top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Manusia Pertama di Benua Amerika

    Siapa orang pertama yang tiba di Amerika? Baru-baru ini arkeolog menemukan bukti bahwa manusia sudah menginjak benua Amerika sejak 15.500-16.000 tahun yang lalu.Ilmuwan dari  Universidad Austral of Chile  yang menemukan jejak kaki berumur 15.600 tahun itu.  Seperti dilansir  Phys , jejak kaki itu ditemukan saat mengekskavasi Situs  Pilauco di Osorno, yang terletak di 820 km selatan Santiago, Chile.  Situs ini telah diteliti sejak 2007. Reuters melaporkan, jejak kaki ditemukan pada 2010 di dekat sebuah rumah modern oleh seorang mahasiswa Universidad Austral of Chile. Jejak kaki itu terkubur di bawah sedimen tanah setebal lebih dari tiga meter sehingga bisa terawetkan sampai sekarang. Paleontolog Karen Moreno dan geolog Mario Pinoperlu bertahun-tahun untuk meyakiniitu adalah jejak kaki manusia. Mereka berhati-hati karena bisa jadi itu jejak kaki hewan yang cacat.  Daily Mail melaporkan untuk yakin itu memang benar jejak kaki manusia, para peneliti membuat percobaan dengan membuat jejak kaki pada jenis tanah yang mirip dengan arah dan tekanan yang berbeda. Tes ini menggunakan tiga bentuk telapak kaki yang berbeda dengan ukuran yang mirip. Tinggi dan berat pemilik telapak kaki juga tak sama. Para ilmuwan mendapatkan umur jejak kaki manusia itu dengan penanggalan radiokarbon dari sisa-sisa tumbuhan organik yang ada di dekat temuan jejak kaki. Lewat penelitian, mereka bisa memperkirakan jejak kaki itu milik manusia bertelanjang kaki seberat 70 kg. Dia adalah Hominepes Modernus , keluarga Homo sapiens.  “Di Amerika ada jejak kaki manusia lainnya, tapi tidak ada yang berasal dari penanggalan sejauh itu,” kata Pino kepada surat kabar Osorno,  El Austral,  dikutip  Phys . Jejak kaki manusia yang ditemukan sebelumnya di situs selatan Osorno berasal dari sekira 1.000 tahun yang lalu. Selain jejak manusia, fosil lain telah banyak ditemukan di Situs Pilauco, termasuk moyang gajah dan kuda Amerika. Moreno bilang penemuan kali ini pun untuk pertama kalinya membuktikan keberadaan manusia di Amerika sejak sebelum 12.000 tahun yang lalu. “Sedikit demi sedikit di Amerika selatan kita mulai menemukan situs dengan bukti keberadaan manusia, tapi yang ini adalah yang tertua di Amerika?” ujarnya dikutip Daily Mail . Berdasarkan laman Ancient Origin ,  sebelumnya diyakini bahwa penduduk pertama benua Amerika tiba dari Siberia melalui Selat Bearing sekira 10.000 tahun yang lalu. Penemuan ini menantang gagasan bahwa manusia clovis adalah orang pertama yang menetap di benua itu. Temuan itu pun memberikan bukti adanya kolonisasi di wilayah Patagonia utara pada periode Pleistosen akhir. Jejak kaki merupakan bukti pendukung kalau wilayah di bagian paling selatan benua Amerika itu telah dijejaki menusia jauh lebih awal daripada yang diperkirakan.  Teori model migrasi pantai akhirnya dibuktikan pula oleh temuan ini. Model ini menerangkan bahwa pemukim pertama yang mendiami Amerika bermigrasi dengan mengikuti garis pantai. Mereka kemungkinan tadinya menempati Kepulauan Pasifik.

  • Menggali Budaya Astronomi Nusantara

    Masyarakat Nusantara memiliki khazanah pengetahuan keantariksaan (astronomi) berlimpah. Mereka menggunakan pengetahuan tersebut untuk kebutuhan praktis hidup kesehariannya. Orang Bugis, misalnya, terkenal piawai menggunakan pengetahuan astronomi untuk menentukan arah dalam pelayaran. Orang Jawa dan Melayu mahir menentukan kapan masa tanam dan panen melalui pengetahuan astronomi. Selain guna sosial, ada pula guna personal yang diperoleh dari pengetahuan lokal tentang astronomi. Misalnya untuk menentukan saat baik dalam pembuahan rahim.   “Jadi, semua pengetahuan yang bersumber kepada pengamatan terhadap alam itu punya kegunaan langsung,” kata Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dalam Sarasehan 50 Tahun Planetarium dan Observatorium Jakarta di Cikini, Jakarta, 27 April 2019. Hilmar melanjutkan pengetahuan astronomi untuk kebutuhan sehari-hari semacam itu seringkali tidak dianggap sebagai ilmu pengetahuan. Sebaliknya, warisan pengetahuan astronomi dari negeri Barat memperoleh tempat dalam khazanah ilmu pengetahuan. “Pengetahuan lokal pada masa kolonial itu selalu dianggap remeh. Kita ini dianggap sebagai sehimpunan manusia yang tidak saintifik. Tidak punya scientific mind . Kita tidak punya hitung-hitungan, dan seterusnya,” kata Hilmar. Keterputusan dengan Masa Lalu Anggapan remeh itu kemudian mendekam secara turun-temurun di pikiran generasi berikutnya. Mereka enggan mempelajari lagi warisan pengetahuan lokal tentang astronomi. Akibatnya generasi-generasi setelahnya menjadi terputus dengan pengetahuan lokal tentang astronomi. “Kita ini kadang-kadang merasa inferior karena yang satu sudah berkembang, punya institusi macam-macam, sudah menghasilkan begitu banyak temuan dan seterusnya, sementara kita ini belum apa-apa. Padahal kita sebetulnya punya khazanah yang cukup kaya,” ungkap Hilmar. Widya Sawitar, staf Planetarium dan Observatorium Jakarta, menegaskan pandangan Hilmar Farid. Dia mengatakan bahwa pembangunan Candi Borobudur pada abad ke-8 tidak terlepas dari pengetahuan lokal tentang astronomi. Peletakan batu pertama Candi Borobudur memperhitungkan keberadaan sebuah bintang bernama Polaris (Bintang Utara). “Jadi kalau kita mau mencari tahu bagaimana mengarahkan, atau meletakkan batu pertama candi, ternyata dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal itu merujuk kepada sebuah bintang, Polaris,” kata Widya. Keberadaan Polaris berfungsi untuk menandai arah utara. Melalui keberadaan Polaris, pekerja Borobudur dapat meneruskan tahap pembangunan berikutnya. Penelitian Widya juga memperlihatkan kekariban masyarakat Nusantara dengan pengetahuan astronomi. Widya menyebutnya sebagai budaya astronomi Nusantara. Dia mengambil contoh budaya astronomi dari khazanah Jawa.   Widya menunjukkan penamaan matahari dalam kebudayaan masyarakat Jawa di daerah Yogyakarta dan Surakarta. Dia mencatat terdapat sekira 90 nama untuk menyebut matahari. Masing-masing nama memiliki makna tersendiri, tetapi objeknya tetap sama dan satu jua. Kiri-kanan: Riser Fahdiran, Hilmar Farid, Premana W. Premadi, dan Avivah Yamani, dalam Sarasehan 50 Tahun Planetarium dan Observatorium Jakarta, 27 April 2019. (Hendaru Tri Hanggoro/Historia) Widya kemudian mempelajari Serat Centhini. Dia menemukan sejumlah nama untuk bintang. “Tidak dapat dipungkiri apa yang kita sebutkan juga ada akulturasi antara budaya Jawa dan India,” kata Widya. Nama-nama itu antara lain lintang, kartika, talilintangan, dan banyak lainnya. Dalam Pranoto Wongso , bagian dari Serat Centhini , Widya juga banyak menemukan penamaan terhadap gugus-gugus bintang, planet, dan galaksi. Salah satu gugus bintang bahkan menjadi pedoman musim. Namanya gugus Lintang Kartika. Dalam bahasa Latin terkenal sebagai Pleiades . Gugus bintang ini termasuk dalam rasi bintang Taurus. Tembang-tembang Jawa pun begitu erat kaitannya dengan astronomi. “Saya juga menemukan tembang di sini yang banyak memuat nama benda langit. Ada rasi bintang Layang-Layang, Gubug Penceng. Ada gugus bintang Cruze di sana, ada Prahu Pegat, itu planet Mars. Dalam tembang juga ada Kali sebagai simbolisasi Kali Srayu yang melambangkan galaksi Bimasakti,” kata Widya. Tak ketinggalan soal teori penciptaan alam semesta. Setiap peradaban selalu memiliki gagasan tentang asal mula penciptaan alam semesta menurut versi masing-masing. Legenda Jawa pun menyebutkan bagaimana alam semesta tercipta. Ini berkaitan dengan penciptaan tokoh panakawan bernama Semar atau Hyang Ismaya. Jalan Perdamaian Beralih ke wilayah lain di Nusantara, tersua pula budaya astronomi. Ini terangkum di dalam banyak buku-buku terkenal berbahasa Melayu seperti Bustan al-Salatin , Taj al-Salatin , dan Hikayat Bayan Budiman . Semua buku mengandung pengetahuan astronomi dan ilmu falak. Orang bisa menguak kedalaman budaya astronomi tersebut melalui karya Tatiana Denisova, "Orientation, Navigation and Seafaring in Malay Islamic Historiography from the 4th to 19th Centuries", termuat dalam buku berjudul  CASIS, UTM KL—Seminar & Workshop, The Astrolabe: Its History & Application . “Itu contoh-contoh saja bagaimana keterkaitan antara benda langit dengan budaya masyarakat di kesehariaannya. Itu contoh budaya astronomi,” kata Widya. Hilmar mengatakan kekayaan khazanah budaya dan pengetahuan lokal tentang astronomi tersebut hendaknya jangan sampai membuat orang meromantisasinya. Menurutnya sikap tersebut tidak produktif. “Orang jenis ini mengatakan bahwa kita punya peradaban yang besar di masa lalu, sudah punya teknologi canggih dan seterusnya . Dan pekerjaan yang dilakukan oleh orang seperti ini adalah menunggu." Hilmar mengatakan Indonesia punya peluang mengeksplorasi budaya dan pengetahuan lokal tentang astronomi bersama dengan astronomi modern untuk kebutuhan praktis hidup sehari-hari. Dia tidak sepakat memosisikan kearifan lokal dan sains modern secara berlawanan. “Itu menurut saya juga bukan sikap yang baik untuk kemajuan. Keduanya sebetulnya bisa sangat saling menyumbang, saling memperkuat,” ujar Hilmar. Hilmar berharap Planetarium dan Observatorium Jakarta dapat menjadi pivotal role , poros dari pengembangan dan pemanfaatan pengetahuan, dari dialog yang sehat antara astronomi modern dengan kearifan-kearifan lokal tentang astronomi yang sudah lama ada dan menyejarah.

