top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Anti Klimaks Sebuah Agresi

    Iring-iringan konvoi tentara Belanda itu menemui sialnya di jalan raya menuju Cikajang. Dari lima truk, para gerilyawan Republik hanya menyisakan dua truk yang berhasil kabur ke arah kota Garut dengan korban luka-luka dan beberapa serdadu tewas. Sersan Mayor (Purn) Odoy Soedarja (94) masih ingat, usai pertempuran salah satu kawannya menghampiri seorang serdadu bule yang tengah sekarat dan langsung menghabisi nyawanya dengan sekali tembakan pistol Vickers tepat di kepala. “Sebelum meninggal, anak muda itu masih berteriak-teriak: Mami! Mami!,” kenang eks anggota Batalyon Garuda Hitam tersebut. Penghadangan di jalan raya Cikajang hanyalah salah satu dari ratusan aksi TNI (Tentara Nasional Indonesia) pasca agresi militer dilakukan oleh militer Belanda pada 21 Juli 1947. Sejarah mencatat banyak aksi serupa terjadi juga di hampir seluruh palagan Jawa dan Sumatera. Aksi-aksi tersebut cukup membuat kedudukan militer Belanda berada di ujung tanduk. Arah Angin Berbalik Sejak Operasi Produk digelar pada 21 Juli hingga pertengahan Agustus 1947, secara cepat Belanda berhasil menguasai sebagian Sumatera dan kota-kota penting di Jawa Barat serta Jawa Timur. Sesuai target operasi, mereka bisa mengambilalih ratusan perkebunan serta pabrik dan memfungsikannya demi kepentingan ekonomi Kerajaan Belanda. “Perlawanan militer yang kita lakukan sebatas penahanan serangan seperlunya dan aksi bumi hangus,” ujar A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid V . Kendati demikian,secara politik, Belanda sendiri tidak mampu meyakinkan dunia bahwa invasi tersebut tak lebih sebagai upaya aksi polisional mereka. Alih-alih mendapat legitimasi, aksi itu malah dikecam dunia internasional karena dianganggap sudah menghancurkan kesepakatan damai di Linggarjati pada 25 Maret 1947. Arah angin pun mulai berbalik menghantam posisi Belanda. “Atas desakan India, Dewan Keamanan PBB berhasil menghentikan gerakan militer Belanda pada 4 Agustus 1947 dan menyerukan untuk secepatnya dilakukan gencatan senjata,” tulis Basuki Suwarno dalam Hubungan Indonesia-Belanda Periode 1945-1950. Militer Belanda Terkunci Sementara itu, tujuan utama lain dari Operasi Produk yakni menghancurkan kekuatan TNI sama sekali tak terpenuhi. Alih-alih mencapai hasil maksimal, kekuatan TNI secara kilat mulai berhasil melakukan rekoordinasi kekuatan. Di beberapa tempat, serangan-serangan balik yang dilakukan TNI malah semakin intens. Seorang Komandan Batalyon militer Belanda bernama Letnan Kolonel J. Flink dari Divisi C mengakui situasi itu. Sebulan lebih setelah Operatie Product, memang pasukannya bisa mempertahankan kondisi kemanan. Namun mulai 31 Agustus 1947 keadaan berubah. “ Batalyon saya mulai mendapat serangan-serangan gencar dan sistematis. Akibatnya, kami tidak hanya mengalami kekalahan demi kekalahan tapi juga meningkatnya kerugian personil di atas tingkat yang normal,” katanya seperti dikutip Himawan Soetanto dalam Yogyakarta 19 Desember 1948 . Apa yang dikatakan oleh Flink memang bukan isapan jempol semata. Menurut Nasution, sejak kota-kota besar di Jawa dan Sumatera dikuasai oleh militer Belanda, praktis kedudukan para serdadu Belanda terkunci. Jangankan melakukan pembersihan secara total, untuk berpindah dari pos satu ke pos lainnya, mereka harus melewati penghadangan-penghadangan maut yang tak jarang menimbulkan kerugian besar. “Otomatis mereka hanya bisa menunggu. Insiatif serangan justru jadi berpindah ke tangan kita,” ungkap Nasution. Di tengah situasi tersebut, Dewan Keamanan PBB lantas mendesak masalah pertikaian kedua negara itu kembali dibawa ke meja perundingan. Bertempat di atas anjungan USS Renville (sebuah kapal angkut pasukan milik Amerika Serikat) yang tengah berlabuh di Teluk Jakarta, maka perundingan kedua pihak dengan pengawasan Komisi Jasa-jasa Baik (beranggotakan Amerika Serikat, Belgia dan Australia) pun dilangsungkan sejak 8 Desember 1947 hingga 9 Januari 1948.

