Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Memahami Trauma May
MAY (diperankan Raihaanun) amat gembira. Dia menaiki bianglala, berayun di kora-kora, dan menonton tong setan. Seragam putih-biru masih melekat di badannya, senyum sumringah menghiasi wajahnya. Itulah senyum terakhir May. Sebelum pulang, di keruihan pasar malam itu dia diperkosa. May pulang dalam bisu. May bangun, menyetrika bajunya, lalu berkaca di depan cermin. Ia mengikat semua rambutnya ke belakang dan merapikan sisi-sisinya dengan jepit lidi. Pintu kamarnya dibuka, bapak (Lukman Sardi) sudah siap mengangkat meja ke dalam kamar May. Setelah itu mereka bekerja dalam diam, menjahit baju boneka, memasang pernak-pernik, lalu memasukkannya ke dalam mika. Rutinitas itu yang May dan bapak lakukan tiap hari selama delapan tahun. Hidup dalam senyap, bekerja dalam diam. Rutinitas jadi cara May bertahan hidup sejak peristiwa traumatik itu. Tatapan matanya kosong, seolah berusaha bertahan dengan menyaru jadi robot. Jika ingatan tentang pemerkosaan itu terlintas dalam benaknya, May akan mengiris kulit pergelangan tangannya, menghitung jumlah boneka di lemari, atau melampiaskan kekalutannya dengan lompat tali. Guncangan psikis tak hanya dialami May. Bapak yang di rumah selalu terlihat tenang dan sabar rupanya menjadikan tinju sebagai ajang katarsis. Ia meluapkan segala kemarahan dan rasa bersalahnya di atas ring sampai lawannya benar-benar KO. Tempramennya yang tinggi seringkali membawa bapak pada masalah. Rutinitas May mulai berubah setelah kehadiran seorang pesulap (Ario Bayu) yang tinggal di sebelah rumahnya. Lewat lubang sisa kebakaran, May berinteraksi dengan pesulap itu dan diajari beragam trik sambil berbagi rahasia. Gairah hidup May kembali tumbuh. Ia mulai menggerai rambutnya, mengganti model bonekanya menjadi pesulap perempuan. Ketika May main ke rumah pesulap dan melihat-lihat peralatan sulap yang aneh-aneh, tawa kecil May kembali hadir. Bergulat dengan Trauma Sejak awal film, 27 Steps of May (selanjutnya hanya ditulis May ) menyodori premis betapa tak enaknya hidup sebagai perempuan di Indonesia. May yang korban pemerkosaan menjadi representasi banyaknya pelecehan seksual di ruang publik. Dus , perlindungan hukum untuk korban boleh dikata hampir tak ada. Trauma pemerkosaan jadi tema utama yang diusung Ravi Bharwani lewat film terbarunya ini. Ravi tidak menghadirkan gambaran trauma yang penuh histeria, sebaliknya May dihadirkan dengan sangat senyap, bahkan dengan latar musik yang amat minim. Kesenyapan dalam semesta May menjadi simbol diamnya mayoritas korban kekerasan seksual hingga kini. May tidak pernah mengungkapkan pemerkosaan yang dialaminya sambil terus berusaha tegar dan melupakan. Lewat tokoh bapak, May juga menggambarkan bahwa tekanan batin tak hanya dialami korban tapi juga orang-orang di sekitarnya. Sementara, tokoh pesulap dan kurir boneka (Verdi Solaiman) ibarat support system yang dibutuhkan korban dan keluarganya. Ravi menyajikan warna berbeda dalam semesta May, bapak, dan pesulap. Dunia yang dihidupi May dalam traumanya serba polos: pakaian hanya baju terusan bermodel sama, stoking, dan sepatu putih; warna cat kamarnya berbeda dari seluruh rumah, tertata rapi namun banyak ruang kosong . Kamar May, yang dibangunnya sendiri, serupa ruang isolasi. Rumah Pesulap sebaliknya. Ia penuh warna dan keajaiban. Lubang di tembok kamar May ibarat pintu masuk ke dunia lain, yang lebih berwarna dan hidup dibanding kamarnya. Sementara, kamar bapak mirip ruangan tidak terurus: tembok retak, cat terkelupas, dan barang-barang digantung atau ditaruh sembarangan. Kamar itu mirip dengan psikologis bapak yang tak mengurus dirinya dengan baik di tengah kekalutan akan kondisi May. Meski alurnya lambat, May menawarkan ide cerita bagus tentang trauma korban pemerkosaan. Menggambarkan rutinitas memang sulit, ditambah alur lambat, sangat riskan bikin penonton bosan. Di sepertiga akhir film, emosi penonton diacak-acak menyaksikan keberanian May menyampaikan traumanya pada si pesulap. Raihaanun berakting cukup baik, berhasil menghadirkan keterasingan dan trauma May. Sayangnya, tampilan Raihaanun berseragam SMP dengan rambut kepang dua dan pita diujungnya agak mengganggu. Gambaran anak SMP polos tak harus dengan pita dan rambut kepang dua. Ada banyak cara yang lebih halus. Mewakili Korban Pemerkosaan Dalam