Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Mengapa Ahmad Sukarno?
PADA 1946-1947, mahasiswa Indonesia di Mesir giat mempromosikan nama Indonesia negeri seribu piramid tersebut. Selain mengadakan kegiatan amal dan diskusi, mereka pun aktif memperkenalkan para pemimpin Indonesia ke berbagai lapisan masyarakat. “Kita tidak bisa menafikan jika para pejuang Indonesia di Mesir menggunakan Islam sebagai alat pendekatan terhadap masyarakat dan pemerintah Mesir,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein. Upaya itu terbukti berhasil. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia telah mendapat simpati besar dari rakyat Mesir yang juga mayoritas muslim. Menurut M. Zein Hasan dalam Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri , situasi itu disadari dan dimanfaatkan secara baik oleh para aktivis mahasiswa pendukung kemerdekaan Indonesia. “Sentimen agama terbukti sangat efisien menarik sokongan masyarakat Arab atas dasar solidaritas Islam,” ujar diplomat senior Indonesia yang kala itu aktif sebagai mahasiswa pendukung kemerdekaan Indonesia di Mesir. Namun, ada satu hal yang mengganjal: nama Sukarno (presiden Indonesia) sangat tidak berbau Arab (baca: Islam). Ini memunculkan pertanyaan dari hampir kalangan kaum muslim di Mesir: Sukarno, pemimpin Indonesia itu, apakah seorang muslim atau bukan? Guna mengantisipasi persoalan tersebut, aktivis mahasiswa Indonesia, sepakat menambahkan nama “Ahmad” di depan nama Sukarno. Demikianlah, saat Zein Hassan diwawancarai oleh wartawan Mesir, pertanyaan soal agama Sukarno itu lantas muncul kembali. Kali ini Zein menjawabnya secara percaya diri, “Kenapa bukan Muslim? Bukankah nama lengkap dia adalah Ahmad Sukarno?” katanya. Sejak itulah masyarakat dan pers Timur Tengah, tak pernah lagi mempersoalkan apa agama presiden Republik Indonesia tersebut. Mereka pun kerap menyebut presiden Republik Indonesia dengan sebutan: Ahmad (atau Ahmed) Sukarno. Lantas bagaimana sikap Sukarno sendiri terhadap penambahan nama tersebut? Menurut Zein, awalnya Si Bung menerimanya. Itu terbukti dengan dibiarkannya nama “Ahmad” tersebut tercantum oleh yang bersangkutan kala menandatangani surat-surat resmi untuk negara-negara Islam. Baru setelah peyerahan kedaulatan oleh Belanda pada 27 Desember 1949, penambahan nama “Ahmad” mulai dipersoalkan oleh Sukarno. Hal itu tercetus saat dirinya berpidato dalam rapat umum menyambut Pemimpin Uni Sovyet Kliment Voroshilov di Surabaya pada 1959. “Siapa yang menambah namaku dengan 'Ahmad'?" tanya Sukarno. Jawaban baru diberikan oleh Zein pada rapat staf Departemen Luar Negeri pada 1959. Dia menyatakan bahwa dirinya yang menambahkan “Ahmad” pada nama sang presiden. “Tujuannya, menarik sokongan umat Islam sedunia bagi perjuangan Indonesia sesudah Proklamasi,” ungkap Zein.*
- All England dari Masa ke Masa
PUJIAN tinggi patut dilayangkan untuk Kevin Sanjaya Sukamuljo dan Marcus Fernaldi Gideon. Pasangan ganda putra Indonesia yang menyandang peringkat satu dunia ini berhasil mempertahankan gelar All England pada Minggu, 18 Maret 2018, di Arena Birmingham, Inggris. Kevin/Marcus menang 21-18 dan 21-17 atas pasangan Denmark Mathias Boe/Carsten Mogensen. All England merupakan turnamen bulutangkis perorangan. Turnamen ini merupakan turnamen resmi tertua di dunia sebagaiana FA Cup (Inggris) di cabang olahraga sepakbola. Berikut fakta-fakta All England dalam angka yang dinukil dari berbagai sumber: 10 Maret 1898 All England dihelat untuk pertamakalinya sebagai turnamen eksebisi, terinspirasi dari sebuah turnamen yang diprakarsai Percy Buckley, sekretaris Guildford Badminton Club, pada 10 Maret 1989 di Guildford Drill Hall. Hajatan nan sukses itu mendorong Badminton Association of England (BAE) – federasi bulutangkis pertama dunia yang berdiri 1893, menggelar event yang lebih akbar setahun setelahnya. 4 April 1899 BAE untuk kali pertama menggelar The Open English Championships di London Scottish Regiment Drill Hall. Semua pesertanya pebulutangkis Inggris. Mereka masih mengenakan busana kasual era itu karena belum ada pakaian olahraga. Para peserta putra mengenakan celana panjang dan peserta putri mengenakan rok panjang. Di edisi perdana ini, All England mempertandingkan tiga nomor: ganda putra (dimenangi D. Oakes/Stewart Massey), ganda putri (Meriel Lucas/Mary Graeme), dan ganda campuran (D. Oakes/Daisey St. John). All England masih merupakan turnamen kejuaraan dunia “tak resmi”. “Oleh karenanya pemenangnya boleh dikatakan sebagai juara dunia,” tulis Don Paup dalam Skills, Drills & Strategies for Badminton. 1900 Pada edisi kedua, jumlah nomor yang dipertandingkan di All England bertambah dengan masuknya nomor tunggal putra dan putri. Sydney H. Smith menjadi juara tunggal putra pertama, sementara Ethel B. Thompson jadi kampiun pertama tunggal putri. Ethel mengulanginya di edisi 1901. 1902 Di tahun ini, The Open English Championships berganti nama menjadi The All England Championships dan bertahan hingga kini. Venue -nya juga berpindah dari London Scottish Regiment Drill Hall ke Crystal Palace Central Transept. Situs allenglandbadminton.com mencatat bahwa pada edisi 1902, lapangannya diubah dari yang berbentuk mirip jam pasir menjadi persegi panjang yang bertahan sampai sekarang. 1903-1909 All England kembali berpindah lokasi. Dari edisi keempat hingga 1909, All England dimainkan di London’s Rifle Brigades City Headquarters. Di tahun 1903 pula atlet serbabisa George Alan Thomas mengukir prestasi pertamanya di nomor ganda campuran. Hingga 25 tahun berikutnya, Thomas meraih total 21 gelar di berbagai nomor (4 tunggal putra, 9 ganda putra, 8 ganda campuran). Hingga zaman now , Thomas masih memegang rekor pemain tersukses di All England. 1910-1939 Lagi-lagi, All England pindah venue. Dari 1910 sampai 1939, All England dimainkan di The Royal Horticultural Hall, London. Di tahun 1910 juga untuk pertamakalinya muncul juara dari luar Inggris. Adalah Guy Sautter (Swiss), yang berpasangan dengan Dorothy Cundall (Inggris), berhasil menjuarai nomor ganda campuran. Setahun berselang, dan juga di edisi 1913-1914, Guy menjuarai nomor tunggal putra. Pada edisi 1924, sebuah rekor baru tercipta ketika Kathleen McKane Godfree menyapu bersih gelar di tiga nomor yang diikutinya: tunggal putri, ganda putri, dan ganda campuran. Sedangkan pada edisi 1931, fashion pebulutangkis mulai beralih. Raymond “Bill” White menginspirasi para pebulutangkis lain untuk mengubah gaya busana dari celana panjang ke celana pendek. Adapun di edisi 1938, popularitas All England kian meluas lantaran mulai disiarkan via radio. 1947 All England kembali bergulir setelah terhenti sejak 1939 akibat Perang Dunia II. Tempat penyelenggaraan pun berpindah lagi, kali ini ke Harringay Arena, London Utara. Di tahun ini juga, Herbert Scheele memulai kariernya sebagai wasit hingga kelak jadi wasit kehormatan dan tokoh bulutangkis dunia . 1949 Malaya mempelopori keikutsertaan negara dari Asia Tenggara di All England. Bahkan, pasangan ganda putranya, Ooi Teik Hock/Teoh Seng Khoon, sukses menjadi juara. Di edisi ini pula Amerika Serikat menorehkan sejarah pertama kesuksesan All England-nya lewat keberhasilan David G. Freeman menjuarai nomor tunggal putra. 1950-1951 Setelah kembali berpindah lokasi ke Empress Hall, Earls Court, London pada 1950, All England untuk kali pertama ditayangkan via siaran televisi pada 1951. 1957-1968 Pada 1957, All England mulai dihelat di Wembley Pool (kini Wembley Arena), London yang terus bertahan hingga 36 tahun berikutnya. Di edisi 1959, Indonesia menorehkan tinta emas pertamanya lewat nomor tunggal putra. “Tan Joe Hok juara All England 1959, sekaligus mengukuhkan diri sebagai orang Indonesia pertama yang juara pada turnamen yang disebut-sebut kejuaraan dunia bulutangkis,” ujar Broto Happy dalam Baktiku Bagi Indonesia. Di partai puncak bertajuk “All Indonesian Final”, Tan Joe Hok mengalahkan Feerry Sonneville 15-8, 10-15 dan 15-3. Indonesia kembali membuat rekor di edisi 1968. Rudy Hartono mendunia sebagai juara termuda di usia 18 tahun 7 bulan. 