Hasil pencarian
9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Gagasan Perluasan Wilayah Jakarta
Wali Kota Bogor Bima Arya melontarkan wacana memisahkan diri dari Jawa Barat dengan membentuk Provinsi Bogor Raya. Tim khusus yang dibentuk Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kota Bogor tengah melakukan kajian yang direncanakan rampung akhir tahun ini. Menurut Bima sebagaimana dikutip detik.com , setelah kajian itu selesai akan disampaikan kepada Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil –yang meminta hentikan wacana Provinsi Bogor Raya. Dalam kajian itu, Bima menyebut ada tiga opsi, yaitu perluasan wilayah, pembentukan Provinsi Bogor Raya, dan memaksimalkan koordinasi antarwilayah. Namun, Bima mengaku mendengar Bupati Bogor Ade Yasin lebih setuju dengan pembentukan Provinsi Bogor Raya. Menanggapi hal itu, Walikota Bekasi Rahmat Effendi memilih menjadi bagian dari Jakarta. Bekasi menjadi Jakarta Tenggara . Apalagi menurutnya, Jakarta pernah menawarkan agar Bekasi menjadi bagian dari wilayahnya. Begitu pula dengan Wali Kota Depok M. Idris Abdul Somad yang cenderung memilih bergabung ke Jakarta daripada Provinsi Bogor Raya. Keinginan Bekasi dan Depok menjadi bagian dari Jakarta seakan menghidupkan kembali gagasan perluasan wilayah Jakarta yang diupayakan Gubernur Mayjen TNI (KKO) Ali Sadikin (menjabat 1966-1977). Menurut Ali, gagasan meluaskan Jakarta datang dari pendahulunya. Bahkan inisiatifnya dari pemerintah pusat. Kalau tak salah, Menteri Cipta Karya dan Konstruksi David Gie Cheng (menjabat 1964-1966) yang memimpin proyek perluasan Jakarta sampai ke Ciawi, Bogor, Bekasi, dan Tangerang. Sehingga Jawa Barat dibelah dua. Sebagai orang yang berasal dari Jawa Barat, Ali keberatan dengan gagasan itu karena terlalu besar. “Saya tidak setuju dengan gagasan itu. Pak Mashudi –mantan gubernur Jawa Barat– pun tahu tentang ketidaksetujuan saya. Saya tidak bisa menerima Jawa Barat akan seperti dibagi menjadi dua provinsi. Pikiran saya hanyalah membulat-bulatkan saja, …” kata Ali dalam biografinya, Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi karya Ramadhan KH, cetakan baru dari Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977. Perluasan Jakarta versi Ali berangkat dari mengubah batas-batas wilayah. Dia merasa batas Jakarta yang dulu mesti diubah karena garis-garis batas itu tidak tepat. Dia pun menugaskan stafnya untuk mengubah batas-batas wilayah Jakarta. “Maka staf saya kemudian mengusulkan, daerah Cibinong masuk DKI, Depok masuk DKI, Bekasi masuk DKI. Garis itu yang saya ajukan waktu pertemuan dengan Gubernur Jawa Barat, Solihin G.P.,” kata Ali. Kebetulan, Mayjen TNI Solihin GP yang belum lama diangkat menjadi gubernur Jawa Barat (menjabat 1970-1975), meminta waktu bertemu Ali Sadikin. Bahkan, Ali menugaskan agar dia dijemput di perbatasan. Ali menerima Solihin di operation room Balaikota Jakarta. Di ruangan itu, ada peta yang masih bertirai. Ali membuka tirai itu dan berkata, “Mang Ihin, saya akan mendasarkan penyambutan saya pada peta ini. Karena kita orang-orang praktis, harus operasional.” Dalam peta yang dibuat staf Ali Sadikin itu tergambar sebagian Bekasi masuk Jakarta. Begitu juga sebagian dari Tangerang dan Bogor. Solihin mengerutkan wajah melihat peta itu. Ali berkata lagi, “Saya ditugaskan oleh rakyat saya untuk memenuhi kebutuhan pengembangan Jakarta. Oleh karena itu, daerah ini (saya tunjuk daerah-daerah itu), daerah ini dan ini harus masuk wilayah Jakarta. Toh Jawa Barat tidak bisa membangun. Pembangunan akan lebih cepat jika dilaksanakan oleh DKI. Mumpung Mang Ihin, putra Indonesia yang kebetulan lahir di Jawa Barat, seperti saya, yang jadi gubernur, marilah kita selesaikan ini dengan baik-baik.” Solihin berpikir dengan mengerutkan dahi. Lalu dia berkata, “Bang Ali, itu strategi yang kerdil. Saya kira Bang Ali pengatur strategi ulung yang besar. Kalau Jakarta dikembangkan seperti itu, secara strategi tidak akan membawa perkembangan yang luar biasa. “Bila memang strateginya baik,” lanjut Solihin, “mesti kita ikuti karuhun (nenek moyang) kita. Dulu Galuh itu pindah ke Pajajaran, Bogor, karena mau menyatukan komunitas di Jawa Barat dengan Jakarta. Ke utara sampai Sunda Kelapa. Dari Bogor bisa dikuasai. Ke barat, sampai Banten. Ke timur, sampai Cirebon.” Dengan demikian, Solihin mengusulkan, “satukan saja Jakarta dengan Jawa Barat. Bang Ali gubernurnya. Ibukotanya Jakarta. Bandung hanya kotamadya. Akan saya serahkan. Siapa yang bisa berkompetisi bila potensi Jawa Barat dan Jakarta menyatu. Ini baru strategi.” Namun, Solihin menegaskan, “kalau sepotong-potong seperti maunya Bang Ali, no way . Jawa Barat bisa membangun atau tidak, itu soal lain. Harus dikira-kira dong siapa gubernurnya.” Dari nada bicaranya, Ali merasa Solihin tidak setuju dengan apa yang ada di peta sembari menyindirnya. Perbedaan pendapat Ali dan Solihin sampai emosional. Temperamen keduanya sama. Ini yang Ali suka, karena Solihin berani dan mau ambil risiko –memang pemimpin yang tidak berani mengambil risiko, tidak mendapat kritik, tapi tidak berbuat apa-apa. Kata-kata tajam Ali dan Solihin terlontar bukan saja di operation room , tapi sampai di luar gedung. Orang-orang menyebutnya dua gubernur berseteru dan bermusuhan. Padahal, kata Ali, tidak begitu halnya. Orang lain tidak mengerti. Yang sebenarnya, bahkan Ali senang dengan temperamen Solihin: sama-sama tidak mau kalah, ingin maju, dan gigih. Bagi Ali, Solihin adalah sparring partner yang menyenangkan. “Banyak persamaannya dengan saya,” kata Ali, “sampai-sampai selera melihat orang cantik pun sama. Cuma dia lebih tampan dari saya.” Ali merendah padahal sama-sama tampan. Akhirnya, sekalipun tidak seperti yang diinginkan, Ali dan Solihin dapat bersepakat dalam soal garis batas, yang tadinya berkelok-kelok lalu diluruskan. Teselesaikannya batas-batas itu karena ada tekanan dari Jakarta. “Kami menyediakan biaya, ruangan, rumah, dan perkantoran untuk sekretariat, dan lain-lain. Kalau tidak begitu, tidak akan jadi-jadi,” kata Ali. Dengan adanya wacana Provinsi Bogor Raya, akankah Bekasi dan Depok bagian dari Jakarta? Kita ikuti saja perkembangannya.
