Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Cara Belanda Tangani Penderita Gangguan Jiwa
Dimin kesal, lantas mengamuk. Dia hendak membakar rumah tetangganya. Ribut-ribut tak dapat dihindarkan. Akhirnya, Dimin ditangkap polisi lantaran dianggap pengacau dan mengancam keselamatan keluarga juga para tetangganya. Tak berapa lama dikurung di Penjara Rembang, petugas penjara menemukan ada yang ganjil pada Dimin. Seorang dokter kemudian dipanggil untuk memeriksanya. Rupanya, Dimin bukan seorang kriminal melainkan penderita gangguan kesehatan jiwa. Maka, Dimin dipindahkan ke Layanan Kesehatan Jiwa Magelang yang dibiayai pemerintah Belanda. “Dimin datang dari keluarga petani. Dia tidak harus membayar biaya pengobatan karena itu digratiskan,” kata Sebastiaan Broere yang meneliti tentang Rumah Sakit Jiwa di Magelang dan Yogyakarta pada Historia . Dimin termasuk penderita gangguan jiwa yang beruntung. Orang lain yang seperti Dimin ada yang dikurung, dipasung, bahkan dibunuh karena dinggap amat mengganggu dan membahayakan masyarakat. Mereka yang bernasib mujur, bertemu atau dilaporkan polisi, berakhir di layanan kesehatan pemerintah kolonial. Tapi mereka yang “kurang mengganggu dan mengancam” masyarakat tidak bisa mendapat layanan ini. Dari penelusuran Broere, sekira 30 persen pasien di Layanan Kesehatan Jiwa Magelang merupakan penderita gangguan jiwa yang menjadi gelandangan. Kebanyakan kasusnya seperti Dimin, mengamuk lantas ditangkap polisi dan dimasukkan ke penjara terlebih dulu. Mereka dirawat secara cuma-cuma dan menjadi tanggungan pemerintah Belanda. “Saya pikir mereka (orang Belanda) juga merasa takut. Mereka merasa tidak aman di Hindia. Saya kira mereka begitu ketakutan pada orang Indonesia yang menderita gangguan mental atau orang yang terserang amok, bisa membunuh mereka, makanya dibentuklah layanan kesehatan mental,” kata Broere. Jika Dimin masuk karena dianggap mengganggu, lain lagi dengan Raden Mas Hardjosentono yang masuk Layanan Kesehatan Jiwa Magelang diantar oleh salah satu anaknya. Sejak mengalami kesulitan finansial, Hardjisentono stres dan berujung depresi. Anaknya menyebut Hardjosentono bingung. Atas saran dari keluarga besar yang merupakan priyayi ini, anaknya mengantar Hardjosentono ke Magelang. Keluarga berharap Hardjosentono bisa sembuh dari gangguan jiwanya dan kembali seperti semula. Dimin dan Hardjosentono (keduanya nama rekaan dalam penelitian Broere) masuk pada 1930-an ketika pelayanan kesehatan mental Hindia-Belanda sudah cukup mapan. Layanan kesehatan jiwa di masa ini sudah terintegrasi dengan rumahsakit transit (sebelum masuk ke Magelang) dan jaringan perkebunan yang digunakan sebagai masa percobaan sebelum pasien dilepas kembali ke masyarakat. Pasien-pasien pada layanan kesehatan jiwa di Magelang datang dari kondisi seperti Dimin dan Hardjosentono. Namun ada pula yang dirawat sambil didampingi keluarga mereka meski pada akhirnya dititipkan di sana lantaran keluarga tak bisa seterusnya menunggui mereka. Hans Pols dalam artikelnya “The Development of Psychiatry in Indonesia: From Colonial to Modern Times” menyebut pasien pribumi sembuh lebih cepat dibanding pasien-pasien Eropa. Pols mengutip dokter Belanda, PMH Travaligno, yang menyelidiki gejala skizofrenia di Jawa, bahwa halusinasi lewat penglihatan dan pendengaran jarang terjadi di kalangan penderita skizofrenia Jawa. Penderita skizofrenia Jawa, menurut Travaglino, biasanya berperilaku agresif dengan mengamuk. Mereka juga bicara sendiri, berteriak, bernyanyi, dan memaki. Terkadang, mereka terlibat keributan karena mengganggu orang dengan merobek pakaian orang lain, merusak barang, atau memukul orang. Pasien-pasien ini mengalami disorientasi, kurang konsentrasi, sangat gelisah, dan histeris. Namun, kutip Pols, sebagian besar pasien pulih dalam waktu seminggu. Ketika pasien gangguan jiwa di Magelang dianggap sudah sembuh, petugas kesehatan akan megirimkan surat, memberi kabar kesembuhan pasien. Keluarga pasien juga bisa mengajukan pembebasan rehabilitasi. Mereka yang masuk karena ditangkap polisi akan dibebaskan dengan diberi keterampilan bertani. Namun bila pasien gangguan jiwa masih suka mengamuk dan berpotensi mengancam lingkungan sekitar, mereka tidak akan dilepaskan. Kehadiran layanan kesehatan mental di Magelang menjadi titik cerah untuk para penderita gangguan mental terhindar dari pasungan juga penelantaran. “Layanan kesehatan jiwa Magelang menjadi tempat aman bagi para pasien agar bisa pulih dari masalah mental dan menemukan jalan kembali ke masyarakat,” tulis Broere dalam penelitiannya, In and Out of Magelang Asylum.