  • Pendekar Konyol dan Ajaran 212

    SUATU waktu di Desa Jatiwalu pada abad XVI. Ketenangan malam terusik oleh keonaran yang dilakukan gerombolan Mahesa Birawa (Yayan Ruhian). Rumah-rumah habis dibakar. Warga desa dianiaya dengan biadab. Bulan purnama berwarna merah darah menjadi saksi bisu pembunuhan Kepala Desa Ranaweleng (Marcell Siahaan) dan Suci (Happy Salma) istrinya. Dengan adegan menyayat hati itulah sutradara Angga Dwimas Sasongko membuka film bertajuk Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 . Film ber- genreaction -komedi itu diadaptasi dari novel Bastian Tito yang terbit 185 seri sejak 1967. Film produksi Lifelike Pictures dan didistributori 20th Century Fox ini diawali dengan visualisasi tentang siapa Wiro Sableng hingga bisa jadi pendekar yang disegani di jagad persilatan. Dikisahkan, Wiro yang punya nama asli Wira Saksana merupakan putra dari pasangan Ranaweleng dan Suci, keduanya dibunuh Mahesa Birawa. Wiro sendiri nyaris ikut dibunuh. Namun, dia diselamatkan Sinto Gendeng (Ruth Marini). Selama 17 tahun, Wiro diasuh Sinto dan diturunkan bermacam ilmu silat di Gunung Gede. Wiro akhirnya menapak jalannya sendiri dengan bekal amanah Sinto berupa selalu mengamalkan ajaran 212, dan kapak naga serta batu sakti. “Di dunia ini selalu ada dua sisi kehidupan. Selalu ada hal yang saling berpasangan namun bersumber pada yang satu, Tuhan Yang Maha Esa,” tutur Sinto ketika melepas Wiro. Misi Wiro tak lain adalah mencari Mahesa Birawa. Dalam petualangannya yang berliku, Wiro didampingi dua sahabat, Anggini (Sherina Munaf) dan Santiko alias Bujang Gila Tapak Sakti (Fariz Alfarizi). Adegan kocak mengiringi pengembaraan mereka lantaran karakter Wiro memang konyol, kocak, dan kadang nyeleneh plus genit . Pendekar ala Milenial Meski banjir adegan jenaka, banyak dialog dalam film disampaikan dengan gaya kekinian. Hal itu disebabkan sasaran film ini memang generasi milenial. Alasan ini pula yang berperan penting bagi pemilihan Vino Giovanni Bastion untuk membintangi tokoh utama. Terlebih, Vino merupakan anak mendiang Bastian Tito. Dari segi teknis, film bertabur bintang ini patut diacungi jempol. Efek visualnya, dibuat tim Computer Generated Imagery pimpinan Keliek Wicaksono, terbilang keren. Belum lagi ilustrasi musik yang digarap Aria Prayogi. Lalu yang tak kalah penting, film ini dengan apik menghadirkan beberapa kejutan. S cene kehadiran Herning ‘Ken Ken’ Sukendro sebagai cameo , contohnya , penting untuk membangkitkan memori generasi 1980-an terhadap sosok Wiro yang diperankan Ken Ken dalam edisi sinetron. Overall, film ini sangat layak tonton untuk beragam generasi. Selain yahud sisi teknisnya, film ini kaya nilai budaya bangsa. Paling kentara, pencak silat yang koreografinya dikerjakan tim pimpinan Yayan Ruhian sendiri. Setelah press screening dan gala premier -nya dilangsungkan pada 27 Agustus 2018, film ini akan ditayangkan di berbagai bioskop tanah air mulai Kamis, 30 Agustus 2018. Timeline Sejarah Lantaran bertolak dari novel-novel karya Bastian Tito, produser Sheila ‘Lala’ Timothy mengakui film ini cenderung bersifat fiksi-fantasi. Alhasil, detail sejarah tak terlalu diutamakan kendati film ini ber- setting waktu abad ke-16. Sayangnya, pengesampingan detail sejarah itu benar-benar total dilakukan para penulis naskah sehingga kalau dicermati, sengkarut budaya dan sejarah di beberapa adegan dan alur cerita sangat kentara. Scene soal kerajaan yang dipimpin Raja Kamandaka (Dwi Sasono), misalnya, menampilkan patih dan para prajurit berbusana Jawa namun penampilan sang raja justru mirip Prabu Siliwangi dari tanah Pasundan. Jadi, kira-kira adegan itu terjadi di Jawa atau Priangan-kah? Lebih runyam lagi, scene yang menampilkan Wiro dan Bujang Gila Tapak Sakti menyamar jadi penari dalam sebuah pesta di aula besar kerajaan. Tarian yang dibawakan merupakan tari topeng Betawi. Sudah adakah tarian itu di abad ke-16? Jangankan tari topeng, entitas Betawi pun di abad ke-16 belum eksis. Etnis Betawi, menurut antropolog Yasmine Zaki Shahab di buku Betawi dalamPerspektif Kontemporer: Perkembangan, Potensi dan Tantangannya, baru eksis sebagai kelompok etnis pada 1815 alias abad ke-19. Betawi sebagai suku yang mendiami pesisir utara antara Banten dan Priangan bersumber dari percampuran etnis Tionghoa, Arab, Melayu, Bugis, Ambon, Sunda, serta Jawa. Bajak Laut Bagaspati tengah Mengacungkan Pistol Flintlock di Suatu Adegan (Foto: Youtube Lifelike Pictures) Anakronisme lain yang cukup mengganggu adalah eksisnya sepucuk pistol model flintlock yang digunakan bajak laut Bagaspati (Cecep Arif Rahman). Faktanya, pistol flintlock seperti itu baru muncul di Nusantara setelah dibawa penjelajah Portugis pada abad ke-17. Tapi sudah lah , penonton yang melek sejarah pasti tak banyak. Mereka yang melek pun belum tentu mau kritis. Toh film ini kan cenderung fiksi-fantasi. “Ini memang inspirasinya Indonesia. Ini kan karya Bastian Tito yang melegenda banget. Jadi kalau orang ngeliat film ini, bisa sadar bahwa ini Indonesia. Idenya itu memang semua tentang budaya Indonesia dan tetap ingin ada sejarahnya. Baik dalam senjata, kostum, segala macam,” kata Anto Sinaga, production designer , dalam konferensi pers pasca -press screening , Senin (27 Agustus 2018).

  • Mereka yang Dirundung Pasung

    EKRAM, lelaki asal Cianjur, Jawa Barat hanya bisa pasrah. Sepanjang hari dia tak dapat melakukan banyak hal lantaran dikurung dalam sebuah gudang di belakang rumah keluarganya. Hidupnya tak jauh beda dengan penjara. Untuk mendapat makanan, dia mengambil antaran makanannya dari sebuah lubang kecil. Ekram tak sendiri, di kabupaten yang sama seorang lelaki penderita gangguan jiwa dipasung selama sembilan tahun. Ketika ia dibebaskan, kakinya tak bisa digunakan lantaran berhenti tumbuh. Keterkungkungan serupa juga dialami seorang perempuan penderita gangguan jiwa di Ponorogo, Jawa Timur. Ketika ditemukan pada 2016, perempuan ini dirantai dalam sebuah ruangan yang sengaja dibangun keluarganya. Aktivitas makan, minum, tidur, bahkan buang hajat terpaksa dilakukannya di ruangan yang sama. Dari laporan Kriti Sharma untuk Human Right Watch yang dirilis pada 2016, ada sekira 57 ribu penderita gangguan jiwa yang hidup dalam pasung, baik pasung tradisional menggunakan balok kayu, dirantai, atau dikurung dalam ruangan. Sebagian beruntung lantaran dibebaskan oleh Dinas Kesehatan setempat. Sisanya, masih terus hidup dalam pasung. Beberapa bahkan dipasung sampai akhir hayat. “Dari temuan kami, ada penderita gangguan jiwa yang dibebaskan setelah 15 tahun dipasung. Beberapa ada yang menghabiskan sisa hidupnya dalam pasung. Seperti hidup di neraka,” kata Kriti pada  Historia. Ada banyak penyebab seseorang dipasung oleh keluarganya. Tapi yang terpenting, ketidakpahaman tentang kesehatan jiwa. Masyarakat yang tidak paham tentang kesehatan jiwa akan menyangka penderita sebagai orang kurang iman, kerasukan roh jahat, atau pengacau. Alih-alih menumbuhkan empati, gangguan jiwa malah jadi stigma negatif bagi keluarga dan masyarakat. Banyak keluarga merasa malu bila ada kerabat mereka terkena gangguan jiwa dan mengaggapnya sebagai aib. Mereka juga khawatir penderita gangguan jiwa akan mengganggu tetangga atau kabur. Alhasil, banyak keluarga memilih jalan pintas untuk menangani penderita gangguan jiwa dengan cara memasung. “Praktik pasung terjadi ketika keluarga tidak tahu tentang kesehatan jiwa sehingga merasa tidak punya pilihan lain selain memasung kerabatnya,” kata Kriti. Pemasungan Zaman Belanda Pemasungan penderita gangguan jiwa bisa ditelusuri sejak zaman Belanda berdasarkan laporan ahli jiwa Belanda JW Hofmann. Dia menemukan seorang penderita gangguan jiwa di Bogor terus-menerus mengerang dalam kurungan. Di Banyumas, ada seorang penderita gangguan jiwa yang dikurung keluarganya karena pernah merusak barang milik tetangga. Tetangga itu meminta ganti rugi pada keluarga si penderita yang sangat miskin itu. Lantaran layanan kesehatan jiwa belum menjangkau pelosok, keluarga memilih mengurung si penderita gangguan jiwa. Dalam laporan yang dirilis pada 1931, JP Kleiweg de Zwaan mengungkapkan pola serupa juga terjadi di Batak, di mana keluarga bertanggungjawab penuh atas perilaku kerabatnya yang menderita gangguan jiwa. “Adanya aturan adat tersebut menjadi alasan penting keluarga atau warga desa di Indonesia terpaksa mengurung kerabat yang menderita gangguan jiwa,” tulis Sebastiaan Broere dalam  In and Out Magelang Assylum. Para keluarga memilih merantai, memasung dengan balok kayu, atau mengurung dengan rumah bambu kecil kerabat yang menderita gangguan jiwa karena adanya aturan denda bagi keluarga penderita gangguan mental yang tidak menjaga ketertiban umum. Kurangnya jumlah layanan kesehatan jiwa di negeri jajahan menyebabkan ribuan penderita gangguan jiwa dikurung secara illegal. “Saya yakin mengurung orang, sekalipun mereka menderita gangguan jiwa, adalah hal yang illegal. Aturan ini juga berlaku di Eropa,” kata Sebastiaan pada Historia . Banyaknya pemasungan mendorong beberapa ahli jiwa mendesak pemerintah Belanda untuk mengembangkan layanan kesehatan mental di negeri jajahan. Hoffman meggunakan temuannya tentang pemasungan untuk membujuk pemerintah mengizinkan pribumi menerima layanan kesehatan jiwa. Hal serupa dilakukan J.A. Latumeten, yang mendorong peningkatan jumlah klinik psikiatri dan neurologis. Hasilnya, beberapa penderita gangguan jiwa bisa terbebas dari kurungan dan menerima layanan kesehatan jiwa. Pasca-kemerdekaan, pemerintah Indonesia selain melarang pasung sejak 1977 juga terus mengkampanyekan kesadaran sehat jiwa. Undang-undang Kesehatan Jiwa tahun 2014 mengharuskan pelayanan kesehatan jiwa terintegrasi ke dalam layanan kesehatan umum. Semua upaya itu ditempuh untuk membebaskan para penderita gangguan jiwa dari pasung sehingga terhindar dari penderitaan berlipat. “Sampai hari ini masih ada ribuan orang gangguan jiwa yang hidup dalam pasung,” kata Kriti.