- Papua di Antara Konflik Dua Negara
BEBERAPA hari terakhir ini pengguna Twitter dihebohkan dengan cuitan dari Permadi Arya alias Abu Janda yang menanggapi kasus penggerudukan asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Dalam cuitan di akun pribadinya @permadiaktivis , Abu Janda menyinggung satu ormas tertentu dan mengaitkan kasus itu dengan peristiwa kerusuhan di Manokwari, Papua Barat. “Gara2 FPI geruduk asrama Papua di Surabaya.. sekarang warga Papua marah tidak terima sampai rusuh bakar2an,” tulis Permadi. Cuitan yang telah dibagikan sebanyak lebih dari 3.000 kali itu mendapat respon yang beragam. Kebanyakan dari mereka marah dengan ucapan Permadi itu. Sampai-sampai menyebut dirinya pemecah belah bangsa. Upaya memecah bangsa nyatanya telah dilakukan sejak masa awal kemerdekaan Indonesia. Belanda menjadi dalang di balik semua itu dan lagi-lagi nama Papua terseret ke dalamnya. Papua Dipisahkan Setelah Indonesia resmi berdiri sebagai sebuah negara, batas-batas wilayah segera ditetapkan. Perhatian terhadap Papua pun tidak pernah luput. Oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) wilayah paling timur Indonesia itu ditempatkan ke dalam Provinsi Maluku, dari delapan provinsi yang dipilih (Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan). Sukarno bahkan menegaskan dalam pidato radio tanggal 23 Agustus 1945, setelah resmi menjadi kepala negara, bahwa Papua merupakan bagian dari Indonesia. Dikutip dari Documenta Historica karya O. Raliby: “Bangsaku sekalian! Di Sumatera, di Jawa, di Borneo, Sulawesi, Kepulauan Sunda Kecil, Maluku –dari Sabang sampai Merauke!” Namun kenyataannya walau telah ditetapkan sebagai wilayah Indonesia, Papua mendapat perhatian yang kurang dari pemerintah. Hal itu membuat kekuatan Belanda, melalui Menteri Jajahan H.J. van Mook, dengan mudah merangsak masuk ke wilayah itu. Mendapat bantuan dari Inggris dan Sekutu, Belanda berhasil mengupayakan penguasaan kembali Kepulauan Indonesia melalui kekuatan Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Sebelum melancarkan aksinya, mereka menunggu pasukan Sekutu membersihkan sisa-sisa tentara Jepang di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Papua. Sesudah Jepang menyerah, J.P.K. van Eechoud yang mewakili pemerintah jajahan Belanda mengangkat Kolonel R. Abdoelkadir Widjojoatmodjo menjadi Commanding Officer NICA (CONICA) yang bertugas mengawasi wilayah Papua. Di sinilah peran besar van Eechoud dimulai. Dalam tulisannya “Sejarah Irian Jaya” dimuat Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk , H.W. Bachtiar menjelaskan peranan Eechoud.Ia dipercaya pemerintah Belanda untuk memimpin usaha pemisahan Papua dari daerah-daerah lain di Indonesia. Pada 15 Juli 1946, melalui Staatsblad (Lembaran Negara), Belanda menyatakan pemisahan seluruh daerah Papua dari Karesidenan Maluku dan wilayah Indonesia secara keseluruhan. Papua membentuk pemerintahan tersendiri yang dipimpin oleh van Eechoud sebagai residen pertamanya. “Pembentukan karesidenan ini tanpa mengundang perhatian, karena diadakan dalam rangka perubahan pemerintahan. Papua dianggap sebagai satu kesatuan politik yang berdiri sendiri,” tulis Bachtiar. Bachtiar juga menyebut jika para pejuang gerakan kemerdekaan Indonesia, seperti M. Kasieppo, Lucas, dan Nicolaas Jouwe, yang semula menentang penjajahan Belanda berhasil dibujuk. Sementara pejuang lain yang tetap menentang, seperti Silas Papare, Alwi Rachman, Marcus Indey, dan Lukas Rumkoren ditangkap. Pertentangan Pertama Di tempat lain, van Mook berhasil mengumpulkan kepala-kepala daerah yang tidak dikuasai pemerintah Republik Indonesia dalam sebuah konferensi, yang dikenal sebagai Konferensi Malino. Keberadaan konferensi ini sangat menentukan nasib Papua dan daerah lain yang tergoda untuk merdeka. Sementara bagi Belanda sendiri, Konferensi Malino merupakan jalan pemecahan wilayah Indonesia yang mereka cita-citakan. “Pemecahan wilayah Indonesia memberi kemungkinan kepada pihak Belanda untuk, seperti akan terbukti kemudian, memisahkan Papua dari daerah-daerah Indonesia yang lain,” tulis Bachtiar. Setelah Konferensi Malino, van Mook kembali mengadakan pertemuan di Pangkal Pinang pada 1 Oktober 1946. Kali ini sang menteri mengundang orang-orang yang ingin bebas dari Indonesia tetapi khawatir dengan kedudukannya di dalam ketatanegaraan yang baru. Golongan Indo-Belanda misalnya, mereka takut dengan nasib mereka di negeri yang merdeka ini. Oleh karena itu mereka mengusulkan agar wilayah Papua dijadikan tempat bagi golongan mereka, dan siapapun yang tidak ingin tunduk pada pemerintahan baru, dapat hidup bebas. Mereka pun meminta pemerintah Belanda memberikan status politik khusus bagi Papua. Sehingga walau berada di wilayah Indonesia, kedudukan golongan Indo-Belanda ini tetap ada di bawah Kerajaan Belanda. Usul itupun segera mendapat perhatian dari penduduk di negeri Belanda. “Kedudukan golongan Indo-Belanda di Indonesia dijadikan alasan yang dianggap sesuai dengan perikemanusiaan dan ajaran agama untuk menghindari agar Papua terlepas dari kekuasaan Belanda dan jatuh ke tangan ‘kaum republik’ (pemerintah Indonesia) yang dianggap merugikan mereka,” tulis Koentjaraningrat dalam Irian Jaya: Membangun Masyarakat Majemuk . Satu hal menarik yang terjadi pada konferensi di Pangkal Pinang adalah sikap para peserta terhadap penduduk di Papua. Meskipun wilayah paling timur Indonesia itu menjadi persoalan utama, tetapi tidak ada satupun yang menyinggung keberadaan pribumi di sana. “Dalam mempersoalkan kedudukan daerah itu, penduduknya seakan-akan tidak ada,” tulis Bachtiar. Sebagai lanjutan dari Konferensi Malino, pada 18 Desember 1946, van Mook menyelenggarakan konferensi di Denpasar. Peserta yang hadir berasal dari wakil-wakil daerah Kalimantan dan Grote Oost (Timur Besar). Agenda utamanya adalah pengajuan pembentukan Negara Indonesia Timur. Namun dalam rancangan yang dipaparkan tidak menyebut Papua sebagai bagian dari negara baru tersebut. Pemerintah Belanda tetap menghendaki Papua sebagai wilayah yang tidak terikat dengan negara manapun, kecuali Negeri Belanda. “Meskipun para peserta konferensi dipilih oleh pemerintah Belanda, van Mook tidak dapat menghindari pertentangan pendapat yang dikemukakan sejumlah peserta,” tulis Koentjaraningrat. Para peserta beranggapan Papua, sebagai daerah terbesar di wilayah timur, akan sangat membantu pertumbuhan negara baru mereka. Ditambah, sumber daya di Papua yang melimpah dapat digunakan untuk memperbaiki keadaan keuangan Indonesia Timur. Hingga hari terakhir konferensi, Belanda tetap pada pendiriannya untuk tidak melibatkan Papua. Sementara di sisi lain kecaman dan tentangan terus berdatangan dari peserta konferensi kepada usulan pemerintah Belanda itu. Tidak ada satupun kata sepakat yang terlontar. “Pertentangan pendapat ini mewujudkan pertentangan pertama antara pihak Indonesia dan pihak Belanda mengenai kedudukan Papua, suatu pertentangan yang akan berlangsung lama,” tulis Bachtiar.