- Museum PDRI Riwayatmu Kini
KETIKA berpidato membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional RKP 2019 di Grand Sahid Jaya, Jakarta pengujung April lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyinggung banyaknya pembangunan yang dijalankan dengan perencaan tak matang. “Ada pelabuhan nggak ada jalannya. Banyak, ada 30 pelabuhan, ada pelabuhan nggak ada jalannya. Ini perencanaan nggak ada waduk, dan nggak ada irigasinya. Hati-hati yang namanya perencanaan. Ada museum di tengah hutan,” ungkap Presiden Jokowi. Museum di tengah hutan yang disebut Presiden Jokowi merujuk pada bangunan terlantar di Jorong Aia Angek, Nagari Koto Tinggi, Kecamatan Gunung Omeh, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Berjarak 48 km dari kota Payakumbuh, lokasinya berada di rimba Aia Angek. Untuk mencapainya, pengunjung harus melintasi jalan kecil beraspal tipis terkelupas di sana-sini diselingi lubang menganga. Setibanya di lokasi, dari kejauhan tampak dua bangunan mirip Tongkonan –rumah adat suku Toraja. Keduanya masih berbentuk kerangka dirambati tumbuhan liar, berdiri di atas tanah merah, menyembul di antara lebat pepohonan. Tak jauh dari dua bangunan utama yang berlawanan kutub itu, dua barak pekerja kondisinya sudah lusuh. Di dalamnya serba berantakan. Berada di areal seluas 20 hektar hibah dari Zainir Datuak Pajuang, tokoh masyarakat setempat yang keluarganya turut dalam perjuangan PDRI, bangunan yang digadang-gadang sebagai situs kunjungan wisata sejarah itu kini terbengkalai. Kendati demikian, pemerintah Provinsi Sumatera Barat berkukuh proyek pembangunan tersebut tidak mangkrak dengan argumen: “lemahnya komitmen penganggaran dari kementerian yang terlibat sejak awal.” Wakil Gubernur Sumatera Barat Nasrul Abit menegaskan proyek pembangunan museum PDRI tidak bisa disebut mangkrak. “Tidak mangkrak, kita sudah lakukan pertemuan beberapa waktu, dengan hasil tahun ini dialokasikan Rp5 milyar. Selama ini dikelola oleh kabupaten (Limapuluh Kota), kita mau tarik ke provinsi dengan Dinas PUPR mengelola berikutnya, sehingga ada yang bertanggung jawab penuh. Kami berharap enam kementerian untuk bisa menyalurkan dana sesuai komitmen awal,” kata Nasrul Abit. Mengacu pada keputusan Menteri Pertahanan nomor: KEP/741/M/VIII/2012 tentang Penetapan Tim Teknis Pembangunan Monumen Bela Negara, dan Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 180/723/Huk/2012 tentang Perubahan atas Keputusan Gubernur Sumatera Barat Nomor 460-15-2011 tentang Pembentukan Panitia Pembangunan Monumen dan Tugu Bela Negara di tingkat Provinsi Sumatera Barat, sumber pembiayaan disepakati dari APBN yang dialokasikan dalam anggaran Kementerian Pertahanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Kementerian Sosial. Dari dokumen yang diterbitkan pemerintah provinsi Sumatera Barat tentang perkembangan pembangunan Monumen Bela Negara di Koto Tinggi, estimasi anggaran yang dibutuhkan menyentuh angka Rp.553,5 miliar. Sementara, hingga saat ini realisasinya baru Rp49,5 milyar. Rinciannya anggaran yang telah dialokasikan berasal dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Rp40,8 milyar. Anggaran tersebut dialokasikan secara bertahap dalam rentang 2012-2016. Informasi jumlah alokasi dana yang diperoleh dari dokumen Pemprov Sumbar berbeda dari keterangan Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Hilmar Farid saat mengunjungi Koto Tinggi tahun lalu. Dia mengungkapkan, hingga 2016 pembangunan museum PDRI telah menelan anggaran Rp52,5 milyar. “Total anggaran pembangunan museum hingga 2019, akan menelan Rp80 miliar,” katanya. Tahun 2017, sama sekali tidak ada gelontoran dana dari Kemendikbud. “Tidak berlanjut atau off pada tahun 2017. Tahun ini (anggaran 2018) mau masuk,” ujar Nasrul Abit. Sementara, Pemda Sumatera Barat telah menggelontorkan dana Rp6,5 milyar sejak 2012 sampai 2017. Lalu, Pemkab Limapuluh Kota mengucurkan dana APBD sebesar Rp2,2 milyar. Menurut Nasrul, anggaran dari Kemendikbud dipergunakan untuk pembangunan museum. Sementara APBD dari provinsi digunakan untuk pembukaan lajur jalan, termasuk jalan lingkungan. Sedangkan dana ABPD Kabupaten Limapuluh Kota ditujukan untuk pembangunan jalan dan pembebasan lahan. Berharap Rimba Jadi Kawasan Wisata Pola penganggaran semakin menampakkan semangat yang menaungi proyek ini. Cara pandang pemerintah Sumatera Barat, proyek ini mengerek pembangunan yang kurang menyentuh daerah di punggukan Bukit Barisan ini. Muaranya, keberadaan museum diharapkan memacu pariwisata, menggeliatkan ekonomi. Berhubung di level pusat Kemendikbud bertindak sebagai Pengguna Anggaran (PA), sehingga turunannya, Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Limapuluh Kota menjadi instansi yang didaulat mengurusi proyek ini di masa awal, sebelum diserahkan ke provinsi. Zulhikmi, kepala dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Limapuluh Kota di masa awal (2012), ditunjuk menjadi Kuasa Pengguna Anggaran (KPA). Zulhikmi menjelaskan, pada 2012, pembangunan museum baru sekadar penanda yakni peletakan batu pertama. Di tahun itu juga Dinas PU meneroka dan menapaki jalan lingkung. Setahun berikutnya, cerita Zulhikmi, Kemendikbud mencairkan dana Rp.20 miliar untuk pembangunan fisik museum. “Tidak terserap semua. Yang habis 16 miliar, sesuai nilai kontrak,” tukasnya. “Kegunaannya untuk pembangunan (yang terlihat sekarang). Tapi itu sudah bertambah. Sudah tiga tahun berjalan. Saya tahun pertama (sebagai KPA),” ujar Zulhikmi saat ditemui di kediamannya di sisi GOR Singa Harau, Sarilamak, Kabupaten Limapuluh Kota. Seturut yang dia ketahui, hingga tahun 2015 pembangunan masih berjalan. Dia juga menyebutkan, pada masa awal, proyek dikerjakan oleh kontraktor asal Bandung. Saat itu, Irjen juga melakukan pemeriksaan. Zulhikmi mengaku, membangun proyek menumental tersebut di lahan yang mesti diteroka teramatlah sulit. Terlebih, tanah merahnya pasti lembek jika hujan turun. “Tahun pertama, akses jalan susah. Hari penghujan. Susah alat berat masuk. Mobilisasi susah,” bebernya. Dia merasa, mangkraknya pembangunan museum lantaran lembaga yang terlibat tidak seayun. Dia mencontohkan, kenapa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang seakan-akan punya proyek tersendiri, padahal koordinator awalnya Kemenhan. Pada 24 April 2017, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhajjir Effendy dan Direktur Jenderal (Dirjen) Kebudayaan Hilmar Farid meninjau Aia Angek, Koto Tinggi. Kedatangan mereka untuk mengevaluasi kelayakan dan melihat berbagai sisi antara dana yang dikeluarkan dengan manfaat yang didapatkan dari proyek museum tersebut. “Ini perintah langsung Presiden Joko Widodo. Melihat proyek yang belum selesai,” ujar Muhajjir. Secara keseluruhan, Muhajjir mengatakan, terdapat 13 pembangunan museum yang akan dievaluasi, dan Museum PDRI merupakan salah satu yang turut ditinjau ulang. “Indikator evaluasi berupa besar alokasi dana yang dikeluarkan dengan manfaat yang akan didapatkan bagi masyarakat,” sebutnya. Sementara, Hilmar mengatakan, meski pembangunan Museum PDRI melibatkan inisiasi lima kementerian, hanya Kemendikbud yang menampakkan komitmennya. “Baru Kemendikbud yang menggelontorkan anggaran, sementara kementerian lain belum. Kita lihat langsung hasil tinjauan ini dan akan membawa langsung kepada kementerian-kementerian yang bersepakat itu. Nantinya, hasil ini akan dibawa ke rapat terbatas presiden,” ujar Himar. Mendikbud Muhajjir yang pasti menggarisbawahi alokasi anggaran untuk pembangunan Museum PDRI sudah dihentikan sejak tahun lalu, untuk menunggu keputusan dari evaluasi pembangunan museum tersebut. Wakil Bupati Limapuluh Kota Ferizal Ridwan tidak sepakat jika sengkarut anggaran musabab tidak berlanjutnya pembangunan Museum PDRI. Kondisi yang terhampar saat ini, menurutnya, bentuk ketidakseriusan pemerintah. Separuh hati menunaikan konpensasi atau penghargaan pada basis dan orang-orang