  • Bagaimana Gajah Mada Menjadi Mahapatih?

    ARYA Tadah,  patih amangkubhumi  Kerajaan Majapahit sedang sakit. Dia tak enak hati karena sering absen menghadap Tribhuwana Tunggadewi. Dia pun mengajukan pengunduran diri, tapi Sang Rani menolak. Arya mendekati Gajah Mada agar suka menjadi patih, tapi bukan  amangkubhumi. “Seganlah saya. Jika nanti sepulang dari Sadeng, saya baru mau. Maafkanlah segala kesalahan saya. Mudah-mudahan saya bisa,” jawab Gajah Mada. “Baiklah anakku, dalam segala kesulitan kau akan saya bantu,” janji Arya. Gajah Mada kemudian berangkat ke Sadeng untuk memadamkan pemberontakan terhadap Majapahit. Jika berhasil di Sadeng, dia akan terima tawaran seniornya itu. Namun, alangkah sedih hatihnya ketika mengetahui pengepungan Sadeng telah terjadi sebelum kedatangannya. Ra Kembar mendahului Gajah Mada. Mendengar berita itu, para menteri dan patih sangat marah.  Patih amangkubhumi  lalu mengirim utusan seorang mantra bersama 30 orang untuk mencegah Kembar dan pasukannya agar tak menyerbu Sadeng. Ketika utusan datang, Kembar sedang duduk di atas batang kayu di dalam hutan. Posisinya seperti orang mengendarai kuda. Tangannya membawa cemeti. Para utusan menyampaikan pesan  patih amangkubhumi agar menghajar Kembar karena mendahului perintah kerajaan. Bukannya gentar, Kembar malah memecut dahi utusan itu. Untungnya utusan itu segera berkelit, bersembunyi di balik batang kayu. “Kembar tiada takut kepada tuanmu!” kata Kembar.  Mendengar ucapan itu, para utusan kembali dan menyampaikan ujaran Kembar itu. Untuk menghindari sengketa antara Kembar dan Gajah Mada yang sedang kecewa, Sang Rani datang ke Sadeng memimpin tentara Majapahit. Kemenangan atas Sadeng pun akhirnya tercatat atas nama Sang Rani. Nagarakrtagama hanya mencatat sepintas bahwa pemberontakan di Sadeng terjadi pada 1253 Saka atau 1331 M. Serat Pararaton mencatat tahun yang sama lewat candrasangkala, kaya bhuta non daging  artinya seperti raksasa melihat daging. Dalam  Nagarakrtagama , peristiwa Sadeng disatukan dengan peristiwa di Keta. Sementara dalam  Pararaton  penundukan Keta tak disinggung sama sekali. Hal yang sama dijumpai dalam pemberitaan tentang penumpasan pemberontakan Nambi dan Wiraraja di Pajarakan dan Lumajang. Penumpasan itu dilakukan dalam rentetan dan dianggap sebagai satu peristiwa saja. Menurut arkeolog Agus Aris Munandar, baik Sadeng maupun Keta ada di wilayah Besuki. Dalam  Gajah Mada Biografi Politik, Agus menjelaskan ketika Gajah Mada diminta jadi patih oleh Arya Tadah, dia telah berkedudukan sebagai Patih Daha (Kadiri), salah satu wilayah paling penting Majapahit. Hayam Wuruk sebelum jadi raja, kemungkinan ditunjuk oleh ibunya untuk memimpin wilayah itu. “Dia sangat mungkin ditunjuk sebagai penguasa Daha dan didampingi oleh Gajah Mada,” tulis Agus.  Adapun Kembar menurut Agus punya alasan kenapa menyerang Sadeng mendahului Gajah Mada. Dia berkeinginan juga menjadi  patih amangkubhumi  menggantikan Arya Tadah.  Namun, pada akhirnya tetap Gajah Mada yang diangkat sebagai  patih amangkubhumi.  Sementara Kembar menjadi  bekel  (koordinator) para  mantra araraman  (kekuatan bersenjata pemukul musuh). Para pahlawan Majapahit lainnya, seperti Jaranbhaya, Jalu, Demang Buncang, Gagak Minge, Jenar, Arya Rahu, dan Lembu Peteng menjadi pejabat setingkat tumenggung. Setelah menjadi patih, Gajah Mada mengucap Sumpah Palapa di balairung istana di hadapan para pembesar Majapahit. Namun, mantan patih Arya Tadah malah mengoloknya. Dia bersama Jabung Tarewes, Lembu Peteng, Kembar, dan Warak, menertawakannya. Gajah Mada tak terima lalu ke halaman istana menantang Kembar yang congkak. Dalam perkelahian, Gajah Mada menewaskan Kembar. Begitu juga Warak, Jabung Tarewes dan Lembu Peteng. “Dengan demikian melalui sumpah itu Gajah Mada telah membuka jalan mempersatukan Nusantara,” tegas Agus.*