  • Setengah Abad Planetarium dan Observatorium Jakarta

    INDONESIA mempunyai sejarah panjang dalam penyelidikan ilmiah dunia astronomi. Bermula dari pendirian observatorium Mohr di Batavia sebagai observatorium pertama di Hindia Timur pada pertengahan abad ke-18 sampai kepada kegiatan observatorium Bosscha pada 1923.

  • Memahami Trauma May

    MAY (diperankan Raihaanun) amat gembira. Dia menaiki bianglala, berayun di kora-kora, dan menonton tong setan. Seragam putih-biru masih melekat di badannya, senyum sumringah menghiasi wajahnya. Itulah senyum terakhir May. Sebelum pulang, di keruihan pasar malam itu dia diperkosa. May pulang dalam bisu. May bangun, menyetrika bajunya, lalu berkaca di depan cermin. Ia mengikat semua rambutnya ke belakang dan merapikan sisi-sisinya dengan jepit lidi. Pintu kamarnya dibuka, bapak (Lukman Sardi) sudah siap mengangkat meja ke dalam kamar May. Setelah itu mereka bekerja dalam diam, menjahit baju boneka, memasang pernak-pernik, lalu memasukkannya ke dalam mika. Rutinitas itu yang May dan bapak lakukan tiap hari selama delapan tahun. Hidup dalam senyap, bekerja dalam diam. Rutinitas jadi cara May bertahan hidup sejak peristiwa traumatik itu. Tatapan matanya kosong, seolah berusaha bertahan dengan menyaru jadi robot. Jika ingatan tentang pemerkosaan itu terlintas dalam benaknya, May akan mengiris kulit pergelangan tangannya, menghitung jumlah boneka di lemari, atau melampiaskan kekalutannya dengan lompat tali. Guncangan psikis tak hanya dialami May. Bapak yang di rumah selalu terlihat tenang dan sabar rupanya menjadikan tinju sebagai ajang katarsis. Ia meluapkan segala kemarahan dan rasa bersalahnya di atas ring sampai lawannya benar-benar KO. Tempramennya yang tinggi seringkali membawa bapak pada masalah. Rutinitas May mulai berubah setelah kehadiran seorang pesulap (Ario Bayu) yang tinggal di sebelah rumahnya. Lewat lubang sisa kebakaran, May berinteraksi dengan pesulap itu dan diajari beragam trik sambil berbagi rahasia. Gairah hidup May kembali tumbuh. Ia mulai menggerai rambutnya, mengganti model bonekanya menjadi pesulap perempuan. Ketika May main ke rumah pesulap dan melihat-lihat peralatan sulap yang aneh-aneh, tawa kecil May kembali hadir. Bergulat dengan Trauma Sejak awal film, 27 Steps of May (selanjutnya hanya ditulis May ) menyodori premis betapa tak enaknya hidup sebagai perempuan di Indonesia. May yang korban pemerkosaan menjadi representasi banyaknya pelecehan seksual di ruang publik. Dus , perlindungan hukum untuk korban boleh dikata hampir tak ada. Trauma pemerkosaan jadi tema utama yang diusung Ravi Bharwani lewat film terbarunya ini. Ravi tidak menghadirkan gambaran trauma yang penuh histeria, sebaliknya May dihadirkan dengan sangat senyap, bahkan dengan latar musik yang amat minim. Kesenyapan dalam semesta May menjadi simbol diamnya mayoritas korban kekerasan seksual hingga kini. May tidak pernah mengungkapkan pemerkosaan yang dialaminya sambil terus berusaha tegar dan melupakan. Lewat tokoh bapak, May juga menggambarkan bahwa tekanan batin tak hanya dialami korban tapi juga orang-orang di sekitarnya. Sementara, tokoh pesulap dan kurir boneka (Verdi Solaiman) ibarat support system yang dibutuhkan korban dan keluarganya. Ravi menyajikan warna berbeda dalam semesta May, bapak, dan pesulap. Dunia yang dihidupi May dalam traumanya serba polos: pakaian hanya baju terusan bermodel sama, stoking, dan sepatu putih; warna cat kamarnya berbeda dari seluruh rumah, tertata rapi namun banyak ruang kosong . Kamar May, yang dibangunnya sendiri, serupa ruang isolasi. Rumah Pesulap sebaliknya. Ia penuh warna dan keajaiban. Lubang di tembok kamar May ibarat pintu masuk ke dunia lain, yang lebih berwarna dan hidup dibanding kamarnya. Sementara, kamar bapak mirip ruangan tidak terurus: tembok retak, cat terkelupas, dan barang-barang digantung atau ditaruh sembarangan. Kamar itu mirip dengan psikologis bapak yang tak mengurus dirinya dengan baik di tengah kekalutan akan kondisi May. Meski alurnya lambat, May menawarkan ide cerita bagus tentang trauma korban pemerkosaan. Menggambarkan rutinitas memang sulit, ditambah alur lambat, sangat riskan bikin penonton bosan. Di sepertiga akhir film, emosi penonton diacak-acak menyaksikan keberanian May menyampaikan traumanya pada si pesulap. Raihaanun berakting cukup baik, berhasil menghadirkan keterasingan dan trauma May. Sayangnya, tampilan Raihaanun berseragam SMP dengan rambut kepang dua dan pita diujungnya agak mengganggu. Gambaran anak SMP polos tak harus dengan pita dan rambut kepang dua. Ada banyak cara yang lebih halus. Mewakili Korban Pemerkosaan Dalam kredit filmnya, May mendapat bantuan dari aktivis perempuan seperti Mariana Amiruddin dan Tunggal Pawestri untuk mendalami tema pemerkosaan. Rayya Makarim yang duduk sebagai penulis skenario, meramunya dengan apik. Dia berhasil menggambarkan kondisi psikis korban dan orang terdekatnya. Korban-korban kekerasan seksual seringkali diam dan mengisolasi diri lantaran takut mendapat cibiran dari masyarakat. Trauma pemerkosaan ditambah perasaan terhina dan dilecehkan yang terus dipendam membebani para penyintas. Trauma ini berlangsung bertahun-tahun dan mengganggu kehidupan si korban. Usaha-usaha untuk mendapat keadilan bagi para korban pun masih alot diperjuangkan lewat RUU Kekerasan Seksual yang belum kunjung disahkan. Belum lagi kasus-kasus kekerasan seksual yang melibatkan negara dalam sejarah Indonesia, seperti peristiwa 1965 dan Mei 1998. Dalam konflik politik besar yang melibatkan negara, tubuh perempuan seringkali dijadikan arena pertarungan kuasa. Perempuan korban 1965 mengalami beragam kekerasan seksual, mulai dari ditelanjangi dengan dalih untuk mencari tato palu arit, sampai diperkosa. Pun demikian dengan pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa menjelang reformasi 1998. Mereka dan korban-korban kekerasan seksual lain belum mendapat perlindungan dan keadilan baik dari negara maupun masyarakat. Kisah-kisah kekerasan seksual itulah yang mengilhami pembuatan 27 Steps of May. Ravi tidak berusaha untuk menggurui, tapi menunjukkan kepedihan yang dipendam. May menjadi jalan bagi para penontonnya untuk lebih berempati dan memahami luka korban kekerasan seksual.