PDRI. Sekretaris Yayasan Peduli Pejuang (YPP) PDRI tahun 1948-1949 Sumatera Barat itu menegaskan, mestinya pemerintah (pusat) membuka mata betapa basis (kantong) PDRI masih tertinggal, sehingga pembangunan Museum PDRI penting untuk menyulut percepatan pembangunan infrastruktur. “Mestinya konsep 3T (Terluar, Terdepan, Tertinggal) memasukkan Koto Tinggi dan basis lain dengan membangun infrastruktur. Kemampuan YPP PDRI hanya seminar dan menerbitkan buku,” ujarnya. Baginya, pernyataan Mendikbud Muhajjir Effendy yang memberi sinyal bakal mengevaluasi atau tidak melanjutkan pembangunan ‘Monas’ (Museum) PDRI sebagai penghianatan terhadap sejarah. “Selaku putra daerah yang juga pengurus YPP-PDRI tahun 1948-1949, kami tentu keberatan mendengar sinyal Pak Mendikbud. Pak menteri seyogianya lebih memahami sejarah PDRI dan ikut mendorong melanjutkan proyek yang tengah mangkrak. Bahasanya jangan dihentikan, karena Pak Mendikbud bisa menghianati sejarah,” kata Ferizal. Ferizal mengaku akan sangat kecewa dan menyesalkan apabila pihak kementerian mengambil langkah penghentian pembangunan monumen PDRI di Kototinggi hanya karena alasan teknis pengerjaan oleh perusahaan pelaksana proyek. Karena, itu merupakan tanggung-jawab penuh perusahaan pelaksana proyek. “Tentu saja, banyak tokoh dan masyarakat di daerah kami akan dirugikan jika saja pembangunan monumen (PDRI) dihentikan. Karena tidak sedikit upaya yang sudah dilakukan guna memperjuangkan serta mengupayakan pelurusan sejarah bangsa ini. Jangan hanya karena muak melihat satu tikus, lalu lumbung dibakar,” tutur Ferizal. Dia mengharapkan Kementerian jangan hanya mempertimbangkan tata-letak koordinat atau masalah kegagalan teknisnya. “Tapi mendikbud kiranya perlu mempertimbangkan dan evaluasi atas kelanjutan anggaran atau kompensasi lainnya sesuai komitmen yang sudah dibuat,” tukas Ferizal. Ferizal mengajak mendikbud memahami sejarah tentang PDRI 1948-1949 yang menjadi mata rantai agenda nasional, yakni Bela Negara. “Harusnya, mendikbud bisa mengedukasi masyarakat melalui tupoksinya, bagaimana mengupayakan pemuatan sejarah PDRI di kurikulum pendidikan,” pungkas Ferizal. Penulis adalah kontributor Historia di Sumatra Barat.
- Menanti Museum PDRI yang Tak Kunjung Berdiri
SEMBILAN belas Desember tiga tahun setelah Indonesia merdeka, dalam Agresi Militer II, Sukarno dan Hatta ditawan Belanda. Tiga hari kemudian, Sjafrudin Prawiranegara membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra Barat. Demi mengabadikan peristiwa bersejarah itu, pada 2012 pemerintah provinsi Sumatra Barat, Kementrian Pertahanan (Kemenhan), Kemendikbud, Kementrian Sosial (Kemensos), dan Universitas Pertahanan (Unhan) menyusun rencana pembangunan kawasan luas bernama Monumen dan Tugu Bela Negara di Koto Tinggi, Gunung Omeh, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat. Monumen itu dibuat sebagai penanda di kawasan tersebut pernah berdiri PDRI selama 1948-1949. Berbagai fasilitas akan dibangun di sana, terutama sebuah Museum PDRI yang megah. Namun, sejak digagas pada 2012 yang lampau kawasan seluas 50 hektare itu tak banyak mengalami perubahan dari kondisi semula. Padahal hingga 2017, demi membangun museum PDRI, pemerintah telah menggelontorkan dana Rp 44,03 milyar. Sebuah bangunan setengah rampung berdiri mencuat di tengahnya, jadi yang paling mencolok. Itulah gedung museum yang terlihat terbengkalai di tengah hutan Koto Tinggi. Pembangunan yang tak kunjung rampung menuai banyak kritik. Hingga kini Museum PDRI dicap khalayak sebagai proyek mangkrak. Bukan cuma itu, penentuan lokasi yang berjarak 80 km dari Kota Bukittinggi dan 250 km dari kota Padang itu pun dipermasalahkan. Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Harry Widianto menjelaskan, museum merupakan satu bagian dari pembangunan Kawasan Monumen dan Tugu Bela Negara. Pembukaan areal baru ini diharapkan bisa menjadi tujuan wisata baru di Sumatra Barat. “Jadi sebenarnya pembukaan areal untuk PDRI ini tidak hanya ada museum di situ,” lanjut Harry, ketika ditemui Mei lalu di kantornya. Gagasan pembangunan Kawasan Monumen dan Tugu Bela Negara itu diawali dengan rapat koordinasi pada 2012 yang dihadiri Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatra Barat, Kemenhan, Kemendikbud, Kemensos, dan Universitas Pertahanan. “Museum ini dimulai dengan ide. Pada 2012 sudah dirapatkan, kami setuju dan ini merupakan kerja bersama kementrian dan lembaga lain,” katanya. Dari sana, Kemendikbud kebagian tugas untuk membangun Museum PDRI. Selain Kemendikbud, ada lima kementrian lain yang diberi tugas, yaitu Kemenhan, Kemensos, Kemen PUPR, Kementrian Dalam Negeri, dan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. “Museumnya dibuat oleh kemendikbud. Buka lahan oleh Kemen PUPR, pariwisata oleh Kemenpar, tentang historis oleh Kemenhan. Leading sector di Kemenhan. Kalau dibayangkan ini tuh kerja kolektif beberapa lembaga,” jelas Harry. Sayangnya, di antara semua kementrian itu, hingga kini hanya tinggal Kemendikbud yang masih melanjutkan tugasnya. Setiap tahun sejak 2012 pihaknya terus menganggarkan dana agar proyek itu segerta terselesaikan. Namun, kata Harry, karena mencolok sebagai satu-satunya bangunan besar di kawasan itu, Museum PDRI pun nampak seperti bangunan yang mangkrak di tengah antah-berantah. “Ketika dibawa ke rapat teras, presiden bilang kok Kemendikbud bangun museum di tengah hutan? itu kelihatannya sekarang, karena semua nggak gerak. Hanya Kemendikbud yang tetap pada kesepakatan 2012,” ucapnya. Soal lokasi, penetuannya pun bukan asal. Ini dilakukan melalui seminar yang dihadiri oleh para pakar. Dari seminar itu ditunjuk lokasi yang dianggap paling historis dalam PDRI. “Itu recommended, given dari pemerintah sana (Pemprov, Red.). Jatuhnya memang jadi jauh dari kota,” jelas Harry. Ia pun menjamin koleksi yang akan dipajang di museum nantinya sudah jelas. Dengan adanya tim ahli, pengisian koleksi di Museum PDRI sudah melalui kajian. Meski memang, sejauh ini keberadaan koleksi masih tersebar. Sebagian masih ada di perguruan tinggi, legiun veteran, dan masyarakat, terutama dari keturunan pelaku sejarah terkait PDRI. Walaupun dalam kajian sudah diamanatkan, koleksi belum berani dikumpulkan karena tempat belum siap. “Ketika bangunan jadi pasti sudah ada. Nggak ada kendala soal ini. Kalau nggak ada koleksi ngapain bikin museum?” ujar dia. Lalu kapan rampungnya? Kata Harry, itu tergantung dari dana yang tersedia. Hingga saat ini pihaknya membutuhkan dana sekira Rp 200-an milyar untuk menyelesaikan delapan museum, termasuk PDRI. Sementara anggaran untuk pembangunan museum per tahunnya tak mencukupi untuk menyelesaikan semuanya. “Semua museum per tahun, nggak bisa multiyear. Duit dibagi-bagi ke museum lain. Idealnya museum buatnya satu tahun selesai. Tapi kan nggak , kita sharing ,” terangnya. Misalnya, dalam suatu proyek dana yang dibutuhkan mencapai Rp 60 milyar. Dalam setahun dana yang turun hanya Rp 10 milyar. Akibatnya, proyek baru bisa terselesaikan dalam enam tahun. Untuk Museum PDRI, rencana anggarannya memang tak sedikit. Proyek ini mencapai Rp85 milyar. Artinya dengan rancangan anggaran sebesar itu dan banyaknya dana yang sudah digelontorkan masih butuh dana sekira Rp40,9 milyar lagi. Di samping lokasinya yang jauh, volume bangunannya juga besar. Sampai kini, pemerintah baru berhasil mewujudkan 50 persen bangunannya. “Museum PDRI tidak terlantar, diteruskan. Jadi bukan mangkrak,” lanjutnya. Namun, untuk mempercepat agar keseluruhan Kawasan Monuman dan Tugu Bela Negara terselesaikan sesuai cita-cita 2012 silam, menurutnya sangat dibutuhkan adanya Keputusan Presiden (Keppres). Keppres ini pula yang dinilai bisa mendorong kementrian lainnya untuk merealisasikan komitmen enam tahun lalu. “Ini kan jadinya kami yang paling kerja sendirian, kami yang kena getahnya. Kalau semua kementrian gerak ini daerah pasti sudah bagus,” ucap Harry.