  • Ikhtiar Mengubah Wajah Film Silat Indonesia

    Sheila Timothy, produser perusahaan film Lifelike Pictures, memperoleh tawaran mengejutkan dari Vino Giovani Bastian, aktor sohor sekaligus adik iparnya, pada 2015. Tawaran dari Vino berupa memfilmkan cerita silat laris Wiro Sableng karya Bastian Tito, ayah Vino. Lala, panggilan akrab Sheila Timothy, seperti memperoleh kembali serpihan masa lalunya ketika mendapat tawaran itu. Lala mengaku masa remajanya tumbuh bersama film-film silat. “Karena termasuk angkatan tua, saya suka nonton film silat zaman dulu. Saya suka sejarah,” kata Lala kepada Historia . Dia juga punya mimpi suatu hari nanti ingin mencipta film aksi dan fantasi. Dia menilai tawaran Vino cukup menarik. “Tapi saya takut untuk memfilmkan Wiro Sableng . Saya masih ragu-ragu. Saya tahu untuk membuat Wiro Sableng jadi film yang keren pasti butuh persiapan matang, riset mendalam, dan budget yang tak sedikit,” ungkap Lala. Padahal saat itu Lala belum pernah sekalipun membaca buku Wiro Sableng . Dia hanya tahu Wiro Sableng dari sinetron televisi dekade 1990-an. Vino kemudian memberi Lala sepuluh buku Wiro Sableng. Lala membacanya dan langsung jatuh hati. “Pak Bastian punya style sendiri. Cara dia bercerita itu detail. Karakter tokohnya, kostum, dan perguruan si tokoh. Saya jatuh cinta dengan ceritanya,” terang Lala. Dia berpikir jika Wiro Sableng beralih rupa menjadi film akan cemerlang. Ketakutan Lala perlahan sirna. Dia mulai berani wujudkan mimpinya. Dia menghubungi teman-temannya seperti Yayan Ruhian, instruktur silat; Adrianto Sinaga, desainer produksi; dan Aria Prayogi, komposer musik. Ketiganya nama tenar pada bidangnya masing-masing dan bersedia membantu Lala. Kepada Yayan, Lala mengatakan ingin silat di Wiro Sableng berbeda dari film-film silat umumnya. “Silat itu beauty . Banyak filosofinya. Bukan violence ,” kata Lala. Lalu dia berdiskusi dengan Adrianto tentang detail produksi seperti konsep seni, ilustrasi, komik, game , latar tempat, senjata, dan arsitektur bangunan. Terakhir dia menemui Aria untuk memintanya menghadirkan musik yang sesuai dengan cerita Wiro Sableng . Lala dan teman-temannya berupaya menuju ke satu titik: menghadirkan wajah Indonesia dalam Wiro Sableng . “Film ini harus kelihatan Indonesia. Jangan sampai penonton malah berpikir, ‘kok film Hongkong sih, kok film Korea sih’,” kata Anto, panggilan akrab Adrianto Sinaga. Adrianto Sinaga, production designer Wiro Sableng, di kantor Historia . (Dok. Sheila Timothy). Film Silat Masa Lalu Ikthiar Lala dan teman-temannya serupa dengan segelintir idealis perfilman nasional masa lalu. Mereka punya kepercayaan bahwa film silat juga mampu mengetengahkan wajah dan permasalahan tentang keindonesiaan. Buat mereka, film silat bukan sekadar alat dagang dan hiburan bermutu rendah. Kehadiran film silat di Indonesia tak lepas dari pengusaha film berdarah Tionghoa. “Ada kemungkinan mereka yang membawa film-film itu ke Indonesia pada saat bisnis film mulai berkembang pada 1920-an,” kata Sofian Purnama, pengajar mata kuliah kajian film Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Banyak film impor dari negeri Tiongkok menghadirkan kuntao (salah satu ilmu beladiri dari Tiongkok) sebagai unsur utama. Film-film seperti ini kurang berkutat pada jalan cerita dan urusan estetik, tapi mempunyai banyak penggemar dari kalangan bawah. Tergiur dengan kelarisan film silat Tiongkok, pengusaha film di Hindia Belanda berupaya menerapkan resep ala film silat Tiongkok.     J.B. Kristanto, kritikus sohor film, mencatat ada beberapa judul film bertema silat produksi dalam negeri selama 1930-an. Antara lain Si Ronda, Si Pitoeng , dan Delapan Djago Pedang . Dua judul pertama mengangkat cerita tentang jago silat lokal di Batavia. “ Si Pitoeng jadi pola film silat berlatar Betawi,” tulis J.B. Kristanto dalam Katalog Film Indonesia 1926-1995 . Sedangkan Delapan Djago Pedang bercerita tentang para ahli kuntao. Resep laris ala film silat Tiongkok mulai dapat lawan pada 1953. Masa ini mencatatkan kesan berbeda pada film silat berjudul Harimau Tjampa produksi Perfini, perusahaan film pimpinan Usmar Ismail, tokoh film idealis. Harimau Tjampa tak lagi menjadikan silat sebagai unsur utama dalam film. Unsur kekerasan berkurang, sementara penceritaan memperoleh porsi tambahan. Tapi jalan ceritanya masih mirip kebanyakan film silat: tentang balas dendam. “Dengan dendam terhadap pembunuh ayahnya, Lukman berguru silat di Kampung Pau,” demikian J.B. Kristanto mendeskripsikan jalan cerita awal Harimau Tjampa . Film ini mengambil latar alam Sumatra Barat dan memakai bakaba  —cara bercerita tradisional masyarakat Minangkabau— untuk menghadirkan wajah Indonesia. Dan untuk itu pula, bebunyian alat musik tradisional Minangkabau diperdengarkan dalam film ini. Hasilnya, panitia Festival Film Asia di Singapura pada 1955 memberi film ini penghargaan kategori musik terbaik. Selain itu, Harimau Tjampa juga menyabet penghargaan dalam Festival Film Indonesia 1955 untuk skenario terbaik. Setelah keberhasilan Harimau Tjampa, produksi film silat dalam negeri justru menghilang. Kalaupun ada, film silat itu bermutu rendah. “Film silat tidak dibuat berencana dan massal sehingga lekas saja dilupakan orang,” tulis Kompas , 5 Mei 1971. Film-film silat dari negeri Tiongkok, Hongkong, dan Jepang mengisi kekosongan pasar film silat dalam negeri. Penonjolannya pada kekerasan, darah, eksploitasi tubuh perempuan, dan seks. Keadaan ini berlangsung hingga akhir 1960-an. Saat bersamaan, produksi film nasional turun drastis. “Pada tahun 1967 film impor mencapai 499 judul, sedangkan film nasional hanya berjumlah 6 judul saja,” catat Haris Jauhari dalam Layar Perak 90 Tahun Bioskop di Indonesia . Penyebabnya, masyarakat enggan menonton film Indonesia. Mereka menilai film Indonesia tidak bermutu. Karena film nasional sepi penonton, pengusaha film kesulitan memutar modal untuk bikin film. Keadaan ini mendorong Menteri Penerangan mengeluarkan kebijakan Nomor 71/SK/M/1967. Isinya kewajiban importir film menyisihkan uang sebesar 250 ribu rupiah untuk tiap satu film asing yang mereka impor mulai 1 Januari 1968. Dana itu akan masuk kas Dewan Produksi Film Nasional (DPFN), kemudian menjadi modal bagi pengusaha film nasional untuk memproduksi film. Salah satu hasilnya ialah film silat berjudul Djampang Mentjari Naga Hitam pada 1969. Film ini berasal dari cerita silat bersambung karya Zaidin Wahab di harian Api Pancasila pada 1967. DPFN memilih cerita ini lantaran cerita silat ini punya banyak pembaca dan menampilkan hal-hal yang dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia seperti makanan, bebuahan, alam, dan masalah-masalah sosial yang biasa ditemui di Indonesia. Pertimbangan lainnya ialah besarnya selera publik pada film-film silat. Lilik Sudjio, sutradara Djampang Mentjari Naga Hitam , mengatakan bahwa selera publik boleh saja diikuti. “Asal kita mampu memberi variasi,” kata Lilik dalam Kompas,  22 Januari 1969. Untuk menghindari latah dan hal klise seperti dalam film silat Tiongkok dan Jepang, dia menekankan pentingnya kreativitas. “Dengan silat saja akan membosankan,” lanjut Lilik. Cerita film Djampang Mentjari Naga Hitam masih sekitar pembalasan dendam dan kemenangan kebaikan atas kejahatan. Tapi tim DPFN berupaya menonjolkan segi estetis silat dengan melibatkan instruktur silat dari Korps Pentjak Silat DCI Djaja. Latar keindahan alam dan kekayaan busana Nusantara tampil sebagai unsur penguat film ini. Kekerasan, darah, eksploitasi tubuh perempuan, dan seks hanya memperoleh ruang minimal. Sehingga film ini diikutsertakan dalam sejumlah festival film di luar negeri seperti Kairo (Mesir) dan Frankfurt (Jerman). Ikhtiar DPFN bikin film silat bermutu baik tak menyentuh pengusaha film. Sebagian besar pengusaha film justru memproduksi film silat dengan pakem lama yang itu-itu saja: kekerasan, darah, eksploitasi tubuh perempuan, dan seks. "Ini dimaksudkan penuh sebagai film silat. Dramanya bukan soal yang penting," kata Tati Widodo, produser Tati and Sons film yang memproduksi film  Tjisadane  dalam  Kompas , 9 Agustus 1971. Film itu memuat adegan penari sensual dan ciuman panas. Asrul Sani, sutradara film sohor, mengkritik keras perilaku jumud semacam itu. Menurutnya, terus berpaku pada pakem yang itu-itu saja merupakan sebentuk bunuh diri. “Bangsa yang tidak kreatif adalah yang tenggelam dalam lubuk yang airnya tidak mengalir lagi dan makin lama makin berbau busuk, untuk akhirnya berubah jadi racun yang membunuh bangsa itu sendiri,” tulis Asrul dalam “Sikap Kreatif dalam Pembuatan Film Indonesia” termuat di Surat-Surat Kepercayaan . Bertahun-tahun kekerasan, darah, seks, dan eksploitasi tubuh perempuan mendominasi film-film silat. Kini Lala dan kawan-kawannya berupaya mengusung kreativitas dalam film silat Wiro Sableng . Janji Lala dan kawan-kawan Wiro Sableng akan berbeda dari film silat yang sudah-sudah. Mereka coba menghadirkan wajah Indonesia lewat elemen sejarah, fantasi, aksi, dan komedi. Benarkah? Mari tunggu penayangan Wiro Sableng pada 30 Agustus 2018 nanti di bioskop.