- Perang Salib Zaman Revolusi
BUNG Hatta wakil presiden sekaligus perdana menteri resah dan jengkel. Para komandan militer di Tapanuli bikin ulah. Hatta mendapat kabar tersebut dari Gubernur Sumatra, Teuku Mohammad Hasan . “Aku menerima kawat dari Gubernur Teuku Hasan di Bukit Tinggi, meminta aku datang ke sana menyelesaikan persengketaan antara Mayor Malau dan Mayor Bejo, yang sudah terjadi sebagai perang utara-selatan,” tutur Hatta dalam memoarnya Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi . Ribut-ribut di Tapanuli sebenarnya sudah terdengar sejak September 1948. Mayor Liberty Malau, komandan Brigade Banteng Negara (termasuk laskar Naga Terbang dan Legiun Penggempur) memegang kawasan utara. Di selatan, terdapat Brigade B (termasuk laskar Harimau Liar) yang dipimpin Mayor Bejo. Beberapa pentolan laskar terkemuka tergabung di kedua pasukan itu. Entah sebab apa, pasukan Bejo dan Malau saling baku tembak, gempur-menggempur, dan lucut-melucuti. Panglima Komandemen Sumatra Jenderal Mayor Suhardjo Hardjowardoyo tidak sanggup menangani. Setiba di Bukit Tinggi, Hatta mengutus Letkol Alex Kawilarang membereskan situasi Tapanuli. “Selama hampir dua bulan perang antara Bejo dan Malau itu berkecamuk dengan hebatnya,” tulis Edisaputra dalam Sumatra dalam Perang Kemerdekaan . Kawilarang Dihadang Pada November 1948, Kawilarang berangkat ke Tapanuli. Para stafnya turut mendampingi, Mayor Ibrahim Adjie dan Letnan K. Hutabarat. Sekira 15 km di sebelah selatan Sibolga, rombongan Kawilarang dicegat sekelompok pasukan “Utara”. Melihat tanda pangkat Kawilarang, mereka memberi hormat. Pasukan itu mengawal Kawilarang sampai Sibolga. “Kepada Adjie saya sebut mereka crusades , karena mereka memakai sehelai kain ( lap ) yang diikatkan di kepalanya dengan memakai tanda palang. Maklumlah, provokasi agama sudah menyebar waktu itu,” kenang Kawilarang dalam otobiografi A.E. Kawilarang untuk Sang Merah Putih . Menurut Kawilarang perang saudara di Tapanuli itu bersoal pada kekuasaan belaka. Baik pasukan Bejo dan Malau semula sama-sama datang dari Sumatra Timur. Semuanya berteman baik sebagai rekan seperjuangan dalam front Medan Area hingga agresi Belanda pertama. Setelah Perjanjian Renville, semuanya berkumpul di Tapanuli yang di kemudian hari menimbulkan gesekan. Pertikaian dimulai dengan meletusnya provokasi-provokasi antara tentara dan eks laskar. Setelah hijrah ke Tapanuli, timbul pertentangan antara pasukan yang berasal dari Tapanuli dan pasukan pendatang. Malahan sampai muncul dikotomi antara “Batak Raya” dan kelompok yang berasal dari daerah lain. Sentimen agama pun turut terbawa-bawa dan semakin memperuncing keadaan. “Saya rasa provokasi-provokasi itu datang dari avonturir politik yang menghasut beberapa komandan untuk bermusuhan terhadap pasukan lain,” kata Kawilarang. Menurut Edisaputra, isu negara Batak Raya dihembuskan oleh Kol. Tituler Mr. Abas yang hendak memisahkan diri dari Republik Indonesia. Pembagian Sektor Sebagai utusan dari pemerintah pusat, Kawilarang bergerak untuk menengahi pihak yang bertikai. Dia menemui Residen Tapanuli Ferdinand Lumbantobing meminta keterangan. Kemudian menemui Malau lalu Bejo. Semuanya dilaporkan kepada Bung Hatta dan Panglima Komandemen Sumatra yang baru Kolonel Hidayat ketika mereka tiba di Sibolga. Pagi hari 28 November 1948, Hatta, Hidayat, Kawilarang, Ferdinand Lumbantobing, dan Bejo berkumpul urun rembug. Untuk mengatasi keributan di Tapanuli, Hidayat meminta saran Kawilarang. Menurut Kawilarang bukan perkara sulit. “Bubarkan brigade-brigade dan bentuklah sektor-sektor,” kata Kawilarang yang kemudian membagi sektor berikut komandannya. Sektor I komandannya Mayor Bejo, wilayah operasi meliputi Tapanuli Selatan. Sektor II komandannya Mayor Malau, wilayah operasi Tapanuli Utara. Sektor III komandannya Mayor Selamat Ginting, wilayah operasi Dairi . Sektor IV komandannya Kapten O. Sarumpaet, wilayah operasi Sibolga. Sektor S komandannya Mayor Husein Lubis, wilayah operasi pesisir Sibolga. Tiap pasukan sektor tidak diperkenankan melangkah ke batas kecuali ada keperluan penting. Itupun tanpa membawa senjata. Selain itu, pasukan-pasukan tiap sektor ditetapkan sedemikian rupa untuk memenuhi syarat melaksanakan perang gerilya. Demikian rencana Kawilarang. Bung Hatta menyetujui gagasan Kawilarang. Mulai hari itu juga, Kawilarang diangkat sebagai Panglima Sumatra Utara. Malau dan Bejo bertugas dan bertanggung jawab kepada Kawilarang. Bejo dan Malau, via Residen Lumbantobing menerima putusan itu. Pasukan ALRI yang ada di pantai Sibolga juga tunduk kepada Kawilarang. Polisi yang ada di Sibolga untuk sementara waktu juga demikian. “Akhirnya aku ucapkan bahwa putusan yang baru diambil itu harus dijalankan segera dengan taat,” ujar Hatta. Hatta lega, masalah di Tapanuli dapat terselesaikan. Tidak lupa dia mengucapkan selamat bertugas kepada Kawilarang seraya berharap supaya dia melaksanakan tugasnya dengan baik. Setelah Bung Hatta memungkasi titahnya, maka usailah episode "perang salib" di Tapanuli.
- Kondisi Perbatasan Sunda dan Jawa
SUNDA adalah tanah para kesatria. Pun bagi para pelaut. Pelaut-pelaut Sunda begitu pemberani dan selalu siap berperang. Keduanya lebih terkenal dibandingkan kesatria dan pelaut Jawa. Demikian menurut penjelajah Portugis, Tome Pires dalam catatannya, Suma Oriental pada abad ke-16 . Dia kerap membandingkan Sunda dengan Jawa. Menurutnya orang Sunda selalu bersaing dengan orang Jawa. Begitupun orang Jawa selalu ingin bersaing dengan mereka. Dalam keseharian, orang Jawa dan Sunda tidak banyak berteman. Namun tidak pula bermusuhan. Mereka mengurus urusan masing-masing. Mereka saling berdagang. Tetapi jika bertemu di lautan sebagai bajak laut, pihak yang lebih siap akan lebih dulu menyerang. “Serangan akan selalu terjadi di Cimanuk, tak peduli betapa pun erat hubungan atau pertemanan di antara mereka,” jelas Pires. Pelabuhan Cimanuk menjadi pembatas kedua negeri itu. Sungainya membelah dan mengalir di antara wilayah Sunda dan Jawa. Karenanya, kendati sama-sama ada di Pulau Jawa, orang akan mengira dua kerajaan itu berada di pulau yang berbeda. “Siapapun yang pernah datang ke tempat ini akan melihat bahwa kedua negeri sesungguhnya berada di tanah yang sama, karena dahan terluar dari pohon itu saling bersentuhan,” jelas Pires. Di ujung sungai, ada Pelabuhan Cimanuk. Kata Pires, pelabuhan ini bukan tempat bagi jung untuk merapat, melainkan hanya tiang pelabuhan. “Demikian kabar yang disampaikan oleh orang-orang, sebagai lainnya mengiyakan,” kata Pires. Pelabuhan ini berada di bawah kekuasaan Raja Sunda. Cimanuk menjalankan perdagangan yang baik, di mana Jawa juga berdagang dengannya. Di sana ada sebuah kota yang besar dan bagus. Para kapten dan penguasa di pelabuhan ini merupakan tokoh penting. Mereka semua ditakuti dan dipatuhi oleh penduduk yang hidup di wilayahnya masing-masing. Banyak orang Moor, sebutan Pires bagi orang muslim, tinggal di perbatasan kerajaan itu. Kerajaan Sunda tak memberi izin bagi orang Moor untuk masuk ke wilayah mereka. Kecuali bagi sedikit saja dari mereka. Jika menurut Pires perbatasan Sunda-Jawa pada abad ke-16 berada di Sungai Cimanuk, yang kini mengaliri wilayah Indramayu hingga Garut, itu berbeda pada masa yang lebih tua. Wilayah Kerajaan Sunda pada masa Pires sepertinya menyempit jika dibandingkan keterangan dalam catatan perjalanan Bujangga Manik. Menurut Jacobus Noorduyn, ahli linguistik Belanda, catatan Bujangga Manik mungkin ditulis pada