali, Letnan Ulrici memberikan aba-aba penyerangan. Dari segala arah, berhamburanlah prajurit-prajurit Kompi Eric sambil menembakkan senjata. Beberapa prajurit Yon II langsung tewas di tempat, sebagian lagi bertahan sebisanya, sebelum akhirnya mundur dari Leuncang. Setelah beberapa jam, pertarungan tak seimbang itu pun usai. Dalam nada keras, para prajurit Baret Hijau memerintahkan semua laki-laki keluar dan berkumpul di halaman Balai Desa Cibubuan. Adang salah seorang warga Leuncang ada dalam kumpulan tersebut. Kepada Oyo Salya, dia mengisahkan situasi mencekam kala itu. “Seperti yang lain, saya disuruh berjongkok di pinggir jalan depan Balai Desa,” ujarnya. Matahari baru saja terbit saat dari arah utara, Adang dan puluhan tawanan lainnya menyaksikan sekumpulan prajurit Kompi Eric menggiring Mayor Abdurachman beserta dua ajudannya: Sersan Sobur dan Kopral Karna. Ketiganya hanya mengenakan pakaian dalam dengan ibu jari terikat seutas tali ke belakang. “Pak Mayor berjalan dengan todongan pistol di pelipisnya,” ujar Adang. Tepat di depan Adang, Abdurachman diperintahkan berhenti. Sementara Sobur dan Karna disuruh berdiri di pintu masuk Balai Desa. “Mereka ada dalam posisi membelakangi Pak Mayor,” ujar Adang. Abdurachman diberondong berbagai pertanyaan. Seorang Baret Hijau bumiputra secara kasar menanyakan keberadaan Letkol Sadikin. Alih-alih buka suara, Abdurachman diam seribu bahasa. Pertanyaan diulang sekali lagi. Namun sang mayor tetap bungkam. Letnan Ulrici naik pitam. Tanpa banyak bicara, dia membidik kepala Kopral Karna dari arah belakang dengan pistolnya. Dor! Karna terpental ke depan dan tak berkutik lagi. “Mayor, silakan Anda sebut di mana posisi Overste Sadikin?!” teriak Ulrici. Hening. Tak ada jawaban. Dengan kasar, Letnan Ulrici menarik Sersan Sobur ke depan Mayor Abdurachman lalu menempelkan laras pistolnya. Dor! Darah muncrat dan membasahi halaman Balai Desa. Seolah kurang puas, seorang anggota Baret Hijau memberondong kedua jasad itu dengan Owen-nya. Ratusan pasang mata terbelalak ngeri menyaksikan pemandangan itu. Sebagian malah memalingkan muka. Diiringi seorang pengawalnya yang bersenjata Brengun, Ulrici menggiring Abdurachman ke arah selatan. Sekitar 100 meter, mereka berhenti di depan rumah milik Madkosim. Menurut kesaksian Sahlan, salah seorang warga yang lolos dari pembersihan dan sembunyi di rumahnya, dia sempat mengintip saat Ulrici memaksa Abdurachman duduk di tangga pintu masuk. “Mayor! Apakah Anda akan memilih diam terus?!” teriaknya. “Tembak saja saya!” jawab Abdurachman. Pelan namun terdengar tegas. Ulrici terlihat geram. Dia lalu menempelkan moncong pistol ke dahi Abdurachman. Dor! Peluru menembus batok kepala sekaligus menghabisi nyawa Abdurachman seketika. Pengawal Ulrici lalu memeriksa jasad Abdurachman. Setelah dipastikan tak bernyawa lagi, dia lantas menembakkan Brengun-nya ke angkasa, seolah merayakan kematian sang mayor. Setelah mengikat kaki dan tangan jasad Abdurachman, Ulrici memanggil seorang pemuda kampung bernama Sabja. Dia memerintahkan Sabja membawa jasad Abdurachman kembali ke Balai Desa. Sesampai di sana, jasad Abdurachman diletakkan dalam posisi duduk di bawah panji Yon II Tarumanegara yang sudah terkoyak, sementara darah terus mengucur dari kepalanya, membasahi kaos dalam putih yang dikenakannya. “Jasad Pak Mayor lalu difoto-foto oleh salah seorang dari Baret Hijau,” kenang Adang. Sekitar pukul 10.00, pasukan Baret Hijau menggiring tawanan, termasuk Kapten Edi dan dua pengawalnya, Sersan Roni dan Prajurit Saleh, ke arah Buah Dua. Saat melintas di Kampung Buganggeureung, tiga prajurit Yon II Tarumanegara itu dieksekusi dan mayat mereka dilempar ke selokan. Operasi militer Belanda ke Leuncang memang bisa dikatakan gagal. Panglima Divisi Siliwangi Letnan Kolonel Sadikin berhasil lolos dari perburuan. Namun itu harus dibayar mahal, karena Siliwangi harus kehilangan 8 anggota Yon II Tarumanegara , termasuk Danyon Mayor Abdurrachman Natakoesoema dan Danki Kapten Edi Soemadipradja. Selain prajurit TNI, Kompi Eric secara brutal membantai juga 4 rakyat sipil. Sebagian dari mereka dieksekusi setelah disiksa dengan tusukan bayonet dan hantaman popor senjata.

