top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Mula Profesi Keperawatan

    BRENDA Lind, perawat di Amsterdam Wilhelmina Gasthuis (rumahsakit), terpaksa resign dari tempat kerjanya lantaran mendapat tugas baru di Rumahsakit Militer Aceh di bawah instruksi palang merah Belanda. Bersama rekan sejawatnya, Brenda pun berangkat ke Hindia Belanda pada akhir abad ke-19. Setibanya di tujuan, Brenda dan temannya terkejut melihat kondisi rumahsakit di negeri jajahan yang jauh dari rumahsakit di negerinya. Kondisi rumahsakit di negeri jajahan pada awal 1900-an amat sederhana. Dinding kamar rawat inap terbuat dari bambu, ruangannya tanpa lampu, dipan terbuat dari kayu, dan lantainya kotor oleh bercak merah bekas ludah pasien pribumi –yang beruntung mendapat perawatan kesehatan cuma-cuma oleh pemerintah kolonial di rumahsakit– menyirih. Tidak semua perawat Eropa bisa beradaptasi dengan iklim tropis. Beberapa di antaranya jatuh sakit.  Ada juga yang kembali ke negerinya. Brenda dan perawat-perawat lain itu merupakan perawat yang didatangkan ke Hindia Belanda. Pada peralihan abad XIX ke XX pemerintah Hindia Belanda gencar melancarkan proyek kesehatan. Kondisi berbagai rumahsakit yang ada diperbaiki. Selain itu, pemerintah juga mengadakan pelatihan dokter, dokter gigi, perawat, dan bidan. Dari sinilah profesi perawat dimunculkan pemerintah kolonial, untuk membantu kerja dokter dan merawat pasien di klinik. Banyak dokter Eropa mengeluhkan ketersediaan perawat yang tidak memadai kendati perawat berpengalaman sudah didatangkan dari Belanda. Mereka ditempatkan di kota besar seperti Batavia, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta. Salah satu dari rombongan perawat yang hijrah ke negeri jajahan ialah ibu dari penulis Frances Gouda. Dalam Dutch Culture Overseas , Gouda menceritakan ibunya yang ditempatkan di Rumah Sakit Tjikini, Batavia. Di sana, ibunya bekerja sebagai perawat kebidanan dengan jam kerja cukup panjang hingga tak punya waktu luang. Selain ibu Gouda, istri dokter Sutomo juga merupakan perawat Belanda yang pindah ke Jawa. Para perawat Eropa yang bertahan tak melulu bekerja di rumah sakit, melainkan merawat pasien di rumah-rumah keluarga kaya. Namun, jumlah mereka tidak cukup memenuhi kebutuhan di negeri jajahan. Alhasil, para dokter Eropa berinisiatif melatih perempuan Indo-Eropa untuk dijadikan perawat sekitar tahun 1900-an. Kendati kursus perawat telah dibuka di Batavia pada 1897 oleh Perkumpulan Perawat di Hindia-Belanda (The Society for Sick-Nursing in the Dutch East Indies), tapi sepi pendaftar. Liesbeth Heeselink dalam “The Early Years of Nursing in the Dutch East Indies” menyebut, kursus pertamanya baru dimulai pada 1900. Sepinya peminat membuat standar kursus diturunkan, tidak harus perempuan Indo-Eropa. Para dokter dan perawat Eropa mulai melatih orang pribumi untuk menjadi asisten mereka. Siapa saja direkrut jadi murid pelatihan keperawatan, asalkan mau dan bisa diajar (tidak terlalu bodoh). Mulanya tugas keperawatan dilakukan orang yang tidak terlatih, seringkali buta huruf. Kepala Layanan Kesehatan J Haga menyebut, beberapa perawat laki-laki sebelumnya bekerja sebagai kuli atau babu. Mereka menjadi perawat setelah diajari oleh dokter yang akan mereka layani. Dokter dan perawat Eropa di berbagai daerah pun membuka pelatihan-pelatihan keperawatan, baik untuk dikirim ke rumahsakit atau menjadi asistennya sendiri. Di Mojowarno, pelatihan dilakukan oleh perawat senior L L Bervoets-van Ewijk, istri dokter missionaris Bervoerts. Di Yogyakarta, pendidikan kilat keperawatan diberikan oleh Jacqueline Rutgers and Johanna Kuyper, dua orang perawat Eropa yang datang ke koloni. Kadang bila tidak ada murid yang bisa diajar, mereka merekrut pembantu rumah tangga, tukang kebon, dan pekerja tak terlatih lain. Di Semarang, pelatihan dilakukan oleh dokter perempuan Nel Stokvis-Cohen Stuart yang mengajar para gadis. Sementara rekannya, NF Lim dokter kedua di tingkat kota, membuka pelatihan untuk perawat lelaki. Dari temuan Stokvis, kebanyakan orangtua muridnya lebih suka anak mereka dilatih menjadi bidan karena lebih menjanjikan dibanding perawat. Selain itu, profesi perawat masih asing bagi orang pribumi. Usaha pertama Stokvis gagal hingga ia sempat meniggalkan rencananya. Suatu ketika perempuan Jawa di desa dekat rumahnya datang dengan tergopoh-gopoh diantar keluarga dan kepala desa. Perempuan itu mengalami kesulitan melahirkan dan butuh bantuan ahli medis. Bantuan Stokvis kemudian membuat namanya dikenal warga desa hingga kepala desa menitipkan Soetarmidjah, anaknya yang berumur 14 tahun, untuk dilatih jadi perawat. Sejak itulah profesi perawat mulai dianggap umum di negeri jajahan. Setelah mendapat pelatihan keperawatan, perempuan muda juga bisa memilih melanjutkan pendidikannya menjadi bidan.

  • Eksploitasi Anak di Kebun Tembakau Deli

    DI DELI, para pekerja kebun punya tugas masing-masing. Kuli laki-laki membuka lahan untuk ditanami tembakau. Kuli perempuan memetik dan menyortir tembakau di bangsal. Sementara anak-anak kuli diajarkan mengeruk kerikil di sungai dan mengosongkan tong-tong tinja di rumah tuan-tuan kebun. “Para tuan kebun senang sebab anak-anak membantu pekerjaan cepat selesai dan mereka tidak perlu di bayar,” tulis Emile Aulia dalam romannya Berjuta-juta dari Deli: Satu Hikajat Koeli Kontrak . Cerita tentang eksploitasi anak di perkebunan tembakau Deli bukan hanya tersua dalam roman belaka. Sejarah mencatatnya sebagai noda kelam di balik gemerlapnya Deli yang berjuluk “ Tanah Dolar ” pada akhir abad 19. Anak-anak di Deli sudah harus menanggung derita bahkan sejak mereka dilahirkan. Dalam risalahnya Uit Onze Kolonien ( Dari Koloni Kita ) yang terbit pada 1903, H.H. van Kol, anggota parlemen Belanda dari Partai Sosialis mengatakan betapa banyak anak-anak di Deli yang hidup terlantar. Anak-anak malang ini kebanyakan lahir dari hasil prostitusi atau hubungan gelap sesama kuli. Karena tidak sanggup membesarkan, kuli wanita yang melahirkan terpaksa menjual bayinya. “Dan dalam keadaan sedemikian setiap ibu dari anak-anak haram zadahnya bersedia saja menjual anak tersebut kepada siapa yang bersedia membeli dengan harga teratas,” kata Kol sebagaima dikutip Mohammad Said dalam Koeli Kontrak Tempo Doeloe: Dengan Derita dan Kemarahannya . Demikianlah cikal bakal perdagangan anak di Deli. Orang-orang Tionghoa kayalah yang biasanya menjadi orang tua adopsi "anak-anak kebon" yang terpaksa dijual ibunya. Inilah dampak tidak langsung kebijakan "kuli kontrak" para tuan kebun dalam memperkerjakan para kuli.  Selain perdagangan anak, pekerja anak turut mewarnai eksploitasi anak di bawah umur. Sekira tahun 1900, sebagaimana dicatat sejarawan Jan Breman, generasi pertama kuli Jawa yang lahir di perkebunan mulai tampil dalam proses bekerja. Anak-anak mulai terlibat dalam budi daya tembakau. “Bukan hal yang luar biasa kalau ada anak-anak yang mulai bekerja pada usia tujuh tahun,” tulis Breman dalam Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20 . Sejak belia, anak-anak kuli Deli telah dikaryakan sebagai pekerja kebun. Mereka membantu kuli perempuan menyiram tanaman dan memetik daun tembakau. Keahlian mereka yang paling utama adalah mencari serangga yang menjadi hama tanaman. Dengan mata yang awas dan jari yang cekatan mereka dapat menangkap banyak ulat dan serangga. Dari pekerjaan tersebut, anak-anak memperoleh upah tidak seberapa. Tapi itupun cukup membantu mereka memenuhi kebutuhan sendiri di tengah kehidupan kebun yang keras dan serba terbatas.   Pekerja anak merupakan pemandangan lazim di kebun tembakau Deli. Para tuan kebun sangat senang dengan kemampuan anak-anak Deli yang terampil tersebut. Menurut mereka pekerjaan yang dilakoni anak-anak itu wajar karena tidak merusak kesehatan. Anak-anak tidak perlu bekerja merunduk-runduk di kebun sebagaimana kuli dewasa. Dalih demikian biasanya menjadi tameng tuan kebun melepas diri dari sangkaan mengeksploitasi anak-anak. Kenyataannya, memang eksplotasilah yang terjadi. Anak-anak bukan hanya jadi korban eksploitasi dari tuan kebun. Mereka juga jadi sasaran objek seksual dari sesama buruh. Para kuli Tionghoa yang pedofil, kerap melampiaskan birahinya terhadap bocah tanggung dari kalangan buruh Jawa. Anak-anak itu mereka namakan "anak jawi", dan para pengawas punya hak pertama atas diri mereka. Mengingat posisinya yang rentan, derita anak-anak di kebun Deli sampai juga ke ranah publik. Perhatian ini tidak luput dari menguatnya gerakan anti-kolonialisme di negeri Hindia. Perlahan, upaya untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi mulai mendapat tempat.   Pada 1918, Mohammad Samin, komisaris Sarekat Islam Sumatra Timur mengajukan resolusi mengutuk Poenale Sanctie . Dari sepuluh tuntutan, salah satunya menghendaki “Anak-anak kuli harus dididik di sekolah-sekolah”. Putusan itu diterima dan disetujui dalam kongres Sarekat Islam yang dihelat pada tanggal  11 Mei di Surabaya. Begitu pula dengan tokoh-tokoh politik etis Belanda yang memperjuangkan agenda yang kurang lebih serupa. Memasuki tahun 1920, pekerja anak di kebun Deli dibatasi. Langkah ini diikuti dengan membangun sekolah-sekolah dalam perkebunan. Anak-anak kuli akhirnya memperoleh akses mengecap pendidikan dasar. Itu menandai berbuahnya usaha untuk melindungi anak-anak di perkebunan tembakau Deli dari eksploitasi.