sekira perempat kedua abad ke-15. Tak mungkin lebih awal dari itu. Tak mungkin pula lewat dari 1511, yaitu ketika Malaka dirampas oleh orang Portugis. Pada masa itu, menurut Noorduyn, masih disebut wilayah Kerajaan Majapahit membentang bertemu batas dengan wilayah Kerajaan Sunda. Sungai di Brebes menjadi pembelahnya. Sungai itu dulu disebut Cipamali. Sekarang ia disebut Kali Pamali. “[Wilayah Majapahit] meliputi seluruh bagian yang penduduknya berbahasa Jawa di pulau itu, kecuali mungkin daerah Demak,” jelas Noorduyn. Bujangga Manik, pertapa Hindu-Sunda, melakukan pengembaraan suci dari istana Pakuan (sekarang, Bogor), melewati wilayah utara Jawa bagian barat. Dia lalu menyusuri pantai utara Jawa Tengah, Jawa Timur, hingga ke ujung Jawa bagian timur. Dari sana, dia kembali ke Sunda lewat selatan. Dalam perjalanannya, Bujangga Manik melalui perbatasan budaya Sunda dan Jawa, yaitu Sungai Cipamali. Di perbatasan kedua negara ini rupanya ada tempat yang dikeramatkan. Sebelum menyeberang ke Jawa, dia menyempatkan diri singgah di Arega Jati kemudian ke Jalatunda. Agus Aris Munandar dalam Siliwangi, Sejarah, dan Budaha Sunda Kuna menjelaskan, Arega jati mungkin merupakan suatu perbukitan atau bukit yang dinamakan Jati. Sebab arega berasal dari kata Sanskerta, Agra yang artinya Gunung. Sementara Jalatunda merupakan petirtaan atau sumber air yang disucikan. Sekarang, di dekat perbatasan Kabupaten Kuningan dan Brebes ada tiga puncak bukit yang disebut penduduk dengan Gunung Tilu. Bentuk tiga bukit berdekatan, dalam budaya Jawa kuno dan Sunda Kuno, merupakan jelmaan puncak Mahameru yang bergerigi.Sementara Arega Jati bisa berarti Gunung Sejati atau sejatinya gunung. Itu tak lain adalah simbol Gunung Meru, di mana dewa-dewa bersemayam. Catatan Bujangga Manik tak banyak membandingkan kedua negara itu, sebagaimana yang dilakukan Pires. Namun, catatan itu setidaknya memuat informasi kalau waktu itu di wilayah Majapahit banyak pusat-pusat keagamaan terkenal, tempat Bujangga Manik mengabdikan dirinya sebagai pertapa dan meninggalkan kehidupan bangsawannya di Sunda.*
- Menonton Indonesia dalam Film Berita
Pada awal kemerdekaan, ketika belum banyak media massa, pemerintah Indonesia menggunakan film berita sebagai salah satu media komunikasi. Karena dominan akan muatan agitatif dan politis, film berita sering dikatakan sebagai film propaganda. Sebelumnya, film berita juga telah diproduksi oleh pemerintah Jepang di Indonesia dan digunakan untuk propaganda militer yang diputar melalui layar tancap di desa-desa. Kemudian pasca Proklamasi 1945, kelompok Berita Film Indonesia mulai mengambil alih produksi film-film berita. Periode revolusi (1945-1949) menjadi tema utama film-film berita masa itu. Kelompok ini membuat tiga film berjudul Berita Film Indonesia No. 1-3. Produksi film berita berlanjut pasca penyerahan kedaulatan pada 1949. Perusahaan Film Negara (PFN) mulai memproduksi film berita bertajuk Gelora Indonesia , mulai 5 Januari 1951 hingga tahun 1976. Rekaman-rekaman Gelora Indonesia saat ini tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Berangkat dari hal itu, ARKIPEL Bromocorah – 7 th Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival mengadakan pameran film berita bertajuk Kultursinema #6: Gelora Indonesia di Museum Nasional yang digelar selama tujuh hari, 18-25 Agustus 2019. Acara ini bekerja sama dengan Pusat Pengembangan Perfilman Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ANRI, Perum Produksi Film Negara, dan Museum Nasional. Pameran ini menyajikan 61 edisi film berita Gelora Indonesia yang bertujuan untuk menunjukan salah satu media pemerintah pada era tersebut serta apa dan bagaimana informasinya disampaikan. Pengunjung dapat menyaksikan kembali narasi-narasi film berita yang buat sejak era Sukarno hingga Soeharto melalui enam layar proyektor serta beberapa layar LCD. "Karena keluaran pemerintah, mereka menyiarkan kira-kira, satu mungkin mereka bikin semacam laporan sebagai negara baru, apa-apa saja yang dilakukan di negara ini sekarang. Kemudian juga ada gambaran citra yang diberikan untuk membangkitkan semangat supaya punya cita-cita kolektif dan bersatu buat revolusi," kata Dini Adanurani, salah satu kurator pameran, kepada Historia . Pameran ini juga dibuat sebagai alternatif media pembelajaran sejarah yang selama ini didominasi oleh buku-buku pelajaran di sekolah. “Saya kira bakal sangat menarik dan edukatif buat masyarakat terutama anak-anak yang masih sekolah. Itu untuk bisa melihat secara langsung negara punya pesan apa dan medianya bagaimana serta bagaimana cara mereka menyampaikannya,” kata Dini. Pameran ini dikuratori oleh Mahardika Yudha, Afrian Purnama, Dini Adanurani, Luthfan Nur Rochman, Prashati Wilujeng Putri, Robby Ocktavian, dan Wahyu Budiman Dasta. Dini menyoroti konten Dunia Wanita dalam Gelora Indonesia. Melalui tajuk tersebut, Gelora Indonesia telah memberi ruang representasi khusus bagi perempuan. Hal ini berbeda dengan narasi sejarah Indonesia secara umum, terutama pada awal-awal pendiriannya, yang secara politis didominasi tokoh-tokoh laki-laki. Meski demikian, representasi perempuan dalam film berita, masih perlu dikaji lagi. Pasalnya, terutama pada Gelora Indonesia, meski orang di belakang layar adalah anonim, pada suara narator misalnya, hampir semua laki-laki. Dini hanya mendapati satu segmen dengan suara narator perempuan. Di mana dan bagaimana perempuan direpresentasikan kemudian menjadi penting untuk ditinjau. “Para perempuan di masa kebangkitan hanya diceritakan melalui mata dan mulut yang maskulin. Mereka tidak mendapat kesempatan untuk menjelaskan dirinya sendiri,” kata Dini. Berangkat dari hal itu, Dini membuat kompilasi fragmen-fragmen edisi Gelora Indonesia untuk menampilkan bias-bias narasi terhadap perempuan tersebut. Sementara itu, Afrian Purnama, membingkai ulang transisi-transisi visual yang digunakan sebagai jembatan antar rekaman peristiwa. Menurutnya, transisi membawa penonton Gelora Indonesia masuk dalam ruang di mana politik tidak tampak, tempat yang hanya berisi bentuk visual yang paling dasar; tanpa tokoh juga narasi propaganda sehingga keberadaannya mungkin bias juga dilihat untuk menempatkan penonton dalam kondisi default selama sementara waktu (kurang dari satu detik), menyelamatkan penonton dari kepungan visual dan narasi politik Gelora Indonesia . Kurator Prahasti Wilujeng Putri, menyajikan bagaimana Gelora Indonesia membingkai dan mengkoreografi massa. Dia juga menghilangkan suara narator untuk menunjukan bagaimana visual bekerja. Kurator Wahyu Budiman Dasta membahas bagaimana film berita Gelora Indonesia menampilkan narasi sepakbola dalam konten Olahraga, serta bagaimana sang narator bekerja untuk membawa pemirsa seperti menonton pertandingan aslinya. Produksi film berita Gelora Indonesia melewati dua periode pemerintahaan yakni era Sukarno dan Soeharto. Hal itu kemudian ditilik oleh Luthfan Nur Rochman melalui segmen pembangunan. Dia membandingakan bagaimana, baik Sukarno maupun Soeharto, menarasikan pembangunan. Propaganda film berita Gelora Indonesia juga dapat dilihat dari banyaknya pemberitaan mengenai kapal perang, pesawat tempur serta teknologi mutakhir pada masa itu. Hal ini menjadi perhatian Robby Ocktavian. Dia juga menunjukan bagaimana Gelora Indonesia , dengan alat rekamnya menampilkan hal-hal yang tidak dapat dilihat penonton pada satu waktu maupun kejadian yang tidak bisa diulang, seperti balap motor atau gedung runtuh.