- Jalan Panjang Menuju Museum PDRI
HINGGA saat ini Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan RI membutuhkan dana hingga Rp200 miliar untuk merampungkan pembangunan delapan museum, termasuk Museum PDRI. Sejak digagas enam tahun lalu, museum di Koto Tinggi, Gunung Omeh, Lima Puluh Kota, Sumatra Barat itu tak kunjung selesai dibangun. “Kalau dikasih 200 milyar pasti selesai. Kemarin ada pembahasan, alokasi 2017 sudah dikasih, belum ada jadwal menyelesaikan semua,” ujar Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Harry Widianto, ketika ditemui di kantornya. Ia menjelaskan, anggaran untuk pembangunan museum per tahunnya tak mencukupi untuk menyelesaikan semuanya. Untuk Museum PDRI, rencana anggarannya memang tak sedikit. Rencana anggaran proyek ini mencapai Rp85 milyar. Di samping lokasinya yang jauh, volume bangunannya juga besar. Sampai kini, pemerintah baru berhasil mewujudkan 50 persen bangunannya. “Semua museum per tahun, nggak bisa multiyear . Dana dibagi-bagi ke museum lain. Idealnya museum buatnya satu tahun selesai. Tapi kan nggak, kita sharing,” terangnya. Terkait pengerjaan Museum PDRI, berdasarkan data Ditjen PCBM, pihaknya telah mengucurkan dana hingga Rp44 milyar. Pembangunannya dimulai sejak 2012, didahului dengan penyusunan rencana induk hingga seminar nasional, baik di Padang maupun di Jakarta, pada 2012. Setahun setelahnya, prosesnya diserahkan kepada Pemkab Lima Puluh Kota. Pekerjaan fisik museum dimulai pada 2013 dengan anggaran sebesar Rp20 milyar. Waktu itu yang dikerjakan adalah pematangan lahan, membuat auditorium, yaitu bagian pondasi, lantai, dan kolom setinggi 6 meter, membuat pondasi, lantai, kolom lantai untuk museumnya, serta pekerjaan turab. Dari web Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Pemkab Lima Puluh Kota, diketahui pekerjaan konstruksi dilakukan oleh PT. Delima Agung Utama. Pada 2014, pembangunan tahap kedua dilanjutkan dengan anggaran mencapai Rp10 milyar. Lelang pekerjaan konstruksi tahun ini dimenangkan oleh PT. Tasya Total Persada. Pekerjaan yang dilakukan melanjutkan pembangunan auditorium dan museum. Pembangunan museum masih berlanjut pada 2015, dengan anggaran sebesar Rp12,5 milyar. Pekerjaan konstruksinya dilakukan oleh PT. Betania Prima. Pada tahap ketiga pekerjaan ini, masih melanjutkan membangun bagian auditorium, rangka atap, dan penutup atap. Pada 2016 tidak ada pelaksanaan fisik karena terjadi penghematan (Self bloking) sebesar Rp 8,5 milyar. Pekerjaan yang dilakukan adalah meninjau kembali (review) detail engineering desaign (DED). Alasannya, perencanaan yang telah ada dinilai sangat umum. Beberapa pekerjaan tak dijabarkan detil. “Pekerjaan itu baru diserahterimakan pada 26 Oktober 2016, sehingga tidak cukup waktu untuk lelang dan pelaksanaan fisik,” tulis keterangan dalam Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (LAKIP) PCBM tahun 2016. Pada tahun-tahun sebelumnya, lelang biasanya dilakukan di pertengahan tahun, sekira Juni-Juli oleh Pemkab. Dalam laporan itu dijelaskan pula keterlambatan pekerjaan perencanaan DED ini disebabkan terlambat datangnya dokumen konsep awal dari pemenang sayembara. “Masalah dokumen perencanaan, kami melakukan diskusi, rapat dengan pemenang sayembara dan PT. Hardja Moekti Consultant,” tulis laporan itu. Pada 2017, pekerjaan fisik tak dilakukan juga. Pemkab Lima Puluh Kota menyatakan diri tak sanggup melanjutkan pembangunan. Karenanya, anggaran sebesar Rp5 milyar dialihkan pada pembangunan museum lainnya. “Tiap tahun ada alokasi, kecuali 2017 kemarin dikembalikan lagi ke kami, karena (Pemkab, red. ) nggak sanggup. Nggak tau, ini ada masalah internal jadi dioper ke propinsi,” jelas Harry. Terakhir, pada 2018 berdasarkan publikasi laman Lembaga Kebijakan Pengadaan barang/jasa Pemerintah, Direktorat Perencanaan dan evaluasi pengadaan (Sirup LKPP), pembangunan fisik Museum PDRI dilanjutkan. Tercantum di sana dana sebesar Rp5 milyar telah dianggarkan oleh Kemendikbud. “Jadi, museum PDRI tidak terlantar. Diteruskan,” tegas Harry.