  • Panggabean Dua Kali Kerampokan Saat Perang Kemerdekaan

    MAYOR Maraden Panggabean, komandan Sektor IV Sub Teritorium VII Sumatera, kesal. Usulnya kepada Komandan Sub Komandemen Tapanuli Kol. (Tit.) Mr. A. Abbas tidak didengar. Nahas yang telah diprediksinya pada awal September 1948 justru mendatanginya lewat perantaraan Abbas. Sial! Panggabean memang kerap tertimpa sial semasa Perang Kemerdekaan. Sebelum itu dia juga sial ketika diminta menemani dr. Luhut Lumbantobing, komandan resimen. Perkaranya bermula dari ditemuinya dr. Luhut oleh seorang bermarga Hutapea. Orang itu mengatakan kepada Luhut bahwa ada sepasukan bekas anak buah Liberty Malau di Divisi Banteng Negara hendak keluar dari kemiliteran menyusul akan diadakannya Re-Ra. Komandan pasukan itu menyatakan mereka akan menyerahkan persenjataan kepada pemerintah namun dengan imbalan sejumlah uang. Mendengar pemaparan itu, Luhut langsung menyanggupi. Setelah mendapatkan Rp.10 juta dari gubernur militer, dia langsung mengajak Panggabean, orang bermarga Hutapea tadi, dan Gamal Lumbantobing ke tempat yang telah ditentukan, semak-semak sekitar Rumah Sakit Tarutung. “Sampai di tempat tersebut, tiba-tiba sekeliling kami terdengar bunyi grendel senapan yang dikokang (mendorong peluru ke dalam kamarnya sehingga siap untuk ditembak) diikuti oleh suatu peringatan komando supaya jangan bergerak. Uang diambil, soal senjata yang mau diserahkan tidak disinggung, betul-betul merupakan suatu perampokan,” kata Panggabean dalam otobiografinya, Berjuang dan Mengabdi . Toh, Panggabean akhirnya bisa selamat. Namun, kesialan yang menimpanya tidak berhenti sampai di situ. Pada awal September 1948, dia diminta Mr. A. Abbas menemaninya ke Markas Komando Sumatera di Bukittinggi untuk mengajukan tambahan dana bagi pasukan-pasukan di Tapanuli. Alih-alih menjalankan perintah, Panggabean malah memberi usul. “Saya mengatakan kepadanya, bahwa lebih banyak manfaatnya jika saya tidak ikut, melihat suasana yang sangat tegang di Tapanuli pada waktu itu. Saya katakan bahwa saya pernah bertugas di Front Medan Area dan mengenal praktik laskar-laskar dalam soal lucut-melucuti,” kata Panggabean. Namun, Abbas menolak usul itu dan menyatakan dengan yakin bahwa keadaan akan baik-baik saja selama Panggabean ikut dengannya ke Bukittinggi. Dengan terpaksa, Panggabean menuruti perintah Abbas. Hingga sekembalinya mereka berdua ke Padangsidempuan, bentrok antar-laskar bersenjata memang tidak terjadi. Namun, sekira subuh tanggal 10 September, Panggabean dibangunkan dari tidurnya oleh suara rentetan tembakan. “Suara tembakan itu datang dari asrama Batalion I TNI (di bawah Kapten Koima Hasibuan) yang jika ditarik garis lurus hanya berada 500-600 meter dari rumah saya,” kata Panggabean. Dia yang gagal mengadakan hubungan dengan batalyonnya karena saluran telepon telah diputus, langsung berlari ke rumah Abbas yang terletak di sebelah rumahnya. “Saya melaporkan bahwa praduga dan keprihatinan saya sewaktu kami mau berangkat ke Bukittinggi, nyatanya benar. ‘Kita akan hancur,’ saya serukan dengan kesal,” kata Panggabean. Abbas hanya terdiam mendengarnya. Sejurus kemudian, sebuah truk mendatangi rumah Abbas. Tuan rumah dan Panggabean pun langsung digelandang beberapa personil Polisi Militer di bawah pimpinan Kapten Payung Bangun itu ke dalam truk untuk dibawa ke Sipogu, sekitar 25 kilometer dari Sipirok. Bersama 37 orang lain, Abbas dan Panggabean ditawan di bangunan bekas sekolah Gereja Advent. Mereka menerima perlakuan buruk di sana. “Makanan yang diberikan sekadar cukup untuk tidak mati dan disodorkan begitu saja ke dalam kamar,” kenang Panggabean. Siksaan verbal maupun fisik kerap mereka terima. Lebih dari itu, kata Panggabean, “Para penjaga kami betul-betul perampok yang mengambil apa saja yang berharga yang ada pada kami. Saya sudah menduga bahwa hal demikian akan terjadi, maka sejak ditangkap, cincin tanda pertunangan yang biasa saya pakai di jari manis tangan kiri, lekas-lekas saya copot dan saya masukkan di lipatan pinggang celana saya. Yang lain, jam tangan, pulpen, gigi mas (untung tidak ada pada saya), boleh saja diambil dan memang diambil.”