  • Serba-serbi Demonstrasi 1966

    PULUHAN ribu mahasiswa turun ke jalanan. Mereka tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI). Para demonstran itu menyampaikan tuntutan: bubarkan PKI, rombak kabinet, dan turunkan harga. Tiga tuntutan tersebut kelak dikenal sebagai Tritura (Tri Tuntutan Rakyat). “Sejak 10 Januari 1966, puluhan ribu mahasiswa berdemonstrasi di jalanan selama lima hari berturut-turut,” kenang Jusuf Wanandi tokoh KAMI dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965—1998 .). Puncak demonstrasi terjadi pada 15 Januari 1966. Ketika itu Sukarno mengadakan sidang kabinet di Istana Bogor untuk menanggapi demonstrasi mahasiswa dan tuntutannya. Hingga Maret mahasiswa masih getol menyerukan agar rezim Sukarno turun. Di balik suasana  panasnya situasi politik saat itu terselip beragam kisah dalam aksi-aksi demonstrasi mahasiswa yang kelak dikenal sebagai  “Angkatan 66” itu. Berikut kisahnya.   Makanan dari Masyarakat Demonstrasi tentu menyita tenaga dan bikin perut keroncongan. Para mahasiswa demonstran Angkatan 66 yang tergabung dalam KAMI pun mengalaminya. Di tengah rasa lapar dan dahaga, ada saja yang berbaik hati memberikan suguhan pengisi perut.   “Ibu-ibu, anak-anak remaja dan berbagai kalangan datang silih berganti mengantarkan nasi bungkus, buah-buahan dan makanan kecil kepada mahasiswa yang berkumpul di markas setelah kembali dari demonstrasi,” kenang Cosmas Batubara dalam Cosmas Batubara: Sebuah Otobiografi Politik . Cosmas adalah aktivis PMKRI yang menjabat sebagai Ketua Presidium KAMI. Menurut Cosmas mendapat suguhan makanan dan minumuman dari masyarakat adalah sebuah kenikmatan bagi rekan-rekannya sesama demonstran. “Apalagi, kalau disughi nasi bungkus,” katanya, “lengkaplah sudah kenikmatan itu.” Tentara Melindungi Mahasiswa Pada bulan Januari 1966, situasi politik semakin memanas. Demonstrasi mahasiswa semakin menjadi-jadi dalam melancarkan agitasi dan propaganda anti-pemerintah. Beredar isu bahwa sebagian kekuatan Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan sebagian Angkatan Darat, terutama Resimen Tjakrabirawa (pasukan pengawal presiden) tidak senang dengan gerakan mahasiswa. Hanya beberapa kesaruan Angkatan Darat khususnya dari Kostrad dan RPKAD yang siap sedia melindungi mahasiswa.  Menurut Jusuf Wanandi, setelah KAMI dibubarkan pada 25 Februari 1966, Tjakrabirawa mencoba menangkap pentolan demonstran. Adik Jusuf, Sofyan Wanandi bersembunyi di Markas Komando Tempur II  Kostrad pimpinan Letkol Ali Moertopo yang terletak di Jalan Kebon Sirih. KAMI juga sekalian memindahkan markasnya ke sana. Yang paling melindungi mahasiswa adalah Brigjen Kemal Idris, Kepala Staf Kostrad. Kemal memimpin semua pasukan Kostrad yang ada di Jakarta. Dengan wewenang komando yang ada padanya, Kemal kerap membantu dan mengamankan gerakan mahasiswa. “Beberapa anggota saya, saya tempatkan di Markas KAMI,” tutur Kemal Idris dalam otobiografinya Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi . “Strategi yang saya lakukan itu sangat menunjang jalannya gerakan mahasiswa dan pengamanan yang dikehendaki pada masa itu,” Usaha Kemal melindungi demonstran inipun direstui oleh Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto. Terutama supaya jangan jatuh korban di pihak mahasiswa.    Istilah “Info” dan “Briefing” Aksi demonstrasi mahasiswa Angkatan 66 dalam perkembangannya melahirkan istilah yang hanya dimengerti para demonstran. Istilah yang dimaksud adalah “info” dan “briefing”. Menurut Salim Said, yang pada 1966 jadi wartawan junior koran Angkatan Bersendjata , kodefikasi dua lema ini berkaitan erat dengan logistik. “Begitu membudayanya kata ‘info’ dan ‘briefing’, kata Salim Said dalam Gestapu 65 , “kata ‘info’ berubah makna menjadi suplai makanan, sedangkan ‘briefing’ berarti kumpul untuk makan.” Hal senada juga diungkapkan Cosmas Batubara. Menurutnya info adalah kata ganti yang merujuk kepada ketersediaan makanan. “Nah, kita makan. Jadi, di sana, teriaknya, bunyinya itu info. Info sudah datang, berarti makanan sudah datang,” kata Cosmas dalam Pengumpulan Sumber Sejarah Lisan: Gerakan Mahasiswa 1966 dan 1998 . Menteri Kocar-Kacir Untuk mengatasi carut marut keadaan politik, Presiden Sukarno merombak Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Susunan menteri yang berjumlah banyak membuat kabinet ini disebut sebagai Kabinet 100 Menteri. Mahasiswa menolak karena Sukarno masih menyertakan menteri-menteri yang dicurigai terlibat Gestapu. “Pada 24 Februari, aksi massa turun ke jalan secara besar-besaran kembali meledak di Jakarta. Demonstrasi dilakukan sebagai upaya KAMI menggagalkan acara pelantikan kabinet baru yang terus-menerus dicemoohkan sebagai Kabinet 100 Menteri,” tulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang . Lalulintas di Jakarta hari itu macet total. Istana Merdeka dikepung oleh demonstran. Sejumlah  mahasiswa militan menggembosi ban mobil menteri. Walhasil para calon menteri kocar-kacir menuju Istana. Ada yang datang berjalan kaki bahkan ada yang nekat naik sepeda menembus barikade mahasiswa. Pelantikan tetap berlangsung setelah pihak Istana mengerahkan helikopter untuk menjemput calon menteri ke Istana.    Penunggang Gelap Usai mengganggu acara pelantikan kabinet, gelombang aksi mahasiswa masih belum berhenti. Ketika sidang kabinet berlangsung pada 11 Maret 1966, Mahasiswa kembali bikin rusuh. Soebandrio yang menjabat Wakil Perdana Menteri I merangkap Menteri Luar Negeri dalam kesaksian mencatat kejadian hari itu. “Pagi-pagi sekali sebelum sidang dibuka ribuan mahasiswa datang berbondong-bondong menuju Istana. Mereka mendesak masuk ke halaman Istana. Menurut Soebandrio aksi mahasiswa itu tidak dilakukan sendiri. Ada pasukan liar yang ikut menunggangi. Mereka mengenakan seragam loreng dan bersenjata lengkap namun tanpa tanda pengenal. Siapa mereka? Dalam majalah TSM No. 21 Tahun II/Maret 1989, Kemal Idris membenarkan bahwa pasukan-pasukan liar itu di bawah komando dan pengendaliannya. Kemal mengirimkan sekira sepeleton pasukan RPKAD ke sekeliling istana. Operasi itu ditujukan untuk meringkus Soebandrio. Isu keberadaan pasukan liar ini terdengar oleh Presiden Sukarno. Karena gusar dan panik Sukarno segera menghentikan sidang kemudian menyelamatkan diri ke Istana Bogor. Dari kejadian inilah lahir Surat Perintah 11 Maret 1966 yang mengakhiri kekuasaan Sukarno.