1977-1982 John Player & Son, perusahaan tembakau dan rokok berbasis di Nottingham, Inggris, mempelopori perusahaan yang mensponsori All England (1977). Sedangkan di edisi 1982, China menjalani debutnya dengan menurunkan tujuh pemain. Mereka pulang dengan membawa dua gelar: tunggal putri (Zhang Ailing) dan ganda putri (Lin Ying/Wu Dixi). 1984 Yonex, produsen alat olahraga asal Jepang, memulai debutnya sebagai sponsor utama. Posisi itu bertahan hingga 32 tahun berikutnya, menjadikan rekor kerjasama terlama dalam berbagai sejarah olahraga. Rekor ini kembali dipertegas dengan perpanjangan kerjasama baru pada 2015 hingga 2021. “All England adalah turnamen tertua dan paling prestisius di dunia dan kami senang bisa tetap menjadi bagian dari mereka,” cetus Presiden Yonex Ben Yoneyama di situs resmi Yonex, 7 Maret 2014. 1994-2018 Mulai 1994, venue All England pindah dari London ke Birmingham, tepatnya di National Indoor Arena, dan bertahan hingga sekarang. Tragisnya, wakil-wakil Inggris mulai kesulitan juara di “rumah sendiri”. Terakhir wakil mereka juara pada 2005 lewat kemenangan Nathan Robertson/Gail Emms di ganda campuran. Salah satu staf pelatih Inggris kala itu adalah mantan pebulutangkis Indonesia Rexy Mainaky. Pada 2007, turnamen ini disematkan status “Superseries” oleh BWF (Federasi Bulutangkis Dunia). Empat tahun kemudian, All England naik kelas dengan status “Superseries Premier”. Bagi Indonesia, All England lumbung gelar. Hingga sekarang, Indonesia nyaris tak pernah pulang tanpa gelar. Pada 2016, gelar dipersembahkan ganda campuran Praveen Jordan/Debby Susanto. Sementara pada 2017-2018, ganda putra Marcus/Kevin masih digdaya mempertahankan gelar.
- Candi-candi di Mata Naturalis Inggris
NATURALIS Inggris, Alfred Russel Wallace, menumpang kapal pos Belanda dari Ternate menuju Surabaya. Dia bermukim di Jawa dari 18 Juli hingga 31 Oktober 1861. Karena biaya transportasi mahal, dia memutuskan melakukan perjalanan singkat ke suatu tempat di kaki Gunung Arjuna. Dari hasil perjalanannya, dia kagum dengan peninggalan peradaban Hindu-Budha dan mencatatnya dalam The Malay Archipelago. Dalam perjalanannya, Wallace berhenti di Modjo-kerto (Mojokerto), kota kecil sekitar 40 mil di selatan Surabaya. Dia menginap di rumah Mr. Ball, orang Inggris yang telah lama tinggal di Jawa. Ball mengajaknya ke Desa Modjo-agong (Mojoagung), tak jauh dari Mojokerto. Wallace mengamati puing-puing kota kuno, Modjo-pahit. Dia melihat dua tumpukan batu besar. Puing-puing itu adalah sisi dari sebuah pintu gerbang. “Keindahannya sangat menakjubkan. Batu yang digunakan sangat bagus dan keras, dengan sudut tajam dan permukaan rata. Sambungan antarbatu tak terlihat dan penyambung itu tidak memakai adukan semen atau campuran kapur,” catat Wallace. Di puing-puing itu tak ditemukan arca, tapi tembok batunya berhiaskan relief. Puing-puing bangunan tersebar hingga bermil-mil ke segala penjuru. Bahkan hampir setiap jalan besar dan kecil menunjukkan adanya pondasi bangunan di bawahnya seakan jalan kota tua. Sesampainya di rumah seorang wedana, kepala distrik Modjo-agung, Wallace melihat relief wajah perempuan cantik pada batu lava. Batu itu tadinya terkubur di suatu tempat dekat Modjo-agong. “Ekspresi saya terlihat sangat ingin memiliki relief itu, kemudian Ball memintakan relief itu untuk saya, dan senang sekali ternyata wedana itu langsung memberikannya,” katanya. Ukiran itu menggambarkan sosok Durga. Ukurannya kecil, dengan tinggi dua kaki dan berat sekira 100 pon. Dia kemudian mengirim arca durga itu ke Modjo-kerto. “Akan saya bawa ketika nanti kembali ke Surabaya,” lanjutnya. Wallace memutuskan tinggal beberapa waktu di Wonosalem, di kaki Gunung Arjuna. Perjalanan ke Wonosalem harus melalui hutan lebat. Di tengah hutan itu, dia menemukan reruntuhan bangunan kuno. Makam raja-raja itu terbuat dari batu dan diukir indah. Di dekat alasnya ada bagian menonjol yang memiliki relief. “Relief ini berupa serangkaian adegan yang mungkin melukiskan peristiwa yang pernah terjadi pada almarhum,” katanya. Beberapa di antaranya menggambarkan hewan yang mirip aslinya. Luas bangunan itu sekitar 30 kaki persegi, tinggi 20 kaki, dan terletak di daerah yang sedikit lebih tinggi dibandingkan sisi jalan. Bangunan seperti candi itu tertutup bayangan pohon raksasa yang penuh tanaman dan tumbuhan menjalar. Wallace juga menyebut beberapa karya seni paling penting. Beberapa di antaranya sudah lebih dulu dia ketahui lewat History of Java karya Stamford Raffles. Wallace menyebut kompleks candi di Desa Brambanam. Candi Brambanam atau sekarang disebut Prambanan, dulu lebih dikenal dengan Candi Loro-jongran. Di kompleks Candi Loro-jongran terdapat 20 candi, enam candi berukuran besar lebih dari 90 kaki, dan 14 candi kecil. Di daerah itu pula ada Candi Sewa atau Candi Seribu seluas 600 kaki persegi. Seperti Candi Loro-jongran, di candi ini banyak ditemukan arca berukuran besar. Wallace mencatat baris terluar terdiri dari 84 candi, baris kedua 76 candi, baris ketiga 64 candi, baris keempat 44 candi, baris kelima berbentuk jajaran genjang 28 candi. Jumlah seluruhnya 296 candi berukuran kecil yang diatur dalam lima jajaran genjang. Tumbuhan tropis telah merusak candi kecilnya, tetapi beberapa masih terlihat sempurna. Setengah mil dari Brambanam, ada Chandi Kali Bening, nama lain dari Candi Kalasan. Luasnya 72 kaki persegi dan tinggi 60 kaki. Keadaannya masih sangat bagus. Candi ini memiliki hiasan arca-arca Hindu, meski lebih tepatnya peninggalan Budha. “Keindahannya melebihi patung-patung India. Reruntuhan istana, pendapa, dan candi-candi yang berhiaskan relief dewa-dewa juga terdapat di tempat yang sama,” ujarnya. Melampaui Amerika Tengah dan India Wallace juga menyebut Borobodo (Borobudur), candi besar terletak kira-kira 80 mil ke barat di wilayah Kedu. Candinya terdiri dari sebuah kubah tengah dan tujuh tingkat teras yang menutupi kaki bukit. “Agaknya jumlah tenaga manusia dan keahlian yang dicurahkan untuk pembangunan Piramid terbesar di Mesir tak berarti bila dibandingkan dengan tenaga yang dibutuhkan untuk menyelesaikan candi penuh patung pada bukit di pedalaman Pulau Jawa ini,” tulis Wallace. Berikutnya Candi Gunong Prau, terletak kira-kira 40 mil sebelah barat daya Semarang, di sebuah gunung bernama Gunong Prau. Di sana ada dataran luas yang dipenuhi reruntuhan candi. Untuk sampai di kuil itu dibuatlah empat buah tangga batu dengan arah berlawanan. Tiap tangga punya lebih dari seribu anak tangga. Reruntuhannya hampir 400 candi yang dihiasi ukiran indah dan halus. Daerah yang terdapat di antara daerah ini dan Brambanam, yang berjarak sekitar 60 mil, dipenuhi puing. Tak jarang sebuah ukiran indah ditemukan pula, misalnya di sebuah parit atau di dinding bangunan yang tertutup. Wallace juga melihat, di Jawa bagian timur, terutama Kediri dan Malang, terdapat banyak peninggalan kuno. Sayangnya, sebagian besar bangunannya sudah rusak. Meski begitu, dia mengenali puing-puing itu sebagai bekas istana, benteng, kolam pemandian, saluran air, dan candi. “Kita akan merenungkan betapa anehnya hukum kemajuan yang nampak seperti kemunduran karena di berbagai belahan dunia terjadi penghancuran ras yang memiliki nilai artistik dan arsitektur tinggi,” ujar Wallace. Menurutnya, hanya sedikit orang Inggris yang memahami keindahan arsitektur Jawa. Peninggalan itu tak pernah digambarkan atau dilukiskan secara umum. “Sangat disayangkan karena peninggalan arsitektur Jawa melampaui yang ada di Amerika Tengah atau bahkan melampaui India,” pujinya. Sementara itu, Wallace melihat masyarakat Jawa membangun rumahnya dari bambu dan rumbia. Masyarakat juga cenderung mengabaikan karya nenek moyangnya itu. Mereka justru melihatnya sebagai hasil perbuatan raksasa dan iblis. “Saya merasa perlu untuk menarik perhatian orang terhadap karya seni yang mengagumkan ini. Terutama karena saya diliputi pemikiran tentang patung-patung yang jumlahnya tak terhitung ini, yang dikerjakan dengan kehalusan dan citarasa seni yang tinggi,” kata Wallace. Dia pun sangat menyangkan pemerintah Belanda tidak melakukan langkah besar untuk menyelamatkan reruntuhan bangunan kuno itu dari kehancuran akibat tumbuhan tropis. Pemerintah Belanda juga tidak berpikir untuk mengumpulkan arca-arca yang masih dalam keadaan baik, tapi tersebar di penjuru negeri.