  • Hastomo Arbi, Legenda Pertama Hasil Audisi

    PB Djarum menyatakan akan menghentikan program Audisi Umum mulai 2020. Banyak pihak menyayangkan keputusan itu. Pasalnya, PB Djarum dalam 50 tahun terakhir berhasil berperan sebagai salah satu kawah candradimuka dalam melahirkan bintang-bintang bulutangkis Indonesia tingkat dunia. Keputusan PB Djarum diambil menyusul adanya tuduhan miring dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) dan Yayasan Lentera Anak. Kedua lembaga menyatakan Audisi Umum PB Djarum di bawah naungan Djarum Foundation telah mengeksploitasi anak demi bisnis rokoknya. Entah berapa banyak pebulutangkis Indonesia yang berjaya di pentas internasional sudah dilahirkan PB Djarum. Kevin Sanjaya dan Tontowi Ahmad yang kini sedang berjaya pun “kelahiran” Audisi Umum. Keduanya hanya menjadi penerus estafet para juara yang dilahirkan PB Djarum, yang embrionya turut mengiringi usia setengah abad PB Djarum. Prestasi Hastomo Arbi Bermula dari Audisi Kendati Audisi Umum PB Djarum baru digelar secara kolosal dan terbuka mulai 2006, PB Djarum sudah punya “program audisi” sejak 1970 kendati masih semi-terbuka. Hastomo Arbi merupakan salah satu produk binaan kedua PB Djarum setelah legenda Liem Swie King. “Saya masuk PB Djarum 1970. Swie King pertama, lalu ada Agus Susanto yang kemudian jadi kakak iparnya Swie King. Mulanya waktu saya ketemu Agus Susanto dan saya ngomong bahwa saya ingin gabung PB Djarum. Lalu kemudian saya memberanikan melamar, istilahnya,” kata Hastomo kepada Historia . Hastomo yang lahir 5 Agustus 1958 di Kudus memang berasal dari keluarga bulutangkis. Ayahnya, Ang Tjin Bik, sering juara di kejuaraan lokal di Kudus. Maka, sejak kecil Hastomo sering diajak ayahnya berlatih dan bertanding dengan peralatan sederhana, raketnya masih raket kayu. “Hanya di Djarum saja yang raketnya besi,” sambung Hastomo. PB Djarum yang berdiri pada 1969 memang berawal dari perkumpulan olahragara para karyawan. Perkumpulan itu baru menerima orang luar, Liem Swie King,  lantaran pemilik PT Djarum Budi Hartono mengajak King berlatih di Brak Bitingan Lama. Ketertarikan Hastomo pada PB Djarum tak lepas dari kiprah para karyawan Djarum yang juga turut berprestasi di ajang-ajang lokal. Terlebih saat itu di Kudus belum eksis perkumpulan bulutangkis yang menyediakan sarana dan prasarana laiknya PB Djarum. Hastomo di usianya yang baru menginjak 12 tahun, jadi yang kedua lewat proses “audisi”. “Setelah melamar, saya dites oleh pelatih Pak Arisanto. Setelah dites saya baru boleh ikut gabung. Setelah saya ada dua lagi yang ikut tes, Bejo dan Suwandi. Jadi ada empat orang luar yang jadi binaan PB Djarum waktu itu (1970),” lanjut kakak kandung Hariyanto Arbi itu. Hastomo tekun berlatih kendati aroma tembakau masih sangat kuat membaui tempat latihan. “Waktu itu lapangannya di Bitingan Lama. Itu tempat membuat rokok. Kalau pagi buat bikin rokok, kalau malam buat latihan. Alat-alatnya biasanya kita tepikan dulu, baru pasang net. Itu memang aromanya kuat sekali. Namun lama-lama jadi terbiasa. Kalau sudah selesai, kita tata lagi alat-alatnya untuk para karyawan bekerja besoknya,” kata Hastomo. Perlahan tapi pasti prestasi pun berdatangan. Mengutip Setengah Abad PB Djarum: Dari Kudus Menuju Prestasi Dunia , gelar pertama Hastomo adalah kejuaraan lokal Munadi Cup 1977. Setahun kemudian, ia memetik medali emas PON untuk Jawa Tengah di nomor beregu hingga membawanya masuk Pelatnas PBSI pada 1979. Di tahun itu juga Hastomo turut menyumbang dua emas untuk Indonesia di SEA Games 1979. Satu emas diraihnya dari nomor individu, satu lainnya dari nomor beregu putra. Hastomo Arbi (kanan) di Thomas Cup 1984 (Foto: Repro "Majalah All Sports" edisi Juni 1984) Namun, prestasi paling berkesan baginya adalah ikut mengantarkan tim Indonesia, yang mayoritas pemainnya jebolan PB Djarum, merebut Thomas Cup 1984. Hastomo yang tidak diunggulkan justru jadi salah satu pahlawan paling dielu-elukan. Pasalnya, di final kontra Cina, dua andalan tunggal putra Indonesia, Liem Swie King dan Icuk Sugiarto, keok lebih dulu. Beruntung, King yang juga bermain di nomor ganda berpasangan dengan Hariamanto Kartono, berhasil menang. Pasangan Christian Hadinata/Hadibowo akhirnya mampu menyamakan kedudukan. Tinggallah Hastomo di partai terakhir harus menghadapi “raksasa” Han Jian. “Han Jian itu salah satu lawan paling sulit buat saya. Sebelumnya saya belum pernah menang lawan dia,” tambah Hastomo. Namun sebagai underdog , Hastomo berhasil menjawabnya dengan kemenangan setelah melewati rubber set: 14-17, 15-6, 15-8. Banyak orang terperangah kagum ia bisa mengalahkan Han Jian. Indonesia pun membawa pulang Thomas Cup untuk kedelapan kalinya. Momen itu juga jadi klimaks buat Hastomo karena dua tahun kemudian ia pensiun dari pelatnas PBSI. Setelah pensiun, Hastomo masih berkecimpung di dunia bulutangkis lewat PB Djarum. Hingga kini, ia masih giat membantu pembinaan PB Djarum di GOR Jati, Kudus. Kendati usianya tak lagi muda, kondisi fisik dan staminanya masih prima. Bahkan pada 2015, Hastomo jadi juara dunia tunggal putra veteran usia 55+ di Helsingborg, Swedia. “Ya masih suka jaga fisik kadang-kadang main (bulutangkis) habis bantu melatih dan mengawasi anak-anak. Di Djarum itu kekeluargaannya kental sekali. Biarpun sudah pensiun tapi kita masih diperhatikan. Arti PB Djarum buat saya? Kalau enggak ada PB Djarum saya enggak bisa hidup,” kata pria yang tidak merokok itu.

  • Mempertanyakan Eksistensi Sriwijaya

    Baru pada permulaan abad ke-20, pengetahuan tentang Sriwijaya lahir. Itu belum lama sampai akhirnya kadatuan itu dinyatakan fiktif oleh budayawan Betawi, Ridwan Saidi, lewat video yang diunggah di kanal YouTube “Macan Idealis” baru-baru ini. Awalnya, Sriwijaya baru berupa negeri dengan sebutan Tionghoa yang belum diketahui nama aslinya. Negeri itu tadinya belum dipanggil Sriwijaya tapi Shili Foshi. Kebetulan orang Tiongkok-lah yang pertama mencatatnya. Adalah I-Tsing yang menuliskan pengalamannya menetap di negeri itu selama sepuluh tahun. D ia seorang biksu yang sempat mengunjungi Shili Foshi dua kali pada sekira abad ke-7 dalam pengembaraannya belajar agama di Nalanda, India. Dalam catatan I-Tsing, nama Shili Foshi, kerap pula disingkat Foshi. Nama itu digunakan untuk menyebut negara, ibukota, dan sungai yang muaranya digunakan sebagai pelabuhan. Slamet Muljana dalam Sriwijaya menjelaskan bukan hanya I-Tsing yang menyebutnya begitu. Pada masa Dinasti T’ang, itulah sebutan bagi Sriwijaya dalam catatan resmi kerajaannya. Sarjana Jepang, Takakusu, yang menerjemahkan karya I-Tsing, Nan-hai-chi-kuei-nai fa-ch’uan ke dalam bahasa Inggris ( A Record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago ) pada 1896 pun belum mengenal Sriwijaya. Nama itu dikira transkrip Tionghoa dari nama asli Sribhoja. Bahkan sampai pada 1913, Sriwijaya juga belum dikenali sebagai negeri. Namanya malah sempat hanya dianggap sebagai nama seorang raja. Itu dugaan Hendrik Kern, orientalis dan ahli bahasa Sanskerta dari Belanda. Dia menyimpulkannya setelah menerjemahkan Prasasti Kota Kapur, salah satu prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Bangka dari tahun 686. Prasasti itu menurutnya adalah maklumat Sri Paduka Vijaya yang mengutuk para penjahat dan yang berani merusak prasasti, serta mereka yang tak setia. “Dia masih menganggap nama Sriwijaya yang tercantum dalam prasasti itu adalah nama seorang raja, karena Sri biasanya digunakan sebagai sebutan atau gelar raja, diikuti nama raja yang bersangkutan,” tulis Slamet Muljana. Sriwijaya sebagai Negeri Bisa dibilang berkat George Cœdes masyarakat Indonesia bisa mengenal Sriwijaya sebagai sebuah negeri di Sumatra. Arkeolog asal Prancis itu didaulat sebagai penemu negeri Sriwijaya pada 1918 lewat karangannya “Le Royaume de Çrīvijaya”. Terjemahan oleh Kern di mana nama Sriwijaya muncul; ditambah karya I-Tsing di mana nama Shili Foshi dicatat; lalu data epigrafi termasuk beberapa prasasti bangsa Cola, India, seperti Prasasti Tanjore dari 1030 di mana nama Sriwijaya juga disebutkan; memungkinkan Cœdes untuk menetapkan Sriwijaya adalah nama negeri di Sumatra Selatan. Nama itulah yang kemudian ditranskripsikan ke dalam tulisan Tionghoa menjadi Shili Foshi. “Prasasti Bangka itu tak berasal dari Sri Paduka Vijaya, melainkan seorang tokoh yang tak disebut namanya, kepala dari sebuah negara Melayu yang telah mengenal peradaban India dan bernama Srivijaya,” tulis Cœdes dalam artikelnya. Prasasti-prasasti Sriwijaya kemudian menawarkan terminologi yang lebih spesifik untuk menyebut apa itu Sriwijaya. Dalam prasasti-prasasti awal Sriwijaya, khususnya prasasti Kota Kapur dan Telaga Batu yang ditemukan di Palembang, Sriwijaya disebut sebagai kadatuan. Prasasti Telaga Batu yang baru dipublikasikan J.G. de Casparis, peneliti dari Belanda pada 1956 bahkan mengungkapkan jabatan-jabatan dan pangkat yang mungkin sekali ada di dalam struktur pemerintahan dan kemasyarakatan Sriwijaya. Itu mulai dari putra raja ( rajaputra ), menteri ( kumaramatya ), bupati ( bhupati ), panglima ( senapati ), pembesar atau tokoh lokal terkemuka ( nayaka ), bangsawan ( pratyaya ), raja bawahan ( haji pratyaya ), hakim ( dandanayaka ), ketua pekerja atau buruh ( tuha an vatak = vuruh ), pengawas pekerja rendah ( addhyaksi nijavarna ), ahli senjata ( vasikarana ), tentara ( catabhata ), pejabat pengelola ( adhikarana ), karyawan toko ( kayastha ), pengrajin ( sthapaka ), kapten kapal ( puhavam ), peniaga ( vaniyaga ), pelayan raja ( marsi haji ), dan budak raja ( hulun haji ). Kendati disebutkan ada putra raja, pelayan raja, budak raja di prasasti itu, dengan semua data yang ada sejumlah ahli menyimpulkan Sriwijaya bukanlah berbentuk kerajaan. Sistemnya berupa kadatuan . Ini paling tidak berlaku pada akhir abad ke-7 hingga ke-8. Hermann Kulke, ahli sejarah Asia Tenggara dan India berkebangsaan Jerman, mempublikasikan tulisannya, “Kadatuan Srivijaya, Imperium atau Kraton Sriwijaya?” pada 1993. Lewat tulisan yang kini diterbitkan ulang dalam Kedatuan Sriwijaya, d ia berpendapat Sriwijaya lebih merupakan sebuah kadatuan yang membawahi wilayah lain yang mengakui kedaulatannya. Dia buktikan berdasarkan kajian epigrafi. Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, pun sepakat bahwa Sriwijaya tak pernah menyebut dirinya kerajaan, tetapi kadatuan yang berasal dari kata datu artinya orang yang dituakan. Di Sriwijaya terdapat sejumlah wanua-wanua atau permukiman-permukiman yang dikepalai oleh seorang datu . Semuanya berada dalam kendali kadatuan “pusat” yang dipimpin oleh datu pula. “Jadi bukan suatu imperium, masyarakat ini berdiam di mandala yang dipimpin oleh para datu yang otonom dan memiliki privasi,” kata Ninie. Sejauh ini letak pusat Kadatuan Sriwijaya masih menjadi persoalan. Kemungkinan ibu kotanya sempat berpindah. Sejarawan India, Ramesh Chandra Majumdar, berpendapat kalau Sriwijaya harus dicari di Jawa. Sarjana Belanda, J.L. Moens menduga Sriwijaya berpusat di Kedah (Malaysia) dan pindah ke Muara Jambi (Jambi). Sementara sejarawan lainnya, George Coedes, Slamet Muljana, dan O.W. Wolters, lebih memilih Palembang. Umumnya, Palembang memang lokasi yang banyak disepakati sebagai awal pusat pemerintahan Sriwijaya. Itu berdasarkan prasasti-prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Palembang. Prasasti Kedukan Bukit misalnya, yang bertanggal 16 Juni 682 M menandai dibangunnya sebuah perkampungan. Prasasti Talang Tuo, bertanggal 23 Maret 684 M, menandai dibangunnya Taman Sri Ksetra, dan Prasasti Telaga Batu menandai pejabat-pejabat yang disumpah. “Semuanya ditemukan di Palembang, merupakan suatu bukti bahwa Palembang merupakan pusat Sriwijaya,” kata Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dalam acara Borobudur Writers and Cultural Festival tahun lalu, di Hotel Manohara, Magelang. Sampai kini sudah 101 tahun sejak Cœdes menemukan keberadaan Sriwijaya sebagai sebuah negeri. Berbagai penelitian dan penggalian sudah dilakukan untuk mengungkap lebih dalam soal Sriwijaya. Namun , rupanya masih banyak hal yang masih perlu dipastikan, termasuk soal pusat pemerintahannya dan soal siapa saja penguasanya. Termasuk juga soal bukti eksistensinya sebagai kesatuan politik di Sumatra. Untuk yang ini, setidaknya Ridwan Saidi masih memerlukannya.