  • Mengenang Bertolucci

    ADA yang spesial dalam gelaran Europe on Screen (EoS) tahun ini yang dihelat 18-30 April 2019. Dari beragam program yang digulirkan, ada program retrospektif berupa pemutaran tiga karya sineas legendaris Bernardo Bertolucci: The Conformist (1970), The Last Emperor (1987), dan The Dreamers (2003). Ketiga film epik itu mewakili tiga dekade, tiga negara, serta tiga bahasa berbeda. Namun, tema ketiganya tetap tak jauh dari seks dan politik, yang jadi ciri khas karya Bertolucci. Ia tak hanya menawarkan kevulgaran seksual namun juga fragmen-fragmen politis yang apik dengan kemasan seni. Diangkatnya tiga karya Bertolucci yang menonjolkan bahasa Italia, Prancis dan China dalam program ini tak lain merupakan bentuk apresiasi dan untuk mengenang sosok yang menghembuskan nafas terakhirnya pada 26 November 2018 itu. “Dengan menonton pilihan karya film dari seorang sutradara (Bertolucci) kita bisa belajar banyak. Saya pribadi sudah ingin memutar film-filmnya dari beberapa tahun terakhir ini. Kabar kematiannya beberapa bulan lalu makin menegaskan dan membulatkan tekad kami untuk mengadakan (program) restrospektif Bertolucci tahun ini,” tutur EoS Festival Co-Director Nauval Yazid kepada Historia. The Conformist yang berkisah seputar seorang polisi di era fasisme Benito Mussolini, diputar di Instituto Italiano Cultura (IIC) pada 20 April dan Kineforum pada 27 April.  Sementara, The Last Emperor yang mengangkat kisah kaisar terakhir China, ditayangkan di IIC pada 19 April dan Kineforum pada 28 April. The Dreamers, yang mengisahkan drama tiga aktivis muda di masa Kerusuhan Mei 1968 di Prancis, ditayangkan di IIC pada 23 April dan Kineforum pada 25 April. “Kenapa kami tayangkan tiga film dengan tiga bahasa berbeda, karena kami ingin menunjukkan versatility atau keluwesan Bertolucci dalam membuat film. Tiga film dari tiga dekade yang berbeda ini juga menunjukkan endurance atau ketangguhan Bertolucci sebagai sutradara. Dan dari skala produksi film, semuanya epik,” imbuhnya. Like Father, Like Son Bertolucci lahir di Parma pada 16 Maret 1941 sebagai putra sulung seorang guru Ninetta Giovanardi dan seorang penyair, sejarawan seni cum kritikus film Attilio Bertolucci. Sejak belia, ia tumbuh jadi seorang yang gemar menulis, hingga masuk Fakultas Sastra Modern Universitas Roma pada 1958. Kelak adiknya, Giuseppe Bertolucci, serta sepupunya, Giovanni Bertolucci, juga berkecimpung di perfilman. Bernardo Bertolucci memenangi Golden Globe 1988 lewat film The Last Emperor (Foto: goldelglobe.com) Sayang, pendidikan formal tak dirampungkan Bertolucci. Namun saat keluar dari kampus pada 1961, dia sudah punya mentor Pier Paolo Pasolini, yang di tahun itu juga mengajaknya menjadi sebagai asisten sutradara film Attacone . Setahun berikutnya, Bertolucci “naik kelas” dengan meracik film sendiri yang berjudul La Commare Secca . Film drama pembunuhan seorang pelacur itu terbilang sukses. Booming film-film Italia di dunia pada 1970 turut mendongkrak ketenaran Bertolucci. Pada 1972, dia merilis Last Tango in Paris yang menggandeng aktor Marlon Brando dan Maria Schneider. Lewat film yang lebih sukses ini, Bertolucci masuk nominasi Academy Award untuk kategori sutradara terbaik dan Brando sebagai nominasi aktor terbaik. Namun di sisi lain, film drama-erotis sarat adegan kekerasan seksual itu menuai kontroversi. Tidak hanya filmnya harus banyak disensor di beberapa negara, pun juga di Italia sendiri film ini membuahkan kasus hukum. Pada 1973, sebagaimana tersua dalam Censorship: A World Encyclopedia , film ini diperkarakan di Pengadilan Negeri Bologna. Mahkamah Kasasi lantas memvonis film itu mesti disita komisi sensor dan semua copy filmnya dihancurkan pada 29 Januari 1973. Bertolucci dan Brando pun dibui dua bulan. Skandal itu tak membuat sineas atheis itu berhenti berkarya. Ia comeback dengan film 1900 yang dirilis pada 1976. Film yang diramaikan para aktor sohor seperti Robert De Niro, Gérard Depardieu, hingga Burt Lancaster ini mengisahkan pergulatan para petani di Emilia-Romagna pada Perang Dunia II. Nama Bertolucci kian berkibar setelah memenangi Academy Award dan Golden Globe pada 1988 dalam kategori sutradara dan screenplay terbaik untuk film The Last Emperor . Bernardo Bertolucci saat menggarap The Last Emperor di Kota Terlarang (Foto: Twitter @TheAcademy) “Bertolucci awalnya menawarkan dua proyek film kepada pemerintah China: Man’s Hope dari novel karya (André) Malraux dan From Emperor to Citizen . Tapi pada akhirnya menyingkirkan opsi Man’s Hope karena pemerintah China keberatan terkait interpretasi novel itu terhadap Revolusi Komunis di China,” tulis Peter Lev dalam The Euro-American Cinema . Opsi yang tersisa itu lalu digarap dan diubah tajuknya berdasarkan otobiografi sang kaisar terakhir China Aisin-Gioro Puyi, menjadi The Last Emperor . Produksinya bergulir lancar lantaran pemerintah China memberi kebebasan, termasuk saat pengambilan gambar di Kota Terlarang, demi produksi film tersebut. Film itu sukses berat dan jadi puncak karier Bertolucci, yang tetap berkarya hingga 2012 lewat film terakhir berjudul Me and You . Karya-karya Bertolucci sempat diapresiasi oleh Palme d’Or, anugerah tertinggi dalam perfilman, pada Festival Film Cannes pada 2011.