  • Olga Melawan Nazi

    MUSIM dingin datang lebih awal di Eropa. Pada 6 November 1943, seorang ibu muda ditahan Brigades spéciales (BS2), kempeitai ala Nazi, di Paris, Prancis. Namanya adalah Olga Bancic. Ia dipisahkan dari suami dan putri sulungnya yang baru berumur 4 tahun. Apa yang telah dilakukan Olga hingga ditahan BS2 yang terkenal keji menyiksa tahanan? Olga Bancic lahir tahun 1912 di kota Chișinău/Kichinev (saat ini ibukota Moldova), yang saat itu merupakan bagian dari Rusia, sebelum jadi bagian dari Rumania. Sejak muda, ia bergabung dengan Partai Komunis Rumania, yang saat itu terlarang dan ditekan Rusia. Ia juga kerap ikut pemogokan di pabrik kasur tempatnya bekerja dan dibui. Saat berusia 17 tahun, ia menikahi Solomon A. Jacob (di kemudian hari jadi penulis ternama dengan nama pena Alexandru Jar) yang berusia 18 tahun. Keduanya kemudian pindah ke Paris. Olga masuk sekolah jurusan Sastra. Keduanya membantu gerakan Brigade Internasional dalam Perang Sipil (1936-1939) di Spanyol melawan tentara pimpinan Francisco Franco. Setahun di Paris, ia melahirkan seorang putri yang diberi nama Dolorès. Nama ini dipilihnya sebagai penghormatan atas Dolores Ib á rruri, seorang pejuang perempuan dalam Perang Sipil di Spanyol. Ketika Prancis jatuh ke tangan Jerman pada 1940, Olga tak mau berdiam diri. Ia bergabung dengan gerakan bawah tanah di Paris dan punya nama samaran: Pierrette (dalam bahasa Prancis berarti: badut perempuan). Ia aktif di dalam Francs-tireurs et partisans – main-d'œuvre immigrée  (FTP-MOI), kelompok perlawanan yang terdiri dari orang-orang asing non-Prancis. Kelompok ini terkenal garang karena tak ragu angkat senjata melawan tentara Nazi. Olga ditangkap karena menyimpan persediaan senjata untuk gerakan bawah tanah. Ia ditahan bersama 22 anggota perlawanan di Paris yang dipimpin Missak Manouchian –sehingga dikenal sebagai “groupe Manouchian” (regu Manouchian). Mereka terdiri dari delapan orang Polandia, lima orang Italia, tiga orang Hungaria, tiga orang Prancis, dua orang Armenia, seorang Spanyol, dan seorang Rumania (yakni Olga!). Olga adalah satu-satunya perempuan dalam kelompok ini. Olga dan 22 orang lainnya diadili pengadilan militer bikinan Nazi Jerman. Pengadilan dimulai tanggal 15 Februari 1944 dan, seperti diduga, hakim menjatuhkan hukuman mati. Pada 21 Februari, mereka ditembak mati; kecuali Olga. Hukum Prancis masa itu melarang hukuman mati atas perempuan, sehingga Olga tak ditembak mati. Ia dideportasi ke Stuttgart (Jerman) lalu dipancung pada 10 Mei 1944. Batu peringatan bagi warga sipil yang gugur selama perang 1939-1945 di kota Sèvres, Prancis. Ada nama sejumlah perempuan yang ikut gerakan perlawanan dan dideportasi ke kamp konsentrasi Nazi untuk dieksekusi. Perempuan Melawan Nazi Sejarah perlawanan menghadapi Nazi bukan melulu kisah heroik ala tentara. Ada banyak warga sipil yang bergerak dan memimpin perlawanan terhadap tentara Nazi. Baik di Prancis maupun negara-negara Eropa lain yang diduduki Nazi. Berbagai kisah perlawanan itu tersimpan di museum di banyak kota seperti: Verzetsmuseum di Amsterdam, Belanda; Norges Hjemmefrontmuseum di Oslo, Norwegia; Musée de la Résistance nationale di Champigny-sur-Marne, Prancis; dan Musée de Libération di Paris, Prancis. Peran perempuan juga tak diabaikan. Memang tidak banyak. 15-20 persen anggota gerakan perlawanan di Prancis adalah perempuan. Sayangnya, kisah mereka kerap luput dari perhatian umum. Ada berbagai sebab. Pertama , sejarah perlawanan umumnya menonjolkan peran laki-laki (terlebih, tentara). Hal ini karena sejarah masih dominan ditulis laki-laki. Mereka kerap mengecilkan atau mengabaikan peran perempuan dalam sejarah perlawanan. Kedua , memang jarang perempuan memanggul senjata dan ikut bertempur di dalam perang. Seringkali para perempuan merasa apa yang mereka lakukan adalah hal “kecil” atau “remeh-temeh” karena tak membahayakan jiwa ketimbang panggul senjata. Sehingga mereka tidak merasa perlu mencatat atau merekam andil mereka di dalamnya. Ketiga , pemahaman kritis atas sejarah nasional baru berkembang selama 20-30 tahun terakhir. Peran perempuan dalam gerakan perlawanan yang sebelumnya dianggap sebagai “kisah pinggiran” baru akhir-akhir ini saja mendapat perhatian yang layak dan semestinya. Pengakuan atas peran perempuan ini butuh waktu panjang. Misalnya di Prancis, dari sekitar seribu orang yang diakui negara sebagai “ Compagnons de la Libération ” (Sahabat Pembebasan) setelah perang usai pada 1946, hanya ada enam perempuan. Germaine Tillion (paling kanan) mangkat tahun 2008, diakui masuk Panthéon tahun 2015. Baru pada abad ke-21 ini, ada pengakuan yang luas nan layak. Prancis mengakui jasa dua perempuan anggota gerakan bawah tanah, yakni Geneviève de Gaulle-Anthonioz (mangkat 2002) dan Germaine Tillion (mangkat 2008). Beberapa tahun setelah mereka mangkat, keduanya diakui layak untuk dikuburkan dalam Panthéon , makam para pahlawan nasional di kota Paris.  Selain itu, ada beberapa kisah yang menonjol dan diangkat ke layar lebar. Misalnya, kisah Sophie Scholl, seorang siswi anti-Nazi di München, yang diangkat menjadi film Sophie Scholl: Die letzten Tage (2005). Kisah Rosa Valland, seorang kurator museum di Paris, dalam film The Monuments Men (2014). Juga kisah Marie Kovárníková, seorang perempuan muda Cekoslowakia, dalam film Anthropoid (2016). Mengenang Olga Olga Bancic hanyalah satu dari sekian banyak perempuan yang melawan Nazi. Lantas, apa yang membedakan Olga dari pejuang perempuan lainnya? Dari catatan sejarah, ada Nancy Wake, kelahiran Selandia Baru dengan suami Prancis, yang menjadi mata-mata gerakan perlawanan. Ada juga Noor-un-Nisa Inayat Khan, seorang prajurit Inggris yang diterjunkan untuk membantu gerakan perlawanan di Paris. Berbeda dari kedua pejuang perempuan ini, Olga bergabung dalam gerakan perlawanan karena kesadarannya sendiri, bukan karena ada perintah atasan, komando militer, ataupun sekadar ikut-ikutan. Apa yang dilakukan Olga Bancic bagi gerakan perlawanan tak dilupakan penduduk kota Paris. Di bekas flat kediamannya (114 rue du Château), terdapat plakat kenangan atas namanya. Isi plakat tersebut: “Di sini pernah hidup Olga Bancic, anggota perlawanan F.T.P-M.O.I, anggota regu Manouchian, yang dieksekusi oleh Nazi di Stuttgart pada tanggal 10 Mei 1944, saat berusia 32 tahun, yang mangkat untuk Prancis dan untuk Kebebasan.” Plakat kenangan di bekas flat kediaman Olga Bancic di Paris. Selain itu, sejak 2013, sebuah taman kecil di kota Paris diberi nama “Square Olga Bancic” (Pojok Olga Bancic). Pula, di dalam Museum Pembebasan di Paris ( Musée de Libération ), ada satu panel khusus tentang perannya dalam gerakan bawah tanah melawan Nazi. Nama Olga Bancic dikenang di kota Paris tapi ironisnya hampir terlupakan di kota kelahirannya maupun di Rumania. Ini mungkin sama seperti Irawan Soejono yang diabadikan sebagai nama jalan di kota Amsterdam tapi tiada dikenal di Indonesia.