- Sepakbola Soviet Era Stalin
MUSIM panas tahun ini, miliaran pasang mata akan tertuju ke Rusia. Negeri Beruang Merah mendapat kehormatan jadi tuan rumah Piala Dunia 2018. Sebagai host , suksesor negeri adidaya Uni Soviet itu tentu tak ingin malu dengan hasil jelek. Sayang, catatan terakhir di Euro 2016 (Prancis), prestasi Alan Dzagoev dkk. bikin publik Rusia menundukkan wajah. Kalah 0-3 dari Wales di partai terakhir Grup B, timnas Rusia gagal melaju ke babak berikutnya. Rusia harus puas menempati urutan buncit klasemen grup di bawah Slovakia, Inggris, dan Wales. Tidak sedikit yang kecewa. Salah satunya, anggota parlemen merangkap ketua Partai Komunis Rusia, Gennady Zyuganov. Dia menginginkan sepakbola Rusia kembali ke masa kejayaan seperti di era Joseph Stalin. “Tim Rusia lembek. Kita butuh mobilisasi Stalinis, di mana mental dan fisiknya sangat kuat,” ucap Zyuganov, dikutip The Guardian , 21 Juni 2016. Kedigdayaan sepakbola di Rusia ambruk seiring kolapsnya Uni Soviet. Semasa Soviet, klub maupun tim nasional mampu berjaya di berbagai kompetisi berkat ditopang kelompok-kelompok buruh, institusi-institusi negara, hingga kalangan industri. Begitu semua runtuh, struktur sepakbola domestik kena dampaknya. Yang tak kalah penting, para pemain timnas Soviet tercerai-berai ikut negara masing-masing pecahanan Soviet. Sepakbola untuk Propaganda Sepakbola di Soviet sebetulnya baru diperhatikan Joseph Stalin setelah dia tak lagi disibukkan memerangi Jerman-Nazi di Perang Dunia II (PD II). Selama 1942-1945, semua kegiatan sepakbola di Soviet dihentikan total gara-gara perang dahsyat itu. “Pasca-PD II rezim Stalin memutar strategi politik dan misi diplomatiknya dengan penggunaan atribut olahraga, dalam hal ini sepakbola. Dinamo (Moskva) dijadikan kelinci propaganda pertama,” ungkap Arief Natakusumah dalam Drama itu Bernama Sepakbola: Gambaran Silang Sengkarut Olahraga, Politik dan Budaya. Semasa era Stalin, Dinamo Moskow merupakan klub yang berafiliasi dengan Kementerian Dalam Negeri Soviet, KGB (Badan Intelijen Soviet), dan NKVD (Kepolisian Rahasia Soviet). Bahkan dedengkot NKVD, Lavrentiy Beria, menjadi ketuanya sampai nyawanya dicabut dalam eksekusi mati Mahkamah Luar Biasa Soviet. Dinamo direstui Stalin menjadi “duta” Soviet ketika melancong ke Inggris atas undangan FA, beberapa bulan pasca-usainya PD II. Alasan Stalin merestui, selain untuk mengumbar propaganda ketangguhan Negeri Tirai Besi, sekaligus meyakinkan publik dalam negeri bahwa mereka tak kalah superior dari negara-negara Barat. Rombongan Dinamo – yang dalam catatan sejarah menjadi tim Soviet pertama yang menjejakkan kaki di Inggris– mendarat di Croydon, 4 November 1945 menggunakan pesawat Dakota DC-3. Selain Beria sendiri, sejumlah perwira NKVD mendampingi muhibah tim itu untuk memastikan agar para pemain Dinamo tak lupa daratan dan terpapar borjuisme di Inggris. Mereka disambut langsung Ketua FA Stanley Rous, staf kedutaan Soviet, dan ketua Partai Buruh Inggris pro-komunis Albert Victor Alexander. “Inggris adalah tanah kelahiran sepakbola. Tidak diragukan lagi semua pemain terbaik dunia adalah orang Inggris,” sanjung pelatih Dinamo Mikhail Yakushin dalam sambutannya, dikutip David Downing dalam Passovotchka: Moscow Dynamo in Britain 1945. Namun, belum lagi empat laga yang dijadwalkan berlangsung, psywar media keburu membuncah. Media-media Inggris melansir berita-berita bernada meremehkan. Salah satunya yang dituliskan reporter surat kabar Sunday Express Frank Butler: “Mereka tidak cukup bagus untuk melawan tim-tim profesional kita. Para pemain mereka nyaris semuanya amatiran.” Soviet balas menyindir dengan sasaran sambutan dingin tuan rumah. “Di Inggris, tanah kelahiran sepakbola, kami diterima dengan sambutan khas Inggris: tanpa bendera, musik, atau kalungan bunga. Pihak pemerintah Inggris bersikap dingin dan mereka membiarkan kami diserang jurnalis-jurnalis mereka. Kami memilih bermalam di Kedutaan Soviet, ketimbang penginapan yang mirip barak tanpa bantal,” ujar Vadim Sinyavsky, komentator radio Soviet yang ikut mendampingi. Dinamo tapi berhasil membuktikan kehebatannya di lapangan. Dari empat pertandingan yang dimainkannya, tak sekalipun mereka kalah. “Hasil tur Dinamo ke Inggris adalah memasukkan 19 gol dan kemasukan 9 gol,” ungkap Victor dan Jennifer Louis dalam Sport in the Soviet Union. Di laga perdana, 13 November 1945, Dinamo bermain imbang 3-3 melawan Chelsea di Stamford Bridge. Klub berjuluk Dinamiki itu bikin geger publik Inggris di partai kedua melawan Cardiff City di Ninian Park. Dinamo menang telak 10-1. Partai ketiga jadi partai yang paling ditunggu –Dinamo vs Arsenal. Kandang Tottenhan Hotspur, White Hart Lane, dipinjam untuk laga itu lantaran Stadion Highbury masih direnovasi. Sekira 55 ribu penonton di stadion yang diselimuti kabut itu menjadi saksi The Gunners menyerah 3-4 dari Dinamo. Di partai terakhir melawan Glasgow Rangers, Dinamo bermain imbang 2-2. Pada laga-laga itu, Dinamo sebenarnya “mencabut” beberapa pemain dari klub Soviet lain. Salah satunya, Vsevolod Bobrov, pemain CSKA Moskva juga bintang hoki es Soviet dan kawan dekat Vasily Stalin (putra Stalin). Pun begitu Arsenal, yang meminjam Stanley Matthews dari Stoke City, Stanley Mortensen (Blackpool), dan Harry Brown (Queens Park Rangers). Tapi toh Dinamo membuktikan sepakbola Soviet tak kalah hebat dari Inggris. “Bertahun-tahun berlalu sejak kami bertemu pertama kali dengan para pesepakbola Rusia. Semenjak itu di hati semua orang yang mengalami pengalaman itu, kata-kata ‘Dynamo Moscow’ mengingatkan akan konsep sepakbola yang berkelas,” kenang Matthews, dikutip Downing.