  • Semesta Wiro Sableng Menyapa Dunia

    AKSI pendekar konyol tapi sakti, Wiro Sableng, akhirnya turun gunung ke layar perak. Film garapan Lifelike Pictures berdurasi 123 menit ini diputar perdana pada Senin (27/8/2018) petang di Epicentrum XXI, Jakarta Selatan. Namun, film ini baru resmi tayang di seluruh biskop pada 30 Agustus 2018. Film Wiro Sableng diangkat dari novel karya Bastian Tito yang terbit pertama kali pada 1967 dan mencapai 185 judul. Cerita silat ini pernah difilimkan pada 1980-an dan sinetron pada 1990-an. Kali ini, Wiro Sableng diperankan oleh Vino G. Bastian, anak bungsu Bastian Tito. “Ini mungkin yang dimimpi-mimpikan keluarga saya. Bahwa Wiro Sableng bisa kembali dengan level sebesar ini. Mungkin tiap orang yang membaca buku Wiro Sableng punya bayangannya masing-masing tentang sosok Wiro yang sempurna. Tapi seperti yang Sinto (Gendeng, guru Wiro) bilang, enggak ada yang sempurna di dunia ini,” kata Vino dalam konferensi pers pasca press screening film berjudul Wiro Sableng, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 . Vino berharap film Wiro Sableng bisa ikut menginspirasi perfilman Indonesia ke depannya untuk dikenal dunia. Suami aktris Marsha Timothy ini mendedikasikan filmnya untuk mendiang ayah yang meninggal pada 2 Januari 2006. Asa Vino itu bersandar pada distributor film ternama, 20th Century Fox, yang berhasil digandeng Lifelike Pictures demi bisa mengglobalkan Wiro Sableng. “Ini pengalaman yang luar biasa bisa bekerja sama dengan mereka (Lifelike Pictures). Kami merasa kualitas film ini sebagus film luar negeri (Hollywood),” kata Kurt Rieder, Wakil Presiden Eksekutif Asia Pasifik 20th Century Fox. Yang patut dibanggakan, semua detail film digarap anak-anak bangsa. Mulai dari ilustrasi dan tata suara, efek visual, CGI dan tentunya mengenalkan beladiri asli Indonesia, pencak silat. Koreografi silat ditangani Yayan Ruhian, yang juga memerankan tokoh antagonis, Mahesa Birawa, dengan dibantu Cecep Arif Rahman, pemeran karakter jahat lainnya, Bagaspati. “Ada banyak jurus yang kita hadirkan di film ini. Tapi kita tetap mengacu pada apa yang ada di buku. Kita tidak melihat jurus-jurusnya dari aliran-aliran tertentu, tapi kita melihat inilah Wiro Sableng, inilah pencak silat Indonesia dan kami mencoba membuat gerakan-gerakannya tidak hanya menarik tapi juga mudah diikuti anak-anak muda. Karena film ini kan juga bisa ditonton anak-anak umur 13 tahun ke atas,” terang Yayan. Kebanggan lain dari film ini seperti diakui produser Sheila “Lala” Timothy adalah keterlibatan desainer terkemuka dunia, Tex Saverio, yang bikin kostum Jennifer Lawrence di seri Hunger Games , kostum Lady Gaga, Kim Kardashian, dan banyak lagi. Sheila Timothy, produser Lifelike Pictures penggarap film "Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212" (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Saya yang approach ke Tex dan dia menyambut dengan baik dan sangat antusias sekali,” kata Lala Timothy. “Tentu bangga banget dia bisa kerja sama untuk film Indonesia.” Tex Saverio mendesain kostum khusus untuk Bidadari Angin Timur, karakter yang diperankan Marsha Timothy. “Kalau di buku sosok Bidadari Angin Timur misterius. Kemudian Tex Saverio menerjemahkannya jadi fantasi,” kata Lala. Lala Timothy ingin menjadikan Wiro Sableng punya universe atau semestanya sendiri, ibarat Avengers (Marvel) atau Justice League (DC Comics). Di sinilah peran 20th Century Fox untuk membawa Wiro Sableng ke bioskop-bioskop mancanegara. “Saat saya mendekati Fox pada Februari 2016, yang kami tawarkan bukan hanya film, tapi universe yang turunannya banyak sekali. Bisa jadi sequels , komik, animasi, merchandise , action figure dan lain-lain. Bahkan Wiro Sableng juga sudah masuk mobile game. Wiro jadi pahlawan lokal pertama dunia di mobile game AoV (Arena of Valor). Itu visi yang awalnya saya tawarkan ke mereka,” pungkas Lala.

  • Kala Soeharto Jadi Panglima (1)

    SOEHARTO sumringah begitu mendengar dirinya akan ditugaskan ke medan tempur. Sebagai perwira lapangan, dia memang cukup berpengalaman dalam soal perang. Itu pula yang mengantarkannya menjadi Panglima Divisi Diponegoro di Jawa Tengah. Kali ini, Presiden Sukarno mendapuknya memimpin operasi militer pembebasan Irian Barat.