- Mangkraknya Museum Kami
PEJABAT dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI dan Provinsi Sumatera Barat bersikukuh bahwa pembangunan Museum Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Koto Tinggi bukan mangkrak namun hanya “membutuhkan dana dan komitmen besar” dari berbagai pihak yang terlibat dalam pekerjaan ini. Untuk mewujudkan ide pembangunan museum yang digagas sejak 2012 itu, pemerintah Provinsi Sumatera Barat bekerjasama dengan Kementerian Pertahanan (Kemenhan), Kemendikbud, Kementrian Sosial (Kemensos), dan Universitas Pertahanan (Unhan). Dana yang sudah digelontorkan pun fantastis jumlahnya: Rp44 milyar dari total kebutuhan sekitar Rp85 milyar. Mengapa untuk membangun museum butuh dana sebesar itu? Ternyata lokasi bersejarah PDRI berada di tengah hutan rimba. Pemerintah mendesain kawasan seluas 50 hektar itu sebagai tujuan wisata baru yang diharapkan bisa membuka akses wilayah sekaligus membawa dampak ekonomi bagi warga sekitar. Jadi tak hanya museum yang dibangun, melainkan pula fasilitas jalan raya untuk menembus hutan menuju lokasi. Dan memang ketika Mr. Sjafruddin Prawiranegara memutuskan mengambilalih tanggungjawab Sukarno sebagai pemimpin Republik Indonesia, dia harus berlindung di balik pepohonan lebat di tengah hutan itu. Sampai-sampai ada istilah guyonan waktu itu kalau pemerintah Republik Indonesia dikendalikan dari “Somewhere in the jungle”, sebuah tempat di hutan entah di mana. Kini, proyek pembangunan terhenti. Baiklah, bukan mangkrak. Berhenti karena dana yang tak kunjung mengalir dan komitmen yang kurang kuat di antara pelaksana gagasan besar itu. Pertanyaannya, apakah tidak sejak awal diperhitungkan segala risikonya? Bagaimana dengan animo masyarakat untuk berkunjung ke lokasi museum? Seyakin apa penggagas museum terhadap antusiasme warga untuk berkunjung ke sana dan meramaikan museum? Terakhir: apakah situs bersejarah yang penting artinya untuk republik ini harus selalu diwujudkan dengan museum megah? Historia.id memilih tema pembangunan Museum PDRI yang terhenti ini sebagai tema laporan khusus. Ini penting karena dari beberapa museum yang dibangun pemerintah sejak 2013, sebut semisal Museum Morotai dan Museum Api Abadi di Grobogan, Jawa Tengah, proses penyelesaiannya macet. Menyisakan sejumlah pertanyaan tentang manajemen proyek yang terkesan kurang perhitungan dan lagi-lagi keseriusan pengerjaannya. Selamat membaca. Berikut ini laporan khusus museum mangkrak: Jalan Panjang Menuju Museum PDRI Menanti Museum PDRI yang Tak Kunjung Berdiri Museum PDRI Riwayatmu Kini
- Nasib Nelangsa Maskot Pertama
HADIRNYA maskot dalam suatu gelaran olahraga akbar seakan sudah jadi hal wajib. Maskot tak ubahnya ikon jati diri serta pelengkap promosi negara tuan rumah. Untuk Asian Games XVIII Jakarta-Palembang 2018, Indonesia sebagai tuan rumah menghadirkan tiga figur maskot: burung cendrawasih bernama Bhin Bhin, rusa Bawean bernama Atung, dan badak bercula satu bernama Kaka. Tradisi maskot dalam pesta olahraga se-Asia ini baru mulai di Asian Games IX 1982 Delhi, India kendati event multi-cabang ini sudah eksis sejak 1951. Adalah seekor gajah Asia ( Elephas Maximus ) jantan yang diberi nama Appu sebagai maskot pertama itu. Beberapa pihak berhaluan politis menyebutkan pesta olahraga itu sebagai “Indira Gandhi Games” atau Asian Games-nya Indira Gandhi, perdana menteri India saat itu. Appu menjadi satu-satunya maskot yang merupakan hewan hidup. Asian Games berikutnya tak pernah lagi menggunakan hewan hidup sebagai maskot sebagaimana Appu bersanding dengan simbol Jantar Matar sebagai logo Asian Games 1982. Nasib Appu yang Berakhir Pilu Nama Appu, yang berarti lucu dalam bahasa India, baru diberikan setelah dijadikan maskot. Padahal gajah balita itu nama aslinya Kuttinarayanan. Ia dijadikan maskot setelah diambil dari Cagar Alam Seijusa, Negara Bagian Arunachal Pradesh. Sosok Appu menjadi populer setelah stasiun televisi Doordashan menayangkan Indira Gandhi sedang membelai sang gajah balita Kuttinarayanan kala berkunjung ke cagar alam itu. “Asian Games merupakan panggung pencitraan pemerintah India kepada dunia dan televisi menjadi perantaranya. Appu, si gajah yang dijadikan maskot juga dijadikan simbol sebuah negara yang maju dan sejahtera,” singkap Boria Majumdar dan Nalin Mehta dalam India and the Olympics . Sebagai maskot, Appu dilatih di Sirkus Apollo jelang Asian Games. Appu dirawat, dilatih, diajarkan berbagai gerakan, termasuk gerakan salam Namaste . Hari yang dinantikan pun tiba. Tetapi sayangnya, Appu batal tampil karena sengketa dari pihak sirkus dengan pemerintah dan Komite Penyelenggara Asian Games (AGSOC) 1982. “Tidak ada Appu yang asli dalam program (upacara pembukaan) kami. Maskotnya hanya berupa simbolis saja yang akan diterbangkan ke udara,” ujar Letjen A.M. Sethna, wakil kepala Staf Angkatan Darat India yang menjadi penanggungjawab upacara pembukaan, kepada India Scope , 15 November 1982. Sosok Appu pada akhirnya memang hanya dihadirkan dalam bentuk balon gajah raksasa yang diterbangkan ke udara pada upacara pembukaan di Stadion Jawaharlal Nehru, 19 November 1982. “Maskot ‘Appu’ bagi (masyarakat) India dianggap simbol keberuntungan dan kekuatan dalam mitos dan cerita rakyat. Appu sebagai gajah kecil lucu dan ceria dengan mata berbinar-binar jadi ikon perwujudan semangat Asian Games,” tulis Mithlesh K. Singh Sisodia dalam “India and the Asian Games: From Infancy to Maturity” dalam literatur Sport, Nationalism and Orientalism: The Asian Games . Sayang, kemudian hidup Appu berakhir sendu. Setelah gelaran Asian Games, Appu diserahkan ke Sirkus Apollo. Suratkabar India Today , 15 Agustus 1988 mengungkap, berpindahtangannya Appu ke Sirkus Apollo berdasarkan surat permintaan salah satu bos sirkus, C. Shridharan, kepada Buta Singh, ketua AGSOC. Kondisi mengenaskan Appu, gajah maskot Asian Games 1982 setelah menderita demam tinggi akibat terjatuh ke lubang septic tank sebelum akhirnya tutup usia pada 2005/Foto: The Hindu 15 Mei 2005 Tak berapa lama setelah dieksploitasi Sirkus Apollo, pemerintah menuntut Appu dikembalikan. Appu akhirnya diasuh di Suaka Margasatwa Guruvayum Devaswam Aanathavalam, Punnathurkotta, Kerala, sampai tutup usia di umur 23 tahun, 14 Mei 2005. Appu meninggal gegara demam tinggi akibat peradangan sendi dan patah tulang kedua kaki depannya. Suratkabar The Telegraph edisi India, 15 Mei 2005 menyebutkan, Appu menderita demam dan patah kaki setelah jatuh ke lubang septic tank pasca-menjadi bintang dalam sebuah festival keagamaan di Palakkad, beberapa hari sebelumnya. Nama Appu lalu diabadikan sebagai nama taman hiburan di New Delhi yang berdiri tahun 1984: Appu Ghar.