- Abu Bakar, Gerilyawan Indonesia dari Jepang
GARUT, 13 Agustus 2019. Lelaki tua itu memandang tajam selembar foto berisi dua orang Jepang yang tengah ditawan tentara Belanda. Dahinya mengernyit. Tetiba matanya berubah sendu. Lama sekali dilihatnya kembali foto tersebut. “Ya ini dia Pak Abu Bakar, saya kenal dia sewaktu saya masih anak-anak di Desa Parentas,” ujar lelaki yang kerap dipanggil sebagai Haji Udin itu. Masih segar dalam ingatan Udin , bagaimana suatu siang Abu Bakar datang bersama sejumlah eks tentara Jepang lainnya ke Parentas (masuk dalam wilayah pegununungan di kaki Gunung Galunggung dan Gunung Dora di Kecamatan Cigalontang, Kabupaten Tasikmalaya). Mereka kemudian menempati sebidang tanah tinggi yang bernama Doragede lalu mendirikan 4 gubuk besar sebagai markas. “Saya ingat mereka kemudian bercocok tanam dan memelihara hewan ternak juga di sana,” kenang lelaki kelahiran Parentas 83 tahun lalu tersebut. Nyaris tiap senja datang, Abu Bakar turun gunung. Dengan menyandang senjata dan berselendang sarung Tjap Padi, dia memimpin anak buahnya menyusuri jalanan desa, menembus hutan lalu menyebrangi sungai-sungai untuk kemudian melakukan stelling di pinggir jalan raya Wanaraja-Garut. “Hai anak-anak! Doakan saya ya... Pokoknya kalau nanti terdengar ledakan, itu tandanya saya berhasil menghajar Belanda,” begitu Abu Bakar berkata tiap berpapasan dengan anak-anak seusia Udin di jalan. Beberapa jam usai kepergian mereka dari Parentas, selalu bunyi ledakan terdengar dari bawah. Itulah bunyi ledakan bom batok (sejenis ranjau darat berbentuk seperti batok kelapa) yang berhasil menghancurkan salah satu kendaraan militer Belanda: truk yang sedang mengangkut pasukan atau pun kendaraan lapis baja seperti tank, brancarrier dan panser. “Mereka biasanya pulang menjelang tengah malam, sambil membawa banyak rampasan senjata, peluru, pakaian atau makanan,” kenang Udin. Nama Abu Bakar tercatat dalam berbagai dokumen sejarah Perang Kemerdekaan di Indonesia (1945-1949). A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Agresi MIliter Belanda II Jilid ke-9 menyebut Abu Bakar sebagai pemimpin gerilyawan Indonesia yang cukup piawai di wilayah Garut-Tasikmalaya. Demikian pula, nama lelaki bernama asli Masharo Aoki itu pun diabadikan dalam buku Siliwangi dari Masa ke Masa terbitan Sejarah Kodam Siliwangi. Aoki disebut-sebut bergabung dengan gerakan pembebasan Indonesia sekira 1946. Menurut Basroni, putra dari Mayor S.M. Kosasih (atasan langsung dari Aoki), lelaki Jepang itu awalnya adalah tawanan perang yang didapat oleh Pasoekan Pangeran Papak (PPP) dari sebuah pertempuran di Majalaya usai Peristiwa Bandung Lautan Api pada Maret 1946. “PPP pimpinan ayah saya, waktu itu menawan Aoki bersama sekitar 40 anak buahnya,” ungkap Basroni. Eks tentara Jepang yang di dalamnya juga terdapat orang-orang Korea itu kemudian dibawa ke Wanaraja dan diperlakukan sangat baik sebagai para tawanan perang. Merasa terkesan, Aoki kemudian menyatakan kepada Mayor Kosasih untuk masuk Islam sekaligus bergabung dengan PPP. Permintaan itu diamini oleh Kosasih dengan membawa Aoki ke hadapan guru spiritualnya Raden Djajadiwangsa, untuk diislamkan. “Kakek saya lalu memberi nama baru buat Aoki yakni Abu Bakar, sahabat utama dari Nabi Muhammad Saw,” ujar Raden Ojo Soepardjo (92), salah seorang cucu dari Raden Djajadiwangsa. Maka resmilah Aoki bersama sekitar 40 anak buahnya menjadi anggota PPP. Sesuai keahlian masing-masing, Kosasih lantas menempatkan mereka sebagai instruktur militer sekaligus komandan-komandan seksi. Ada pula yang ditempatkan sebagai tenaga medis karena memiliki latarbelakang sebagai dokter tentara, seperti Senya alias Ali. “Tapi mereka menolak untuk diberi pangkat,” ungkap Letnan Dua Raden Djoeana Sasmita (Wakil Komandan PPP) dalam selembar catatan hariannya. Sejak bergabungnya eks tentara Jepang, PPP seolah menjadi hantu yang menakutkan bagi militer Belanda. Berbagai operasi penyerangan, sabotase, dan penghadangan di sekitar Wanaraja dan kota Garut kerap mereka lakukan secara sporadis dan militan. Dua orang Korea, Guk Jae- man alias Soebardjo dan Yang Chil Sung alias Komarudin menjadi tulang punggung pasukan. Jika Jae-man mengkoordinasi operasi-operasi intelijen, maka Chil Sung bergiat sebagai koordinator Kelompok Putih, sebuah grup khusus sabotase dan penghadangan. Chil Sung kerap membuat gerah militer Belanda dengan aksi-aksi jebakannya. Misalnya, dia sering terlihat sendirian menggembala kambing lalu mengarahkan salah satu ternaknya yang sudah dipasang bom ke arah kendaraan tempur Belanda. “Tak jarang jebakan bom kambing Komarudin itu menimbulkan korban yang tak sedikit di pihak Belanda,” ungkap Odjo. Namun tak ada aksi PPP yang paling monumental selain penghancuran Jembatan Cinunuk, yang menghubungkan Wanaraja-Garut pada sekitar 1947. Suatu hari tim telik sandi yang dipimpin Soebardjo memberikan informasi bahwa dalam waktu dekat militer Belanda akan menyerang Wanaraja dan menguasainya. Berdasarkan laporan itu, suatu pagi Komarudin dan tim-nya bergerak ke Jembatan Cinunuk yang menjadi penghubung Wanaraja-Garut. Mereka kemudian meledakan jembatan tersebut sehingga tidak bisa dilewati. Maka gagallah upaya militer Belanda menguasai Wanaraja . Akibat kejadian itu, militer Belanda semakin berang. Mereka berpikir keberadaan eks tentara Jepang pimpinan Abu Bakar sebagai penghalang aksi mereka menghancurkan sistem gerilya kaum Republik di Garut. Maka dibuatlah rencana operasi perburuan dengan melibatkan satu tim elite buru sergap dari Yon 3-14-RI (Regiment Infanterie), sebuah batalion Angkatan Darat Belanda yang dipimpin Letnan Kolonel P.W. van Duin.*
- Medan Prijaji, Medan Laga Tirto Adhi Soerjo
PLANG nama bangunan itu terbaca jelas. “Yayasan Pusat Kebudayaan”. Hurufnya keperakan, timbul di atas kayu cokelat. Pintu dan jendela besarnya tertutup rapat. Bangunan di Jalan Naripan No 7—9, Bandung, Jawa Barat, ini peninggalan kolonial. Langgamnya arsitektur modern 1930-an. Sekarang menjadi tempat pertunjukan seni tari, lukis, dan teater. “Bangunan ini sempat mengalami perubahan bentuk. Awalnya tidak seperti ini. Tapi saya tidak tahu bahwa bangunan ini dulunya berfungsi sebagai percetakan Medan Prijaji ,” kata Lenny Muliawati, salahsatu pengurus Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK). Buku informasi terbitan YPK berjudul Yayasan Pusat Kebudayaan Dari Masa ke Masa juga tidak memuat keterangan penggunaan bangunan ini sebagai percetakan Medan Prijaji . Buku ini langsung menginjak masa 1930-an saat bangunan ini digunakan untuk kongkow oleh kelompok Indo (anak hasil nikah orang Eropa dan orang tempatan). Bagian Medan Prijaji (MP )terlupakan. Begitu pula dengan sosok penggeraknya, Tirto Adhi Soerjo (TAS). Mungkin karena TAS sempat hilang dalam semesta sejarah Indonesia. Bahkan keturunan TAS pun mengenalnya melalui buku lebih dulu. “Baru kemudian diceritakan oleh orangtua,” kata R.M. Joko Prawoto Mulyadi alias Okky Tirto, cicit TAS dari garis istri pertama. MP merupakan pers buah karya TAS. Dalam novel Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer dan film Bumi Manusia garapan Hanung Brahmantyo, TAS menjelma sebagai Minke. Seorang putus sekolah dari STOVIA atau Sekolah Pendidikan Dokter Hindia di Batavia. Dia lebih senang dengan dunia pers dan dagang. MP terbit kali pertama pada 1 Januari 1907 dalam format mingguan. Banyak orang yakin bahwa tempat terbit awalnya di Bandung. Keterangan ini diperoleh dari Parada Harahap, pewarta tenar 1930-an. “Seorang journalist toean R.M. Tirtohadisoerjo mengemudikan s.k. Medan Prijaji di Bandoeng,” kata Parada Harahap dikutip oleh Soebagio I.N. dalam Sebelas Perintis Pers Indonesia . Pramoedya Ananta Toer, sastrawan sekaligus sosok paling berjasa dalam mengembalikan TAS ke semesta sejarah Indonesia, tidak menyebut secara gamblang tempat terbit awal MP . Baik dalam novel Jejak Langkah (bagian ketiga dari Tetralogi Buru yang mengisahkan Minke mengembangkan bisnis dan gagasan medianya) maupun Sang Pemula (biografi TAS). Mendekati Priyayi Tapi apa yang jelas dari MP jauh lebih banyak. Antara lain peran, visi, pengaruh MP selama terbit, dan warisannya setelah kandas . Muhidin M. Dahlan, penulis sekaligus arsiparis, dan Iswara Raditya, sejarawan merangkap jurnalis, menyebut peran MP berbeda dari Soenda Berita ( SB ), pers lain buatan TAS di Cianjur pada 7 Februari 1903. “Lebih dari Soenda Berita