  • Ahmad Yani Dimarahi Sopir

    Kolonel Ahmad Yani, Deputi II Staf Umum Angkatan Darat, ditunjuk menjadi Panglima Operasi 17 Agustus untuk memadamkan pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatra Barat pada 1958. Dia dinilai sebagai panglima yang berani, tegas, adil, dan memperhatikan anak buah. Setiap anak buahnya mencintai dan menghormatinya. Dalam tugas sehari-hari, dia merupakan contoh bagi para komandan bawahannya. “Saya dapat menyatakan penilaian ini karena sebagai dokter saya mudah mendengarkan pendapat para prajurit, baik yang berpangkat tamtama, bintara maupun perwira,” kata Soemarno Sosroatmodjo dalam memoarnya, Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya . Saat itu, Soemarno menjabat Komandan Pusat Pendidikan Kesehatan dan Kepala Biro B Direktorat Kesehatan Angkatan Darat. Dalam Operasi 17 Agustus itu, Soemarno yang menjabat Wakil Ketua Palang Merah Indonesia (PMI), mempersiapkan dan mengirimkan kesatuan-kesatuan dinas kesehatan tentara dan PMI. “Tapi sekalipun anak buahnya patuh dan taat, pernah pula Yani kena marah anak buah justru karena keberanian Yani,” kata Soemarnoo. Kejadiannya ketika sebagai Panglima Operasi 17 Agustus, Yani tiba-tiba ingin mengadakan inspeksi ke suatu tempat yang belum aman. Dia hendak berangkat dengan kendaraan jeep. Sopir memperingatkan dan bertanya apakah tidak membawa pasukan pengawal sebab jalan yang dilalui masih belum aman. Yani tidak menghiraukannya, bahkan ajudannya pun tidak diajak. Firasat sopir ternyata benar. Pada sebuah kelokkan yang menanjak dan rimbun, jeep ditembaki dari semak-semak. Jeep terjerumus ke dalam selokan, Yani dan sopir terlempar. Tembakan semakin membabi buta. Sopir itu marah-marah. Sambil mencari perlindungan dia mengomel, “Apa kata saya tadi? Kenapa kita berangkat tanpa pengawalan? Apa kita harus mati konyol?”  Untunglah, tembakan yang beruntun itu terdengar oleh pos TNI terdekat yang segera mengirimkan bantuan. Yani dan sopir itu dapat diselamatkan. Meski sudah dimarahi, Yani malah mengangkat sopir itu sebagai sopir khusus Panglima Operasi 17 Agustus. “Kejadian itu saya dengar dari Yani pribadi,” kata Soemarno, “ketika kami bertemu di Padang meninjau kesatuan-kesatuan kesehatan dan PMI.”

  • Wejangan Penguasa Buat Partai Kalah

    ADA kejutan dalam pemilihan umum (pemilu) yang baru saja kita gelar. Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang populer di kalangan generasi muda, keok. Menurut hasil hitung sejumlah lembaga survei, PSI hanya mendulang suara kurang dari 2%. Itu berarti, PSI gagal mencapai ambang batas parliamentary treeshold (4%). Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih dalam proses perhitungan menuju hasil akhir perolehan suara.  Kendati demikian, Ketua Umum PSI Grace Natalie telah mengakui dan menerima hasil kekalahan ini. “Kami telah berjuang dengan apa yang kami bisa. (Dengan kekalahan ini) kami tak akan menyalahkan siapa-siapa,” kata Grace Natalie dalam konferensi persnya. "Inilah keputusan rakyat melalui mekanisme demokrasi yang harus kami terima dan hormati.” Menanggapi kekalahan PSI , ada saja politisi lain yang sinis. Hanum Rais, putri politisi gaek Amin Rais ini misalnya. Dalam akun twitter -nya, Hanum me- retweet berita pernyataan Ketua Umum PSI Grace Natalie yang akan melanjutkan perjuangan partainya meski gagal lolos ke Senayan. Cuitan Hanum menarik untuk disimak karena menyebut PSI sebagai Partai Nasakom.      “Partai NasaKom. Bukan Nasional Komunis lho. Tapi Partai Nasib Satu Koma,” tulis Hanum dalam retweet-nya . Di masa lalu, menang atau kalah dalam pemilu adalah keniscayaan. Pada pemilu 1987, ada tiga partai yang bertarung: Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Persatuan Pembangunan. Hasilnya, Golkar menang besar dengan perolehan suara 73,11% dan meraih 299 kursi di parlemen. Sementara itu, PPP bersama PDI praktis menjadi partai gurem.  PPP memperoleh  61 kursi (15,96% suara) dan PDI 40 kursi (10,93% suara). Presiden Soeharto yang maju dari partai pemenang, Golkar tetap mengapresiasi semua pihak, termasuk partai-partai yang kalah.  “Dalam sistem Demokrasi Pancasila, dalam negara kekeluargaan kita, kita tidak berbicara tentang siapa yang kalah atau siapa yang menang. Jika kita harus berbicara tentang kemenangan dalam pemilu ini, maka yang menang adalah kita semua,” kata Presiden Soeharto menyikapi hasil pemilu 1987 dalam otobiografinya Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya yang disusun Ramadhan K.H . Menurut Soeharto, dalam pemilu 1987, semua partai berkompetisi dengan menawarkan program kerja nyata yang dikemas secara menarik dan semarak. Kontestasi yang terjadi tak kalah seru dengan adu kampanye ideologi golongan yang mengandalkan politik identitas serta rawan konflik. Meski demikian, dia tak menampik adanya penyimpangan selama proses kampanye berlangsung.  “ Benar di sana-sini masih timbul penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan kampanye. Tetapi pengalaman sangat berharga yang dapat kita tarik dari pemilu yang baru lalu adalah bahwa semua peserta pemilu telah berusaha sebaik-baiknya untuk menawarkan program-program yang terbaik dan tokoh-tokoh yang terbaik kepada bangsa kita ,” kata Soeharto . Kesan yang kurang lebih sama juga disampaikan wakil presiden terpilih, Umar Wirahadikusumah. Dia menekankan agar perasaan menang kalah dalam pemilu jangan terus berlanjut. Bagi pemenang, Umar mengingatkan tanggung jawab yang beratdalam mengatur kehidupan dan pembangunan bangsa. Dan bagi yang kalah, Umar berwejang agar berbesar hati dan meyakini pentingnya peranan serta partisipasi mereka untuk ikut bersama-sama membangun negara. “Kita harus mampu meningkatkan, memelihara dan melestarikan solidaritas nasional untuk dapat melampaui masa yang sementara memprihatinkan ini, kemudian membina masa depan bersama yang pasti akan jauh lebih cerah,” kata Umar dalam pengarahannya di depan pejabat pemerintah dan pemuka masyarakat se-Sulawesi Tenggara di Kendari dikutip Antara , 29 September 1987. Pada 1999, gantian PDI Perjuangan yang tampil sebagai partai pemenang dalam pemilu pertama di masa reformasi.  PDI Perjuangan menempati urutan pertama dan memperoleh 153 kursi parlemen (33,74% suara). Golkar (22,44% suara, 120 kursi) dan PPP (10,71 suara, 58 kursi) menempati urutan kedua dan ketiga. Pemilu yang dihelat bulan Juli 1999 itu melibatkan 48 peserta pemilu. Sebanyak 28 partai diantaranya terjungkal alias gagal mendapatkan kursi di parlemen. Hanya 6 partai yang tergolong partai pemenang pemilu, yaitu: PDI Perjuangan, Golkar, PPP, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Dalam memoarnya Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, Presiden Habibie mengatakan pemilu kali inimemungkinkan rakyat benar-benar memilih secara demokratis sebagaimana halnya pemilu 1955.  Atas hasil yang diperoleh, Habibie tak ketinggalan menyampaikan pesan kearifan. Habibie mengimbau partai yang menang hendaknya menggunakan kemenangan yang diperolehnya diabdikan untuk kepentingan rakyat. Pun demikian dengan partai yang kalah tak boleh berkecil hati. Introspeksi perlu dilakukan partai yang kalah. Meski demikian mereka tetap wajib ikut menyukseskan program reformasi untuk seluruh bangsa. “Terlepas dari komposisi perolehan suara oleh partai-partai, harus kita akui bahwa pihak yang mutlak menang dalam Pemilu 1999 ini adalah rakyat Indonesia seluruhnya,” ujar Habibie.