- Tujuh Gempa Lombok dalam Catatan Sejarah
IBU pertiwi tengah menangis. Jelang ulangtahunnya yang ke-73 dan pesta olahraga Asian Games XVIII, Indonesia dibuat sesenggukan oleh bencana gempa bumi dahsyat yang melanda Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB), Minggu (5/8/2018), sekira pukul 19.46 WITA. Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), titik gempa berada di 18 kilometer (km) barat laut Kabupaten Lombok Timur pada kedalaman 15 km. Guncangan yang mencapai 7,0 Skala Richter (SR) turut merobohkan ribuan bangunan dan memicu tsunami kecil. Hingga tulisan ini diturunkan, menurut data Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di laman bnpg.go.id , gempa tersebut sudah menelan 91 orang tewas dan 209 lainnya luka-luka. Gempa disebutkan sebagai gempa utama dari aktivitas Sesar Naik Flores yang dimulai sejak 29 Juli 2018, di mana turut mengguncang permukaan bumi dengan magnitudo 6.4 SR. Gempa kali ini menjadi gempa kesekian yang terjadi di Pulau Lombok sejak akhir abad ke-19. Menurut catatan historis, gempa tektonik kali ini merupakan yang terbesar. Berikut rangkuman saptapetaka atau tujuh gempa Lombok yang pernah terjadi dengan kekuatan di atas 6,0 SR: Gempa Lombok, 25 Juli 1856 Gempa ini gempa tektonik pertama yang tercatat dalam literatur era kolonial, tepatnya pada 1918, berupa disertasi Arthur Wichmann dari Koninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen (KNAW) bertajuk The Earthquakes of the Indian Archipelago until the Year 1857. Wichmann mencatat bahwa gempa besar terjadi di Lombok, tepatnya di Labuan Tereng, pada 25 Juli 1856. Gempa itu juga memicu gelombang tsunami yang menghantam pesisir Ampenan di Mataram. Sayangnya, catatan itu tak menyebutkan berapa kekuatan gempa dan tinggi gelombang tsunaminya. Gempa Lombok, 21-24 Desember 1970 Data USGS turut mencatat, Kota Praya di Pulau Lombok juga diguncang dua gempa besar pada 21 dan 24 Desember 1970. Pada 21 Desember, gempa berkekuatan 6,0 SR dan berpusat di kedalaman 75 km itu mengguncang perairan di selatan Lombok. Pada 24 Desember, letak pusat gempanya di kedalaman 70 km dan kekuatannya 5,6 SR. Namun, tak ada korban tewas akibat dua gempa tersebut. Gempa Lombok, 28 Mei 1972. USGS kembali mencatat, getaran gempa berpusat di 262 km selatan Praya pada 28 Mei 1972. Kekuatannya mencapai 6,3 SR dengan kedalaman 15 km. Tak ada korban jiwa akibat bencana ini. Hanya beberapa bangunan runtuh akibat guncangannya yang terbilang besar namun tak memicu tsunami. Gempa Lombok, 10 April 1978 Menurut catatatan BMKG, gempa pada 10 April 1978 ini berpusat di 297 km selatan Praya dan berkekuatan 6,7 SR. Gempa tak menimbulkan korban jiwa. Gempa yang berada di kedalaman 19 km ini hanya menimbulkan sejumlah bangunan rusak parah namun tidak memicu tsunami. Gempa Lombok, 30 Mei 1979 Sebanyak 37 orang dilaporakan tewas, menurut data BMKG, dalam bencana gempa berkekuatan 6,1 SR. Selain itu, sejumlah rumah dan bangunan rusak berat. Gempa Lombok, 1 Januari 2000 BMKG mendata bahwa gempa Lombok di tahun baru itu merusak sekitar 2000 rumah. Pun begitu, gempa bermagnitudo 6,1 SR itu tak menelan korban jiwa dan memicu potensi tsunami. Gempa Lombok, 9 Juni 2016 Menurut data USGS, gempa berkekuatan 6,2 SR di 284 km selatan pesisir Kute pada kedalaman 19 km tersebut melukai sembilan orang. Guncangannya dirasakan kuat hingga ke Pulau Bali dan Pulau Sumbawa, namun tak memicu potensi tsunami.
- Majakerta yang Dilupa
OBOR untuk upacara pembukaan Asian Games 2018 telah dinyalakan. Gempita perhelatan event olahraga multicabang terbesar Asia mulai membahana. Namun, kemeriahan di ibukota itu tak sampai ke Desa Majakerta di pesisir Indramayu, Jawa Barat. Desa seluas 2,5 kilometer persegi itu memang tak populer. Namanya sempat jadi berita ketika terjadi bencana pada 1995.
- Dari Majakerta ke Jakarta untuk Asia
OBOR Asian Games 2018 telah dinyalakan. Sumber apinya diambil dari api abadi di Stadion Nasional Dhyan Chand, New Delhi, India dan disatukan dengan api Mrapen, Jawa Tengah. Selama 35 hari, obor ini akan diarak sepanjang 18.000 km di 54 kota di 18 provinsi di Indonesia. Pejabat pemerintah, media massa, para atlet serta masyarakat menyambutnya dengan antusias. Pawai obor ini mengingatkan pada pawai obor Asian Games tahun 1962 yang juga diadakan di Indonesia.
- Pepera: Bersama Indonesia atau Mati
PAPUA, 8 Oktober 1968. Tiga orang tentara menjemput Joel Boray di kediamannya. Salah satu dari mereka mengetuk pintu rumah. Yang lain berkata: “Pak Joel Boray, ikut kami sebentar, diperiksa sebentar nanti pulang.” Tidak kuasa melawan, Joel dan kawan-kawannya terpaksa ikut. Joel Boray kena tipu. Sesampainya di markas tentara setempat, dia ditahan. Tentara mengunci mereka dalam satu ruangan dilanjutkan dengan pemukulan hingga berdarah-darah. Penganiayaan itu terjadi karena Joel nekad mengadakan demonstrasi. Dalam aksinya, Joel bersama guru-guru di Biak menolak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang akan diseleggarakan pemerintah Indonesia. “Oh tidak bisa, kami harus memilih one man one vote karena itu yang paling bagus dengan New York Agreement (Perjanjian New York)” ujar Joel dalam “Koteka Lebih Baik dari Celana” termuat di kumpulan tulisan Bakti Pamong Praja Papua suntingan Leontinne Visser dan Amaponjos Marey. Joel adalah seorang pamong praja. Dia bekerja di kantor Kabupaten Biak sebagai anggota staf. Karena menentang Pepera, dia dikurung selama empat bulan di kompleks Angkatan Laut. “Kalau diadakan pemilihan satu orang satu suara, sudah jelas rakyat Papua senang memilih merdeka sendiri. Ah, itulah rahasianya,” kenang Joel. Satu Pilihan Polemik soal Pepera berkaitan erat dengan Perjanjian New York yang ditandatangani pada 1962. Pasal 18 yang mengatur tentang "pemerintah Indonesia dan penentuan nasib sendiri manyatakan rakyat Papua diberi kesempatan kebebasan memilih bergabung dengan Indonesia atau merdeka". Sementara mekanisme pemungutan suara dilakukan seturut dengan ketentuan internasional. Dalam butir (d) disebutkan, “Hak pilih semua orang dewasa, pria dan wanita yang merupakan penduduk pada waktu pendatanganan persetujuan dan pada waktu perwujudan penentuan nasib sendiri untuk ikut serta…” Dengan kata lain, jajak pendapat rakyat Papua seyogianya diperoleh lewat mekanisme satu orang satu suara. Namun dalam praktik, pemerintah Indonesia menerapkan metode delegasi. Cara ini dianggap tepat dengan kebudayaan Indonesia, disamping kesulitan biaya untuk penyelenggaraannya. Para pemilih diwakilkan lewat Dewan Musyawarah Pepera (DMP) yang dihimpun dari delapan kabupaten. Sekira 800.000 penduduk Papua saat itu diwakili oleh 1026 DMP. Siasat pemenangan Pepera yang demikian itu agaknya terjadi atas sepengetahuan dan inisiasi Menteri Dalam Negeri Amir Machmud. Dalam otobiografinya, Amir mengakui kementerian yang dipimpinnya paling bertanggung jawab atas penyelenggaraan Pepera. Di sisi lain, Presiden Soeharto telah berpesan agar Pepera jangan sampai gagal. Ketika berkunjung ke Irian Barat untuk meninjau persiapan Pepera, Amir