yang cenderung berperan sebagai luapan otak dan pemikiran Tirto dengan sesekali memberikan cubitan kepada aparat kolonial, Medan Prijaji lebih meresapi lakonnya sebagai medan bertarung Tirto untuk membela rakyatnya dari penindasan, dan tujuan ini tidak main-main,” tulis Muhidin dan Iswara dalam Karya-Karya Lengkap Tirto Adhi Soerjo : Pers Pergerakan dan Kebangsaan . Ada juga kesamaan SB dengan MP . Keduanya bertumpu sekuatnya pada keyakinan bahwa kemajuan bangsa dapat tercapai melalui paduan pers dan dagang. TAS mengibaratkan pers sebagai matahari dunia dan memaklumatkan dagang menjadi laku kemandirian. Keduanya saling menyokong. Dia ikhtiarkan keduanya pada tiap pers bikinannya. Gagasan TAS tentang paduan pers dan dagang kian matang seiring tempo. Ini tampak dalam pembiayaan dan pemilihan isi MP . TAS mencari modal dari kantong anak negeri. Maka dia kunjungi sejumlah priyayi dan bangsawan di pelosok negeri. Hingga terpikirlah ide membentuk Sarikat Prijaji pada 1906. Lenny Muliawati, salah satu pengurus gedung YPK Bandung Sarikat Prijaji bertujuan memperbaiki pengajaran di kalangan anak negeri. Caranya dengan menghimpun dana dari priyayi dan bangsawan. Dana itu juga untuk penerbitan media berkala milik organisasi. TAS menyeleksi priyayi dan bangsawan. Mana yang sejalan dengan gagasannya, mana yang tidak. Banyak priyayi dan bangsawan terpikat dengan gagasan, kepribadian, dan tulisan TAS di pers sebelum SB dan MP . Mereka memutuskan ikut mendukung Sarikat Prijaji dan penerbitannya. Dari pembentukan Sarikat Prijaji, TAS menerima bantuan dua orang besar untuk memodali MP . Mereka adalah R.A.A Prawiradiredja, Bupati Cianjur dan Oesman Sjah, Sultan Bacan, sebuah negeri di wilayah timur Hindia. Selain dari priyayi dan bangsawan, TAS memperoleh dana dari calon pelanggan MP . Target pasar MP jelas : kalangan terdidik, priyayi, dan bangsawan. Mereka berpenghasilan lebih dari cukup untuk hidup enak selama satu bulan. Jika mereka ingin berlangganan MP , TAS mensyaratkan pembayaran di muka untuk masa per kwartal, semester, atau tahun. Kebijakan TAS tadi tak lazim dalam segi niaga pers sezaman di Hindia Belanda. “Pada masanya, dalam kehidupan perniagaan Pribumi, langkah yang diambilnya dengan berani itu merupakan sesuatu yang sama sekali baru,” ungkap Pramoedya dalam Sang Pemula . Dengan begitu, selesailah urusan pembiayaan. Berikutnya mengenai isi MP . TAS telah punya gambarannya sebelum MP terbit. “Memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, mencari pekerjaan bagi mereka yang membutuhkan pekerjaan di Betawi, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi atau mengorganisasi diri, membangunkan bangsanya, dan memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan,” catat Pram dalam Sang Pemula . Gambaran itu benar-benar diejawantahkan oleh TAS dalam tiap terbitan MP . Karena itu, MP telah menarik garis pemisah dari pers semasa. Ia tak hanya pers niaga, melainkan juga pers kebangsaan. Bangsa Terprentah Melalui MP, TAS mengajukan konsep kebangsaan. Itu terpampang jelas dalam jargon halaman muka MP terbitan tahun-tahun awal. “Swara oentoeq sekalian radja-radja, bangsawan asali, bangsawan fikiran, prijaji-prijaji, dan kaoem moeda dari bangsa priboemi serta bangsa jang dipersamahken dengannja di seloeroeh Hindia Olanda”. Jargon ini bersulih bunyi kala MP mulai terbit harian sejak 1910. Masa itu pula percetakannya mengambil lokasi di Jalan Naripan, Bandung. TAS menambahkan konsep ‘bangsa jang terprentah’ dalam jargon MP . Maksudnya, “Bahwa suatu bangsa tidak didasarkan pada status sosial, kasta, terlebih ras,” terang Okky Tirto. Bangsa harus didasarkan pada satu simpul bersama yang melampaui hal-hal termaksud. TAS melihat ikatan tersebut berupa keadaan terperintah oleh kolonialisme asing dan feodalisme lokal. ‘Terprentah’, inilah simpul pertemuan beragam golongan di Hindia. Tidak peduli dia Bumiputera, Indo, Tionghoa, Arab, saudagar, priyayi, atau jelata. “Selama dia memiliki perhatian dan keterlibatan bersama dengan orang-orang ‘terprentah’, selama itulah dia termasuk bangsa kami,” lanjut Okky. Dari kredo itulah MP bergerak membela golongan ‘Terprentah’. Mulai penjual ikan pindang dan kering di pasar, bupati, sultan-sultan di luar Jawa dan Madura, sampai pejuang Aceh terbuang di Bandung. TAS sangat menikmati masa-masa ini. Dia begitu leluasa menggebuk kuasa kolonial dan feodal tersebab punya cukup pengaruh di pucuk pemerintahan dan massa arus bawah. TAS membangun hubungan baik dengan Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz (1904—1909). Dia angkat topi untuk kebijakan van Heutsz. “Karena ketegasannya dalam melakukan perombakan besar dalam kebijaksanaan pemerintahan, pembukaan mata pencarian baru bagi penduduk, kekerasan dan ketanganbesiannya dalam mempersatukan seluruh Hindia,” catat Pramoedya. Sri Baginda Ratu Belanda mengetahui perubahan kebijakan di negeri koloni. Dia mempercayakan semua halnya kepada van Heutsz. Berbekal kepercayaan inilah van Heutsz juga merombak cara menyensor pers. Dari sensor preventif ke sensor represif. Ini membuat hidup pers lebih bebas. Halaman muka Medan Prijaji. Terpampang slogan bangsa jang terprentah. Foto: Wikipedia TAS pernah lolos dari sengketa dengan pejabat pemerintah Hindia Belanda semasa van Heutsz berkuasa. Kasus itu berpangkal dari tulisan TAS tentang penyelewengan wewenang pejabat Eropa dan anak negeri. Pejabat termaksud merasa terhina dan mengadukan TAS ke pengadilan atas delik umpatan. Untuk kasus ini, warga desa pun turut menjadi pembela TAS dan MP. Mereka semua sebarisan, melawan laku lancung pejabat pemerintah. Dalam masa pemerintahan van Heutsz pula MP bisa tumbuh dan menyebar luas dengan kritik tajamnya terhadap ketidakberesan pemerintahan. Badan hukum, kantor cabang, dan percetakan MP berdiri di sejumlah wilayah : Buitenzorg (Bogor), Batavia, Bandung, Jawa Tengah, dan Negeri Belanda. Tirasnya sempat mencapai 2.000 eksemplar. Cukup besar untuk pers semasa. Sebagai bentuk terimakasih kepada sikap longgar Sri Baginda Ratu dan van Heutsz, TAS menulis seperti berikut di MP Tahun III, 1909. “Saya akan memanah hingga mati pengrusak-pengrusak kepercayaan Sri Baginda Ratu.” Pailit dan Dibuang ke Ambon Tapi kekuasaan tidak pernah abadi. Masa van Heutzs berakhir. Dan TAS ternyata tak pernah menyadari ikhtiarnya menuai dua hal berlawanan : buah simpati sekaligus benih permusuhan. Pada masa setelah van Heutsz, benih-benih dendam dan perlawanan balik pejabat kolonial dan feodal tumbuh lebih cepat dan besar daripada MP . Pertumbuhannya turut dipupuk oleh Gubernur Jenderal A.W.F Idenburgh (1909—1916). Dia lebih keras kepada pers. Kloplah formasi ini. Pertama-tama, mereka melepaskan anak panah balasan ke arah TAS. TAS mengalami pembuangan selama dua bulan ke Teluk Betung, Lampung, pada 18 Maret 1910. “Saya telah dibuang karena mengusik kelakuan seorang aspirant controleur (calon pengawas atau pejabat Hindia Belanda-Red.)dengan menggunakan kalimat menghinakan,” kata Tirto, seperti dikutip oleh Muhidin dan Iswara. Kasus ini pada masa van Heutsz sebenarnya sudah masuk peti es, tetapi dibuka lagi pada masa Gubernur Jenderal Idenburgh. Anak panah berikutnya melesat ke MP pada 1911. Tertancap tepat sasaran ke jantung MP, yaitu organ finansialnya. Mereka kelimpungan setelah banyak perusahaan besar batal pasang iklan di MP . Beberapa priyayi dan bangsawan sengaja menunggak pembayaran uang langganan MP. Sirkulasi uang perusahaan penaung MP pun terhambat. Bagian dalam percetakan Medan Prijaji sudah berubah. Pers ini tutup buku pada 22 Agustus 1912. (Foto: Fernando Randy/Historia) Keuangan perusahaanmenipis sehingga terpaksa berutang. Sedikit-sedikit, lalu menjadi bukit. MP tak sanggup membayarnya. Terbitan MP pun terhenti sejak Januari 1912. Pengadilan lalu memutus perusahaan penaung MP telah pailit. Kantor cabang MP di beberapa wilayah dan percetakannya disita. MP habis riwayat pada 22 Agustus 1912. Bagaimana nasib TAS? Dia turut terseret gugatan pengadilan lantaran perkara tunggakan utang. Hukumannya lagi-lagi pembuangan. Dia berangkat ke pembuangannya di Ambon pada akhir 1913. “Semua yang telah dibangunnya runtuh. Juga nama baiknya,” tulis Pram. Bahkan percetakan MP di Jalan Naripan, Bandung, pun tak kelihatan lagi. Berganti bangunan baru. Tapi Pram mengingatkan bahwa sejatinya TAS dan MP masih bersemayam. “Yang tinggal hidup adalah amal dan semangatnya.”