- AR Baswedan Dikerdilkan, Musso dan Sutan Sjahrir Dilupakan
MEDIO April 71 tahun lampau, kerjasama delegasi Republik Indonesia (RI) pimpinan Menteri Luar Negeri H. Agus Salim dengan pemerintah Kerajaan Mesir membuahkan persahabatan dahsyat. Sineas Indonesia dan Mesir kini mengabadikannya dalam film layar lebar bertajuk Moonrise over Egypt. Beberapa adegannya diambil langsung di Kairo, Mesir pada Agustus 2016. “Cukup banyak pemain dan kru yang berangkat ke Kairo, di samping bekerjasama dengan tenaga-tenaga sineas Mesir,” cetus sutradara Pandu Adiputra dalam press screening film tersebut, Jumat (1/3/2018). Filmnya mengisahkan pergulatan delegasi RI pimpinan Agus Salim (diperankan Pritt Timothy) dalam memperjuangkan pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Indonesia. Meski begitu, Pandu membumbui film dengan dramatisasi, pembelokan alur cerita, hingga penghadiran tokoh-tokoh fiktif. “Timbul seakan-akan ada dua bagian dari film ini. Satu bagian perjuangan diplomatik Indonesia. Kedua, ada juga cerita mata-mata Belanda dan pemuda Indonesia, pedagang Indonesia jadi mata-mata Belanda. Kita enggak pernah dengar cerita ini. Apakah ini agar ceritanya tidak datar dan menjadi menarik?” ujar kritikus film Salim Said dalam konferensi pers usai press screening. Sejarawan Asvi Warman Adam juga merasakan hal serupa. “Memang di satu sisi penulis dan sutradara punya keleluasaan menambahkan tokoh fiktif atau alur cerita yang tidak ada dalam fakta sejarah. Ini sudah biasa dalam film-film tema sejarah. Tapi sejauh mana aspek non-historis tadi mendominasi film ini? Itu pertanyaannya,” timpal Asvi. Mata-mata dan Bahasa Dalam pemaparannya, produser Adie Marzuki menjelaskan bahwa dari riset mereka yang dibantu kosultan sejarah Hendi Johari dan sejarawan Rushdy Hoesein, memang ada peristiwa mematai-matai aktivitas delegasi RI di Kairo itu. Pengkhianatan itu tak lepas dari kartu subsidi mereka selama kuliah di Mesir dari pemerintah Belanda. “Kenyataannya memang ada yang tidak mengembalikan kartu subsidi sebagaimana yang disepakati PPKI. Itu yang kemudian dipergunakan Belanda untuk membujuk mereka, agar menelisik aktivitas delegasi Indonesia,” terang Adie. Tim produksi merasakan betul kesulitan merangkum kisah sejarah rumit itu ke dalam sebuah cerita dengan durasi yang terbatas. Terlebih, sasaran penonton mereka generasi muda dari usia 13 tahun. Oleh karena itu, tim menyederhanakan aksi spionase itu agar lebih mudah dicerna semua kalangan, memperindah alur cerita, hingga enak ditonton. Konsekuensinya, film ini jadi melupakan beberapa aspek yang lekat dengan kisah Agus Salim dkk. di Mesir. Contohnya, perihal bahasa. Agus Salim dikenal poliglot (menguasai banyak bahasa asing). Tiga anggota delegasi lain, A.R. Baswedan, H.M. Rasyidi, dan Nazir Datuk Pamuncak, juga jago bahasa Arab sehingga dimasukkan ke dalam tim agar bisa lebih mudah mengambil hati para diplomat Liga Arab. Anehnya, tak sekalipun dialog di film menampilkan penggunaan bahasa Arab. Pun Bahasa Belanda, yang mestinya selalu diucapkan tokoh Adriaanse, Jansen, atau Willem van Rechteren Limpurg (diperankan Harry Bond Jr.). Menurut produser Amir Sambodo, ketiadaan dialog berbahasa asing disebakan kesulitan pendalaman bahasa. “Memang awalnya kita mau bikin Agus Salim dkk. bicara banyak bahasa. Tapi kita cari cast- nya enggak ada yang bisa. Kita diskusi dengan Pandu, ya akhirnya kita putuskan pakai bahasanya Indonesia dan Inggris,” ujar Amir. Tokoh dan Peran Terlupakan Terlepas persoalan teknis, kritikus dan sejarawan mengeluhkan adanya pengerdilan peran A.R. Baswedan dan penghilangan beberapa tokoh penting dalam misi diplomati itu di film. A.R. Baswedan, misalnya, digambarkan tak lebih sebagai pelengkap. Padahal, kata Asvi, “Kepulangan Baswedan juga tak mudah. Harus berpindah-pindah pesawat, terdampar di Singapura dan kehabisan uang. Setelah ada yang membantu dan tiba di Jakarta, nota diplomatik itu harus disembunyikan di dalam kaus kakinya sehingga dia bisa selamat sampai ke Yogya untuk disampaikan ke presiden. Makanya, hemat saya perlu ditambahkan.” Sementara, Rushdy mempertanyakan kenapa tokoh Perdana Menteri Sutan Sjahrir tak dihadirkan sama sekali di film. “Sjahrir punya pengaruh dalam persoalan-persoalan terkait. Dia kan perdana menteri. Apalagi Agus Salim berangkat ke Lake Success (Amerika, markas DK PBB) bersama Sjahrir,” ujarnya. Selain mempertanyakan Sjahrir, Rushdy juga menyoroti penghilangan tokoh Musso di film itu meski Musso bukan anggota delegasi. “Muso datang dari Kairo bersama duta besar kita di Cekoslowakia. Beliau datang menggunakan nama (samaran) Suparto. Dia sempat berdebat dengan para mahasiswa (Indonesia) yang kuliah di Kairo tentang politik negara,” sambungnya.*
- Memburu Subandrio
Sesaat setelah menerima Supersemar, Letjen TNI Soeharto memerintahkan Panglima Kodam Jakarta Raya, Mayjen TNI Amirmachmud mengawal Presiden Sukarno dari Istana Merdeka ke Istana Bogor. Untuk alasan keamanan pula, Bung Karno meminta agar semua pos RPKAD (kini Kopassus) yang ada di titik-titik yang akan dilewati harus disingkirkan. Dalam tugas pengawalan itu, Soeharto menyisipkan misi khusus kepada Amirmachmud. “Secara pribadi Pak Harto memerintahkan saya untuk mencari tempat persembunyian para menteri itu. Terutama Subandrio harus ditemukan,” ujar Amirmachmud dalam otobiografinya Prajurit Pejuang . Ketika melaporkan bahwa jalur perjalanan steril dari pengawasan RPKAD, Amirmachmud melancarkan misi khususnya. Sebuah kesepakatan dilontarkan kepada Presiden Sukarno yang sedang gamang karena dirundung aksi para demonstran. Setengah mendesak, Amir meminta Bung Karno untuk memberitahu di mana keberadaan Subandrio. “Demi keselamatan Bapak, sebaiknya Subandrio diserahkan kepada saya,” ujar Amirmachmud. Dalam keadaan tertekan, Sukarno terpaksa memberi tahu posisi Subandrio sembari menitip pesan agar Amirmachmud jangan membunuhnya. Ajudan Sukarno, Brigjen Sabur kemudian diperintahkan mengantarkan Amirmachmud ke guest house komplek Istana Merdeka. Di lantai atas guest house , yang tampak bukan hanya Subandrio, melainkan menteri lainnya yang masuk daftar penangkapan seperti, Soemarno, Armunanto, dan Sutomo. Semuanya kena ciduk. Amirmachmud lantas memerintahkan pasukannya menggelandang Subandrio ke markas Kodam Jakarta Raya untuk diproses lebih lanjut. Terindikasi PKI? Subandrio telah masuk daftar pencarian, jauh sebelum instruksi Soeharto untuk menangkap 15 menteri. Komandan RPKAD, Kolonel Sarwo Edhie Wibowo telah mengerahkan pasukan tanpa inisial untuk memburu Subandrio sejak akhir Februari 1966. Sebagian besar kalangan Angkatan Darat menilai Subandrio berafiliasi dengan PKI. Tempo setelah G30S meletus, Subandrio lewat sejumlah pidato menolak keterlibatan PKI di dalamnya. Dan ketika aksi demonstrasi massa untuk membubarkan PKI memuncak, Subandrio mengeluarkan pernyataan yang menyulut konflik lebih tajam: membalas teror dengan kontra-teror. Subandrio yang memegang tiga jabatan strategis boleh jadi seorang politisi ulung. Dalam Kabinet Dwikora, dia menjabat Wakil Perdana Menteri III merangkap Menteri Luar Negeri dan Kepala Badan Pusat Intelijen (BPI). Namun Kemal Idris, Panglima Kostrad saat itu, meragukan bila Subandrio terindikasi PKI. “Dia (Subandrio) memang bermaksud menjadi tokoh politik yang besar. Sedangkan satu-satunya cara yang bisa menjadikan dia tokoh politik hanya melalui PKI. Tapi, apakah dia seratus persen PKI? Buat saya sebenarnya dia hanya ikut-ikutan saja,” ujar Kemal dalam Bertarung dalam Revolusi. Angkatan Darat kian