  • Kota 120.000 Kanal

    TERSEBUTLAH Panglima  Utbah ibn Gazwan. Usai menaklukan kota Ubullah di Persia, ia merasa ribuan anak buahnya membutuhkan  tempat bernaung untuk menghadapi musim dingin. Lantas disuratinya Khalifah Umar ibn Khattab di Medinah. Permintaan Panglima Utbah dikabulkan oleh Khalifah Umar. Maka pada 638 M, ribuan orang yang terdiri dari tentara dan rakyat sekitar bahu membahu membangun kawasan yang dilukiskan Utbah kepada Khalifah Umar sebagai “tanah subur yang dekat dengan mata air dan tempat penggembalaan.” “Orang berdatangan ke tempat itu dan membangun tempat tinggal dari buluh, dan Utbah membangun sebuah mesjid juga dari batang buluh. Kalau pasukan itu berperang mereka mencabuti bambu-bambu itu lalu diikat. Bilamana kelak kembali dari medan perang mereka bangun kembal,” tulis Muhammad Husain Haekal dalam Umar bin Khattab . Semenjak itu, Basrah menjadi tempat bertolak pasukan Arab Islam dalam beberapa ekspedisi penaklukan. Di kota garnisun Basrah, para prajurit Arab diajarkan untuk menjalani kehidupan Islami yang penuh kesederhanaan dan kewaspadaan. ”Dari sinilah berbagai tradisi yang bisa diakomodasikan dengan pandangan duniawi Qur’an diteruskan di negeri asing,” ungkap Karen Armstrong dalam Islam, A Short History . Selama pemerintahan tiga rasyidin pertama, Basrah tidak begitu populer dibanding Makkah dan Medinah. Hingga pada 657, kala kota tersebut menjadi arena peperangan yang dalam tarikh Islam dikenal sebagai Perang Unta (harb al-jamal). Itu adalah puncak perseteruan antara kubu Khalifah Ali ibn Abithalib dengan Ummu Mukminin Aisyah. “Awalnya perang itu terjadi disebabkan oleh ketidakpuasan para sahabat pimpinan Aisyah yang menganggap Khalif Ali bersikap tidak tegas terhadap para pembunuh Khalif Utsman,” tulis Joesoef Sou’yb dalam Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin. Sejarah mencatat adu nyawa antara saudara tersebutberakhir dengan kekalahan di pihak Ummul Mukminin Aisyah. Korban keseluruhan tercatat berjumlah sekitar 10.000 jiwa. Itu termasuk dua sahabat Nabi: Thulhah dan Zubair. Aisyah sendiri luput dari maut dan mendapat perlakuan hormat dari Ali. Ia lantas kembali ke Medinah dan  menghindari dunia politik hingga wafat. Usai berakhirnya massa khalifah yang empat, Basrah berkembang menjadi kota niaga dan pertanian. Tahun 670 M, Gubernur Khurasan —provinsi yang ada dibawah kendali Dinasti Umayyah— menyulap  kota militer tersebut menjadi kota pelabuhan bertaraf internasional. Sungai Shatt al-Arab yang ada di sana menjadi pintu masuk menuju Teluk Persia. Begitu pentingnya posisi Basrah bagi Kekhalifahan Bani Umayyah, hingga soal tata kota pun diperhatikan betul. Selain membangun berbagai gedung dagang dan tempat pertahanan, Bani Umayyah pun membuat 120 ribu kanal di Basrah. Itulah sebabnya beberapa sejarawan Barat kerap menyamakan Basrah dengan kota kanal di Italia: Venesia. Terbukanya jalur dari Teluk Persia, menjadikan Basrah ramai oleh lalu lalang berbagai bangsa dari  hampir seluruh mancanegara. Orang-orang Cina, Yunani, Romawi, India dan Persia, setiap waktu memenuhi bandar internasional Basrah. Selain berniaga, tak jarang mereka pun melakukan riset-riset sekaligus menjadi tenaga pengajar bagi orang-orang Arab. Dan untuk soal belajar ini, orang-orang Arab memang terkenal rajin dan ulet. “Orang-orang Arab menjadi murid-murid yang rakus dari orang-orang Yunani, Romawi, India dan Persia,”  ungkap Philip K. Hitti dalam History of the Arabs. Di Basrah, hampir semua disiplin ilmu berkembang secara pesat kala itu. Namun yang paling termasyur adalah hukum Islam dan seni. Nama-nama seperti Hasan al-Bashri, Ibn Syihab dan Al Zuhri adalah para ahli hukum yang berpengaruh saat itu di Basrah. Kisah Ali Baba dengan 40 penyamunnya juga adalah produk Basrah abad pertengahan. Ali Baba adalah seorang anak muda miskin, penemu sebuah gua tempat menyimpan harta para penyamun. Untuk memasuki gua tersebut, ada sebuah mantra yang harus diucapkan. Bunyinya: "Sesam, buka pintu Anda." Mantra itulah yang jadi terkenal ke seluruh dunia saat Hollywood meluncurkan film Ali Baba and the Forty Thieves pada 1944. Tahun 1922, para ahli menemukan kenyataan bumi Basrah dipenuhi oleh minyak. Jumlahnya sungguh fantastik: 20 milyar barel. Itu adalah 17% dari minyak bumi Irak, yang merupakan negara kedua terbesar penghasil minyak bumi di dunia. Sejak itu, Basrah menjadi rebutan banyak perusahaan kilang minyak dunia, termasuk 2 raksasa perusahaan minyak Inggris: BP Amoco dan Royal Dutch Shell. Seiring ditemukannya “emas hitam” itu,  Basrah seolah menuai kutukan. Konflik kerap terjadi di sana, bukan saja melibatkan para petualang minyak, namun juga antar penganut sekte beragama dan para penjahat biasa. Kota yang tadinya merupakan pusat pengetahuan itu, kini telah berubah menjadi salah satu kawasan paling berbahaya di dunia.