- Kisah Tengkorak Bersin
KETIKA berpangkat kapten, Soegih Arto ditugaskan untuk memimpin Batalyon 22 Brigade XIII Divisi Siliwangi. Wilayah wewenangnya meliputi Cililin, Gunung Halu dan sebagian Cianjur (Ciranjang). Di Cililin, Yon 22 berhadapan langsung dengan KST (Kors Pasukan Khusus) yang bermarkas di Batujajar (sekarang menjadi pusat pendidikan latihan Kopassus). Begitu militer Belanda melancarkan aksi polisional ke-1 (dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai aksi Agresi Militer Belanda I) pada Juli-Agustus 1947, Yon 22 terdesak sampai ke pedalaman. Tentu saja situasi tersebut memutlakan mereka untuk melakukan perang gerilya terhadap kedudukan pasukan Belanda. “Kami jadinya sering melakukan patroli dan berbagai penghadangan terhadap konvoi mereka di sepanjang jalan raya,” ujar Soegih Arto dalam Saya Menulis Anda Membaca (Sanul Daca), Pengalaman Pribadi Letjen (Purn) Soegih Arto . Suatu hari sepulang dari patroli, satu seksi pasukan Yon 22 kemalaman di jalan. Terpaksalah mereka harus menginap di satu lapangan kosong bekas kuburan. Pasukan yang kelelahan itu, setelah mengatur giliran jaga sebagian besar langsung "terkapar". Saat mau tidur inilah, seorang prajurit bernama Holil menemukan tengkorak manusia di salah satu sudut lapangan. Pagi-pagi sekali, seluruh seksi telah dibuat panik karena mendengar suara orang berteriak-teriak histeris. Ketika disambangi nampak Holil sedang memegang tengkorak tersebut sambil menjerit-jerit. Setelah ditenangkan, dia baru bisa menceritakan mengapa dia begitu ketakutan. “Secara iseng, begitu bangun dia menggelitiki hidung tengkorak itu,” tulis Soegih Arto. Tanpa diduganya, tetiba tengkorak itu langsung “bersin”: Hachiiiiisss!!! Mendengar cerita itu, alih-alih menjadi takut seluruh seksi malah menyambutnya dengan tawa terbahak-bahak. Hanya Holil yang berwajah serius dan berkali-kali meyakinkan kawan-kawannya bahwa dia sedang tidak bercanda. Menanggapi cerita Holil, Soegih sendiri hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Di lain kesempatan, prajurit Holil lagi-lagi membuat cerita. Namun kali ini kendati kisah itu lucu namun menjadi musibah bagi dirinya. Ceritanya saat pulang patroli rutin, pasukan Yon 22 beristirahat di bawah sebatang pohon besar. Guna mengantisipasi kedatangan musuh secara mendadak, Soegih memerintahkan Holil untuk mengawasi keadaan sekitar dari atas pohon tersebut. Entah karena lelah atau memang bawaan suasana sejuk dengan angin sepoi-sepoi, di atas pohon Holil tertidur dan dilupakan kawan-kawannnya yang begitu merasa cukup beristirahat langsung bergerak lagi menuju markas mereka di wilayah Gunung Halu. Tak terasa waktu pun berlalu. Menjelang sore, sepasukan tentara Belanda yang juga baru pulang berpatroli tiba di bawah pohon tersebut dan memutuskan untuk istirahat. Saat itulah Holil yang sedang terlelap di atas pohon tetiba terbangun dan langsung kaget begitu melihat pasukan Belanda ada di bawahnya. Begitu kagetnya, Holil lantas meluncur dan jatuh tepat di tengah-tengah pasukan Belanda tersebut. Kontan seluruh pasukan Belanda yang sedang berleha-leha itu buyar dan kabur ke segala arah. Bisa jadi mereka mengira Holil adalah hantu penunggu pohon yang marah karena mereka menempati wilayahnya tanpa permisi. Namun setelah mengetahui yang terjatuh itu adalah anggota TNI, pasukan Belanda langsung mengepung Holil dan menangkapnya. Jadilah Holil sebagai tawanan pertama dari pihak Yon 22. Lantas dari mana Soegih mendapatkan kisah lucu namun sial itu? “Saya mengetahui cerita ini dari Holil secara langsung waktu kami sama-sama menjadi penghuni Penjara Banceuy di Bandung,” kenang Soegih. Memang beberapa bulan setelah kejadian yang dialami Holil, Soegih Arto bersama beberapa anak buahnya berhasil dijebak oleh pasukan Belanda. Seperti biasa, penangkapan itu melibatkan pula mata-mata dari kalangan bumiputera sendiri yang menurut Soegih tak lain adalah orang terdekatnya sendiri. Soegih mendekam di Penjara Banceuy hingga akhir 1949, usai Belanda mengakui kedaulatan pemerintah Republik Indonesia.
- Berkunjung Lagi ke Masa Lalu
SEJUMLAH orang bergerombol, sebagian membentuk antrean di pelataran Hall B3 Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat pada Sabtu 17 Agustus 2019. Di antara antrian itu ada seorang perempuan yang terlihat sangat antusias. Terasa cukup kontras dengan orang-orang di sekitarnya. Adalah Meka Triani (29), karyawati di salah satu perusahaan swasta di Jakarta, yang mengaku telah berada di sana sejak pukul 14.00. “Agak lama sih, panas juga, tapi enggak apa-apa yang penting nanti happy ,” ucap ibu dua anak tersebut kepada Historia . Menurut Meka, sedari siang puluhan bahkan mungkin ratusan orang telah memadati area itu, menunggu gerbang hitam yang membentang di hadapan mereka terbuka. Apa gerangan yang ditunggu Meka dan orang-orang hingga mereka rela berdiri di bawah matahari yang cukup terik siang itu? Rupanya Ismaya Live bersama Generasi 90an kembali menggelar acara nostalgia untuk anak generasi tahun 90an, yakni Festival Mesin Waktu. Gelaran yang pertama kali diselenggarakan pada 2017 itu menyajikan penampilan musik, film, makanan, hingga berbagai jenis permainan yang lazim ditemukan pada era 1990 hingga 2000. Masih mengusung tema dekade 90-an, Festival Mesin Waktu 2019 memberikan konsep baru yang tentunya tidak kalah meriah dengan edisi pertamanya. Berbeda dengan sebelumnya, Festival Mesin Waktu 2019 ini terselenggara dalam suasana yang spesial karena bertepatan dengan HUT ke-74 Republik Indonesia. Panitia penyenggara pun meracik nuansa nostalgia di acara tersebut dalam balutan khas hari kemerdekaan, di antaranya upacara bendera dan perlombaan-perlombaan yang semakin meramaikan acara Festival Mesin Waktu 2019. Dalam rilisnya, pihak penyelenggara menyebut jika mereka memang telah melakukan persiapan untuk acara di Festival Mesin Waktu 2019 dengan menyediakan tiang bendera di samping kiri panggung utama dan mengundang anggota Paskibra Jakarta Selatan 2018 sebagai pasukan upacara bendera. Selain upacara bendera, pihak panitia juga mempersiapkan lomba-lomba sebagai bagian dari rangkaian HUT RI. Ada lomba makan kerupuk, lomba balap karung, lomba memindahkan kelereng, hingga lomba memasukkan pensil ke dalam botol. Para pengunjung yang hadir sangat antusias menikmati aneka lomba tersebut, utamanya anak-anak. Area Festival Mesin Waktu sendiri dibagi menjadi 5 zona, yaitu Zona Musik, Zona Nonton, Zona Museum, Zona main, dan Zona Jajan. Namun tahun ini pihak penyelenggara kembali melakukan inovasi dengan menambah dua zona baru, yakni Zona Nyaman dan Zona Karaoke. Tren Hiburan Tahun 90-an Zona Nonton disajikan dalam suasana yang sangat nyaman. Para pengunjung bisa menikmati film tanpa batasan. Mereka boleh duduk bersila, berdiri, bahkan rebahan di bean bag sekalipun. Film-film yang diputar pun merupakan tontonan yang ramai pada era 90an. Pada Festival Mesin Waktu 2019 ada empat film yang diputar, yaitu Lupus , Olga Sepatu Roda , Saras 008 , dan Keluarga Cemara . Lupus menjadi film pembuka di Zona Nonton. Karakter fiksi yang pertama kali diperkenalkan tahun 1986 dalam novel Lupus: Tangkaplah Daku Kau Kujitak ini menjadi pujaan bagi anak 90-an. Dengan permen karet yang selalu terkunyah di mulutnya, gaya hidup Lupus menjadi tren di kalangan siswa SMA kala itu. Setelah menonton Lupus , para pengunjung di Zona Nonton diajak mengenang masa-masa tahun 90-an bersama Irfan Ramli, Ruben Adrian, dan