memusuhi Subandrio mengingat dirinya sebagai tangan kanan Presiden Sukarno. Di tengah kecamuk gerakan anti Sukarno, Subandrio menjadi orang pertama yang menghimpun kekuatan massa pendukung Sukarno sebagai Barisan Sukarno. Hubungan rapat Subandrio dengan Bung Karno di satu pihak dan tuntutan massa mengganyangnya di lain pihak, membuat aparat intelijen dan keamanan ekstra cemas. Yoga Sugomo, perwira intelijen Kostrad saat itu mengkhawatirkan jika seandainya massa ataupun pihak-pihak tertentu yang balas dendam lantaran sakit hati bertindak nekat. Membunuh Subandrio, misalnya. Bila hal ini terjadi, bukan tidak mungkin Bung Karno akan marah besar dan membela Subandrio habis-habisan. “Itu berarti menyulut perang saudara yang sulit diperhitungkan kapan berakhirnya,” tutur Yoga kepada B. Wiwoho dan Banjar Chaeruddin dalam Memori Jenderal Yoga . “Mengatasi Subandrio betul-betul ibarat menarik benang dalam tepung, tanpa tepungnya berantakan.” Vonis Mati Pada 1967, proses hukum terhadap Subandrio digelar dalam Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Anehnya, dakwaan buat Subandrio bukan karena terindikasi PKI atau terlibat G30S. Pengadilan memutuskan Subandrio bersalah karena dianggap subversif terkait ucapannya membalas teror dengan kontra-teror. Sidang berlangsung singkat. Subandrio dijatuhi hukuman mati. Bagi Subandrio pengadilan itu tak lebih dari sandiwara. “Mereka gagal membunuh saya secara terang-terangan di Sidang Kabinet 11 Maret 1966, toh mereka bisa membunuh saya secara ‘konstitusional’ di pengadilan sandiwara ini,” ujar Subandrio dalam memoarnya Kesaksianku Tentang G30S . “Naik banding dan kasasi saya tempuh sekadar semacam reflek menghindari kematian. Namun upaya hukum itu percuma. Sebab, pengadilannya saja sudah sandiwara.” Namun nasib mujur masih menyertai Subandrio yang tercatat sebagai Duta Besar Indonesia pertama untuk Inggris. Reputasi Subandrio sebagai Duta Besar dan Menteri Luar Negeri menghindari dirinya dari senapan regu tembak. Kawat dari Presiden Amerika Serikat Lyndon B. Johnson dan Ratu Inggris, Elizabeth mengintervensi proses hukum Subandrio dan mengubah vonisnya menjadi penjara seumur hidup. Selama hampir 30 tahun, Subandrio menjadi penghuni penjara di sel isolasi, terpisah dari narapidana lain sebagai tahanan politik. Mulai Rumah Tahanan Salemba, LP Cimahi, dan LP Cipinang. Di masa-masa itu dia mengalami depresi. Pada 1978, tatkala masih meringkuk dalam penjara, anak tunggal Subandrio, Budojo meninggal karena serangan jantung. Tak lama kemudian, istri Subandrio Hurustiati menyusul. Subandrio bebas dari penjara pada 1995. Ketika pemerintahan Orde Baru runtuh pada 1998, kebebasan bersuara terbuka bagi siapa saja. Termasuk pula untuk mereka, yang dulu pernah dibungkam oleh rezim Soeharto. Tak terkecuali bagi Subandrio. “Kesalahan saya satu-satunya adalah menjadi pengikut setia Bung Karno," kata Subandrio. "Namun kemudian saya tidak menyesal menjadi pengikut setia Bung Karno, sebab itu menjadi tekad saya. Dan ini merupakan risiko bagi semua orang yang berkecimpung di bidang politik.”
- Genderang Perang Indonesia-Belanda di Negeri Piramida
DUA pemuda pejuang berlarian ke dalam hutan diburu serdadu Jepang. Langkah kaki mereka lambat laun tak sinkron dengan irama nafas akibat kelelahan. Mereka akhirnya tertembak. Salah satu yang tewas adalah Ahmad Sjauket (Hadil), putra H. Agus Salim. Adegan pengejaran dan penembakan itu mengawali film roman sejarah bertema perjuangan diplomatik Indonesia di Mesir. Dengan tajuk Moonrise over Egypt (Bulan Sabit di Langit Mesir), sutradara Pandu Adiputra melukiskan bagaimana delegasi Indonesia yang dipimpin Menteri Luar Negeri (Menlu) H Agus Salim (Pritt Timothy) jempalitan untuk memetik pengakuan internasional pertama, dari Kerajaan Mesir medio 1947. Delegasi Indonesia, terdiri dari Menteri Muda Penerangan AR Baswedan (Vikri Rahmat), HM Rasyidi (Satria Mulia), dan Nazir Datuk Pamuncak (Drh. Ganda), awalnya disambut hangat karena memenuhi undangan Sekretaris Jenderal Liga Arab Abdul Rahman Hassan Azzam atau dikenal Azzam Pasha (James Dixon). Azzam mendampingi mereka sampai ke Hotel Continental di Kairo dan memandu mereka menemui Perdana Menteri Mesir Mahmoud El Nokrashy Pasha (Mark Sungkar). “Kami ingin melihat negara dengan populasi muslim terbesar meraih kemerdekaannya. Agar menjadi tonggak bagi negara-negara lainnya lepas dari cengkeraman kolonialisme,” cetus El Nokrashy saat beramah-tamah. Namun, pertemuan delegasi Indonesia –yang ditambah dua mahasiswa PPKI di Kairo, Zein Hasan (Reza Anugrah) dan Hisyam (Bhisma Wijaya)– itu terdengar Duta Besar (Dubes) Belanda untuk Mesir Willem van Rechteren Limpurg (Harry Bond Jr.) dan Dubes Keliling Belanda Cornelis Adriaanse (Alex Jhunnany). Mereka langsung bergerak. Drama pun dimulai. Konflik demi konflik nan seru silih berganti hadir memenuhi film sepanjang 113 menit ini. Konflik antara Indonesia dan Belanda itu akhirnya menyeret Mesir. Bahkan PM El Nokrashy sampai dijadikan target pembunuhan oleh Jansen (Cris de Lima), intel yang digunakan oleh Adriaanse. Dalam suasana sulit itu, Agus Salim memasrahkan diri kepada Allah SWT. Dia mengirim surat kepada El Nokrashy. Hasil upaya itu menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan misi diplomatik Indonesia. Dan, sutradara berhasil menutup film dengan ending apik berupa konflik El Nokrashy-Jansen-Hisyam. Konflik yang menjadi klimaks film itu merupakan personifikasi genial sang sutradara untuk menggambarkan konflik dua bangsa yang berseteru (Indonesia dan Belanda) dan menyeret tuan rumah. Hasilnya? Silahkan tunggu tanggal mainnya. Menarget Generasi Zaman Now Film ini bisa dibilang film pertama tentang perjuangan diplomasi Indonesia. Film yang akan ditayangkan serentak di berbagai bioskop pada 22 Maret 2018 ini cukup apik sebagai entertainment lantaran kaya bumbu dan sarat konflik. Sutradara tak takut menyelipkan beberapa scene fiktif, termasuk kisah percintaan Hisyam dengan Zahra, seorang mahasiswi Malaya (Ina Marika), agar lebih ‘ nge-pop ’ dan bisa dicerna generasi muda dari usia 13 tahun. “Memang film ini kita sesuaikan juga dengan selera generasi zaman now. Namun bukan berarti keluar dari pakem sejarah yang sesuai kejadian nyata, meski ada dramatisasinya,” cetus Amir Sambodo sang produser eksekutif. Kritikus film Salim Said turut menyanjung bahwa kisah pertempuran diplomatik Indonesia vs Belanda di Mesir itu dikemas cukup apik. “Film ini enak ditonton. Dibikin dan dimainkan dengan bagus. Yang harus kita perhatikan juga adalah dimensi diplomatik dalam film ini. Bagaimana Agus Salim menggunakan sentimen Islam dalam mencari dukungan,” ujar Salim Said dalam konferensi pers usai penayangan screening film. Senada dengan Salim, sejarawan Rushdy Hoesein memuji tim produksi yang berani mengangkat perjuangan RI di arena diplomasi, meski ditambah sejumlah alur cerita fiktif. “Seperti Titanic saja, itu kan juga roman sejarah. Ada cerita-cerita fiktif baru yang diselipkan. Tidak ada salahnya. Acungan jempol, saya bilang ini keberanian. Tapi nanti baru akan terbukti setelah ditonton banyak orang. Kita lihat reaksi mereka,” timpal Rushdy. Yang Menyimpang Terlepas dari scene - scene fiktifnya, ada sejumlah adegan film ini tak sesuai fakta historis, terutama menyangkut detail sebagaimana terdapat di film-film perjuangan lain macam Soekarno atau Jenderal Soedirman . Bagi penonton yang paham sejarah, ketidakakuratan detail cukup mengganggu. Di adegan pembuka, misalnya, ketidakakuratan detail terjadi pada properti dan