mendapati kenyataan yang menohok. Sebagian rakyat Papua tidak begitu memperlihatkan simpatinya kepada Republik Indonesia. Kemungkinan kalah dalam Pepera cukup terbuka. “Bagi saya, dan juga bagi pemerintah Orde Baru, tidak ada pilihan, Irian Barat harus tetap dalam pangkuan Ibu Pertiwi,” kata Amir dalam H. Amir Machmud: Prajurit Pejuang . Mengenai sikap antipati masyarakat Papua, Amir berdalih. Menurutnya propaganda Belanda yang menjajah mereka sekian lama masih mengakar kuat. Jadi, tidak mengherankan apabila sebagian penduduk enggan bergabung dengan Republik. “Bagi saya status Irian Barat telah jelas yaitu wilayah Republik Indonesia. Sebab itu tidak perlu diperdebatkan lagi dari segi hukum internasional,” demikian pengakuan sang menteri. Indikasi Kecurangan Kesaksian pamong praja Papua dalam buku Bakti Pamong Praja Papua menyibak rupa-rupa penyimpangan yang terjadi. Jelang Pepera, tentara yang didatangkan dari luar Papua untuk operasi “pengamanan” kian masif. Tentara memobilisasi massa untuk berpihak kepada Indonesia. Mereka dikumpulkan dalam penampungan khusus serta harus menjalani masa pembinaan. Sebagian bahkan ada yang diboyong ke Jakarta untuk menerima indoktrinasi. “Mereka dicatat dan dianggap sebagai pejuang, kemudian dipilih oleh orang Indonesia untuk duduk dalam Dewan Musyawarah Pepera dan ikut dalam Pepera pada tahun 1969.” ungkap Dolf Faidiban yang pada saat Pepera menjabat Kepala Pendidikan Pemerintah Daerah di Jayapura. Dirk Bernardus Urus, Kepala Pemerintah Setempat di Bentuni mengatakan hal serupa. Menurutnya pemerintah Indonesia tidak mengenal kompromi ataupun menanyakan pendapat masyarakat. Katanya lagi, jika tidak menggunakan kekerasan barangkali Indonesia tidak akan memenangkan Pepera. “Pemerintah sudah menetapkan satu pilihan saja: Harus berintegrasi dengan Indonesia! Tidak ada jawaban lain.” Senada dengan kesaksian tadi, sejarawan Belanda Pieter Droogever dalam Tindakan Pilihan Bebas!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri menguak pengakuan sejumlah peserta pemilih yang ditunjuk secara asal. Kebanyakan berasal dari Merauke, Wamena, Biak, dan Manokwari. Mereka dipaksa untuk mempelajari jawaban yang berkenan kepada Indonesia lalu membacakannya dengan ancaman mati. Lebih lanjut, Drooglever mengungkapkan, anggota DMP yang terjaring kemudian dikarantina dalam barak atau gedung sekolah selama berminggu-minggu. Akses mereka untuk terhubung ke dunia luar ditutup. Selanjutnya, mereka diinformasikan secara panjang lebar mengenai apa yang harus dilakukan, memilih bergabung dengan Indonesia. “Untuk mengambil hati mereka, tulis Drooglever, “Semua memiliki transistor, sebuah lampu senter, pakaian, dan sedikit uang. Semua itu barang berharga yang sangat tinggi nilainya.”
- Cinta Sultan Bersemi di Perpustakaan
SELEPAS belajar beladiri di Kadilangu, Kustiah, nama kecil Nyi Ageng Serang, harus berkunjung ke Keraton Yogyakarta. Kunjungannya merupakan bagian dari pengenalan budaya keraton sebelum kelak dia menjadi keluarga Kesultanan Yogyakarta. Ayah Kustiah, Panembahan Notoprojo, menjodohkannya dengan seorang putra mahkota bernama Raden Mas Sundoro. Ketika Kustiah berkunjung, sedang ada penyusunan naskah Babad Gianti sehinga dibangunlah perpustakaan. Kustiah sering mampir ke perpusatakaan itu untuk membaca buku-buku sejarah, agama, dan kebudayaan Jawa. Di perpustakaan itu pula Kustiah dan RM Sundoro sering membaca dan mendiskusikan isi buku bersama. Dari pertemuan rutin dan obrolan menyenangkan itu Raden Mas Sundoro, yang kelak bergelar Hamengku Buwono II, jatuh hati pada Kustiah yang masih belia. Namun, Kustiah justru punya pikiran berbeda. “Betapa terbatasnya hidup di keraton,” pikir Kustiah seperti ditulis Kayatun dalam skripsinya “Nyi Ageng Serang dalam Perang Diponegoro”. Di keraton, Kustiah menyaksikan bagaimana para perempuan harus bersikap karena terikat adat istiadat. “Pada saat itu ia mulai berpikir, bagaimana seandainya kelak ia benar-benar telah menjadi istri Mas Sundoro, tentunya ia tidak mau harus mengikuti segala aturan itu,” tulis Kayatun. Padahal, Kustiah masih ingin belajar banyak hal, seperti meningkatkan kemampuan beladiri atau memperdalam pengetahuan. Awal Perjodohan Dua Sahabat Raden Ajeng Kustiah Retno Edi merupakan putri Adipati Serang, desa terpencil di utara Solo, bernama Panembahan Notoprojo. Notoprojo merupakan kawan seperjuangan Pangeran Mangkubumi ketika Mataram perang melawan Belanda. Dalam pemberontakan Mangkubumi, Notoprojo memimpin pasukan di Serang yang ditugaskan merebut kembali wilayah Semarang dan Rembang. Setelah Mangkubumi dinobatkan jadi raja bergelar Sultan Hamengku Buwono I, dia meminta Notoprojo tinggal di keraton. Namun, Notoprojo menolak secara halus dengan bilang dirinya sudah terlalu sepuh untuk tinggal di keraton dan lebih memilih untuk kembali ke Serang. Mendengar jawaban itu, sultan mengajukan usul lain: menjodohkan kedua anak mereka, Raden Ajeng Kustinah dijodohkan dengan Putera Mahkota Raden Mas Sundoro. Perjodohan itu bertujuan agar persahabatan mereka tidak terputus kelak ketika keduanya sudah wafat. Setelah Sultan Hamengku Buwono I wafat, kerabat keraton mendesak agar pernikahan Kustiah dan Sundoro segera dilaksanakan. Kustiah mengiyakan ajakan Sundoro untuk menikah namun dia mengajukan syarat: mereka tidak harus tinggal bersama. Kustiah masih ingin memperdalam ilmu beladiri dan membutuhkan lebih banyak pengalaman hidup untuk memperkuat semangat juangnya. Kustiah meyakinkan calon suaminya untuk memenuhi keinginan itu. Raden Mas Sudoro atau Sultan Hamengku Buwono II menyepakati syarat Kustiah meski baginya suami-istri tidak tinggal bersama adalah hal yang lucu dan janggal. Menjelang hari pernikahan, Kustiah kembali mengajukan syarat: upacara pernikahan cukup secara simbolik saja. Sultan Hamengku Buwono II menerima syarat itu. Mereka pun menikah. Nama Kustiah berubah menjadi Raden Ajeng Kustiah Wulaningsih Retno Edi dan masuk dalam daftar kerabat keraton. Ketika kesehatan Panembahan Notoprojo memburuk, Kustiah meminta izin suaminya untuk merawat sang ayah. Sultan tidak bisa menolak keinginan Kustiah. Selama kepergian Kustiah, sultan menyadari bahwa mereka tidak cocok menjadi suami-istri. Sultan akhirnya memberi kebebasan pada Kustiah untuk memilih jodohnya sendiri. Pada 1787, mereka bercerai. Setelah berpisah, Kustiah menikah lagi dengan Pangeran Mutia Kusumowijoyo yang bergelar Pangeran Serang I sehingga dikenal sebagai Nyi Ageng Serang. “Gelar Nyi Ageng,” tulis Peter Carey dalam Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX, “dia dapat dari dinasnya di Korps ‘para nyai’ di Keraton Yogya. Sedangkan Serang, didapatnya karena menikahi Pangeran Serang.” Meski sudah bercerai, Sultan Hamengku Buwono II dan Nyi Ageng Serang masih menjalin hubungan baik. Sultan tak ingin melepaskan hubungan batin dengan perempuan yang dikenal kuat, tangguh, dan pintar itu. Mereka akhirnya menjadi besan ketika Kustinah, anak Nyi Ageng Serang, menikah dengan Pangeran Aria Adipati Mangkudiningrat, anak Sultan Hamengku Buwono II.