  • The Dreamers, Drama Vulgar di Tengah Prahara Politis

    GADIS bertopi baret merah khas Prancis yang sedang bersender di pagar besi gedung Cinémathèque Française itu begitu memanjakan mata dan hati Matthew (diperankan Michael Pitt). Mulanya, jejaka Amerika Serikat yang kuliah di Prancis lewat pertukaran pelajar itu begitu ragu untuk berkenalan dengan Isabelle (Eva Green), gadis itu. Namun tatapan sang gadis memecut nyalinya untuk memberanikan diri melakukannya. Adegan itu jadi momen cinta pada pandangan pertama Matthew terhadap Isabelle yang jadi prolog film The Dreamers garapan sineas legendaris asal Italia Bernardo Bertolucci. Plot kisah film bergenre drama romantis ini diiringi suasana protes yang berujung kerusuhan Mei 1968 di Prancis. Pertemuan Matthew dengan Isabelle itu pun diracik sang penulis skenario Gilbert Adair, di tengah-tengah protes mahasiswa terhadap pemecatan Direktur Cinémathèque Française Henri Langlois oleh Menteri Kebudayaan André Malraux. Dalam momen itu Matthew juga diperkenalkan Théo (Louis Garrel), saudara kembar Isabelle. Namun perkenalan itu tak bisa berlangsung lama lantaran pecah kericuhan antara para mahasiswa yang berunjuk rasa dengan polisi. Ketiganya pun memilih kabur. Perkenalan tersebut jadi bab baru dalam kehidupan Matthew. Sebagai pribadi yang polos, Matthew merasakan atmosfer berbeda saat diundang Isabelle dan Théo untuk makan malam bersama kedua orangtua mereka, George (Robin Renucci) dan istrinya (Anna Chancellor). Selepas makan malam yang sarat pembicaraan filosofis antara Matthew dan George, sang mahasiswa asing itu ditawarkan bermalam. Ilustrasi Cuplikan Isi Film 1 Keesokannya, kepolosan Matthew kian keras bertubrukan dengan atmosfer yang asing jika dibandingkan dengan kehidupannya di kampung halaman San Diego, California. Terlebih saat Matthew ditawari untuk tinggal sementara di apartemen mereka kala kedua orangtua si kembar bepergian untuk waktu lama. Matthew segera insyaf akan kebiasaan-kebiasaan asing si kembar. Salah satunya, si kembar tidur bersama tanpa sehelai pakaian ketika Matthew tak sengaja mengintip. Matthew kian merasa canggung dengan tabiat-tabiat vulgar Isabelle dan Théo. Menariknya, dalam film ini penonton diajak bernostalgia dengan film-film lawas. Pasalnya, ketiganya klop soal kegemaran akan perfilman. Penonton juga akan dibawa untuk “berkubu” saat Matthew dan Théo beberapakali berdebat soal siapa yang lebih hebat antara aktor Charlie Chaplin dan Buster Keaton, atau gitaris Eric Clapton dan Jimi Hendrix. Ketiganya bahkan nekat me-reka ulang adegan berlarian di Museum Louvre untuk mencatatkan rekor waktu yang ada di film Bande á part   (1964). Bab baru kehidupan Matthew bergulir lebih mencengangkan ketika melihat si kembar taruhan kala tebak-tebakan judul film. Saat Théo gagal menyebut film yang diadegankan Isabelle, Théo terpaksa melakoni hukumannya. Di sinilah penonton harus bersiap melihat adegan-adegan seksual yang vulgar. Théo harus bermasturbasi di depan poster Marlene Dietrich dengan disaksikan Isabelle dan Matthew. Syok Matthew memuncak saat ia dan Isabelle gagal menebak adegan yang ditirukan Théo. Sebagai hukumannya, Théo ingin menyaksikan Isabelle bersetubuh dengan Matthew. Meski mulanya menolak, Matthew akhirnya mau. Sampai di sini, adegannya hanya untuk 18 tahun ke atas. Lama-kelamaan, Matthew terbiasa dengan kelakuan-kelakuan si kembar. Matthew juga kian menyadari latarbelakang keduanya hingga jatuh cinta, tidak hanya pada Isabelle namun juga Théo. Sayangnya kelakuan vulgar ketiganya, seperti tidur pulas dalam keadaan bugil bersama, diketahui kedua orangtua si kembar yang kembali dari perjalanan jauh mereka. Isabelle insyaf bahwa orangtuanya tahu kelakuan mereka. Tak kuat hati, ia mencoba bunuh diri bersama Matthew dan Théo yang masih tertidur pulas dengan menghirup gas. Namun upaya itu urung dilakukan lantaran dikagetkan oleh lemparan batu yang memecahkan kaca apartemen mereka. Ilustrasi Cuplikan Isi Film 2 Mereka pun terbangun dan menyaksikan massa demonstran sedang ber-long march. Ketiganya memutuskan turut dalam kerumunan itu. Théo yang tertular kawan-kawannya yang lain untuk menyiapkan bom molotov, sempat ditahan Matthew yang tak ingin adanya kekerasan. Namun Théo berkeras hati. Isabelle yang tak bisa jauh dari saudara kembarnya, menolak berpihak pada Matthew. Sementara Isabelle ikut-ikutan Théo menyerang barisan polisi dengan bom molotov, Matthew pilih balik badan. Persembahan Europe on Screen Mengenang Bertolucci The Dreamers digarap Bertolucci pada 2003 berdasarkan novel semi-biopik The Holy Innocents (1988) karya Adair. Adair sendiri dijadikan Bertolucci sebagai penulis naskah setelah sang sineas berhasil membujukanya agar karyanya difilmkan. Sebelumnya, banyak sineas dan rumah produksi gagal merayu Adair menjual karyanya untuk diangkat ke layar perak. Bertolucci jelas tidak menuangkan 100 persen naskah novel karya Adair itu ke dalam filmnya yang rilis pada 10 Oktober 2003 itu. Sejumlah penyesuaian dibuatnya agar filmnya tak mendobrak etika seni. Adegan sensual homoseksual antara Matthew dan Théo, misalnya. “(Adegan) seks gay memang mulanya ada di skenario pertama, namun saya merasa itu akan melewati batas dan berlebihan. Saya bilang pada Gilbert: ‘Mohon jangan merasa dikhianati, namun ketika buku diangkat ke dalam film, segalanya menjadi konsep baru. Tapi saya merasa spirit buku itu tetap ada walau tetap harus saya jadikan gaya saya sendiri di dalam film,” ungkap Bertolucci kepada The Guardian , 5 Februari 2018. Film ini jadi salah satu karya terakhir Bertolucci yang dikenal kerap meracik film-film erotis macam Il Conformista (1970), Last Tango in Paris (1972) atau Stealing Beauty (1996). Bertolucci sendiri menghembuskan nafas terakhirnya pada 26 November 2018 di usia 77 tahun akibat kanker paru-paru. Untuk mengenang sosoknya, Europe on Screen edisi 2019 memutar tiga karyanya yang digarap di tiga negara serta tiga bahasa berbeda yang didapat dari kearsipan Pusat Kebudayaan Italia (Instituto Italiano di Cultura). The Dreamers salah satunya, diputar dua kali di dua lokasi di Jakarta, yakni IIC (23 April) dan Kineforum (25 April 2019). Sementara dua film lainnya: Il Conformista (1970) pada 20 dan 27 April dan The Last Emperor (1987) pada 19 dan 28 April 2019. Namun, The Dreamers hendaknya tidak ditonton pemirsa berusia 18 tahun ke bawah lantaran memuat banyak adegan seksual yang frontal.