wardrobe . Salahsatu tentara Jepang yang mengejar pejuang digambarkan memakai helm M1. Helm itu buatan Amerika Serikat, musuh Jepang di Perang Pasifik. Ketidakakuratan terjadi juga di scene eksekusi Sjauket. Sang eksekutor menggunakan pistol Luger buatan Jerman, bukan Nambu –pistol khas perwira Jepang. Sebelumnya, dua pejuang yang dikejar Jepang berlarian sambil menenteng senapan semi-otomatis M1 Garand. Padahal, senjata buatan Amerika itu baru tersebar di Indonesia seiring masuknya serdadu Belanda-NICA. Artinya, M1 Garand masuk setelah Jepang hengkang. “Seharusnya adegan pembuka itu tak perlu dihadirkan. Kesan saya seperti adegan perang-perangan amatiran,” ujar Salim Said. Lebih parah lagi, adegan terbunuhnya Sjauket itu digambarkan tak sesuai fakta sejarah, di mana dia tewas saat dikejar Jepang di dalam hutan. Faktanya, “Sjauket itu kan meninggal ditembak Jepang, ketika dia dan rombongannya hendak melucuti dan mengambil persenjataan Jepang,” jelas Rushdy. Lepas dari fakta, teknis film ini sengaja dibuat up to date . Musik dan tata suara, misalnya, sebagaimana dijelaskan produser, dibuat agak kekinian agar bisa menarik minat penonton muda. Beberapa lagu yang ditampilkan cenderung jazzy dan kadang nada rock. Sayangnya, film ini gagal menyuguhkan atmosfer Kairo di era 1947. Meski beberapa adegan syuting langsung di Kairo, berbagai perabotan kurang mendukung sensasi “jadul” film. Beberapa efek visual yang digunakan untuk mendukungnya pun masih kasar. Tak butuh orang jago kritik film untuk membedakan suasana di beberapa adegan asli atau rekaan visual. Satu keganjilan yang kocak terpancar dari scene ketika Thariq (Donny Fadhli), pengajar Indonesia di Al Azhar, memberi uang kepada Hisyam. Cangkir kopi yang diangkat Thariq tampak masih tertempel label ber- bar code . Well , sepertinya zaman itu (1947) produk-produk perabotan belum ada yang harus dicek harga di kasir dengan barcode. Mungkin sebelum syuting tim properti luput mencopotnya. Wallahu a'lam .
- Xi Jinping dan Kekuasaan Pemimpin Cina
SESI Pertama Kongres Rakyat Nasional Ke-13 ( Di shisan jie Quanguo Renda Yi ci Huiyi ) menggelar Rapat Paripurna Ketiga pada 11 Maret 2018 untuk mem- voting “Draf Amandemen Konstitusi Cina” ( Zhonghua Renmin Gonghehuo Xianfa Xiuzheng’an Cao’an ) yang disusun oleh Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional (KRN). Ramai diberitakan, rapat paripurna tersebut telah mengegolkan rancangan amandemen 21 butir Konstitusi Cina 1982 dengan memanen 2.958 suara setuju, 2 orang menolak, 3 abstain, dan 1 tidak sah.
- Menyelami Sejarah Busana Muslim
Suatu hari, aktris senior Ida Royani kedatangan lima orang pengelola Sarinah, termasuk direktris Sarinah Thamrin. Mereka menawarkan kerjasama kepada pasangan duet Benyamin Sueb itu. "Saya lihat baju dan kerudung Mbak Ida Royani bagus-bagus, fancy-fancy . Terus saya dengar juga Mbak Ida mendesain baju. Tolong dong, bisa nggak dimasukin ke Sarinah, soalnya belum ada yang jual," kata Ida Royani, pionir bisnis busana muslim Indonesia, menirukan pihak manajemen Sarinah Thamrin, kepada Historia.id . "Saya kan baru bikin buat saya saja. Saya bikinnya baru satu-satu, nggak banyak," jawab Ida. " Nggak apa-apa. Kita tunggu sampai banyak, nanti dimasukin ke tempat kita. Jadi masukinnya kita beli putus saja." Tawaran pengelola Sarinah itu menjadi titik awal Ida menggeluti bisnis busana muslim. Kala itu, Ida baru saja memutuskan berhenti menyanyi menyusul keputusannya memakai jilbab tahun 1978. Meski harus perang batin karena harus meninggalkan profesi yang dicintainya itu, Ida akhirnya menemukan profesi baru yang tak kalah dia gandrungi. "Aku sama Benyamin kan lagi populer-populernya. Tapi aku nekat saja karena suara itu aurat, jadi harus berhenti nyanyi. Perang batin itu. Tapi Allah kasih jalan dan aku memang suka desain," kata Ida. Untuk mewujudkan keinginannya membuka butik, Ida mencari penjahit untuk mengeksekusi desain bajunya. Satu demi satu desain yang ia buat rampung dikerjakan. Satu desain baju tidak dia produksi masal, tapi hanya satu dua potong. Begitu baju yang diproduksi cukup banyak, butik pertama yang menjual baju muslim akhirnya buka di Sarinah Thamrin pada awal 1980-an. Tapi, busana muslim rancangan Ida bukan tanpa cela. Kala itu busana muslim belum menjadi pilihan pakaian yang lumrah. "Yang ngatain banyak banget. Itu kok baju muslim warnanya merah, kuning, hijau, biru. Kok bajunya aneh-aneh gitu. Dipikiran orang-orang itu baju muslim harus putih," kata Ida. Ida tak gentar. Yang terpenting baginya adalah busana muslim yang menutupi aurat dan tidak ketat. Ketika mendesain busana muslim berkain tipis, Ida tak habis akal. Ia menambahkan furing , kain tambahan di bagian dalam pakaian agar tidak tembus pandang. Pertengahan 1980-an, Ida membuka butik keduanya di Pasaraya Blok M. Mall busana itu tak hanya mewah dan elit, tapi sekaligus pusat mode ibukota sebelum ada Sogo, Seibu, atau Metro. Bisnis pakaian muslim Ida berkembang. Dia kerap menggelar pameran busana di beberapa negara, mulai Malaysia hingga Rusia. "Terus setelah itu baru Anne Rufaidah, Ida Leman, itu mulai masuk Pasaraya. Anne Rufaidah juga salah satu pionir," kata Ida. Anne Rufaidah pada 1985 sudah mengekspor rancangannya ke Arab Saudi. Desain-desainnya terkenal hingga mancanegara melalui berbagai pagelaran busana, seperti di Malaysia, Aljazair, Dubai, dan India. Alhasil, popularitas busana muslim meningkat pada 1990-an. Peningkatan itu terjadi tak lepas dari makin diterimanya identitas keislaman oleh rezim Orde Baru. Setelah "pecah kongsi" dengan Benny Moerdani, Soeharto mendekat ke kalangan Islam. Hal itu, menurut Eva F. Amrullah dalam "Indonesian Muslim Fashion Styles & Designs" yang dimuat dalam ISIM Review No. 22, 2008, mengakibatkan jumlah kelompok pengajian naik pada 1990-an. Kelompok-kelompok itu seringkali dipimpin mubalighah seleb yang tentu berpenampilan modis. Selain Ida sendiri, ada Neno Warisman yang memutuskan berjilbab pada 1990-an. Di kalangan pria, ada kiai muda Abdullah Gymnastiar, Jefry al-Buchori, atau Ahmad al-Hasby yang menjadi ikon busana muslim pria. Mereka menjadi faktor penting yang menarik masyarakat menggunakan busana muslim, terutama busana muslim modis. Ida memanfaatkan betul posisi itu untuk bisnisnya. "Kebetulan aku public figure , jadi lebih cepet terkenal brand -nya daripada orang biasa. Itu keuntungan aku," kata pasangan duet Benyamin Sueb itu. Ida kemudian tak hanya membuat busana muslim untuk perempuan. Mukena, baju koko, dan baju muslim anak merupakan varian produk bisnis busana muslimnya. Ketika pasar jilbab dan busana muslim ramai, banyak pihak ikut terjun ke dalamnya. Brand-brand seperti Zoya, Rabbani, Elzatta, bahkan brand kenamaan seperti Dolce and Gabbana, DKNY, atau Zara bermunculan. Mereka tak hanya menawarkan beragam model jilbab tapi juga kemewahan dan status lewat citra mereka di masyarakat. "Ketika pasar mulai naik, orang-orang banyak yang ikut bikin baju muslim. Ketika sudah banyak yang bikin, aku tidak merasa tersaingi karena aku punya desain sendiri, karakter sendiri. Customer aku tetap ke aku. Terutama jahitan, jahitannya harus rapi," kata Ida. Kemajuan mode, adanya ikon busana muslim, dan peningkatan bisnis busana muslim menyediakan pilihan bagi para konsumen. Namun di sisi lain, menurut Wiwiek Sushartami dalam disertasinya, Representation and Beyond: Female Victims in Post-Suharto Media , perkembangan busana muslim di perkotaan Indonesia pada 1990-an menodai niat berjilbab dan menjadikan mereka korban konsumerisme.