  • Kala Nyonya Disangka Antek Belanda

    SUATU malam, sekelompok orang bersenjata masuk secara paksa ke rumah Rohmah Soemohardjo Soebroto, janda Oerip Soemohardjo, di daerah Bausasran, Yogyakarta. Mereka menggasak harta benda Rohmah seperti emas dan uang perak Belanda. Kejadian itu membuat Rohmah dan anaknya trauma parah. Setelah Oerip yang meninggal karena serangan jantung, Rohmah menghadapi masa sulit. Revolusi membelah masyarakat jadi pro-republik atau pro-Belanda. Keberpihakan itu tak pandang ras, ada orang pribumi yang pilih membela Belanda, ada yang bersetia pada cita-cita kemerdekaan, ada pula Belanda yang mendukung kaum republik. Situasi jadi penuh kecurigaan. Rohmah, Dina Maranta Pantow (isrtri Mr. Sunario Sastrowardoyo, dan Saadah Alim (penulis asal Sumatera Barat) mengalami pahitnya jadi orang yang dicurigai. Kedekatan Rohmah dengan orang-orang Belanda membuatnya dicurigai para pemuda dan laskar-laskar sebagai pribumi pro-Belanda. Kecurigaan itu berangkat dari latarbelakang Oerip yang pernah jadi opsir KNIL dan keputusan Rohmah-Oerip mengadopsi anak perempuan berdarah Belanda bernama Abby. Kecurigaan makin bertambah karena Rohmah tidak menguasai bahasa Indonesia. Akibat kecurigaan itu, hampir tiap hari Rohmah dan Abby mendapat ancaman pembunuhan. Harta bendanya sering diminta paksa. Padahal, Rohmah punya banyak peran yang bisa membuktikan bahwa dirinya pro-republik. Ketika seorang istri prajurit republik datang meminta bantuan pengobatan suaminya yang terluka ke rumah Rohmah, misalnya, dIa langsung memberi bantuan. Rohmah juga acap membagikan obat khusus untuk anak-anak dan bayi. “Saya membantu sejauh kemampuan saya. Saya tidak membelot kepada penjajah,” kata Rohmah seperti dikutip Galuh Ambar Sasi dalam “Menjadi Manusia Indonesia: Pergulatan Identitas, Jejaring, dan Relasi Perempuan di Yogyakarta pada masa Revolusi” yang dimuat dalam Pluralisme dan Identitas. Namun, semua itu belum cukup membuktikan kalau Rohmah seorang pro-republik. Akibatnya, Rohmah terpaksa keluar dari rumah kontrakannya di Bausasran untuk menghindari berulangnya perampokan. Dia pindah ke Yap Boulevard, daerah permukiman tentara Belanda, yang membuatnya merasa jauh lebih aman dan dekat dengan teman-tamannya yang orang Belanda. Di Yap Boulevard, dia juga menerima secara cuma-cuma fasilitas seperti majalah, makanan, bahkan biskuit. Hal serupa juga dialami Dina Pantow ketika pindah ke Jakarta dari Ujung Pandang. Ketika anak-anak Dina hendak disekolahkan ke Perguruan Cikini yang terkenal sebagai sekolah “kaum republiken”, mereka tak diterima lantaran Dina berasal dari Sulawesi Utara dan dianggap tidak berjiwa republik. “Seakan-akan orang yang berasal dari Sulawesi Utara atau Indonesia Timur tidak ada yang berjiwa patriot,” kata Dina dalam kumpulan memoar perempuan Sumbangsihku Bagi Pertiwi. Padahal, semasa di Yogyakarta Dina menjadikan rumahnya sebagai tempat penampungan bahan makanan dan persembunyian para pejuang. Usaha ini membuat Dina nyaris ditembak Belanda. Sementara, Saadah mendapati keluarganya dicurigai pro-Belanda lantaran tak ikut mengungsi ke Yogyakarta semasa revolusi. Dari penuturan anaknya, Aida Hasnan Habib, Saadah dan keluarganya yang tetap tinggal di Jakarta mendukung anak-anaknya aktif menjadi relawan perjuangan kemerdekaan meski dicurigai pro-Belanda. Kakak-kakak Aida kala itu ikut menjadi sukarelawan medis, mengumpulkan bantuan logistik, bahkan ada yang menjadi prajurit. Kecurigaan pada Dina, Saadah, dan Rohmah muncul tanpa dasar yang kuat. Meski demikian, ketiganya tidak goyah. Mereka tetap setia pada republik meski harus mengalami diskriminasi sampai kekerasan. “Saya sadar saya harus tinggal demi suami saya. Nama suami saya harus tetap bersih tidak ternoda!” kata Rohmah menjelaskan besarnya godaan kala teman-temannya pindah ke Belanda.

  • Gajah Sultan Banten

    FRANCOIS VALENTIJN (1666-1727), misionaris dan naturalis Belanda, yang berkunjung ke Kesultanan Banten pada 1694 menyaksikan gajah sebagai salah satu hewan peliharaan sultan. Dia menggambar pemandangan Banten yang menunjukkan bahwa pada pertengahan pertama abad ke-17 terdapat seekor gajah di lapangan di bawah sebuah bangunan beratap. Sajarah Banten (pupuh 44) menyebutkan bahwa gajah itu bernama Rara Kawi yang diikat pada sebuah tonggak di panyurugan (galangan kapal kerajaan) di tepi sungai. Jean Baptiste Tavernier, pedagang dan penjelajah Prancis, berkunjung ke Banten pada Juli 1648. Dia menghitung ada 16 ekor gajah di bagian dalam istana Kesultanan Banten. Dia juga menyebut bahwa raja memiliki jauh lebih banyak gajah. “Mengingat bahwa keraton-keraton Jawa Tengah tetap meneruskan tradisi memiliki gajah sampai abad ke-20, kita memperkirakan bahwa tradisi ini tidak ditinggalkan di Banten meskipun sultan lebih percaya kepada persenjataan modern,” tulis Claude Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Adad X-XVII. Hal itu terlihat ketika Cornelis Speelman diangkat menjadi gubernur jenderal pada November 1681. Sultan Banten menghadiakan seekor gajah kepadanya dalam upacara yang dianggap sama pentingnya dengan penobatan raja. Pada Januari 1681, datanglah rombongan kedutaan pertama Kerajaan Siam untuk Prancis ke Banten. Rombongan ini, yang kemudian mengalami kecelakaan di tengah laut dalam perjalanannya menuju Prancis, singgah di Banten untuk alasan teknis dan tinggal selama delapan bulan. Di dalam kapal tersebut terdapat dua ekor gajah yang ditujukkan untuk Raja Prancis, Louis XIV. Raja Siam itu, menurut Heriyanti Ongkodharma Untoro dalam Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan Banten 1522-1684 Kajian Arkeologi-Ekonomi , menghadiahkan seekor gajah kepada sultan Banten. Hadiah ini bersifat politik dan dapat diartikan sebagai persahabatan antara dua kerajaan yang saling menghormati dengan kedudukan yang setara.