  • Bukan Raden Ayu Lemah Lembut

    Kamis, bulan Sawal, hari keduapuluh tujuh, pas asar, gubernur dan para pegawai Kompeni datang ke Mangkunegaran. Kanjeng Pangeran Dipati pun pergi ke loji untuk menyambutnya. Ia membawa prajurit perempuan. Mereka mengenakan keris dengan cara Bali, yang dihiasi bordiran daun-daun emas, mengenakan ikat pinggang berbordir emas. Pakaian mereka berkilauan. Mereka yang pergi lebih dulu adalah prajurit Nyutrayu , berjalan kaki membawa busur dan panah. Kemudian prajurit Jayengesta , tidak berpakaian semestinya. Kemudian Pangeran Dipati dikawal secara resmi oleh prajurit perempuan yang tak ada bandingannya. Begitulah penulis buku harian menggambarkan para prajurit éstri dalam sebuah upacara penyambutan seorang gubernur dari pesisir timur di Pura Mangkunegaran. Ann Kumar, sejarawan Australian National University, dalam Prajurit Perempuan Jawa mencatat, buku harian ini adalah salah satu sumber paling penting tentang keberadaan korps perempuan yang berasal dari keraton Jawa. Buku harian itu ditulis seorang anggota prajurit éstri Mangkunegaran pada dasawarsa terakhir pemerintahan Mangkunegara I yang bertakhta sejak 1757-1795. Sayangnya, penulis tak menyebut namanya di buku hariannya.  Peter Carey, sejarawan asal Inggris, dalam Perempuan-Perempuan Perkasa berpendapat, keberadaan prajurit éstri di lingkungan keraton Jawa membuktikan kalau citra raden ayu yang lemah lembut dalam literatur kolonial perlu direvisi. Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, bahkan pejabat senior VOC yang terlatih secara militer mengaku keheranan atas keterampilan prajurit éstri sebagai prajurit berkuda. Salah satunya, Jan Greeve, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa yang menjabat 1787-1791. Catatannya mengonfirmasi tulisan dalam buku harian itu. Greeve menulis di buku hariannya soal kunjungan ke Surakarta pada 31 Juli 1788. Dia disambut di Loji Belanda dan di kediaman Mangkunegaran. Dia menyaksikan prajurit perempuan menembakkan salvo dengan teratur dan tepat sehingga membuatnya kagum. Mereka melakukannya sambil menembakkan senjata tangannya sebanyak tiga kali dengan sangat tepat diikuti tembakan senjata kecil lainnya yang diletakkan di samping mereka. “Keterampilan Korps Srikandi dalam menggunakan bedil bertolak belakang dengan pasukan laki-laki istana, yang terkenal kurang terlatih menggunakan senapan laras panjang dan artileri,” tulis Carey. Tak cuma di Mangkunegaran, dua dasawarsa kemudian, 30 Juli 1809, Marsekal Herman Willem Daendels yang menjabat Gubernur Jenderal pada 1808-1811, mengunjungi Yogyakarta untuk pertama kali. Dia sempat menyaksikan pertandingan atau perang-perangan 40 pasukan prajurit éstri kesayangan sultan di alun-alun selatan. Menurut Babad Pakualam , Sang Marsekal, seorang veteran Perang Revolusi Perancis dan Perang Napoleon, mengungkapkan kekagumannya. Betapa perempuan sanggup menunggang kuda sambil menggunakan bedil dengan begitu tangkasnya. “Orang pun bertanya-tanya, apakah Sang Gubernur Jenderal pemuja kejantanan itu sadar bahwa perempuan wirayuda itu bukan sekadar pamer, melainkan memiliki kemampuan tempur hebat,” ujar Carey. Seragam resmi prajurit éstri  tak dibedakan dengan pakaian bangsawan laki-laki Jawa ketika bertempur, yaitu berupa pakaian prajuritan. “Pada awal Perang Jawa, beberapa jasad pasukan mantan prajurit éstri yang bergabung dengan Diponegoro ditemukan di medan perang dalam pakaian lengkap prajuritan," tulis Carey. Di luar keprajuritan pun banyak cerita perempuan-perempuan Jawa yang tak kenal takut dalam situasi perang. Contohnya, ketika Inggris menyerbu Keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Perwira yang tewas dalam peristiwa itu adalah seorang letnan Skotlandia dari pasukan resimen infanteri Inggris, Lettu Hector Maclean. Dia ditikam oleh seorang putri keraton karena hendak menjadikannya pampasan perang. Lalu pada akhir Perang Jawa, ibu seorang panglima utama Diponegoro di Bagelen timur, Basah Joyosundargo, dilaporkan menolak ikut putra dan menantunya menyerah. Dia terpaksa ditembak mati oleh pasukan Belanda ketika tempat persembunyiannya di kawasan Gunung Persodo digerebek. Ada juga perempuan-perempuan yang bertindak sebagai panglima dalam Perang Jawa yang mampu berlaku kejam. Menurut Carey, dalam laporan khusus seorang Residen Yogyakarta (1831-1841), Frans Gerhardus Valck, disebutkan mereka merupakan istri pembesar Jawa. Dua di antaranya adalah Raden Ayu Yudokusumo, putri sultan pertama dan Raden Ayu Serang, mantan istri sultan kedua. Begitu juga para perempuan yang membantu menyediakan mesiu di desa-desa sebelah barat Yogyakarta. Mereka berjasa mendatangkan uang kontan dan barang berharga ke daerah-daerh peperangan. Pun mereka yang yang ditemukan tewas mengenakan seragam tempur dalam pengepungan di Yogyakarta pada Agustus 1825. “Mereka sama sekali bukanlah para Raden Ayu yang tersipu-sipu dalam karya sastra rekaan kolonial Belanda akhir abad ke-19 dan mereka berlaku sebagai Srikandi tatkala Indonesia mempertahankan kemerdekaannya pada pertengahan abad ke-20,” jelas Carey.

  • Nasib Prajurit Perempuan

    “Perhatian! Penulis adalah seorang penulis dan prajurit perempuan yang menyelesaikan cerita Babad Tutur pada Bulan Siam, hari ke-22, masih dalam tahun Jimawal 1717 di Kota Surakarta.” Demikianlah pengumuman penulis buku harian yang identitasnya misterius. Dia hanya menyebut bagian dari prajurit éstri  di Pura Mangkunegaran. Dia menulis buku hariannya pada dasawarsa terakhir pemerintahan Mangkunegara I yang bertakhta sejak 1757-1795. Peter Carey, sejarawan asal Inggris, dalam  Perempuan-Perempuan Perkasa  berpendapat, keberadaan  prajurit éstri  di lingkungan keraton Jawa membuktikan kalau citra raden ayu yang lemah lembut dalam literatur kolonial perlu direvisi. Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, bahkan pejabat senior VOC yang terlatih secara militer mengaku keheranan atas keterampilan  prajurit éstri  sebagai prajurit berkuda. Namun, selain mereka terampil menggunakan senjata dan berkuda, tak banyak yang bisa diketahui lagi. Ann Kumar dalam  Prajurit Perempuan Jawa  menjelaskan, Rijklof van Goens, duta besar luar biasa VOC, yang diutus ke Keraton Mataram lima kali pada pertengahan abad ke-17 mencatat, sekira 150 perempuan muda tergabung dalam korps  prajurit éstri. Para prajurit itu tidak hanya dilatih memainkan senjata, tetapi juga menari, menyanyi, dan memainkan alat musik. Tarian Retno Tinandhing diilhami gerak tempur  prajurit éstri  hingga kini masih digelar di Keraton Surakarta. “Van Goens tidak pernah menuliskan bahwa mereka juga mendalami sastra. Namun bagi orang asing mungkin keahlian seperti itu tidak akan gampang terlihat,” tulis Ann Kumar. Di lingkungan Keraton Yogyakarta, Carey menulis, pengerahan dan pelatihan  prajurit éstri menjadi semacam obsesi Sultan kedua. Ibundanya, Ratu Ageng (1732-1803), permaisuri Sultan pertama dan ibu tiri Pangeran Diponegoro, pernah menjadi komandan pertama Korps Srikandi pada awal Keraton Yogyakarta, setelah November 1755. Kebanyakan anggota prajurit srikandi itu terdiri dari putri-putri tercantik di kerajaan. Anggotanya biasanya direkrut dari putri pejabat daerah, seperti lurah atau demang, setingkat kecamatan atau kabupaten. Nantinya sebagai pasukan perempuan yang mengawal raja, mereka diberi gelar  Abdi-Dalem Priyayi Manggung  atau  Prajurit Keparak éstri.  Mereka juga disebut Pasukan Langenkusumo. Sayangnya terkadang para anggota prajurit itu dipilih dengan cara licik. Menurut sumber Jawa, kata Carey, banyak sekali suami dan ayah di kesultanan pada akhir abad ke-18 mengeluhkan soal perekrutan ini. Sebab istri-istri muda dan putri-putri cantik mereka dipaksa menjadi  prajurit éstri  oleh sultan kedua, pada masa akhir dia menjabat Putra Mahkota. Meski kecantikan fisik menjadi salah satu unsur yang penting dalam perekrutan, para prajurit perempuan ini jarang diambil sebagai selir raja. Mereka justru lebih sering dihadiahkan kepada bangsawan untuk dijadikan istri. Kendati begitu, Ann Kumar mencatat, sebagai istri bangsawan, mereka dianggap lebih beruntung daripada menjadi selir raja. Selir raja tidak boleh menerima tawaran pernikahan selama raja masih hidup. Bahkan seringkali tetap tak boleh meski raja telah meninggal. Bahkan menurut François Valentijn, seorang misionaris, ahli botani, dan penulis buku, bahwa di istana Mataram di Kartosuro pada awal abad ke-18, dia menyaksikan perempuan-perempuan muda mantan  prajurit estri  yang dijadikan istri bangsawan itu tampak bersemangat dan bangga ketika dihadiahkan. Pasalnya mereka menyadari suami priayi agung mereka tak bakal berani memperlakukan mereka secara buruk. Si suami pasti takut raja murka.