- Meninjau Kembali Wilayah Kekuasaan Majapahit
KAKAWIN Nagarakrtagama menyebut pengaruh Kerajaan Majapahit sangat luas, meliputi hampir seluruh negara Indonesia sekarang, dari daerah di Pulau Sumatra di bagian barat, sampai ke Maluku di bagian timur. Luasnya daerah yang terpengaruh Majapahit itu dikuatkan oleh penjelajah Portugis, Tome Pires . Menurutnya, sampai kira-kira awal abad 15, pengaruh Majapahit masih menguasai hampir seluruh Nusantara. “Di masa itu Negeri Jawa sangat berkuasa karena kekuatan dan kekayaan yang dimilikinya, juga karena kerajaan ini melakukan pelayaran ke berbagai tempat yang jauh,” kata Tome Pires dalam catatan perjalanannya, Suma Oriental . Meski begitu, C.C. Berg, ahli bahasa Jawa, dalam banyak tulisannya menegaskan bahwa Majapahit tak pernah memiliki wilayah seluas Indonesia sekarang. Wilayahnya hanya Jawa Timur, Bali, dan Madura. Sementara daerah-daerah di seluruh Nusantara hanya merupakan cita-cita semata. Terlepas dari itu, menurut arkeolog Hasan Djafar, harus diakui Majapahit pada waktu itu merupakan sebuah kerajaan besar dengan basis ekonominya yang bersifat agraris semikomersial. Hubungan dengan kerajaan lain di Nusantara merupakan hubungan kerja sama regional yang saling menguntungkan. Majapahit berkepentingan memperoleh komoditas perdagangan dan daerah pemasaran untuk produk agrarisnya. Oleh karena itu, Majapahit berkewajiban melindungi daerah-daerah di Nusantara itu untuk menjaga kestabilan, khususnya di bidang sosial ekonomi. “ Nagarakrtagama menyebut daerah di Nusantara itu merupakan daerah yang dilindungi oleh Sri Maharaja Majapahit,” tulis Hasan dalam Masa Akhir Majapahit . Apalagi dengan negara-negara di Asia Tenggara. Hubungan dengan negara-negara itu lebih kepada hubungan persahabatan ( mitra satata ). Tak tercermin dalam kakawin itu kalau wilayah Nusantara dan kerajaan lain di kawasan Asia Tenggara seperti, Syanka, Ayodhyapura, Dharmmanagari, Marutma, Rajapura, Singha-nagari, Champa dan Kamboja merupakan wilayah kekuasaan atau jajahan Majapahit. “Pengaruhnya, setidaknya pengaruh kultural. Penguasa Majapahit waktu itu telah berhasil menegakkan kesatuan politik dalam suatu wilayah yang luasnya belum pernah terjadi pada masa sebelumnya,” lanjut Hasan. Majapahit sebenarnya merupakan kerajaan yang terdiri dari kesatuan negara-daerah atau provinsi. Di bawah seorang raja Majapahit, ada sejumlah penguasa yang masing-masing berkuasa di sebuah negara-daerah sebagai paduka bhattara yang biasanya kerabat raja. Jumlah negara-daerah yang berada di lingkungan Majapahit tidak selalu sama. Misalnya, berdasarkan Prasasti Waringinpitu (1447), ketika masa pemerintahan Dyah Kertawijaya, setidaknya ada 14 negara-daerah. Banyaknya negara-daerah yang disebut dalam prasasti tergantung berapa banyak kerabat raja yang punya kedudukan sebagai penguasa. Dalam prasasti, para paduka bhattara itu biasanya disebut sebagai pejabat tinggi yang mengiringi perintah raja. Berdasarkan Prasasti Waringinpitu, Prasasti Trawulan III, dan Nagarakrtagama , sejak masa keemasan Majapahit, pernah ada 21 negara-daerah yang menjadi bagian Majapahit. Ke-21 negara-daerah itu antara lain Daha, Jagaraga, Kahuripan, Tanjungpura, Pajang, Kembangjenar, Wengker, Kabalan, Tumapel, Singhapura, Matahun, Wirabhumi, Keling, Kalingapura, Pandansalas, Paguhan, Pamotan, Mataram, Lasem, Pakembangan, dan Pawawanawwan. Sayangnya, beberapa daerah itu masih ada yang belum diketahui letaknya sampai sekarang.*
- Kisah Kang Aeng dan Bung Karno
SUATU pagi di tahun 1920-an, Sukarno mengayuh sepeda tak tentu arah dan tujuan. Hingga tanpa sadar dia sudah ada di pelosok Bandung bagian selatan. Pandangannya membentur sosok petani yang tengah mencangkul sawah. Dia menghentikan sepedanya dan mendekati sang petani. Terjadilah dialog yang cukup akrab sebagaimana dikisahkan dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia . “Siapa pemilik tanah yang kau garap ini?” tanya Sukarno. “Saya, Juragan,” jawab sang petani. “Apakah kau memiliki tanah ini bersama-sama dengan orang lain?” “Oh tidak, Gan. Saya memilikinya sendiri.” “Apa kau membeli tanah ini?” “Tidak. Tanah ini diwariskan secara turun temurun dari orangtua saya.” “Bagaimana dengan sekopmu? Milikmu juga?” “Ya, Gan.” “Dan cangkul itu?” “Milik saya juga, Gan.” “Bajak?” “Juga milik saya.” “Lalu hasilnya untuk siapa?” “Untuk saya, Gan.” “Apakah hasilnya cukup untuk kebutuhanmu?” “Bagaimana mungkin sawah yang begitu sempit ini bisa cukup untuk memenuhi kebutuhan seorang istri dan empat anak?” “Tapi semua ini milikmu?” “Iya, Gan.” Sukarno terus melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang selama ini memenuhi benaknya. Pada bagian akhir pertanyaannya, dia teringat teori yang dilontarkan ahli ekonomi tentang suatu kelas yang disebut sebagai “penderita minimum”. Inikah dia? “Siapa namamu?” “Marhaen.” Simbol Ideologi Sejak bertemu dengan Marhaen, Sukarno kerap menyebut ajaran-ajarannya sebagai marhaenisme. Ide ini bertolak dari sosialisme dan keyakinan Sukarno akan penemuan kembali kepribadian rakyat Indonesia. “Marhaenisme adalah sosialisme Indonesia dalam praktek,” ujar Sukarno. Menurut jurnalis sejarah Peter A. Rohi, mengangkat nama Marhaen merupakan upaya Sukarno untuk membuat suatu simbol ideologi yang kuat dan mengakar di kalangan masyarakat Indonesia. Secara cerdas, dia tidak mengambil mentah-mentah ide-ide yang datang dari luar lalu menerapkannya, tetapi justru dia terlebih dahulu “mengindonesiakannya”. “Bung Karno itu kan penyuka simbol-simbol. Dia sangat paham untuk melawan kolonialisme diperlukan simbol-simbol yang mengakar,” ungkap Peter kepada Historia . Peter sangat yakin bahwa secara politis, pemilihan nama Marhaen sendiri tak lepas dari dramatisasi. Sebagai contoh, saat dia menelusuri kisah Marhaen ini ke selatan Bandung, nama Marhaen sendiri tak dikenal di sana. Kepada Peter, salah seorang cucu Marhaen yang masih hidup mengisahkan bahwa nama Marhaen sebetulnya hanya kreasi Bung Karno. Yang benar nama moyangnya itu adalah Aeng, bukan