  • Menghubungkan Titik Demi Titik

    GUNA memahami kenapa pemerintah Belanda akhirnya memutuskan untuk mendanai sebuah investigasi/riset berskala besar tentang Perang Kemerdekaan Indonesia (1945-1950), kita perlu mengakui adanya akibat politik dari kasus-kasus pengadilan yang menggugat negeri Belanda. (Salah satunya kasus pengadilan Rawagede, diadvokasi K.U.K.B, yang memaksa pemerintah Belanda akhirnya membayar kompensasi kepada para janda yang suaminya dieksekusi secara massal pada masa Perang Kemerdekaan). Terlalu naif jika kedua hal tersebut dipisahkan. Investigasi/riset ini kelihatan seperti usaha tulus dan tegas dari Belanda yang pada akhirnya bertanggungjawab penuh pada kekejaman penjajahan. Meskipun begitu, pemerintah Belanda kerap mengutarakan keinginannya untuk melupakan masa lalu dan beranjak menatap masa depan. Tanpa tekanan dari kasus pengadilan yang sedang berjalan sekarang ini, pemerintah Belanda seperinya tak akan mau mendanai investigasi kasus itu lebih lanjut. Namun, bukannya mengakui rintisan dari ketua K.U.K.B. (Komite Utang Kehormatan Belanda), Jeffry Pondaag, para pimpinan proyek investigasi/riset tersebut justru menyingkirkan dan mengabaikannya. Kenapa bisa begitu? Saya pikir penelitian ini adalah strategi untuk meyakinkan dunia internasional bahwa pihak Belanda sedang melakukan hal luar biasa. Katakanlah seperti laporan pemerintah tahun 2004 berjudul “Melupakan masa lalu untuk janji masa depan” yang fokus pada perjanjian keuangan tahun 1966. Setahun setelah Soeharto naik tahta, Belanda mengatur kesepakatan yang membuat Indonesia membayar kerugian perusahaannya di Indonesia. Soeharto dikenal lebih pro-Barat dibanding Sukarno. Hingga kini, pandangan umum di Belanda yang menyebut sang presiden RI pertama itu berlaku bengis dengan menasionalisasi seluruh perusahaan Belanda pada 1957,  masih hidup. Dalam narasi ini, sepertinya tak ada orang yang peduli apakah “properti-properti” kolonial ini sejak awal didapatkan secara legal. Lihatlah laporan tahun 2004 itu, kesimpulannya menyatakan bahwa wajar bagi Indonesia untuk membayar sejumlah besar uang kepada Belanda, seperti juga para bekas koloni Inggris yang melakukan hal sama. Dalam laporan Belanda ini, pertanyaan kritis terkait dengan pembayaran ini direkduksi dalam "logika sederhana hitam dan putih" yang tidak benar. Lebih lanjut, tahun 2008, pemerintah Belanda menolak klaim kasus Rawagede dengan alasan bahwa perjanjian tahun 1966 sudah mengakhiri segala kewajiban keuangan. Nampaknya, Belanda memasukkan perjanjian ini (yang hanya menguntungkannya) yang tak bisa dibatalkan sebagai bantahan. Oleh karena itu, mereka menganggap kompensasi pada para korban perang Indonesia adalah mustahil –menakjubkan, bahwa perjanjian 1966 dimaksudkan untuk menjamin pembayaran Indonesia kepada Belanda namun bukan untuk sebaliknya. Pengalaman pribadi saya membuktikan sikap pengabaian yang disengaja ini. Pada Juni 2016, Saya datang ke seminar di The Hague yang menghadirkan sepuluh profesional Indonesia dan Belanda secara bersamaan. Sebagai sebuah kelompok, kami diundang oleh Kementrian Luar Negeri Belanda untuk lebih mempelajari tentang hubungan bilateral kedua negara. Selama presentasi tersebut, pejabat pemerintah Hanjo de Kuiper tak henti-hentinya berbicara tentang masa depan. Menurutnya, inilah saatnya untuk beranjak; Belanda dan Indonesia pada akhirnya menjadi rekan yang setara. Dia juga mengucapkan terima kasih pada seluruh bantuan pembangunagn yang (diantara negara-negara lain) telah dilunasi Belanda, Indonesia bukan lagi negara berkembang. Namun De Kuiper juga memperingatkan bahwa Belanda (dengan bayangan standart moral yang lebih tinggi) akan tetap kritis terhadap kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang sedang berjalan. Hanya ada satu slide presentasi power point yang merujuk pada topik hangat kejahatan perang Belanda di Indonesia. Slide itu menunjukkan gambar Bert Koenders, menteri luar negeri sebelumnya, yang mengunjungi para janda Rawagede. Gambar tersebut secara jelas melukiskan sebuah pertanggungjawaban. Tentu pada bagian ini tak menerangkan bahwa awalnya negara Belanda telah menolak klaim. Secara keseluruhan, rahasia umum – tentang berabad-abad pelanggaran hak asasi manusia Belanda terhadap Indonesia dan pembayaran hutang ke Belanda – diabaikan. Pertanyaannya sekarang, apa maksudnya ketika seorang pejabat Belanda menyajikan propaganda tentang kunjungan ke orang Indonesia itu hanya 4 bulan sebelum riset Rémy Limpach membuatnya merevisi pernyataan resminya? Dengan mantra tentang masa depan, De Kuiper tampaknya tak berpikir bahwa meneliti kekejaman penjajahan adalah kewajiban moral bagi Belanda untuk bisa beranjak. Menariknya, ketika proyek riset/investigasi itu akhirnya diluncurkan pada September 2017, saya melihat De Kuiper lagi. Dia duduk diantara penonton, tepat di belakang para pemimpin proyek. Saya heran bagaimana kebijakan pemerintah untuk mendanai penelitian baru tentang masa lalu itu bisa langsung mempengaruhi pandangannya. Sulit membayangkan bahwa slide, mantra menuju masa depan, dalam presentasi power point nya berubah secara drastis. Kemudian, pada Oktober 2017, bersama yayasan saya Histori Bersama, kami menyelenggarakan diskusi di Universitas Leiden. Diskusi ini tak hanya memberikan dasar bagi inisiasi Surat Terbuka ( OpenLetters ), tetapi juga memberikan kesempatan pada ketua K.U.K.B. Pondaag untuk menjelaskan motivasinya selama bertahun-tahun mendampingi para korban perang Indonesia, namun tak dianggap penting bagi para pemimpin proyek riset itu. Pondaag, yang berjuang bertahun-tahun untuk membangun kesadaran lebih besar tentang kasus korban perang Indonesia di Belanda ini, tidak diakui peran pentingnya, yang justru adalah pemicu sebenarnya adanya investigasi baru ini. Sekali lagi, De Kuiper ada diantara penonton, Duta Besar Indonesia Gusti Agung Wesaka juga berusaha datang. Dari kehadiran mereka saja, saya menggambarkan betapa sangat politisnya proyek riset ini. Baru-baru ini, The Jakarta Post memuat tulisan-tulisan tentang Surat Terbuka yang ditujukan pada pemerintahan Belanda akhir November lalu, “Mempertanyakan Investigasi”. Kebanyakan artikel tersebut secara optimis mengarahkan pada keuntungan yang mungkin didapatkan dari proyek riset itu, sementara mengabaikan hal spesifik dari Surat Terbuka tersebut.  Sejak awal publikasi tulisan di Jakarta Post itu akan membuat orang berpikir bahwa Surat Terbuka itu mengkritik bahwa para peneliti harus menandatangani kontrak, mengikat mereka untuk memproduksi hasil tertentu untuk kepentingan pemerintah Belanda.   Namun mereka yang benar-benar membaca Surat Terbuka itu akan tahu bahwa itu tak benar. Konflik kepentingan bukanlah soal perjanjian/kontrak tertulis. Saya pikir bahwa tak mungkin juga para peneliti yang terlibat akan mau menandatangani kontrak itu. Biarpun begitu, ketiadaan kontrak tertulis tersebut tak berarti tak ada yang perlu dikhawatirkan. Surat Terbuka secara jelas menerangkan hubungan politis apa yang mesti dipertimbangkan untuk memahami konstruksi besar proyek itu. Jadi, percuma Kedutaan Besar Belanda mengatakan kepada Jakarta Post bahwa “pemerintah tak punya perjanjian/kontrak (dengan para peneliti),” karena Surat Terbuka itu sejak awal tak menyisipkan soal keberadaan kontrak itu. Hal sederhana lain adalah pernyataan sejarawan Belanda Maarten Manse (“Memeriksa dekoloniasasi untu pemahaman lebih baik”, The Post , Jan. 23) bahwa: belum ada indikasi bahwa para peneliti yang bekerja sama dalam proyek ini beralih dari disiplin akademik mereka demi keuntungan politik.” Saya jadi heran apakah ia benar-benar membaca Surat Terbuka itu, yang tertera daftar semua faktor di balik titik berangkat riset yang problematis. Niat baik dan kompetensi akademik bukanlah masalah utama. Politiklah masalahnya. Tulisan ini sebelumnya dimuat di The Jakarta Post, 8 Februari 2018.