  • Sikap PKI Atas Papua

    Wajah D.N Aidit, Ketua Central Comite (CC) PKI nongol di televisi Uni Sovyet. Saat itu, dia diwawawancarai oleh Georgi Afrin, eks Koresponden TASS (Kantor Berita Uni Soviet) di Jakarta. Kepada Afrin, Aidit menerangkan tugas-tugas pokok PKI yang sedang digencarkan. “Mempersatukan dan memobilisasi rakyat Indonesia guna membebaskan wilayah negerinya yang masih dijajah oleh kaum kolonialis Belanda, yaitu Irian Barat,” kata Aidit kepada Afrin, dikutip Harian Rakjat , 24 Oktober 1961.   Wawancara itu terjadi di sela Kongres ke-12 Partai Komunis Uni Soviet. Aidit hadir sebagai ketua delegasi PKI. Momentum itu memantik perhatian dunia, khususnya bagi negara-negara berideologi kiri. Pernyataan Aidit jadi agenda partai komunis sedunia guna memperjuangkan antikolonialisme dan penghapusan feodalisme. PKI Turun Tangan  Itu bukanlah kali pertama Aidit bicara lantang menyoal konflik Irian Barat. Ketika resolusi Indonesia untuk penyelesaian Irian Barat kandas dalam sidang Majelis Umum PBB, Aidit pun pernah bersuara. Pada 12 Desember 1954,  dia mengutarakan kejengkelannya perihal hasil pemungutan suara sekitar masalah Irian Barat. “Amerika Serikat yang secara resmi tidak memberikan suara (abstain), sebenarnya adalah pemimpin komplotan gelap yang menentang resolusi-resolusi tentang Irian Barat,” kata Aidit dikutip diplomat Uni Soviet Gavriil Leonidovich Kesselbrenner dalam Irian Barat: Wilayah Tak Terpisahkan dari Indonesia. Sejak 1954 hingga 1957, upaya diplomasi Indonesia di Majelis Umum PBB selalu mentok. Permintaan Indonesia untuk membicarakan masalah Irian Barat gagal menarik dukungan dua pertiga negara anggota dalam pemungutan suara. Menurut Aidit hasil itu membuktikan betapa PBB tunduk kepada Amerika dan negara-negara blok Barat lainnya. Sejauh apa kebenaran tuduhan Aidit? Di balik sikap netralnya, Amerika nyatanya memang lebih cenderung memihak Belanda. Keberpihakan terhadap Belanda dipengaruhi oleh pejabat Kementrian Luar Negeri dan CIA yang berpandangan Eropasentris dalam pemerintahan Presiden Dwight David Eisenhower. Mereka menyadari dukungan terhadap klaim Indonesia akan merenggangkan hubungan Amerika dengan Belanda. Padahal, Amerika sangat membutuhkan keikutsertaan Belanda dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).   “Masalah  Irian Barat tetap menjadi dilema bagi pemerintahan Eisenhower pada periode pasca-pemberontakan,” tulis Baskara Tulus Wardaya dalam Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953--1963 . Menyusul kegagalan di forum internasional, sentimen anti Belanda di Indonesia kian meningkat. Pada 16 Oktober 1957, Perdana Menteri Djoeanda Kartawidjaja membuat keputusan untuk membentuk Komite Aksi Pembebasan Irian Barat di tiap penjuru Indonesia. Di Jakarta, telah berlangsung demontrasi pemuda yang diikuti sekira 100.000 orang. Mereka menuntut pembebasan Irian Barat. Aksi serupa juga terjadi di berbagai kota lainnya.   Bak gayung bersambut, PKI merespon positif Komite Aksi Pembebasan Irian Barat. Aidit menyerukan bahwa PKI mendukung sepenuhnya tindakan-tindakan yang ditujukan ke arah pembebasan Irian Barat. Sebagai penutup, Aidit mengatakan, “Bahwa Asia sekarang adalah Asia bangsa-bangsa merdeka, yang tidak akan membiarkan kaum imperialis menginjak hak-hak rakyat Indonesia.” Amerika Ketakutan Memasuki 1960, persoalan Irian Barat memperuncing hubungan Indonesia dengan Belanda. Puncaknya terjadi manakala Presiden Sukarno memutuskan hubungan diplomatik dengan Belanda. Angkatan Perang RI dimodernisasi sedemikian rupa dengan bantuan Uni Soviet sebagai persiapan merebut Irian Barat. Kendati penyelesaian lewat perundingan terus diupayakan, peluang terjadinya pertempuran terbuka dengan Belanda tetap besar.     Di dalam negeri, kekuatan radikal mulai terlibat dalam penggalangan massa aksi. Harian Rakjat , 13 Oktober 1961 melansir bahwa Front Pemuda Pusat yang didominasi PKI, menyerukan lebih dari 10 juta anggota organisasi pemuda telah siap untuk membentuk milisi umum. Di luar negeri, Aidit membicarakan soal Irian Barat dalam Kongres Partai Komunis Uni Soviet di Moskow. Aidit sebagaimana diberitakan Harian Rakjat , 31 Oktober 1961 menjelaskan sikap rakyat Indonesia dan tekad pemerintah untuk membebaskan Irian Barat dengan jalan apapun. Aidit juga memberikan informasi mengenai Irian Barat dalam forum kongres. Kampanye Aidit berhasil. Dia bersepakat dengan Paul de Groot, pimpinan Partai Komunis Belanda, yang menyatakan berada di sisi rakyat Indonesia apabila pecah perang antara Indonesia dengan Belanda. Dukungan tidak resmi juga diperoleh dari Partai Komunis Australia yang diwakili sekjennya, Lancey Sharkey. Pada 11 November 1961, Presiden Sukarno menyatakan persiapan militer sudah rampung. Perintah terakhirnya bagi perang pembebasan Irian Barat hanya tinggal menunggu keputusan PBB. Puncaknya terjadi ketika Sukarno mengumandangkan Tri Komando Rakyat pembebasan Irian Barat pada 19 Desember 1961 di Alun-Alun Yogyakarta. PKI bereaksi cepat terhadap komando terakhir Sukarno itu. Pada 21 Desember 1961, seluruh serikat buruh yang bernaung di bawah PKI mengeluarkan seruan bersama. Dalam Harian Rakjat, 23 Desember 1961 dikatakan bahwa “Kaum buruh Indonesia telah siap untuk membentuk pasukan sukarela kaum buruh.” Kepada Sukarno, Aidit menyarankan agar perusahaan Belanda di Indonesia disita dan diambil alih. “Retorika menakjubkan Presiden dan kemampuan luar biasa PKI memobilisasi massa, memastikan kedua pihak ini kian naik daun saja saat menentukan tujuan dan taktik yang terkait dengan konfrontasi terhadap kekuatan Belanda,” tulis Rex Mortimer dalam Indonesia Communism Under Sukarno: Ideology and Politics 1959—1965 . Di Washington, pemerintah Amerika di bawah rezim John. F. Kennedy memantau penuh was-was. Para penasihat Kennedy untuk Urusan Keamanan Nasional (NSA) menyaksikan dengan cemas sikap Indonesia yang semakin mengeras. Mereka menyarankan Kennedy untuk bertindak cepat dan sesegera mungkin.  “Cepat atau lambat, orang Indonesia akan mendapatkan Irian Barat,” demikian disampaikan Walt Whitman Rostow, Deputi Asisten Khusus Kepresidenan untuk Urusan Luar Negeri, kepada Presiden Kennedy seperti termuat dalam arsip departemen luar negeri Amerika, Foreign Relations of the United States, 1961–1963, Volume XXIII, Southeast Asia , Document 205 . Rostow menambahkan, “Jika ini memang jalannya, mungkin penting bagi kita untuk bekerja dengan tujuan tersebut, menggunakannya untuk keuntungan bersama, daripada membiarkan komunis untuk terus mengeksploitasi masalah ini untuk menekan Indonesia lebih dekat ke Blok Komunis.” Memasuki tahun 1962, Amerika mengubah kebijakannya terhadap persoalan Irian Barat. Mereka mulai bergerak ke arah tengah dengan mulai tampil sebagai mediator yang aktif. Sengketa Irian Barat memasuki babak baru menuju penyelesaian.