- Jalan Pintas Menuju Harta, Tahta, dan Wanita
ISI benak Dean Karny (Taron Egerton) sekonyong-konyong disesaki peluang saat bertemu Joe Hunt (Ansel Elgort), teman lama semasa SMA, di sebuah kafe elit di WeHo (West Hollywood), California, 9 Juli 1983. Dean yang hanya berbisnis mobil punya mimpi untuk jadi lebih kaya dengan memanfaatkan kecemerlangan otak Joe, teman yang dianggapnya paling cerdas namun kurang beruntung nasibnya. Begitu cara sutradara James Cox membuka adegan dalam film Billionaire Boys Club . Adegan pertemuan Joe-Dean membuka kisah sekumpulan mahasiswa yang menjadi kaya raya secepat kilat dengan ide brilian tapi jatuh dalam sekejap mata yang jadi inti cerita film. Film berdurasi 108 menit ini mentas berkat produksi Armory Films. Debut rilisnya pada 17 Juli 2018 bukan melalui bioskop-bioskop, melainkan via VOD (Video on Demand). Rencananya, film baru akan tayang di bioskop pada 17 Agustus 2018 lewat distributor Vertical Entertainment. Film ini seolah me- remake kisah serupa dengan judul yang sama karya sutradara Marvin J. Chomsky yang terbit 8 November 1987. Bedanya, karya Chomsky berdurasi 200 menit dan hanya ditayangkan lewat stasiun televisi NBC . Cepat Kaya Berakhir Derita Sineas muda James Cox menuangkan kisah nyata sekumpulan mahasiswa yang membentuk sebuah firma investasi dan tentang bagaimana Joseph Henry Gamsky alias Joe Hunt yang hidupnya melesat dalam sekejap dari kondisi pas-pasan. Dari pertemuan Dean dan Joe di WeHo, tercetus ide untuk bermitra dan mendirikan firma investasi dengan nama BBC di tahun yang sama. Nama BBC terinspirasi dari Bombay Bicycle Club, sebuah klub dan restoran elit yang semasa SMA selalu jadi impian Dean untuk bisa jadi anggotanya. Joe langsung menyetujuinya karena dia harus memiliki harta agar bisa menggapai tahta dan wanita. “Di Amerika, uang sama dengan respek,” ujar Dean yang memancing gairah Joe. The Bombay Bicycle Club yang menjadi inspirasi nama firma BBC Kunci untuk menjalankan bisnis mereka: meracik Skema Ponzi, skema tipu-tipu ala MLM ( multi-level marketing ) yang digagas tahun 1919 oleh penipu ulung bernama Charles Ponzi. Jika Ponzi memulainya dengan manipulasi investasi kupon perangko mahal, BBC start dengan investasi mobil BMW. Mereka membelinya dengan harga murah di negara asal, Jerman, untuk kemudian dijual lagi dengan harga berkali-kali lipat di Amerika. Untuk modal awal, Dean menarik investasi dari teman-teman kuliahnya yang tajir di Harvard School for Boys (kini Harvard Westlake School, Los Angeles). Mereka semua berusia 30 tahun ke bawah dan anak-anak konglomerat yang acap bingung bagaimana menghabiskan uang jajan dari orangtua. Dana merekalah yang digunakan untuk membeli BMW-BMW itu selain suntikan investasi dari pengusaha ternama, Ron Levin (Kevin Spacey). Bisnis investasi mereka sukses besar. Saking besarnya laba, Joe sampai berani membeli perusahaan tambang batubara di Chicago yang nyaris bangkrut, Cogenco Energy, seharga USD250 juta. Dengan harta itu, Joe dan Dean merengkuh tahta dan wanita. Joe sendiri meraih mimpi pribadinya untuk bisa menjalin cinta dengan gadis dambaannya, Sydney Evans (Emma Roberts). Terus mengalirnya investasi-investasi baru mengubah gaya hidup mereka. Nyaris setiap hari berpesta. Lucunya, BBC sebagai perusahaan penipu justru memulai kehancurannya dari kena tipu. Ron Levin mengerjai Joe dkk. dengan cek kosong. Rencana BBC ingin menjalankan Cogenco dengan investasi dari Ron jadi berantakan. Gara-gara itu Ron dibunuh bodyguard Joe, Tim Pitt (Bokeem Woodbine), setelah diancam Joe untuk memberi cek asli senilai USD1,5 juta, pada 6 Juni 1984. Sempat bangkit dengan memanfaatkan pertemanan mereka dengan Reza ‘Izzy’ Eslaminia, putra Hedayat Eslaminia, eks-pejabat Shah Iran yang mencari suaka ke Amerika, BBC ambruk lagi gara-gara pembunuhan Hedayat oleh Dean Karny. Cox menutup kisah para pendiri BBC dengan drama nan apik. Fakta Film BBC Sutradara Cox jelas telah meriset film seri dengan judul sama yang ditayangkan NBC pada 1987. Benang merahnya, Cox mengikutsertakan Judd Nelson, pemeran Joe Hunt di film 1987. Di film 2018, Nelson memerankan Ryan Hunt, ayah Joe Hunt. Judd Nelson memerankan Joe Hunt di edisi 1987 dan memerankan Ryan Hunt di film 2018 Namun, sebagai film yang berhubungan dengan sejarah, film ini jelas tak bebas dari “terpeleset” soal fakta. Contoh, percintaan Joe Hunt dengan Sydney Evans. Faktanya, tulis Hype edisi 27 Juli 2018, tokoh Sydney tak pernah ada. Karakter dan penampilan Sydney sengaja dibuat mirip penyanyi Debbie Harry demi menguatkan suasana 1980-an. Pun begitu dengan tokoh Quintana Bisset (Suki Waterhouse) sebagai pacar Dean Karny.





