  • Serumpun yang Berseteru di Lapangan

    SIKAP tak mau kalah itu perlu dalam berkompetisi di sebuah pertandingan olahraga. Namun, ia mesti tetap dalam trek sportivitas. Kalau kalah, ya mesti diakui. Jangan malah mengamuk dan melampiaskannya ke suporter lawan. Sikap tidak sportif itulah yang dilakoni sejumlah oknum suporter Indonesia terhadap suporter Malaysia usai Indonesia dikalahkan Malaysia 2-3 dalam laga perdana kualifikasi Piala Dunia 2022 Grup G Zona Asia, Kamis (5/9/2019) malam.  Sejumlah suporter norak justru memicu provokasi saat laga masih berlangsung. Sekira 100 suporter tim tamu yang menamakan diri “Ultras Malaya” di Tribun VIP Barat, sudah mulai dihina dan dilempar botol air mineral dari beberapa tribun berdekatan yang disesaki suporter Indonesia. Celakanya, di sana ada Menpora Malaysia Syed Saddiq Syed Abdul Rahman yang memilih nonton bersama warganya. Ia bersama suporter Malaysia akhirnya harus dievakuasi via lorong pemain. Perilaku memalukan suporter Indonesia itu mencederai nama baik negeri lantaran disorot beberapa media asing. Lantas, bagaimana sikap PSSI? Menpora Malaysia Syed Saddiq di antara "Ultras Malaya" saat laga Indonesia vs Malaysia (Foto: Antara) Mengutip Bolalob , Jumat (6/9/2019), Sekjen PSSI Ratu Tisha Destria mengaku salah dan pasrah, namun tiada permintaan maaf yang keluar dari mulutnya. Padahal, FAM (Induk sepakbola Malaysia) mengancam melaporkannya ke FIFA. Lewat situs resminya, fam.org.my , FAM kecewa dengan ketidakbecusan PSSI mengantisipasi insiden yang sebetulnya acap terjadi kala kedua negeri serumpun itu bersua di lapangan. Permintaan maaf hanya keluar dari Menpora RI Imam Nahrawi saat bersua Menpora Malaysia di pagi pasca-insiden. “Menpora menyampaikan permintaan maaf atas nama pemerintah Indonesia dan memastikan proses hukum terhadap oknum akan diproses secara tegas,” demikian dinyatakan Kemenpora di akun Twitter @KEMENPORA_RI , Jumat (6/9/2019). Sikap norak dan tak terima kekalahan semacam itu menunjukkan sifat inferior dan kekerdilan jiwa dalam menerima kenyataan. Nyatanya, dalam beberapa hal negeri jiran itu memang lebih maju ketimbang Indonesia. Tengok saja kesiapan dalam menghelat sebuah kejuaraan internasional. Indonesia baru akan bersaing dalam memperebutkan kepercayaan FIFA untuk menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 2021. Kabar itu didapat setelah PSSI mengajukan diri. Berhasil atau tidaknya baru akan diumumkan di rapat Dewan FIFA di Shanghai pada 23 Oktober mendatang. Untuk keluar menjadi pemenang, Indonesia mesti bersaing dengan Peru, Brasil, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, dan Bahrain. Salah satu aksi provokatif suporter Indonesia terhadap Malaysia di laga Indonesia vs Malaysia (Foto: Fernando Randy/HISTORIA) Dalam soal ini, Indonesia jelas tertinggal jauh dari Malaysia. Negeri jiran itu sudah sukses menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 pada 1997. Kala itu turnamennya masih bernama Kejuaraan Dunia Yunior. Namun, tak semua hal dimenangi Malaysia. Dari statistik head to head Indonesia kontra Malaysia dalam pertemuan resmi yang berjumlah 96 pertandingan, Indonesia menang di 39 laga, sementara Malaysia baru menang di 36 laga. Pemain Indonesia juga lebih banyak berkiprah di Malaysia. Sedikitnya 17 pemain Indonesia pernah berkarier di Malaysia, sementara hanya Safee Sali pemain Malaysia yang berkarier di Indonesia. Prestasi di tingkat senior pun, sebagaimana diakui pemerhati bola sepak Malaysia Lucius Maximus mengakuinya dalam How Malaysia Never Reach the World Cup: Harimau Malaya’s 40-Year Chronicle of Failure , Indonesia lebih baik dari Malaysia. Hingga 2014, Malaysia stuck di peringkat ke-25 AFC dan masih banting tulang untuk mencapai 10 besar. “Di antara tim-tim Asia Tenggara, hanya Indonesia yang pernah mencapai Piala Dunia, meski sebagai tim Hindia Belanda di edisi Piala Dunia 1938. Walau juga tetangga kami itu pulang sangat awal setelah dikalahkan 0-6 oleh Hungaria yang saat itu dijuluki ‘ The Magnificent Magyars ’,” ungkap Lucius. Timnas Hindia-Belanda yang menjadi wakil Asia pertama di Piala Dunia 1938 dan diakui FIFA sebagai pendahulu Timnas Indonesia (Foto: the-afc.com ) Namun, dalam soal prestasi Malaysia tampak mulai menyalip Indonesia. Jangankan di Asia, di Asia Tenggara saja “sang adik” sudah lebih baik. Di SEA Games, misalnya, Malaysia sudah mengantongi tiga emas cabang sepakbola (1977, 1979, 1989). Indonesia baru dua (1987, 1991). Di ajang Piala AFF (sebelumnya Piala Tiger), Malaysia sekali mencicipi gelar juara pada 2010. Sedangkan Indonesia baru lima kali jadi finalis (2000, 2002, 2004, 2010, 2016). Politik dan Rivalitas Kedua Bangsa Mulanya, persaingan Indonesia dan tetangganya di lapangan hijau tetap dalam suhu normal. Presiden Sukarno bahkan menjuluki timnas Malaya dengan “Harimau Malaya”. Julukan itu keluar dari mulut Sukarno setelah dia terpukau pada permainan Dollah Don, pesepakbola Malaysia asal Johor, dalam laga melawan Persija pada 1953. “Sukarno menjuluki dia sebagai ‘Harimau Malaya’ setelah dia mencetak hattrick melawan klub raksasa Persija di Jakarta pada 1953,” tulis New Strait Times dalam obituari Dollah Don pada 24 Desember 2014. Politik-lah  yang menjadi sumber rivalitas panas Indonesia-Malaysia di lapangan. Proklamasi beridirinya Malaysia oleh Tunku Abdul Rahman membuat Sukarno berang dan mencapnya sebagai neo kolonialisme. Seruan “Ganyang Malaysia” pun dikeluarkan Sukarno. Akibatnya, banyak segi kehidupan dalam hubungan kedua negara terjangkit sentimen nasionalisme. Sepakbola salah satu yang terparah. Tak ada asap jika tak ada api. Sukarno menyerukan “Ganyang Malaysia” bukan tanpa sebab. Perkara sebelumnya gegara demo anti-Indonesia di depan KBRI Kuala Lumpur, September 1963. KBRI diserbu dan pendemo merobek-robek foto Sukarno. Lambang Garuda di KBRI dirusak Massa juga sempat membawa lambang Garuda itu dan memaksa PM Tunku Abdul Rahman menginjak-injaknya. Kendati begitu, normalisasi hubungan kedua negara pada 1967 berhasil meredakan tensi tinggi hubungan kedua negara. Indonesia membuktikannya dalam gelaran Merdeka Games pada Oktober 1969. Mulanya, Indonesia sekadar ingin mengirim timnas “kelas dua”. Namun karena ada permohonan Malaysia, PSSI berkenan mengirim timnas utama demi memulihkan citra Malaysia pasca-kerusuhan rasialis beberapa bulan sebelumnya. Toh, bara yang terlanjur menyala belum benar-benar padam. Hingga kini sentimen nasionalisme masih kuat ketika Indonesia-Malaysia bertemu di lapangan. Laga terakhir menjadi bukti.