  • Mereka yang Menuntut Keadilan

    Tanpa terasa Aksi Kamisan sudah menginjak gelaran ke-603. Sejak digelar pada tahun 2007, Aksi Kamisan tetap teguh berjuang untuk meraih keadilan. Peserta Aksi Kamisan berhimpun dalam Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK). Mereka berpakaian dan membawa payung serba hitam.  Mereka berdiri di seberang Istana Negara, Jakarta. Kiri: Maria Sumarsih, ibunda dari Wawan, korban Tragedi Semanggi. Kanan: gambar Wawan yang selalu melekat di kaos sang Ibunda. (Fernando Randy/Historia). Aksi Kamisan merupakan aksi untuk menuntut pengungkapan kasus pembunuhan massal setelah G30S 1965, Tragedi Tanjung Priok (1984), hilangnya aktivis Reformasi 1998 seperti Wiji Thukul, Tragedi Trisakti 1998, Semanggi I (1998) dan II (1999), dan pembunuhan Munir. Bentuk aksinya berdiri di seberang Istana Negara, Jakarta, tiap hari Kamis sore selama beberapa lama. Tak kenal lelah. Massa aksi Kamisan dengan ciri khas mereka baju dan payung hitam. (Fernando Randy/Historia). Kiri: Pesan kemanusiaan di baju salah satu peserta Aksi Kamisan. Kanan: Peserta Aksi Kamisan yang menuntut adanya keadilan. (Fernando Randy/Historia). Salah satu penggagas Aksi Kamisan adalan Maria Sumarsih. Dia adalah ibu dari Bernardinus Realino Norma Irmawan alias Wawan, korban penembakan saat Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998.  Lebih dari satu dekade berlalu, Aksi Kamisan ternyata tidak pernah padam. Ia terus nyala. Peserta aksi sebermula hanya puluhan, kini bertambah banyak. Banyak anak muda turut serta dalam aksi ini.  Hingga kini massa Aksi Kamisan terus berlipat ganda, mereka terdiri dari relawan, mahasiswa hingga siswa SMA. (Fernando Randy/Historia). Kiri: Pesan di salah satu kaos massa Aksi Kamisan. Kanan: Salah seorang massa Aksi kamisan yang menuntut keadilan. (Fernando Randy/Historia). Kamis 26 September 2019, Aksi Kamisan mengambil tema peringatan 20 Tahun Tragedi Semanggi II. Dalam tragedi ini, beberapa mahasiswa tewas ditembak ketika berdemonstrasi menolak RUU Keadaan Bahaya pada 24 September 1999. JSKK meminta Presiden Jokowi untuk serius menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu.  Ekspresi salah satu peserta Aksi Kamisan di Istana Negara. (Fernando Randy/Historia). Beberapa peserta aksi menyampaikan orasi tentang keresahan dan kepedihan mereka. Tak hanya soal isu masa lalu, melainkan juga isu kemanusiaan belakangan ini. Ari Kriting (34), komedian asal Wakatobi, tidak sedang melucu saat menggenggam mic. Dia berteriak lantang menanggapi gejolak di Papua. “Berhenti membunuh orang Papua!" katanya. asus pembunuhan Munir Thalib yang tidak pernah benar-benar terungkap hingga saat ini. (Fernando Randy/Historia). Ibunda Wawan, Maria Sumarsih tak kenal lelah menanti keadilan bagi keluarganya. (Fernando Randy/Historia). Lalu ada pula musisi Primanda Ridho (28). Pria asal Riau ini berorasi tentang kampung halamannya yang penuh asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Sumatra. "Sudah berbulan-bulan kampung halaman saya penuh asap, tapi gubernur malah kabur ke Thailand.” Musisi Primanda Ridho berorasi tentang keluarganya di Riau yang terjebak asap. (Fernando Randy/Historia). Usut tuntas Tragedi Semanggi salah satu tuntutan mereka untuk pemerintah. (Fernando Randy/Historia). 12 tahun sudah aksi ini berjalan. Selama itu pula mereka terus berharap adanya titik terang akan keadilan. Walaupun berat, mereka akan tetap mengupayakan pencarian kebenaran.

  • Cara Kuno Mengadu Pada Penguasa

    Para rama  di Kinəwu yang termasuk wilayah Raņdaman mengeluh tak sanggup membayar pajak. Mereka diwajibkan menyerahkan katik 28 orang dan gawai 8 masa. Mereka punya sawah luasnya 6 lamwit  dan 3 tampah . Mereka lalu menghadap penguasa wilayah Randaman, Rakryan i Raņdaman pu Wama, untuk mohon izin meninjau kembali penetapan pajak atas sawah mereka. Untuk mengajukan permohonan, para rama harus mengeluarkan biaya sebanyak 3 ķati (2,4 kg) dan 1 suwarna  emas, seekor kerbau, masuya  (?), 1 suwarna, 2  suwarna  emas lagi yang diberikan kepada para juru  semua. Sayangnya, sebelum memberi izin kepada para rama , Rakryan i Raņdaman keburu meninggal. Maka para rama  pun berencana menghadap raja Rakai Watukura Dyah Balitung. Mereka lalu diantar oleh pratyaya  dari daerah Randaman, yaitu Rake Hamparan dan Pu Batabwan dan San Dumba. Mereka pun menyampaikan permohonan peninjauan kembali penetapan pajak kepada raja lewat perantara seorang pejabat Samgat Momahumah i Mamrata pu Uttara. Untuk permohonan kali ini para pejabat Desa Kinəwu harus menyerahkan uang emas sebanyak 5 kati (4 kg) kepada raja dan lima orang rakryan , yaitu Rakryan i Wunkaltihan, Rakryan i Wəka, Rakryan i Sorikan, Rakryan i Kalunwarak, dan Pamgat Tiruranu. Untungnya sang raja mengabulkan permohonan mereka. Keluarlah keputusan Raja Balitung yang menetapkan para rama  di Kinəwu mempunyai sawah 6 lamwit dan harus menyerahkan jumlah pajak yang telah dikurangi, yaitu katik 12 orang dan gawai 6 masa. Adapun keputusan itu disaksikan oleh para panuran in kabandharyan.  Boechari dalam “Ulah Para Pemungut Pajak di Jawa Kuno” yang terbit di Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti menjelaskan bahwa mereka secara harfiah adalah orang yang tugasnya mengurangi penghasilan rakyat. “Dengan kata lain panuran adalah petugas pemungut pajak,” tulisnya. “Rupa-rupanya  panuran in kabandharyan harus tahu berapa tepatnya pajak yang harus masuk dari tiap daerah watak, dan mungkin juga perinciannya dari tiap desa.” Kisah aduan pejabat desa kepada penguasa itu muncul dalam keterangan Prasasti Kinəwu (907) dari masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung, penguasa Kerajaan Medang (Mataram Kuno). Lewat prasasti ini, terlihat bagaimana prosedur pengajuan permohonan dari rakyat kepada raja. Para rama atau kepala wanua Kinəwu awalnya mengajukan protes kepada penguasa daerah watak ( nayaka ) yang membawahi wilayahnya, yaitu Rakryan i Randaman. Wanua adalah satuan wilayah setingkat desa pada masa kini. Itu bisa terdiri dari satu desa maupun beberapa desa. Sementara watak adalah wilayah setingkat di bawah pusat. Wilayahnya terdiri dari beberapa wanua. Pengajuan permohonan yang dilakukan para rama itu dilakukan dengan membayar sejumlah uang. Sayangnya, permohonannya tak sempat diselesaikan karena Rakrynn i Randaman keburu meninggal. Tanpa menunggu sampai ada rakai  pengganti di wilayah Randaman, para pejabat desa itu meneruskan protesnya kepada raja lewat perantara pratyaya  dari wilayah Randaman.  Pratyaya , menurut Boechari, adalah pejabat yang biasanya mengurusi perbendaharaan kerajaan. Kali ini mereka harus membayar sejumlah uang yang lebih banyak dari yang dibayarkannya di tingkat watak. Di ibukota kerajaan, para pejabat desa diterima oleh San Pamgat Momahumah, yaitu Pamgat Mamrata. Pejabat inilah yang mengantar mereka menghadap putra mahkota dan raja. “Jika rakyat tidak mengajukan protes karena tidak tahu mana ukuran luas yang dijadikan dasar penetapan pajak, atau karena tidak diberi kesempatan untuk mengajukan protes, penarik pajak atau sang nayaka  akan memperoleh keuntungan sepertiga dari jumlah yang dibayarkan rakyat,” jelas Boechari. Menurut Boechari, ada kalanya pengaduan tak mesti sampai kepada raja atau putra mahkota. Misalnya, seperti yang dikisahkan dalam Prasasti Balingawan (891). Dalam prasasti itu dikisahkan para pejabat Desa Balingawan memohon desanya dijadikan sima . Di desa itu sudah terlalu sering terjadi pembunuhan gelap dan pertumpahan darah. Bisa dibayangkan, warga kerap menemukan mayat pada pagi hari di sebuah tegalan di Gurubhakti, yang masih masuk wilayah desa mereka. Padahal pembunuhannya mungkin terjadi di desa lain. Namun, mungkin oleh si pembunuh, mayatnya dibuang di tegalan itu. Sesuai dengan hukum yang berlaku kala itu, warga Balingawan-lah yang harus bertanggung jawab dan membayar dendanya. Sampai akhirnya mereka sudah tak mampu lagi membayar pajak. Mereka pun mengajukan permohonan ke pemerintah. Namun, pada kasus ini cukup sampai kepada Rakryan Kanuruhan pu Huntu melalui tiga orang patih  yang membawahi Desa Balingawan.  Rakryan Kanuruhan mengabulkan permohonan itu. Ia menetapkan sebidang tegalan di Gurubhakti di Desa Balingawan sebagai sima dengan ketentuan harus diadakan penjagaan keamanan di jalan yang menuju Desa Balingawan, karena rakyatnya selalu merasa ketakutan. “Rupa-rupanya pada waktu itu ada gerombolan perusuh atau perampok yang mengacau Desa Balingawan dan daerah sekitarnya,” jelas Boechari. Ada lagi satu kasus yang masalahnya tak perlu sampai kepada raja. Ini dikisahkan dalam prasasti Ramwi dari 804 Saka (882). Isinya, para pejabat Desa Ramwi memohon kepada Rakryan i Halu pu Catura agar gawai -nya dikurangi dari 800 menjadi 400. Gawai ini adalah persembahan kepada raja yang dapat berupa tenaga kerja sukarela atau persembahan lainnya.  Dari sini bisa diketahui kalau pada masa kerajaan kuno di Jawa, rakyat mendapat kesempatan untuk mengadukan keluh kesahnya kepada raja. Kendati tetap ada hierarki yang berlaku. “Raja-raja zaman dahulu memang tidak memerintah dengan sewenang-wenang,” kata Boechari. Dengan berpedoman pada Kitab Niti, raja selalu memperhatikan nasib rakyatnya. Raja selalu siap memberi anugerah kepada kawula  yang berjasa. Sebaliknya, ia juga mempunyai wewenang menjatuhkan hukuman kepada yang bersalah.