  • Di Balik Lagu dan Bendera Pemersatu

    DI tiga cabang olahraga Asian Games XVIII Jakarta-Palembang 2018 ini, Korea tampil bersama dalam satu tim. Mereka tampil di bawah bendera Unifikasi serta lagu kebangsaan “Arirang” , bukan bendera Korut-Korsel dan lagu kebangsaan masing-masing. Bendera Unifikasi, bendera putih bermotif Semenanjung Korea berwarna biru itu disepakati delegasi Korut dan Korsel pada 1989 dalam pembicaraan bilateral jelang Asian Games 1990. Bendera ini bakal dikibarkan dengan iringan lagu “Arirang”  seandainya para atlet tim Korea Bersatu mendapat medali emas di cabang basket putri, dayung putra dan putri, serta kano/kayak putra dan putri. “Kalau lagu ‘Arirang’ itu dari lagu tradisional sejak zaman kerajaan (Dinasti Joseon). Tidak diketahui asalnya (penciptanya). Tapi karena lagu ini sudah banyak diketahui masyarakat di (Korea) selatan dan utara, maka lagu ini yang dipakai untuk tim bersama Korea,” ujar Bae Dong-sun, penulis dan peneliti sejarah modern Korean Cultural Center, kepada Historia . Para Suporter Tim Unifikasi Korea (Foto: INASGOC) Menurut Keith Howard dalam Perspectives on Korean Music , “Arirang” merupakan lagu rakyat yang pertamakali tercatat dalam manuskrip kuno pada 1756. Lagunya menceritakan legenda penguasa Semenanjung Korea 2000 tahun lampau. Rekaman pertama “Arirang” baru dibuat pada 1896 oleh antropolog Amerika Serikat Alice Cunningham Fletcher. Semasa pendudukan Jepang (1910-1945), “Arirang” dijadikan lagu pemberontakan terhadap penjajah. Hingga kini, lagu “Arirang” memiliki 60 versi. Baik Korsel maupun Korut sama-sama mendaftarkannya sebagai warisan budaya dunia UNESCO pada 2012. Ramainya Pendukung Tim Korea Bersatu Menyemangati Tim Basket Putri Unifikasi Korea yang Berasal dari Korea Utara dan Korea Selatan (Foto: INASGOC) Adapun soal bendera Unifikasi berwarna putih bermotif siluet Semenanjung Korea tanpa garis perbatasan, gagasannya sudah muncul sejak 1989. “Jadi awalnya perwakilan kedua pihak juga ingin turunkan tim bersama untuk Asian Games 1990, namun dibatalkan,” sambung Bae. Baru pada 1991 di Kejuaraan Dunia Tenis Meja ke-41 di Chiba, Jepang dan Piala Dunia Yunior kedelapan di Lisbon, Portugal bendera ini menaungi para atlet dari dua Korea. Bendera ini kembali mengiringi Kontingen Korea Utara dan Korea Selatan di upacara pembukaan Olimpiade Musim Panas 2000 di Sydney meski tak disertai turunnya tim bersama di cabang-cabang olahraganya. Pertamakali Tim Korea Selatan dan Korea Utara Berdefile sebagai Satu Kontingen pada Olimpiade Sydney 2000 Hal serupa kembali dipertontonkan pada pembukaan Asian Games 2002 di Busan, Korea Selatan, Olimpiade Musim Panas 2004 Athena, Olimpiade Musim Dingin 2006 Turin, Asian Games 2006 Doha, dan Olimpiade Musim Dingin 2018 Pyeonchang di mana tim Korea Bersatu turun di cabang hoki putri. Bendera Unifikasi ini sudah beberapakali mengalami perubahan. Kala bendera ini pertamakali muncul tahun 1991, desainnya mengikutsertakan Pulau Jeju di bawah motif siluet Semenanjung Korea. Pada tahun 2006, benderanya ditambahkan siluet Pulau Ulleungdo di kanan siluet semenanjung. Pada 2009, motifnya ditambahi Karang Liancourt atau Dokdo, rangkaian karang yang masih jadi sengketa antara Korea Selatan dan Jepang.

  • Bela Negara dari Belantara Minangkabau

    MESKIPUN menuai pro dan kontra, Kementerian Pertahanan tetap menyelenggarakan program bela negara. Padahal, pada 2006 pemerintah sendiri telah menetapkan 19 Desember sebagai Hari Bela Negara. Tanggal itu terkait sejarah PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di Sumatera yang berdiri pada 19 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949. Kala PDRI menyambung nyawa Republik Indonesia, masyarakat Minangkabau telah membela negara dengan menjadi penopang PDRI. Pada 22 Desember 1948, PDRI diumumkan di Halaban, termasuk menyebutkan susunan kabinet. Namun, PDRI memilih nomaden untuk menghindar kejaran Belanda sembari menyuarakan Republik masih ada lewat radio transmitter dan mobiele x-mitter yang dioperasikan oleh AURI. Selama tujuh bulan, PDRI menjaga eksistensi Republik, dengan berpindah dari satu nagari ke nagari lainnya. Sepanjang itu pula, masyarakat di nagari-nagari yang didaulat menjadi ibukota menunjukan semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Tercatat ada delapan nagari yang pernah menjadi ibukota PDRI. Di semua nagari, masyarakat menyambut dengan hangat dan bersahabat, menyediakan rumah-rumah untuk ditempati, surau sebagai ruang silaturahmi, rumah yang didaulat menjadi ‘istana’ untuk rapat kabinet, dan penyediaan makan yang cukup. Salah satu nagari paling lama dihuni Sjafruddin Prawiranegara dan rombongan PDRI adalah Bidar Alam di Solok Selatan. Selama lebih kurang 3,5 bulan, mereka mendapati loyalitas  dan totalitas yang tak terbatas. “Di Bidar Alam kami mengadakan hubungan dengan luar. Membuat instruksi-instruksi, mengkoordinir perjuangan. Mengirimkan utusan-utusan, kurir-kurir, mengadakan kontak-kontak dengan pembesar-pembesar. Kami juga membentuk Komisariat Pemerintah di Jawa,” ujar Sjafruddin seperti tercatat dalam PDRI Dalam Khasanah Kearsipan . Selama di Bidar Alam, pejabat PDRI mendapat pengamanan dari anggota Badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK). BPNK yang digagas Mohammad Hatta mengatur dan mengerahkan sumber daya yang ada sebagai pengaman dan mata-mata untuk melihat kedatangan Belanda.  “Semasa PDRI, pengembala ikut menasbihkan diri mengamankan nagari Bidar Alam. Mereka diminta melapor kepada BPNK jika masuknya orang-orang yang mencurigakan,” jelas Ibnu Abbas, mantan komandan BPNK Bidar Alam, beberapa waktu silam. Selain itu, masyarakat juga memastikan logistik untuk pejabat PDRI.  “Di sini tidak ada dapur umun. Tiap rumah disuruh membuat nasi bungkus tiap pagi dan sore hari. Kita  berpesan kepada warga untuk menyediakan nasi bungkus paling telat 15 menit sebelum jam makan,” cerita Ibnu. Selain penyediaan nasi bungkus di tiap rumah, beberapa pemuda juga ditunjuk untuk berburu kijang dan rusa. Ibnu mengatakan, Alimin dan Afan sering ditunjuk menjadi pemburu. Punggawa PDRI seperti Supono dan Dick Tamini juga sering ikut berburu. Spontanitas pelayanan maksimal untuk PDRI juga ditunjukan oleh nagari-nagari lain yang pernah disinggahi dan dijadikan pusat pemerintahan. Intan Sari Datuak Magek Karajan, Ketua Perbekalan saat PDRI beribukota di Silantai, Kabupaten Sijunjung, diberi wewenang untuk menunjuk warga memasak. Nursani ditunjuk sebagai ketua masak. “Makanan kesukaan Pak Sjaf adalah gulai ikan,” timpalnya. Bahkan, ada di antaranya warga memberi hewan ternak seperti kambing karena bernazar atau berzakat. Dan warga yang panen padi, menyisihkan beras untuk kebutuhan dapur umum. Di masa PDRI, ada juga masyarakat yang memainkan peran sebagai tukang pijat dan tukang gendong para pemimpin PDRI. Pola-pola ini hampir terjadi di tiap nagari yang mendapat kesempatan menjadi ibukota. “Para pejuang di medan laga tidak mungkin memiliki tenaga untuk berperang tanpa dibekali nasi bungkus oleh kaum ibu dari dapur umum,” ujar Mestika Zed, sejarawan Universitas Negeri Padang. Mestika mengatakan, PDRI menjadi sebuah periode dimana panggung sejarah perjuangan kemerdekaan beralih dari kota ke pedesaan, ketika pemimpin mengungsi ke pedalaman, ketika perjuangan melibatkan partisipasi rakyat.

bottom of page