  • Bernapas dalam Film Panas

    Supinah pergi ke Jakarta mencari suaminya. Bukannya bertemu sang suami, dia malah diperkosa dua orang tak dikenal dalam satu malam. Ketika luntang-lantung di jalan, seorang lelaki menawarinya tempat tinggal. Di rumah lelaki ini, dia diperkosa oleh anak tuan rumah. Dia lalu diusir. Nasib malang Supinah berlanjut. Dia bertemu suaminya, namun sayangnya sang suami sudah menikah lagi. Dia pun kembali luntang-lantung hingga bertemu dengan Rais. Laki-laki yang menolongnya sekaligus menjerumuskannya ke dalam dunia pelacuran. Supinah ialah tokoh utama dalam film Bernafas Dalam Lumpur (1970) yang dibintangi oleh Suzanna dan Rahmat Kartolo. Film yang disutradarai oleh Turino Djunaedy ini merupakan salah satu film Indonesia pertama yang menonjolkan adegan seks, pemerkosaan, dan dialog kasar. Setelah Bernafas Dalam Lumpur , film-film dengan resep serupa menjadi populer di Indonesia. Resep Populer Pada 3 Oktober 1966, Menteri Penerangan Burhanuddin Mohammad Diah mengeluarkan kebijakan yang membuka keran film impor selebar-lebarnya. Tujuannya untuk menghidupkan kembali dunia perfilman Indonesia serta membari hiburan murah bagi masyarakat. Sejak itu, film-film Amerika Serikat mulai membanjiri bioskop-bioskop tanah air. Ekky Imanjaya, dosen film Universitas Bina Nusantara, menyebut impor film juga menjadi salah satu cara pemerintahan Soeharto untuk memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia. Namun, film-film Holywood yang diimpor kala itu ternyata banyak yang mengandung unsur kekerasan dan seks. “(Agar bisa masuk) maka salah satu yang dijalani adalah memperlonggar sensor,” kata Ekky kepada Historia . Semenjak itu, pada dekade 1970-an, bumbu-bumbu seks menjadi resep populer pembuatan film. Mulai dari situ pula, dunia perfilman Indonesia mulai mengenal istilah baru, yaitu film seks dan bomb sex. Film seks merujuk pada film-film yang memasukan unsur seks di dalamnya sebagai bumbu. Sedangkan bomb sex, dipakai untuk menyebut bintang film yang berani bermain dalam film seks, lebih tepatnya bintang yang berani memainkan adegan seks, meskipun tidak terang-terangan. Setelah Bernafas Dalam Lumpur , beberapa film dengan adegan seks di antaranya, Bumi Makin Panas (1973) dan Akibat Pergaulan Bebas (1977). Pada dekade 1980-an muncul film Pembalasan Ratu Laut Selatan (1988) yang menghebohkan. Pembalasan Ratu Laut Selatan berkisah mengenai balas dendam Ratu Laut Selatan (Suzanna) kepada seorang pria yang telah mempermalukannya. Ratu Laut Selatan menggunakan jasad Wanda (Yurike Prastika) untuk balas dendam. Setiap laki-laki yang bersetubuh dengan Wanda akan mati karena di dalam alat kelamin Wanda terdapat seekor ular. Terdapat pula adegan seks perempuan asing dengan dua orang laki-laki di dalam mobil. Meski adegan seks tidak ditunjukkan terang-terangan, film ini sempat menimbulkan banyak protes karena mengeksploitasi seks. Sempat ditarik oleh Badan Sendor Film (BSF), lalu ditayangkan kembali pada 1994 setelah kena sensor. Sedangkan pada dekade 1990-an, film dengan unsur seks bahkan bisa diketahui hanya dari judulnya saja, seperti Wanita Dalam Gairah (1994), Bebas Bercinta (1995), Akibat Bebas Sex (1996), dan Gairah Seksual (1997). Film yang Laku Kritikus film J.B.Kristanto dalam "Kerepotan Dunia Film Indonesia (2) Bagaimana Seksnya Hot Nggak?" termuat dalam  Nonton Film Nonton Indonesia , menyebut distributor juga berperan terhadap berjamurnya film-film tersebut. “Buat apa adegan ‘a’ itu? Potong saja. Mustinya ditambah seksnya. You bikin film terbalik sih. Drama 70 persen, seks 30 persen. Dibalik perbandingan ini,” kata seorang distributor kepada seorang produser seperti ditulis Kristanto. Pertanyaan-pertanyaan itu seringkali ditanyakan oleh distributor kepada produser. Film-film kemudian dibuat dengan memperhatikan pendapat-pendapat distributor yang dianggap mengetahui selera penonton. “Perlombaan untuk semakin hot pun terjadi. Seorang produser bisa saja meminta sutradara membuat adegan-adegan ranjang yang benar-benar hot . Adegan ini tentu saja akan dipotong oleh sensor, tapi still fotonya toh bisa diperlihatkan kepada distributor untuk menarik hari mereka,” tulis Kristanto. Merebaknya film-film dengan bumbu seks nampaknya membuat pemerintah dilema. Bila sensor diperketat, dunia perfilman menjadi lesu. Sedangkan jika sensor dilonggarkan, pemerintah mendapat kritik dari masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga terbelah. Di samping muncul protes dari berbagai pihak, nyatanya film-film "panas" juga jadi favorit. Film-film dengan unsur seks seringkali meraup ratusan ribu penonton, sedangkan film tanpa unsur seks hanya ditonton ribuan hingga puluhan ribu saja. “Ada kontradiksi. Pemerintah ingin film berkualitas. Sedangkan penonton harus diberikan yang mereka suka,” kata Ekky. Kerepotan tak hanya sampai di situ, persoalan lain mengenai penyensoran muncul. Film Pembalasan Ratu Laut Selatan misalnya, yang sempat ditarik dari peredaran rupanya beredar versi home video -nya di luar negri.  “Sensornya banyak yang lost . Karena post produksinya di Hongkong,” kata Ekky. Usaha untuk menampilkan wajah perfilman Indonesia yang dianggap lebih berkualitas daripada film-film "panas" itu pernah dilakukan Pokjatap Prosar (Kelompok Kerja Tetap Promosi dan Pemasaran Film Indonesia di Luar Negeri). “ Di sana, ingin memasukan film Indonesia yang 'sebenarnya' tapi gagal,” kata Ekky. Sebuah Kritik Eksploitasi terhadap seks dan perempuan seringkali menjadi sorotan badan sensor dan sebagian masyarakat. Namun, di sisi lain, ada pula film-film menggunakan adegan seks namun bukan sebagai jualan utamanya. “Tergantung kita baca film yang mana juga sih. Film-film Usmar Ismail misalnya, punya kritik sosial yang sangat keras. Kebetulan untuk itu harus ada adegan (seks) itu,” kata Ekky. Ekky mencontohkan film Ananda (1970) karya Usmar Ismail. Ananda (Leni Marlina) terenggut keperawanannya oleh lelaki yang kemudian meninggalkannya. Ananda kemudian bergaul dengan anak berandal hingga masuk penjara. Adegan-adegan berbau seks dan dunia malam banyak ditemui dalam film ini. Film Ananda , menurut Ekky, tidak menggunakan adegan-adegan seks untuk menarik penonton semata, melainkan terdapat kritik di dalamnya. “Bukan mengeksploitasi tubuh, melainkan punya kritik yang kuat,” kata Ekky. Hal ini juga bisa dilihat pada film Bernafas Dalam Lumpur . Suatu malam, Supinah yang telah berganti nama menjadi Mila, masuk ke sebuah kelab bersama seorang laki-laki. Orang-orang yang tahu kalau dia pelacur menggunjing dan menertawakannya. Laki-laki yang bersama Mila malu dan mengajaknya keluar. Mila menolak. “Biarin mereka ketawa,” kata Mila membuat orang-orang terdiam. “Mereka ketawa karena aku pelacur. Pernah aku mau berhenti jadi pelacur, mereka juga ketawa. Lalu kapan mereka tidak lagi menertawakan perempuan-perempuan seperti aku? Sungguh munafik. Orang-orang yang di mulut mencela maksiat, tapi sembunyi-sembunyi makan tai di luar rumah,” kata Mila.