  • Pemisahan TNI dengan Polri

    MassaAksi Mujahid 212 Selamatkan NKRI bergerak di sekitar Bundaran Hotel Indonesia dan Jl. MH Thamrin menuju Istana Negara, pada Sabtu pagi, 28 September 2019. Salah satu rombongan yang tertangkap kamera fotografer CNN Indonesia , Ramadhan Rizky Saputra, membawa spanduk besar bertuliskan: “Amanat TAP MPR RI No. 6 Tahun 2000 Presiden Tidak Dipercaya Rakyat Wajib Mundur.” Spanduk itu pun jadi bahan di twitter karena sepertinya massa tak mengetahui apa sebenarnya Tap MPR No. 6 Tahun 2000. Terlebih salah sambung dikaitkan dengan presiden yang harus mundur karena tidak dipercaya rakyat. Tap MPR itu lahir pada masa Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai bagian dari reformasi TNI yang menjadi kekuatan penguasa Orde Baru. Gus Dur mereformasi tubuh militer di antaranya memisahkan jabatan Menteri Pertahanan dengan Panglima TNI. Dia juga mengangkat pejabat sipil sebagai Menteri Pertahanan. Selain itu, Gus Dur men unjuk Panglima TNI dari Angkatan Laut karena biasanya Panglima TNI selalu dipegang oleh Angkatan Darat. Dia melikuidasi Badan Koordinasi Strategi Nasional (Bakorstanas) pengganti Kopkamtib, dan Penelitian Khusus (Litsus), lembaga represif Orde Baru. Gus Dur juga merealisasikan pemisahan secara tegas antara TNI dan Polri di mana posisi Polri langsung berada di bawah presiden. Menurut Lalu Misbah Hidayat, anggota DPR periode 2004-2009, dalam Reformasi Administrasi: Kajian Komprehensif Pemerintahan Tiga Presiden (Bacharuddin Jusuf Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri) , pemisahan ini dimaksudkan untuk menegaskan kembali tugas dan fungsi pokok serta lingkup tanggung jawab polisi dan tentara. Lembaga kepolisian mempunyai tugas dan fungsi yang berkaitan dengan keamanan dan pengamanan wilayah sipil, sedangkan tugas dan fungsi TNI berkaitan dengan keamanan dan pertahanan negara secara militer. Gagasan pemisahan itu sebenarnya telah dimulai sejak Presiden BJ Habibie yang mengeluarkan Instruksi Presiden No. 2/1999 tentang Langkah-Langkah Kebijakan dalam Rangka Pemisahan dari ABRI. Namun, pemisahan itu belum terealisasi sampai akhir pemerintahannya. Instruksi itu ditindaklanjuti oleh keputusan yang dikeluarkan Menhankam/Pang lima ABRI. Menurut Ahmad Yani Basuki dalam Reformasi TNI: Pola, Profesionalitas, dan Refungsionalisasi Militer dalam Masyarakat (buku dari disertasi di FISIP UI tahun 2007), Menhankam/Panglima ABRI mengeluarkan keputusan No: Kep/05/P/III/1999 tanggal 31 Maret 1999 tentang pemisahan Polri dari ABRI bahwa mulai tanggal 1 April 1999 wewenang penyelenggaraan pembinaan Polri dilimpahkan dari Panglima ABRI kepada Menteri Pertahanan Keamanan. “Landasan konstitusional pemisahan Polri dari TNI secara de jure baru dikukuhkan melalui Tap MPR No. VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dengan Polri dan Tap MPR No. VII/MPR/2000 tentang peran TNI dan peran Polri,” tulis Ahmad. Berdasarkan T ap MPR tersebut, Gus Dur merealisasikan pemisahan TNI dengan Polri melalui penerbita n Keputusan Presiden No. 89 tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Salah satu yang terpenting adalah Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi: “Kepolisian Negara Republik Indonesia berkedudukan langsung di bawah Presiden.” Tap MPR itu juga menjadi landasan dibentuknya UU No. 2/2002 tentang Polri dan UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara. Dan selanjutnya baru dibentuk UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI. “Pemisahan yang tegas ini membuat posisi Polri tidak mudah diintervensi dan dikooptasi kekuatan lain. Reposisi tersebut mengembalikan posisi Polri kembali ke khitah tahun 1946-1959, yaitu bertanggung jawab langsung kepada Presiden selaku Kepala Negara,” tulis Misbah. Itu juga sesuai agenda Reformasi yang menyatakan bahwa pasca Pemilu 1999 Polri akan menjadi lembaga mandiri, sejajar dengan lembaga hukum lainnya dan kementerian.