Marchella FP, penulis buku best seller “Generasi 90an”. Setelah menonton Olga Sepatu Roda (diproduksi tahun 1991), dan Saras 008 (diproduksi tahun 1998), acara utama di Zona Nonton ditutup dengan film Keluarga Cemara (produksi tahun 2019). Salah satu sinetron yang begitu laris pada era 90an ini dibuat berdasarkan cerita bersambung karya Arswendo Atmowiloto. Keluarga Cemara menjadi sinetron yang waktu penayangannya sangat panjang, terhitung sejak 6 Oktober 1996 sampai 28 Februari 2005. Hanyut dalam Kenangan Zona musik menjadi area terbesar, sekaligus tempat berdirinya panggung utama acara Festival Mesin Waktu 2019. Seluruh agenda inti dilangsungkan di Zona Musik ini. Mulai dari kuis Family 100, senam SKJ, upacara bendera, hingga puncaknya konser musik. Kuis Family 100 diadaptasi dari acara kuis asal Amerika Serikat, Family Feud dan Family Fortunes. Family 100 menjadi salah satu program kuis tersukses di Indonesia karena berhasil tayang sebanyak lebih dari 2.500 episode. Acara yang pertama kali mengudara pada 1996 itu telah diproduksi oleh banyak stasiun tv, termasuk ANTV dan Indosiar sebagai yang pertama memproduksi acara ini. Setelah acara Family 100, agenda disambung dengan Senam Kesegaran Jasmani (SKJ). Senam yang sempat diwajibkan pada era Orde Baru selama tahun 80-an dan 90-an itu biasa dilakukan hanya satu hari dalam seminggu, yakni Jumat pagi. SKJ diperkenalkan pada awal 1984, perubahan dari Senam Pagi Indonesia (SPI) pada akhir 70-an. Senam ini biasanya diiringi lagu berirama dengan gerakan yang cukup mudah diikuti. Sekira pukul 18.30, Rida Sita Dewi (RSD) naik ke atas panggung. Trio asal Bandung yang memulai karir kemusikan sejak 1994 itu membawakan 11 lagu dari 4 album yang telah mereka lahirkan. Lagu-lagu seperti ‘Masih Ada’, ‘Datanglah’, dan ‘Ketika Kau Jauh’ berhasil membawa para penonton hanyut dalam kenangan masa lalu. Setelah RSD, aksi panggung P-Project yang jenaka membawa minggu malam itu semakin meriah. Kelompok komedi asal Bandung yang dibentuk oleh sejumlah mahasiswa pada 1982 ini menampilkan musik parodi sebagai sajian panggung utama mereka. Penampilan Joe dan kawan-kawan mampu mengajak penonton untuk ikut berdendang, sambil diselingi candaan yang membawa gelak tawa di ruangan yang besar itu. Glenn Fredly membuka penampilannya dalam balutan kemerdekaan yang sangat kental. Ia masuk dengan membawa bendera Merah Putih sambil diiringi lagu ‘Zamrud Khatulistiwa’ karya Chrisye. Memulai karir musik tahun 1995, Glenn pernah dikenal sebagai penyanyi R&B Soul dengan lagu hitsnya ‘Kau’ dan ‘Cukup Sudah’. Dengan penampilan dan suaranya yang khas, lagi-lagi Glenn selalu dapat menghanyutkan para penonton dalam suasana sendu. Penampilan malam itu ditutup Glenn dengan salah satu hits andalannya, ‘Kasih Putih’. Permainan Masa Lalu Selain penampilan musik, para pengunjung Festival Mesin Waktu 2019 juga dimanjakan dengan permainan-permainan yang ada di Zona Main. Console Game menjadi sajian utama di zona permainan digital ini. Para pengunjung dibuat anteng memainkan permainan dari kaset-kaset yang disediakan. Beberapa buah Console Game merek SEGA dan PlayStation disiapkan untuk membunuh kebosanan para pengunjung di sana. SEGA pertama kali diperkenalkan di Indonesia sekitar tahun 1995. Consolegame ini dengan cepat digandrungi oleh remaja-remaja kala itu. Walau harganya terbilang mahal, tetapi keberadaannya mampu menjadi opsi baru bagi permainan anak-anak tahun 90-an. Setelah SEGA, muncul PlayStation generasi 1 tahun 2000-an, yang semakin memberi keragaman bagi permainan digital di Indonesia.*
- Api di Jawa Merembet ke Papua
MAHASISWA Papua di Surabaya diteriaki kata "monyet" karena dituding melecehkan bendera Merah Putih. Umpatan tersebut dilontarkan seorang oknum TNI di depan asrama mahasiswa Papua dan terekam dalam video yang kini menjadi viral. Buntutnya jadi panjang: Kantor DPRD Manokwari dibakar. Kerusuhan pun mulai menjalar ke Abepura, satu-satunya jalan menuju ke Kabupaten Jayapura. Belajar dari sejarah, kerusuhan serupa juga pernah terjadi, bahkan berujung jadi huru-hara. Pada 1996, kota Abepura mencekam. Peristiwa ini tidak dapat dilepaskan dari tokoh Papua bernama Thomas Wapai Wanggai. Siapa dia? Thomas Wanggai disebut-sebut sebagai Nelson Mandela-nya orang Papua. Lahir pada 5 Desember 1937, Thomas mendapat pendidikan tinggi bidang administrasi pemerintahan dari Okayama University dan Florida State University. Lantas dia berkidmat sebagai pengajar di Universitas Cenderawasih. Pada 18 Desember 1988, Thomas mendeklarasikan berdirinya Republik Melanesia Barat yang wilayahnya meliputi Papua. Upacara proklamasi itu dilakukan di Stadion Mandala – stadion sepakbola terbesar di Jayapura. Pemerintah Indonesia tidak tinggal diam. Thomas ditahan oleh aparat keamanan. Pengadilan Negeri Jayapura memvonis Thomas hukuman penjara selama 20 tahun. Thomas sendiri sebagaimana diberitakan Forum Keadilan, 8 April 1996 merasa geram dengan putusan hakim. Dari Lembaga Pemasyarakat Jayapura, dia kemudian dipindahkan ke penjara Cipinang, Jakarta Timur. Pada 13 Maret 1996, Thomas meninggal di penjara Cipinang secara tidak wajar. Keluarga dan kerabat curiga kalau Thomas dibunuh. Mereka menuduh Kepala Lembaga Cipinang Jakarta terlambat mengirimkan Thomas Wanggai yang sedang sakit keras ke pihak Palang Merah Internasional (ICR). “Mereka juga menuduh soal hilangnya jenazah dari lemari kamar mayat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta tanpa sepengetahuan keluarga,” tulis Decki Natalis Pigay dalam Evolusi Nasionalisme dan Sejarah Konflik Politik di Papua . Sementara itu, laporan Dennis Blair dan David Philips dalam Peace and Progress in Papua menuliskan penyebab kematian Thomas karena keracunan makanan. Tapi dugaan itu masih belum terbukti secara pasti. Pemerintah Indonesia pun memberikan keterangan yang samar. Kabar meninggalnya Thomas menyebabkan pergolakan di Papua. Pengiriman jenazah Thomas ke Jayapura pada 18 Maret 1996 disambut dengan aksi kerusuhan massa. Menurut Saurip Kadi dalam TNI-AD Dahulu, Sekarang, dan Masa Depan , aparat menolak keinginan sekelompok warga yang ingin menyemayamkan jenazah Thomas di Kampus Universitas Cendrawasih. Penolakan ini memantik kemarahan masyarakat. Kerusuhan meletus di sepanjang jalan Sentani-Abebura. Sejumlah toko dan kios di pasar Abepura habis dilalap api. Massa melemparkan bom molotov. Ada yang menyobek bendera Merah Putih serta ada pula yang menaikan bendera Bintang Kejora. Decki Pigay mencatat, 4 orang tewas dalam kerusuhan Abepura dari pihak TNI (saat itu bernama ABRI) dan pendatang. Selain itu, sebanyak 25 mobil, 15 sepeda motor, dan puluhan bangunan yang rusak. Untuk mengamankan Abepura, militer terpaksa turun tangan. Pasukan pemukul Kostrad yang beroperasi di wilayah eksplorasi Freeport didatangkan. ABRI mengerahkan kekuatan tambahan meliputi pasukan Batalion 751 Kodam Trikora, Kodam Siliwangi sebanyak 330 personel, Kopassus, dan kesatuan anti huru-hara yang didatangkan dari Makassar. Kodam Trikora yang dipimpin Kepala Staf Brigjen Joni Lumintang mengadakan pertemuan dengan 42 orang tokoh masyarakat dan pejabat setempat. Sedikitnya, 100 orang ditahan, sebanyak 20 orang terbukti sebagai dalang kerusuhan. Sejak itu setiap malam berlaku perintah tembak di tempat bila ada yang keluar di atas pukul 22.00. “Kematian misterius itu meninggalkan luka di hati bangsa Papua hingga kini,” tulis Tabloid Jubi , 27 Mei 2011.*





