  • Ilmu Komandan di Palagan

    TAHUN 1981. Panglima ABRI Jenderal M. Jusuf mengadakan Rapat Pimpinan (Rapim) dan Latihan Gabungan (Latgab) ABRI. Kegiatan itu diadakan di kawasan Indonesia Timur selama sembilan hari (24 Maret—1April). Berturut-turut latihan dimulai dari Bacau (Timor Timur), Ambon, Makassar, Morotai, Manado, Seram, hingga Irian Jaya (kini Papua). Selain 34.000 personel ABRI dari semua angkatan, Latgab juga dihadiri oleh para “jenderal tua” sesepuh TNI yang telah purnawirawan. Mereka antara lain Letjen G.P.H. Djatikusumo, Brigjen Soetoko, Marsda Wiriadinata, dan Brigjen Abdul Manaf Lubis. Turut diundang pula sejumlah tokoh insan pers untuk meliput, di antaranya Rosihan Anwar dari TVRI. Salah satu tokoh yang menarik perhatian Rosihan ialah Manaf Lubis. Secara pribadi, Rosihan kurang mengenal sosok Manaf yang pernah menjabat panglima Kodam Bukit Barisan pada 1961-1963. Setelah pensiun, Manaf berkecimpung dalam politik sebagai anggota DPR dari Komisi I. Rosihan langsung merasa akrab ketika Manaf menuturkan pengalaman perangnya di Sumatra sat zaman revolusi. “Ia tukang bercerita yang kocak,” kenang Rosihan dalam catatan perjalanannya bertajuk Perkisahan Nusa, “Sebuah istilah yang timbul dari kisah-kisahnya adalah ‘ilmu komandan’ yaitu peri laku komandan.” Dalam pertempuran semasa revolusi fisik, Manaf Lubis berkisah, ada saja akal-akalan komandan yang oportunis. Apabila si komandan melihat pertempuran akan berakhir dengan kemenangan di pihaknya, maka dengan semangat dia berada di tengah barisan depan pasukannya. Sebaliknya, kalau dilihatnya kondisi pertempuran tidak menguntungkan, sang komandan akan cari alasan untuk ngacir . Dalihnya macam-macam. Komandan bisa bilang hendak memeriksa perbekalan atau modus tugas dadakan yang membenarkannya meninggalkan front. Salah satu nama yang disebut Manaf Lubis ialah Mayor Bejo. Di front Medan Area dan Sumatra Timur, Bejo dan pasukan dikenal pemberani sehingga dijuluki “Harimau Sumatra”. Bejo memimpin pasukan yang diberi nama “Brigade B”. Pernah suatu ketika, tiada masyarakat yang mau kasih beras untuk jatah makan pasukan Bejo yang sedang bergerilya. Di daerah itu, penduduknya dominan Muslim dan terdapat perkumpulan tarekat atau mistis. Menurut pemimpin agama di sana, para tentara dianggap sudah ciut nyali melawan Belanda. Itulah sebabnya, pasukan Bejo tidak layak lagi diberi makan.      Bejo putar akal. Menurut kabar, anggota-anggota pengajian tarekat itu punya kebiasaan unik mengoles lengan dengan sejenis bubur dengan tanda pengenal. Mendegar itu, Bejo langsung beraksi ikutan mengoles bubur di lengannya. Di saat itulah Manaf Lubis bertemu Bejo dengan tangan yang sudah putih kena olesan bubur. Ketika Manaf menghampirinya, Bejo berbisik dalam bahasa Jawa, “ Kowe meneng wae, niki politik beras .” Artinya, “kamu diam saja, ini politik beras. Penyamaran Bejo berhasil. Rakyat daerah itu kembali memberikan beras pada tentara.      “Itulah yang dinamakan ‘ilmu komandan’,” ujar Manaf Lubis. Setelah cerita kocak Bejo dan bubur olesnya, Manaf lanjut mengisahkan dirinya. Pada 1952, Manaf memimpin pasukan yang didaratkan di Aceh melawan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Ketika itu, keluarlah ulama yang sudah tua-tua, berjubah putih, siap melakukan jihad. Begitu mendarat, kendaraan panser kiriman Manaf Lubis segera dikepung oleh para pejuang berjubah putih. Manaf Lubis tetap kalem menghadapi laskar DI. Keluarlah “ilmu komandan” nya. Pertama-tama, Manaf menahan anak buahnya agar tidak melepaskan tembakan. Kemudian, dia justru memerintahkan semua pasukannya memberi hormat secara militer kepada lawan-lawannya seraya mengucapkan berulang-ulang, “Assalamualaikum….Assalamualaikum….” Sapaan ramah pasukan Manaf Lubis memantik simpati di kalangan DI. Perlawanan pasukan berjubah putih itu pun dapat diatasi.   “Ini bukan kisah-kisah human interest semata-mata. Ini kisah berharga untuk pembinaan kader-kader ABRI,” demikian kesan Rosihan.

  • Praktik Aborsi di Era Kolonial

    DI era kolonial, aborsi dilarang oleh hukum Kristen. Penolakan pada praktik pengguguran janin ini jadi satu suara mutlak kala itu lantaran hukum kolonial juga melarangnya. Jadi, ada kesamaan prinsip antara pemimpin moralis dari penjajah maupun terjajah. Sementara, laporan petugas kesehatan GHG Harloff tahun 1853 menyebutkan, orang Jawa tidak memandang aborsi sebagai sebuah tindakan kriminal atau dosa. Mereka bisa menjalankan aborsi karena keinginan si perempuan bahkan jika diketahui suaminya. Harloff dalam laporannya berharap praktik aborsi ini perlahan berubah karena pengaruh “peradaban Barat” dan pemberlakuan hukuman. Pernyataan Harloff tentang peradaban barat semacam kebanggaan kosong sebab perempuan Eropa juga melakukan aborsi. Liesbeth Heeselink dalam Healers on the Colonial Market menulis, secara resmi dokter Eropa tidak menjalankan prosedur pengguguran kandungan karena dilarang sehingga tidak pernah dipelajari. Aturan tentang aborsi ini disahkan pada 1881 di Belanda dalam Wetboek van Strafrecht . Peraturan ini mendapat penolakan pada 1886 yang menyasar praktisi kesehatan dan perempuan. Dari laporan Van den Burg, mayoritas dokter Eropa menolak permintaan pasien yang ingin menggugurkan janin. Namun beberapa dokter mengaku pernah melayani keinginan perempuan untuk mengugurkan kandungan. Dokter J Schülein pernah menulis surat untuk van den Burg pada 1905. Selama 25 tahun kariernya, ia mengaku pernah dua kali melayani keinginan perempuan untuk aborsi. Sangat sulit menemukan dokter yang mau membantu menggugurkan kandungan seperti Schulen. Alhasil, perempuan Eropa pergi ke dukun jika ingin melakukan aborsi. Lewat para dukun inilah praktik pengguguran kandungan dilakukan perempuan Eropa, Tionghoa, maupun pribumi. Masih dalam laporan Harloff, dukun beranak bahkan bisa menjalankan aborsi hanya dengan jamu. Selain dibekali kemampuan penanganan persalinan dan perawatan bayi, para dukun juga punya pengetahuan untuk pencegahan kehamilan (kontrasepsi) dan peningkatan kesuburan. Dalam laporannya tahun 1882, Van der Burg menyebut dukun juga bisa mencegah kehamilan pada gadis  dengan pijatan khusus. Melalui pijatannya, dukun mengubah posisi rahim, mengurangi kemungkinan untuk hamil. Jika si perempuan ingin memiliki anak, si dukun bisa mengubah posisi rahim seperti semula. Sementara dalam ilmu pengobatan Eropa, metode kontrasepsi dan obat aman untuk menggugurkan kandungan belum ditemukan. Padahal di samping melayani kebutuhan si perempuan, ilmu pengguguran kandungan juga perlu dipelajari untuk menyelamatkan nyawa ibu pada kondisi kritis. Meski sebagian dokter Eropa seperti Harloff menyerang praktik aborsi, di satu sisi ada pula dokter dan peneliti Eropa yang melakukan riset pada kerja-kerja dukun. Salah satunya Dokter Van der Scheer yang meneliti tentang resep jamu para dukun. Ia menghimpun informasi dari para dokter Jawa kenalannya. Ketertarikan ini diikuti dokter Eropa lain. Hingga 1900, para cendikiawan Eropa terus meneliti pengobatan lokal, termasuk metode perawatan dan pijatan dukun untuk melayani aborsi. Pada 1918, pemerintah kolonial mengadopsi hukum larangan aborsi yang berlaku di Belanda ke negeri jajahan. Aborsi dimasukkan dalam hukum pidana yang menghukum praktisi kesehatan pemberi layanan dan pasien yang menjalani pengguguran kandungan. Aturan hukum ini sepertinya tidak begitu ditegakkan. Terence Hull dan Ninuk Widyantoro dalam tulisannya “Abortion and Politics in Indonesia” di buku Abortion in Asia menulis, meski dari laporan pemerintah jumlah aborsi di HIndia-Belanda mencapai ratusan, aduan hukum pada pelaku aborsi tidak lebih dari hitungan jari dalam setahun. Menurut Hull dan Ninuk, alih-alih peraturan ini digunakan sebagai cara pemerintah mempresekusi orang-orang “bengal”. Dokter Suzanne Houtman misalnya yang ditangkap karena membuka praktik aborsi. Suzanne merupakan mantan istri Sam Ratulangi. Ia seorang indo yang lahir dari keluarga kaya. Setelah bercerai dengan Sam Ratulangi, Suzanne kembali ke rumah keluarganya di Jawa. Ia membuka praktik di salah satu rumah besar berpaviliun milik keluarganya. Di sana ia melayani pengobatan orang-orang pribumi dan perempuan. Sebaliknya, ia menolak mengobati keluarga Belanda atau lelaki. Orang Sunda, Jawa, dan Tionghoa, sering terlihat mengantri sebagai pasiennya. Pada 1933, Suzanne ditangkap karena membuka praktik aborsi. Dia dihukum lima tahun di penjara Semarang. Kasus ini jadi kasus yang jarang ditemui di masanya. Padahal, dokter, bidan, dan dukun beranak lain ada juga yang mempraktikkan aborsi dan tidak ditangkap. Tull dan Ninuk berasumsi, Suzanne kemungkinan ditangkap karena aktif menentang penjajahan dan sering menunjukkan perlawanan pada pemimpin konservatif terutama kertika masih jadi istri Sam Ratulangi. Sangkaan aborsi hanya celah yang digunakan untuk meringkusnya. Aturan tinggalan hukum Belanda tersebut masih berlaku hingga Indonesia merdeka. Sementara di Belanda, hukum aborsi dicabut pada 1981 karena dianggap rentan mengkriminalkan perempuan.