  • PNI Pasca-Peristiwa 1965

    Pasca-Peristiwa 1965, Jenderal Soeharto melakukan pembersihan besar-besaran terhadap partai politik yang dianggap berhaluan komunisme. Salah satu partai yang hampir dihabisi ialah PNI. Namun, adanya perpecahan dalam tubuh PNI membuat Soeharto mengurungkan niatnya. Usulan para perwira Angkatan Darat untuk menghapus PNI ditolaknya l antaran terdapat tokoh-tokoh antikumunis.  Perpecahan membuat adanya dualisme kepemimpinan dalam tubuh PNI . Kubu Ali Sastroamidjojo sebagai Ketua Umum PNI setuju dengan kebijakan Nasakom Sukarno. Sementara, kubu Hardi (Ketua Umum I) bersama Hadisubeno Sosrowerdojo , gubernur Jawa tengah dekade 1950-an, bersikap antikomunis sehingga tidak setuju dengan Nasakom. Kubu ini sering disebut “Marhaen Gadungan”. Adanya kubu “Marhaen Gadungan” ini membuat Soeharto pilih mempertahankan PNI. Sebagai salah satu partai yang memiliki kedekatan dengan Sukarno, PNI beruntung tidak mengalami penghapusan. Dalam Kongres Persatuan, April 1966, Hardi dan Hadisubeno berhasil menguasai partai. Menurut Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia , Soeharto bermaksud untuk mempertahankan PNI agar berada di bawah kepemimpinannya. Ia pun menunjuk Osa Maliki sebagai pemimpin PNI. Namun ketika Osa meninggal pada September 1969 karena penyakit jantung, pemerintah mengawasi betul PNI dalam pemilihan pemimpin baru. Dua kandidat kuat dalam pemilihan ketua umum PNI adalah Hardi, seorang ahli hukum dan mantan wakil perdana menteri 1957 dan 1959, dan Hadisoebeno, politikus kelahiran Jawa Timur. Pihak pemerintah mencurigai Hardi akan bekerjasama dengan partai-partai lain untuk menentang tentara. Oleh karena itu, pemerintah menginginkan Hadisubeno menjadi ketua umum. Dalam kongres partai yang diadakan di Semarang pada April 1970, Ali Murtopo selaku asisten pribadi presiden menugaskan asisten pribadinya untuk memastikan kemenangan Hadisubeno. Asisten Ali itulah yang menyebarkan desas-desus kalau Hadisubeno tidak dimenangkan dalam kongres tersebut, siap-siap saja PNI akan dibubarkan. Pada akhirnya, Hadisubeno terpilih sebagai ketua umum PNI. Seorang pendukung Hardi kemudian menulis dalam harian partai,  Suluh Marhaen,  bahwa dalam kongres terdapat campur tangan pihak Angkatan Darat. Mereka menekan anggota kongres untuk menuruti keinginan pemerintah memenangkan Hadisubeno. Dengan adanya dukungan dari pemerintah, PNI bermaksud untuk memberikan timbal balik dengan menunjukkan bahwa pendukung PNI masih banyak. PNI berharap setelah pemilihan 1971, Soeharto menunjuk seorang pemimpin dari PNI untuk menjadi wakil presiden. Namun demikian, kampanye yang dilakukan PNI menimbulkan ketegangan antara PNI dan pemerintah. Hadisubeno yang sebelumnya dianggap penurut, mengundang kewaspadaan penguasa ketika dengan bersemangat melancarkan kampanye anti-Golkar dan menyatakan kedekatan hubungan antara PNI dengan Sukarno Manuver Hadisubeno terbilang nekat karena kala itu terdapat larangan Kopkamtib tentang penyebaran ide-ide Sukarno. Hadisubeno menantang pemerintah untuk membubarkan PNI kalau larangan tersebut diberlakukan. Dalam salah satu pidatonya, Hadisubeno menyerukan pernyataan yang amat mengagungkan Sukarno. “Sepuluh Soeharto, sepuluh Nasution, dan segerobak penuh jenderal tidak akan dapat menyamai satu Sukarno,” kata Hadisubeno. Meski hubungan Hadisubeno dan PKI selalu berseberangan, kekagumannya pada Sukarno bisa dilacak dalam pidatonya di apel siaga PNI di Stadion Kridosono, Yogyakarta pada Juni 1966. Hadisubeno mengatakan, apapun yang terjadi, Presiden sukarno masih dicintai rakyatnya. Dalam petemuan itu, menurut Kuncoro Hadi dalam bukunya Kronik 65 , terdapat wartawan asing dari Thailand, Filipina, India, Jepang, dan Amerika Serikat. Usaha Hadisubeno untuk mendapatkan kembali suara rakyat terputus karena ia meninggal sebelum pemilu dilaksanakan, yakni April 1971. Berita di Sinar Harapan Sabtu, 24 April 1971 menyebutkan Hadisubeno meninggal pada Sabtu pukul 7 di RSUP dr. Karjadi, Semarang akibat komplikasi pascaoperasi. Komando kampanye PNI lalu dipegang oleh Ketua I DPP Mh. Isnaeini. “Kita sedang konsentrasi untuk Pemilu dan DPP PNI tetap kompak menghadapi persoalan-persoalan apapun,” kata Isnaeni, diberitakan Sinar Harapan.