Marhaen. Lantas mengapa Bung Karno memutuskan untuk mengubah nama Aeng menjadi Marhaen? “Tepatnya saya tidak tahu, tapi untuk membuat simbol ideologi yang kuat, itu jelas,” ujar salah satu anggota tim riset pembuatan film dokumenter Jejak-Jejak Bung Karno tersebut. Tahun 1966, muncul pendapat yang menyebut bahwa Marhaen merupakan kependekan dari Marx, Hegel, Engels. Menurut Nazaruddin Sjamsuddin dalam PNI dan Kepolitikannya , kali pertama pendapat tersebut muncul dipicu oleh editorial surat kabar Angkatan Bersenjata yang langsung dijawab oleh Osa Maliki dari Tim Lembaga Pembinaan Marhaen. Namun, masuknya unsur marxisme dalam marhaenisme bisa jadi memang benar. Menurut sejarawan Peter Kasenda, kalau ada yang mengatakan bahwa marhaenisme adalah marxisme gaya Indonesia, itu beralasan. Sukarno sendiri kerap mengatakan orang tidak akan paham marhaenisme jika dia tidak mengerti marxisme. “Berulangkali Sukarno bilang bahwa dirinya seorang marxis dan pernah menyatakan bahwa 'marxisme adalah pembakar Sukarno punya jiwa',” ungkap Peter Kasenda dalam makalah "Sukarno, Sejarah dan Kontroversi." Terlepas dari polemik tersebut, Sukarno tetap memperhatikan nasib Marhaen alias Kang Aeng. Berbagai kunjungan dilakukan ke tempat Marhaen. Bahkan pada 1950-an, menurut Peter Rohi, Sukarno secara khusus mengundang orang yang namanya dijadikan simbol ideologi PNI (Partai Nasional Indonesia) itu ke Istana Negara. “Sayang dokumentasi pertemuan tersebut tak ada lagi di tangan keluarga Kang Aeng,” ujar Peter Rohi.*
- Membuka Bab Sejarah Jilbab
Suatu hari, aktris senior Ida Royani merasakan keganjilan ketika berbelanja di Pasar Mayestik, Jakarta Selatan. Orang-orang menatapnya dengan pandangan aneh. Tapi, pasangan duet Benyamin Sueb itu tak peduli. Dia menikmati shopping time -nya. Ida mafhum orang-orang kaget terhadap penampilannya. Hal itu membuatnya tetap enjoy ketika merasakan pengalaman serupa di sebuah acara pernikahan yang dia datangi. "Tahun 1978 itu aku pergi ke pesta kawin. Nggak ada satu pun orang pakai jilbab, cuma aku sendiri. Orang ya pada aneh ngelihatin ," ujarnya kepada Historia.id ketika ditemui di rumahnya, Cinere, Jakarta Selatan. Ida mulai memakai jilbab pada 1978 ketika banyak orang belum tahu apa itu jilbab. Keputusan itu membongkar citranya di masyarakat. Saat kerap tampil bareng Benyamin, penampilan Ida bak koboi: bawahan hotpants , baju yukensi, dan sepatu lars. Maka ketika memutuskan berjilbab, Ida berhenti menyanyi. Anak Kandung Revolusi Hingga 1970-an, jilbab –pakaian muslimah yang menutupi seluruh tubuh kecuali wajah dan tangan– belum populer di Indonesia. Kebanyakan perempuan mengenakan kerudung, kain tipis panjang penutup kepala yang disampirkan ke pundak, dengan leher masih terlihat. Selain Ibu Negara Fatmawati, istri-istri ulama mengenakan kerudung. " Kelompok Islam sejak awal ada di Indonesia sampai tahun 1970-an, kerudung yang populer," kata Samsul Maarif, peneliti di Center for Religious and Cross-Cultural Studies Universitas Gadjah Mada (CRCS UGM). Jilbab baru mulai dikenal pada 1980-an. Hal itu bermula dari pengaruh Revolusi Iran, 1979. Penyebarluasan berita kemenangan Ayatollah Khomeini yang berhasil mendirikan Republik Islam Iran mendorong rasa solidaritas dunia Islam, termasuk Indonesia. Pada 1980-an, tulis Wiwiek Sushartami dalam disertasinya di Universitas Leiden yang berjudul Representation and Beyond: Female Victims in Post Suharto Media , kelompok diskusi informal di kalangan pelajar dan mahasiswa muslim mulai berkembang dibarengi dengan penerbitan buku-buku Islam. Semangat Revolusi Iran yang anti-Barat masuk ke Indonesia dan menyebar lewat kelompok diskusi mahasiswa Islam. Hal itu mendorong para aktivis Islam menunjukkan identitas keislaman mereka, salah satunya dengan penggunaan jilbab. "Setelah Revolusi Iran, identitas Islam hadir bukan hanya merespons konteks nasional tapi internasional," kata Samsul. "Gerakan kampus mulai berkembang akibat pengaruh gerakan Islam dari Timur Tengah, khususnya Persaudaraan Islam ( Islam Brotherhood ) makin merebak tahun 1980-an. Itu yang memopulerkan model jilbab," kata Samsul. Makin populernya penggunaan jilbab membuat pemerintah, yang sedang galak terhadap Islam, melarang penggunaannya di sekolah umum lewat SK 052/C/Kep/D.82. Keputusan itu memicu protes dari para cendekiawan dan aktivis Islam. Di sisi lain, pelarangan itu justru kian mempopulerkan jilbab. "Jilbab salah satu wujud pemberontakan di era Orde Baru. Menjadi perlawanan identitas Islam di nasional juga internasional," kata Samsul. Baru pada 1991 pemerintah mengizinkan kembali penggunaan jilbab di sekolah umum. Hal itu tak bisa dilepaskan dari mendekatnya Soeharto ke kalangan Islam setelah "pecah kongsi" dengan Benny Moerdani. Jilbab Era Reformasi Pasca Reformasi, ketika pemaknaan atas identitas keislaman makin beragam dan mendapat ruang di muka publik, komersialisasi pun memasuki jilbab. Sebagai bagian dari sebuah mode, model jilbab dan pakaian muslim berkermbang pesat mulai jilbab segi empat sampai burka (pakaian muslimah bercadar). "Karena terbukanya kondisi pasca Reformasi, kehadiran jilbab menjadi politik identitas yang memfasilitasi munculnya berbagai ekspresi. Artinya, banyak kelompok punya berbagai cara mengekspresikan identitas keislamannya, mulai dari yang politis sampai untuk kesalehan, atau yang jilbabnya besar sampai cadar," lanjut Samsul. Meski masih memegang arti penting secara politis, jelas Wiwiek, wujud, praktik penggunaan, dan motif penggunaan jilbab sudah beragam. Jilbab tak lagi sebatas simbol pengabdian terhadap keyakinan beragama dan perlawanan pada suatu rezim, ia juga hadir sebagai ekspresi status kelas dan kesadaran mode. "Kalau dulu awal 1980-an yang jualan jilbab masih jarang. Di Sarinah, Thamrin baru aku. Sekarang banyak banget. Sekarang juga banyak anak muda pakai kerudung. Kalau dulu, orang pakai kerudung disangka norak, kepalanya kutuan. Wah, macam-macam," kata Ida Royani yang memelopori bisnis busana muslim.





