  • Ridwan Saidi dan Dapunta Hyang

    Banyak kesalahan yang dilakukan para ahli ketika menerjemahkan prasasti-prasasti Sriwijaya. Karenanya pengertian akan keberadaan Sriwijaya selama ini pun banyak yang salah kaprah. Hal itu dikatakan budayawan Betawi, Ridwan Saidi, dalam salah satu video yang diunggah di kanal YouTube "Macan Idealis". Menurutnya, salah satu kesalahan adalah pengertian mengenai tokoh Dapunta Hyang yang disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit. Kesalahan itu disebabkan kekhilafan para ahli yang menyangka prasasti itu berbahasa Melayu Kuno. Padahal prasasti itu berbahasa Armenia. “Banyak sekali bahasa Melayu menyerap dari bahasa Armenia. Jadi ketika dibaca oh ini bahasa Melayu padahal bahasa Armenia,” kata Ridwan. Akibatnya, tokoh Dapunta Hyang dikira para ahli sebagai seorang prabu. “Padahal itu artinya image  Tuhan,” kata Ridwan. Selain itu, Ridwan juga menyalahkan penerjemahan kata Sriwijaya. Menurutnya dalam bahasa Armenia, Sriwijaya artinya Sang Ruang. Jadi, Kedatuan Sriwijaya artinya bukan Keraton Sriwijaya, tapi selubung Sang Ruang. Ridwan sendiri mengaku tak membaca keseluruhan Prasasti Kedukan Bukit. Namun, menurutnya, prasasti itu mengisahkan para agamawan yang disebut rsi. Mereka suka sekali air dan buah-buahan segar. Mereka selalu beribadah kepada image Tuhan, yaitu Dapunta Hyang sehingga badan mereka menjadi sehat. Ridwan juga menganggap Prasasti Kedukan Bukit bukanlah bukti adanya Kerajaan Sriwijaya. Namun itu adalah bukti adanya komunitas spiritual kaum Sheba yang dibawa Ratu Sheba pada abad ke-2.  “Jadi, ini maknanya soal beribadah. Ini prasasti soal teologi bukan tentang power . Kedukan Bukit itu teologi dari kaum Sheba,” kata Ridwan. Sementara itu, berdasarkan terjemahan yang dilakukan ahli epigrafi Indonesia, Boechari dan filolog Belanda, J.G. de Casparis, prasasti yang ditemukan di Palembang itu isinya adalah tentang Dapunta Hyang yang naik perahu untuk menempuh suatu perjalanan. Dia berangkat dari Minangga Tamwan membawa bala tentara dua puluh ribu jumlahnya. “…sukacita. pada hari ke lima paro-terang bulan (Asada) lega gembira datang membuat wanua ini… (maka) Sriwijaya berjaya, dan perjalanan itupun berhasil dan makmur sejak itu,” catat prasasti itu. Sebelumnya, N.J. Krom dan Mohammad Yamin menganggap kalau prasasti Kedukan Bukit adalah proklamasi Kerajaan Sriwijaya. Namun, menurut Slamet Muljana dalam Sriwijaya, prasasti ini tak ada hubungannya dengan soal pendirian Sriwijaya. Berdasarkan berita Tiongkok, Sejarah Dinasti Tang , Kerajaan Sriwijaya telah mengirim utusan ke Tiongkok pada 670, sekitar 13 tahun sebelum Prasasti Kedukan Bukit diterbitkan. Artinya, pada 683, yaitu pertanggalan dalam Prasasti Kedukan Bukit, Kerajaan Sriwijaya telah berdiri tegak. Bahkan Dapunta Hyang sudah punya tentara paling tidak 20.000 orang. “Demikianlah anggapan bahwa Piagam Kedukan Bukit adalah piagam proklamasi dengan sendirinya tidak dapat dipertahankan,” tulis Slamet Muljana. Maka, Slamet Muljana pun berpendapat Prasasti Kedukan Bukit adalah prasasti siddhayatra , bahkan prasasti jayasiddhayatra . Maksudnya, prasasti ini mencatat perjalanan jaya sebagaimana disebutkan di dalamnya. Menurutnya sudah jelas bahwa perjalanan jaya adalah kejadian besar dalam kehidupan kenegaraan. Perjalanan jaya itu mempunyai hubungan dengan kemenangan yang diperoleh dalam peperangan. “Piagam Kedukan Bukit itu piagam perjalanan, terbukti karena pada piagam yang terlalu pendek itu tercatat beberapa perjalanan,” tulis Slamet Muljana. Dapunta adalah Gelar Adapun tokoh Dapunta Hyang, menurut Slamet Muljana tak merujuk pada aspek ketuhanan seperti yang dikatakan Ridwan Saidi. Dapunta adalah gelar seseorang. Pasalnya, bukan cuma sekali tokoh bergelar dapunta  ini disebutkan dalam sejarah. Gelar dapunta hyang juga muncul dalam Prasasti Talang Tuwo yang dikeluarkan setahun setelah terbitnya Prasasti Kedukan Bukit. Prasasti Talang Tuwo ditemukan di dekat Bukit Siguntang, Palembang. Di dalamnya, istilah dapunta hyang menjadi awalan bagi nama Sri Jayanasa, yaitu parwanda punta hyang sri jayanasa. Prasasti itu mengisahkan Sri Jayanasa sebagai tokoh yang memerintahkan pembangunan taman Sriksetra. Taman ini ditanami beragam buah-buahan untuk kebaikan masyarakat. Pada akhir prasasti terdapat doa untuk Dapunta Hyang Sri Jayanasa. Agaknya bunyi prasasti ini yang lebih mirip isi Prasasti Kedukan Bukit versi Ridwan Saidi, yaitu tentang buah-buahan dan doa bagi Dapunta Hyang. Doa itu untuk mendoakan Dapunta Hyang sebagai balasan amalannya, yaitu memberi hadiah taman buah-buahan bagi rakyatnya. Menurut Slamet Muljana prasasti itu lebih jauh mengungkapkan harapan di balik pembangunannya. Di balik keinginan untuk beramal, pemberian hadiah itu juga disertai doa agar Dapunta Hyang memperoleh pula kebaikan. Sesuai ajaran Buddha, taman yang dibangun Sri Jayanasa itu merupakan persembahan dengan tujuan mencapai level tertinggi dalam kehidupan Buddha yang dijalaninya.   Berdasarkan prasasti ini, menurut Slamet Muljana, dapunta hyang adalah gelar penguasa Sriwijaya, yaitu Sri Jayanasa yang memerintahkan pembangunan taman. Begitu pula yang dimaksud dalam Prasasti Kedukan Bukit. “Mengingat selisih waktu antara Piagam Kedukan Bukit dan Piagam Talang Tuwo hanya satu tahun saja, maka kiranya dapunta hyang pada Kedukan Bukit adalah Dapunta Hyang Sri Jayanasa juga,” tulis Slamet Muljana. Istilah dapunta  muncul pula dalam Prasasti Sojomerto yang ditemukan di Batang, Jawa Tengah. Prasasti yang juga berdialek Melayu Kuno ini diperkirakan semasa dengan Prasasti Kedukan Bukit. Penanggalan itu dijabarkan oleh Boechari dalam "Old Malay Inscription Sojomerto" termuat di Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti . Menurutnya, penanggalan itu didapat dengan membandingkan gaya penulisan karakter " ya"  dalam Prasasti Kedukan Bukit dan juga dalam Prasasti Dinoyo di Malang dari 760. “Dengan perbandingan itu perasasti ini sangat mungkin berasal dari abad ke-7,” tulis Boechari. Dalam Prasasti Sojomerto, dapunta dipakai untuk mengawali penyebutan Selendra, yaitu dapunta selendra. Dia disebutkan dalam prasasti sebagai pemuja Siwa yang taat, yang memiliki ayah bernama Santanu, ibu bernama Bhadrawati, dan istri bernama Sampula. Gelar dapunta  juga dipakai oleh beberapa tokoh dengan kedudukan yang berbeda. Boechari menyebut banyak contoh dalam epigrafi Jawa Kuno yang memakai gelar seperti, punta , dapunta , dan dapu hya . Gelar-gelar itu tak melulu milik anggota keluarga kerajaan. Kebanyakan justru menjadi gelar para pemuka agama. Seperti disebutkan dalam prasasti-prasasti masa Mpu Sindok dari masa Tamwlang-Kahuripan di Jawa bagian timur sekira tahun 929-948. Gelar dapunta sering kali dipakai oleh samgat tiruan. Samgat adalah singkatan dari san pamgat, yang merupakan gelar keagamaan. Samgat tiruan pada masa Majapahit adalah salah satu dari pejabat kehakiman. Menurut Nagarakrtagama jumlahnya ada tujuh. Belum diketahui apakah hal yang sama diberlakukan pada masa Mataram Kuno. Gelar itu juga disebut dalam Prasasti Dang Pu Hawang Glis dari 827 yang ditemukan di Temanggung, Jawa Tengah. Prasasti Melayu Kuno ini menyebut gelar dapunta dan dapu hya bukan untuk keluarga kerajaan. Prasasti ini berisi tentang ritual agama. Yang jelas,entah dimiliki raja atau kaum agamawan, dapunta menurut bukti-bukti yang ada merupakan gelar bagi seseorang. Menurut Slamet Muljana, bukan hal yang aneh jika pemakaian gelar itu bisa berbeda-beda di berbagai tempat dan waktu. “Pemakaian gelar terikat pada waktu dan tempat. Oleh karena itu, mungkin sebutan atau gelar yang sama, berbeda maknanya di Jawa dan di Sumatra,” tulis Slamet Muljana. Misalnya, pemakaian gelar teuku atau tengku di Aceh. Gelar ini menunjukkan keturunan raja. Pun demikian halnya tengku dan ungku di Johor, Malaysia. Namun, sebutan yang sama di Minangkabau biasa digunakan untuk menyebut seorang guru. Derajatnya sama dengan pak di Indonesia. “Ringkasnya, gelar atau sebutan itu dalam pemakaiannya dapat mengalami perubahan semantik,” tulis Slamet Muljana. Jika pun Ridwan Saidi meyakini gelar itu sebagai emanasi Tuhan, dia toh mengaku telah mempelajari berbagai bahasa kuno sejak 1989. Termasuk bahasa Armenia yang tak diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia. Dia tentu tak akan percaya pendapat para ahli itu, sebagaimana yang dia katakan dalam salah satu video di kanal YouTube "Macan Idealis": “Saya mencoba menguasai aksaranya juga termasuk hieroglif. Saya nggak percaya buku-buku yang disodorkan.”