  • Hukuman Bagi Perusak Hutan

    Arya Wiraraja menyarankan agar Wijaya menghamba pada Jayakatwang yang telah membunuh paman sekaligus mertuanya, Kertanegara. Jika nanti sudah dipercaya, kata Wiraraja, hendaknya Wijaya meminta hutan di daerah Trik. Nantinya orang-orang Madura yang akan membuat dan membersihkan hutan itu. Di dekat sana, ada kediaman orang Madura yang akan mendekat kepada Wijaya. “Tuanku (Wijaya) minta diri bertempat tinggal di hutan Trik yang dibuka oleh orang-orang Madura,” kata Wiraraja, sebagaimana dikisahkan Pararaton. Kisah pembukaan hutan itu pun mengawali berdirinya Kerajaan Majapahit oleh Wijaya yang kemudian digelari Kertarajasa Jayawarddhana (1293-1309). Kakawin Nagarakrtagama atau Desawarnana karya Mpu Prapanca menyebut Sri Nata Singasari atau Raja Kertawardhana membuka hutan yang luas di daerah Sagala. Adapun Raja Wijayarajasa atau yang disebut Prapanca dengan Sri Nata Wengker membuka hutan Surabana, Pasuruan, Pajang, mendirikan perdikan Buddha di Rawi, Locanapura, Kapulungan. Sedangkan  Hayam Wuruk pun memerintahkan pembukaan ladang Watsari di Tigawangi. Alasannya untuk dijadikan ladang dan sawah. Selain untuk keperluan peribadatan, pertanian, dan permukiman baru, ada alasan lain orang masa lalu membabat alas. Seperti disebutkan dalam Prasasti Kaladi (909) dari masa Mataram Kuno (Medang), sebagaimana dijelaskan ahli epigrafi Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Atas permintaan Dapunta Suddhara dan Dapunta Dampi kepada raja Rakai Watukura Dyah Balitung, hutan araṇan di wilayah Samgat Bawaṅyang memisahkan Desa Kaladi, Gayām, dan Pyapya dijadikan sawah swatantra (bebas pajak). Alasannya, hutan itu menyebabkan ketakutan. Masyarakat senantiasa mendapat serangan dari begal asal Mariwuṅ yang membuat para pedagang dan penangkap ikan merasa resah dan ketakutan siang malam. “Maka disetujui bersama hutan itu dijadikan sawah swatantra (bebas pajak) agar penduduk tidak lagi merasa ketakutan,” jelas Boechari. Berdasarkan prasasti itu pula diketahui bahwa pembukaan hutan harus atas seizin raja. Kerajaan kuno punya sanksi berat bagi mereka yang membabat alas secara liar. Hukuman bagi mereka yang melanggar larangan itu nampak jelas pada masa Majapahit. Aturan terkait lingkungan ada dalam kitab perundang-undangan Majapahit atau yang disebut Agama atau Kutara Manawa . Kutara Manawa adalah kitab undang-undang pidana. Namun di dalamnya pun terdapat pula hukum perdata. Berdasarkan susunan ulang yang dibuat Slamet Muljana dalam Perundang-undangan Majapahit, kitab itu terdiri dari 20 bab. Pasal terkait lingkungan ditemukan dalam bab 5 tentang sahasa atau paksaan. Di Pasal 92 ada larangan menebang pohon sembarangan. Menebang pohon harus mendapat izin pemiliknya. Jika seseorang melanggar akan didenda empat tali oleh raja yang berkuasa. Jika hal itu terjadi pada waktu malam, dikenakan pidana mati oleh raja yang berkuasa. Pohon yang ditebang pun harus dikembalikan dua kali lipat. Pada Pasal 247 bab 16 tentang Kagelehan atau kelalaian juga memuat ancaman bagi yang menebang pohon. “Jika ada orang menebang pohon, dia harus membayar dua kali lipat orang mati ditambah denda empat laksa,” tulis Slamet Muljana.   Pun setelah menjadi sawah dan ladang pengawasan pemerintah tetap diberlakukan. Dalam bab 18 tentang bhumi atau tanah, khususnya Pasal 260 dikatakan barang siapa membakar padi di ladang, tidak pandang besar-kecilnya, harus membayar padi lima kali lipat kepada pemiliknya. Itu masih ditambah denda sebesar dua puluh ribu. Lalu pada Pasal 259 ada ancaman bagi siapapun yang membuat sawah terbengkalai. Disebutkan barang siapa minta izin untuk menggarap sawah, tetapi tidak dikerjakan sehingga terbengkalai supaya dituntut untuk membayar utang makan sebesar hasil padi yang dapat dipungut dari sawah yang akan dikerjakan itu. “Besarnya denda ditetapkan oleh raja yang berkuasa sama dengan denda pengrusak makanan,” catat Muljana. Kemudian ada pula Pasal 261 yang ditujukan bagi siapapun yang mempersempit sawah atau membiarkannya terbengkalai dan segala apa yang dianggap bisa menghasilkan makanan atau melalaikan binatang piaraan. Perbuatan itu dinilai dapat mengurangi produksi pangan.   “Jika perbuatan itu diketahui banyak orang, yang demikian itu diperlakukan sebagai pencuri dan dikenakan pidana mati,” lanjut Muljana. Selain aturan, penguasa masa itu pun mengangkat petugas khusus untuk mengawasi hutan. Dalam prasasti disebut Tuha alas atau  Tuhālas (alas artinya hutan) .Menurut Boechari mereka dapat disamakan dengan mantri kehutanan. Keberadaannya sudah ada sejak masa Mataram Kuno (Medang). Boechari mengatakan jabatan tuha alas  akan ditemukan di desa-desa yang punya wilayah hutan. “Jabatan di desa yang satu tak sama dengan di desa yang lain. Itu menyesuaikan keadaan geografi dan ekologi desa yang bersangkutan,” jelasnya.

  • Aparat Salah Cegat

    MENDIANG Kol. (Purn.) Maulwi Saelan pernah menyatakan dirinya amat menghormati sikap fair Presiden Sukarno. Sikap fair itu kerap dilihat langsung Maulwi semasa bertugas di Istana sebagai wakil komandan Resimen Tjakrabirawa, 1962-1966. Maulwi pernah mengalami langsung bagaimana fair -nya Bung Karno. Di suatu hari, Sukarno ngobrol santai dengan para pengawalnya lantaran sedang tidak padat jadwal. Entah apa pemicunya, Maulwi akhirnya sampai berdebat dengan Sukarno tentang suatu hal. Keduanya sama-sama keukeuh pada pendirian. Sukarno, kata Maulwi, sampai menampakkan muka merah. “Dia masuk kamar. Waduh, dimarahi ini. Saya sudah deg-degan,” kata Maulwi kepada Historia beberapa tahun silam. Melihat sang presiden meninggalkan tempat obrolan, Maulwi hanya bisa pasrah dan siap akan hal terburuk yang bakal diterimanya. “Ngga lama, beliau datang lagi. Bilang bahwa you benar, pakai bahasa Belanda,” sambung Maulwi. “Legaa...” kata Maulwi sambil tertawa. Sikap fair Sukarno merupakan karakter yang umum diketahui publik. Bukan hanya kepada para bawahan, sikap fair itu juga ditunjukkan Sukarno kepada lawan-lawan politiknya. “Tidak ada yang lebih fair daripada Bung Karno,” kata Mendiang Farid Prawiranegara, anak mantan Presiden PDRI Sjafruddin Prawiranegara, kepada Historia . Ayah Farid merupakan lawan politik Sukarno di masa pergolakan daerah, 1958, yang dipenjara pada awal 1960-an. Mangil Martowidjojo, pengawal Sukarno sejak masa awal kemerdekaan yang kemudian menjadi komandan Detasemen Kawal Pribadi di Tjakrabirawa, juga sering mengisahkan sikap Sukarno tersebut. Dalam memoarnya, Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967, Mangil mengisahkan antara lain Sukarno pernah distop seorang serdadu saat sedang menuju luar kota bersama Ibu Fatmawati pada awal 1950-an. Entah apa motif yang membuat serdadu itu sampai melakukan hal di luar wewenang tugasnya dengan menanyakan surat-surat mobil yang dinaiki presiden dan ibu negara. Kontan hal itu membuat Inspektur Polisi Oding Suhendar, pengawal yang duduk di kursi depan mobil, segera turun dan menemui tentara tadi. “Masa Saudara tidak kenal sama beliau?” kata Oding, dikutip Mangil. Setelah sang serdadu menengok ke dalam mobil dan melihat presidennya hanya tersenyum, dia lalu tersentak kaget. “Langsung dia hormat senjata dan melapor dengan suara keras dan jelas, “...keadaan aman.” Kendati sikap prajurit tentara tadi menimbulkan tawa para penumpang mobil presiden, Sukarno tak sedikit pun menyalahkannya. “Di dalam mobil, Bung Karno berkata, ‘Anak tadi bertugas dengan baik’,” tulis Mangil.

bottom of page