  • Matahari Terbit di Kereta Rel Listrik

    Pernahkah anda melihat masinis Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek menunjuk-nunjuk sesuatu sembari berkata sendiri ketika kereta berjalan atau berhenti? Ini cara masinis KRL menjaga konsentrasinya selama bekerja. Istilahnya "tunjuk" dan "sebut". Adopsi dari cara kerja masinis KRL di Jepang. Di sana cara kerja ini telah berjalan lebih dari 100 tahun.  Jepang mempunyai pengaruh besar dalam layanan KRL Jabodetabek. Cobalah anda tengok pakaian masinis KRL dan Petugas Pelayanan Kereta (PPK) di Indonesia. Dari topi, kemeja, sampai sarung tangan. Benar-benar menyerupai pakaian masinis dan PPK di Jepang. Tapi cara kerja dan pakaian masinis hanya sebilangan kecil dari pengaruh tersebut. Pengaruh besar Jepang terletak pada rencana perbaikan dan pengembangan KRL Jabodetabek. Akarnya tertanam pada dekade 1970-an. Masa ini layanan KRL di bawah Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) sedang terpuruk. Sejumlah gardu penyuplai listrik rusak sejak 1964. Anggaran PNKA untuk membayar listrik juga berkurang. Jumlah perjalanan KRL pun turun drastis. “Layanan KRL hampir ditutup,” kata Ibnu Murti Hariyadi, sejarawan perkeretaapian sekaligus penulis sejumlah buku sejarah kereta api, kepada Historia . Sebagian rute layanan KRL berganti kereta rel diesel (KRD) peninggalan Belanda. Keretanya sudah kusam. Tapi keadaan sedikit cerah pada 1971. PNKA Eksploitasi (daerah operasi) Barat memperoleh alokasi dana bantuan dari pemerintah pusat. Masuk dari Kereta Baru Pemerintah pusat memperoleh dana itu dari Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), sebuah kelompok negara pemberi bantuan untuk Indonesia. Di dalamnya termasuk Jepang. PNKA berencana menggunakan dana bantuan untuk membeli beberapa rangkaian kereta dari Jepang. Kedatangan kereta baru penting untuk memenuhi dua tujuan: jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek untuk mengatasi kemacetan di dalam kota Jakarta, sedangkan jangka panjang untuk menghubungkan Jakarta dengan kota-kota satelitnya di wilayah timur, selatan, dan barat. Selaras dengan konsep pengembangan Jabotabek. Tapi pembelian kereta baru tidak bisa langsung mewujud. Perlu ada studi pendahuluan. Maka pemerintah mengundang konsultan transportasi asal Jerman Barat untuk mengkaji  perbaikan dan pengembangan KRL. Hasil kajian mensyaratkan biaya besar untuk perbaikan dan pengembangan KRL jangka panjang. Pemerintah hanya punya dana untuk melaksanakan rencana perbaikan dan pengembangan KRL jangka menengah ( intermediate programme ). Aksi ini berupa pengadaan KRL baru dari Jepang sebanyak sepuluh rangkaian pada pertengahan 1976. Satu rangkaian terdiri atas empat kereta. Biaya pengadaan mencapai Rp700 juta, demikian catatan Kompas , 30 Januari 1975. KRL baru itu berjalan pada rute Manggarai–Bogor PP sejak 2 September 1976 sekaligus menandai beroperasinya kembali KRL rute tengah. Dan sejak ini pula, pengaruh Jepang kian menancap dalam layanan KRL Jabotabek. “Pemerintah melirik Jepang karena perkembangan pesat teknologi kereta apinya pada masa itu. Apalagi prestasi Jepang berhasil meluncurkan kereta api cepat pertama sejak 1964 itu menjadi perhatian betul dari pemerintah Orde Baru,” ungkap Ibnu. ODA dan JICA Dari pandangan Jepang, Indonesia tampak sebagai negara terpenting di kawasan Asia Tenggara. Indonesia di bawah Orde Baru ramai oleh pembangunan infrastruktur. Kelas ekonomi baru bermunculan di Jakarta dan sekitarnya. Merekalah pasar bagi produk dagang Jepang. Bahan baku untuk industri Jepang tersedia melimpah di Indonesia. Begitu pula dengan tenaga kerja murah. Sangat menguntungkan jika Jepang memperluas investasi industrinya di sini. Dengan demikian, menjaga hubungan baik dengan Indonesia berarti turut menjamin keberlangsungan industri dan pasar produk dagang Jepang. Maka Jepang tak segan mengucurkan bantuan untuk memperbaiki infrastruktur di Indonesia. Bantuan itu terkemas dalam Official Development Assistance (ODA). “Perdagangan, investasi, serta ODA merupakan trilogi yang tak dapat dipisahkan,” tulis Sueo Sudo dalam The International Relations of Japan and Southeast Asia: Forging a New Regionalism . Salah satu pengelola ODA adalah Japan International Cooperation Agency (JICA). Lembaga kerja sama teknik ini menggandeng sejumlah konsultan dan perusahaan kereta Jepang untuk membantu Indonesia dalam perbaikan dan pengembangan KRL Jabotabek. Wujud bantuan JICA berupa pembuatan Rencana Induk KRL Jabotabek dengan beberapa kali revisi selama 1980–1985. Rencana Induk memuat kajian jumlah penumpang KRL Jabotabek, keruangan kota Jakarta dan sekitarnya, permasalahan KRL, biaya pelaksanaan, dan langkah-langkah perbaikan dan pengembangan KRL untuk 20 tahun ke depan. “Rencana Induk menjelaskan langkah-langkah apa saja yang dibutuhkan untuk perbaikan layanan KRL seperti penyediaan rel ganda, renovasi stasiun, elektrifikasi, sinyal otomatis, persilangan, pengadaan KRL baru, pemutakhiran bengkel dan depo, pembangunan rute baru dan sebagainya. Target penyelesaian pada tahun 2000,” tulis Tomoyoshi Haya dalam “Improvement of Railway System in Jakarta Metropolitan Area”, termuat di Japan Railway & Transport Review No, 35, Juli 2003. Pemerintah Indonesia menyetujui Rencana Induk KRL tersebut dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 26 tahun 1982 dan Keppres No. 67 tahun 1983. Setelah itu, Presiden Soeharto menetapkan Rencana Induk KRL Jabotabek sebagai Proyek Nasional. Semua kebijakan ini demi meningkatkan peranan KRL pada tahun-tahun mendatang. Saat Rencana Induk KRL kali pertama muncul, KRL hanya mempunyai peran sebesar 1,2 persen (44.000 orang) dari 3,6 juta warga Jabotabek yang melakukan perjalanan tiap harinya. Peran ini akan meningkat jadi 20 persen dengan bantuan lanjutan pemerintah Jepang berupa suplai kereta baru, alih teknologi, dan pinjaman lunak. Seiring pembuatan Rencana Induk KRL, Jepang mengirimkan empat rangkaian KRL (16 kereta) baru produksi pabrik Kawasaki ke Indonesia pada Oktober 1984. Harga tiap rangkaian Rp1,9 miliar. Di samping itu, Jepang juga mulai mencari skema pinjaman dana untuk pembangunan rel layang rute tengah (Manggarai–Jakarta Kota). Rel layang ini maujud pada 1992.   Pengaruh Negara Lain Sebenarnya Jepang tidak sendirian memberikan pengaruh dalam layanan KRL Jabotabek. Mereka sedia berbagi pengaruh dengan Prancis dan Inggris. Rencana Induk KRL membagi perbaikan dan pengembangan KRL dalam tiga rute: tengah (Bogor–Jakarta Kota), timur (Tanjung Priok–Bekasi–Cibinong), dan barat (Jakarta Kota–Tanah Abang–Tangerang–Rangkasbitung). Jepang menggarap rute tengah, Inggris kebagian rute timur, dan Prancis memperoleh rute barat. Inggris menyiapkan Rp300 miliar, sedangkan Prancis sanggup kasih Rp75 miliar untuk Indonesia. Syaratnya Indonesia harus menyertakan dana pendamping pinjaman dalam bentuk rupiah. Perbandingannya 60 persen dana pinjaman dengan 40 persen dana pendamping. Kompas, 4 Oktober 1985 menyebut Indonesia tidak mampu menyediakan dana pendamping pinjaman tersebut. Perbaikan dan pengembangan KRL rute timur dan barat pun tersendat. Sementara Jepang mengakalinya dengan mengganti sebagian dana pinjamannya dalam bentuk rupiah. Cara ini memperkecil jumlah dana pendamping pinjaman dari Indonesia. Hasilnya pembangunan rel layang rute tengah terlaksana. Karena ketidakmampuan Indonesia menyediakan dana pinjaman, Inggris dan Prancis pun hengkang dari rute timur dan barat. Jepang mengambil alih penggarapan dua rute tersebut. Akhirnya Jepang menjadi negara dominan dalam rencana perbaikan dan pengembangan KRL Jabotabek hingga sekarang.

bottom of page