  • Nas yang “Ditendang” ke Atas

    JENDERAL Abdul Haris Nasution duduk termenung di depan meja kerjanya. Sejurus kemudian, Nas (panggilan akrab Nasution) menerima telepon dari Mayjen Ahmad Yani. Oleh bawahannya itu, dia diberitahu bahwa tiga hari lagi, mereka akan serah terima jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). “Saya merasakan dalam posisi yang mengambang. Memang dalam prakteknya sudah lama Yani memegang pimpinan sehari-hari dalam AD,” kenang Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama . Dalam pembicaraan di telepon, Yani mengatakan bahwa dirinya menginginkan serah terima secara formal. Para panglima Angkatan Bersenjata dan pejabat teras AD telah diundang menghadiri acara tersebut. Nasution sendiri rencananya akan menduduki jabatan Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB). Itu artinya, Nas melepaskan kedudukannya dari fungsi komando AD. Memang saat itu, Nas sudah mulai jarang memegang kendali di AD. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di Departemen Pertahanan dan Keamanan sembari keliling daerah. Yani yang semula adalah Deputi II-nya Nasution digadang oleh Presiden Sukarno untuk memimpin AD. “Rupanya Jenderal Yani tidak ada maksud menunda, walaupun saya sedang menghadapi krisis soal KSAB tadi yang tak dapat saya terima dengan rela hati,” ujar Nas.   Titah Panglima Tertinggi Pada pagi hari, 23 Juni 1962, serah terima berlangsung di Istana Negara. Presiden Sukarno melantik Ahmad Yani sebagai KSAD. Bintang tiga pun melekat di pundaknya. Yani resmi menjadi orang nomor satu di jajaran AD, menggantikan Nasution. Dalam pidato pelantikan itu, Presiden Sukarno tidak lupa menyampaikan rasa terima kasihnya atas pengabdian Nasution. “Jendral Abdul Haris Nasution, dengan saya mengucap banyak-banyak terima kasih atas segala jasa-jasa yang telah beliau berikan kepada tanah air, negara dan bangsa, kami berhentikan sebagai Kepala Staf Angkatan Darat dan kami angkat Jenderal Nasution menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata,” kata Bung Karno dalam amanatnya yang diterbitkan Departemen Penerangan. Pada kesempatan itu, Sukarno juga mengumumkan reorganiasi angkatan bersenjata. AD, AL, AU, dan Angkatan Kepolisian diintergrasikan langsung di bawah naungan presiden selaku Panglima Tertinggi. Masing-masing kepala staf akan diangkat jadi setingkat menteri dengan kedudukan sebagai panglima: Pangad, Pangal, Pangau, dan Pangak. “Maka untuk mengintegrasikan keempat Angkatan ini, saya adakan Kepala Staf Angkatan Bersenjata dan saya pandang cakap saudara Abdul Haris Nasution menjadi Kepala Staf Angkatan Bersendjata itu,” demikian maklumat Sukarno. Bagi Yani, itulah hari paling membanggakan dalam hidupnya. Yani menggapai puncak kariernya sebagai seorang perwira militer. Namun bagi Nasution, tampaknya menjadi hari yang kelabu. Nasution Disingkirkan Jabatan KSAB terdengar mentereng. Namun sesungguhnya, kedudukan itu sama sekali tanpa wewenang komando. Komando operasi TNI sudah ada dalam Komando Operasi Tertinggi (KOTI) di bawah komando presiden. Adapun kepala staf KOTI juga dijabat oleh Ahmad Yani. Nasution mengeluh seakan dirinya ditendang ke atas.   “Saya merasa bahwa ini adalah jabatan kosong,” kata Nas dalam memoarnya. “Jadi bagi KSAB akan tertinggal hanya soal-soal koordinasi administrasi.”    Nasution telah memegang jabatan tertinggi dalam AD selama tujuh tahun berturut-turut. Sebagai wujud regenerasi kepemimpinan, wajar saja bila Nasution diganti. Kendati demikian, rupanya ada prahara politik antara Sukarno dan Nasution. Menurut penelitian Ulf Sundhaussen dalam disertasinya di Monash University, Nasution sengaja disingkirkan karena galak mengkritik Sukarno. Kritik ini terutama menyangkut korupsi dan kehidupan pribadi. Perkara inilah menyebabkan Nasution dicopot agar kekuasaannya dalam AD tidak semakin besar.    “Siapapun yang akan menggantikan Nasution dalam pimpinan tentara tidak boleh mempunyai kekuasaan dan kemahiran yang sama dengan yang dimilikinya untuk memimpin kegiatan-kegiatan politik tentara,” tulis Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945—1967 . Urusan Pribadi Penyingkiran Nasution menyingkap ironi. Nasution adalah sosok berjasa dibalik tegaknya kekuasaan Sukarno ketika mengumumkan Dekrit 5 Juli 1959. Pakar politik-militer Salim Said dalam Gestapu 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto mengatakan , “Nasution yang anti-Komunis adalah penghalang utama agenda politik Nasakom Sukarno . ” Urusan personal ternyata juga turut jadi faktor merenggangnya relasi Sukarno dan Nasution. Sukarno kurang menyukai sikap puritan ala Nasution. Apa yang terjadi kemudian pada mereka adalah hubungan yang tidak serasi yang berkembang jadi perselisihan. Cekcok antara Sukarno dan Nasution biasanya bermula dari hal-hal kecil yang tidak disengaja. Akibatnya bisa fatal. Seperti misalnya, ketika Nasution tiba-tiba harus meninggalkan Sukarno dalam rapat atau pertemuan dengan tamu penting di Istana untuk melaksanakan ibadah salat. Nasution menyadari sikapnya dapat menggangu protokoler kenegaraan yang ketat. Tapi sebagai penganut Islam yang taat, Nasution tidak mungkin menggadaikan imannya demi aturan-aturan protokoler.   Nas juga selalu bersikap antipati terhadap siapa saja lelaki yang mengambil istri kedua. Prinsip tersebut  tidak berubah ketika Sukarno menikahi Hartini setelah memperistri Fatmawati. Dia selalu menolak undangan Sukarno sowan ke Istana Bogor, dimana Hartini menjadi nyonya disana.   Sang jenderal pun kerap meninggalkan acara tari lenso yang sangat digemari Sukarno. Bung Karno sampai pernah berkata dengan sebal pada Nasution, “ Je leert het nooit. ” Artinya, “Kamu tidak pernah mempelajarinya.”   Sukarno kadung jengkel. Nasution harus dipinggirkan. Demikianlah yang akhirnya terjadi. “Baru kelak setelah G30S saya dapat tahu bahwa sayalah orang ‘kepala batu’ yang perlu disingkirkan,” kenang Nas.

bottom of page