kredit filmnya, May mendapat bantuan dari aktivis perempuan seperti Mariana Amiruddin dan Tunggal Pawestri untuk mendalami tema pemerkosaan. Rayya Makarim yang duduk sebagai penulis skenario, meramunya dengan apik. Dia berhasil menggambarkan kondisi psikis korban dan orang terdekatnya. Korban-korban kekerasan seksual seringkali diam dan mengisolasi diri lantaran takut mendapat cibiran dari masyarakat. Trauma pemerkosaan ditambah perasaan terhina dan dilecehkan yang terus dipendam membebani para penyintas. Trauma ini berlangsung bertahun-tahun dan mengganggu kehidupan si korban. Usaha-usaha untuk mendapat keadilan bagi para korban pun masih alot diperjuangkan lewat RUU Kekerasan Seksual yang belum kunjung disahkan. Belum lagi kasus-kasus kekerasan seksual yang melibatkan negara dalam sejarah Indonesia, seperti peristiwa 1965 dan Mei 1998. Dalam konflik politik besar yang melibatkan negara, tubuh perempuan seringkali dijadikan arena pertarungan kuasa. Perempuan korban 1965 mengalami beragam kekerasan seksual, mulai dari ditelanjangi dengan dalih untuk mencari tato palu arit, sampai diperkosa. Pun demikian dengan pemerkosaan terhadap perempuan etnis Tionghoa menjelang reformasi 1998. Mereka dan korban-korban kekerasan seksual lain belum mendapat perlindungan dan keadilan baik dari negara maupun masyarakat. Kisah-kisah kekerasan seksual itulah yang mengilhami pembuatan 27 Steps of May. Ravi tidak berusaha untuk menggurui, tapi menunjukkan kepedihan yang dipendam. May menjadi jalan bagi para penontonnya untuk lebih berempati dan memahami luka korban kekerasan seksual.
- Mengenang Bertolucci
ADA yang spesial dalam gelaran Europe on Screen (EoS) tahun ini yang dihelat 18-30 April 2019. Dari beragam program yang digulirkan, ada program retrospektif berupa pemutaran tiga karya sineas legendaris Bernardo Bertolucci: The Conformist (1970), The Last Emperor (1987), dan The Dreamers (2003). Ketiga film epik itu mewakili tiga dekade, tiga negara, serta tiga bahasa berbeda. Namun, tema ketiganya tetap tak jauh dari seks dan politik, yang jadi ciri khas karya Bertolucci. Ia tak hanya menawarkan kevulgaran seksual namun juga fragmen-fragmen politis yang apik dengan kemasan seni. Diangkatnya tiga karya Bertolucci yang menonjolkan bahasa Italia, Prancis dan China dalam program ini tak lain merupakan bentuk apresiasi dan untuk mengenang sosok yang menghembuskan nafas terakhirnya pada 26 November 2018 itu. “Dengan menonton pilihan karya film dari seorang sutradara (Bertolucci) kita bisa belajar banyak. Saya pribadi sudah ingin memutar film-filmnya dari beberapa tahun terakhir ini. Kabar kematiannya beberapa bulan lalu makin menegaskan dan membulatkan tekad kami untuk mengadakan (program) restrospektif Bertolucci tahun ini,” tutur EoS Festival Co-Director Nauval Yazid kepada Historia. The Conformist yang berkisah seputar seorang polisi di era fasisme Benito Mussolini, diputar di Instituto Italiano Cultura (IIC) pada 20 April dan Kineforum pada 27 April. Sementara, The Last Emperor yang mengangkat kisah kaisar terakhir China, ditayangkan di IIC pada 19 April dan Kineforum pada 28 April. The Dreamers, yang mengisahkan drama tiga aktivis muda di masa Kerusuhan Mei 1968 di Prancis, ditayangkan di IIC pada 23 April dan Kineforum pada 25 April. “Kenapa kami tayangkan tiga film dengan tiga bahasa berbeda, karena kami ingin menunjukkan versatility atau keluwesan Bertolucci dalam membuat film. Tiga film dari tiga dekade yang berbeda ini juga menunjukkan endurance atau ketangguhan Bertolucci sebagai sutradara. Dan dari skala produksi film, semuanya epik,” imbuhnya. Like Father, Like Son Bertolucci lahir di Parma pada 16 Maret 1941 sebagai putra sulung seorang guru Ninetta Giovanardi dan seorang penyair, sejarawan seni cum kritikus film Attilio Bertolucci. Sejak belia, ia tumbuh jadi seorang yang gemar menulis, hingga masuk Fakultas Sastra Modern Universitas Roma pada 1958. Kelak adiknya, Giuseppe Bertolucci, serta sepupunya, Giovanni Bertolucci, juga berkecimpung di perfilman. Bernardo Bertolucci memenangi Golden Globe 1988 lewat film The Last Emperor (Foto: goldelglobe.com) Sayang, pendidikan formal tak dirampungkan Bertolucci. Namun saat keluar dari kampus pada 1961, dia sudah punya mentor Pier Paolo Pasolini, yang di tahun itu juga mengajaknya menjadi sebagai asisten sutradara film Attacone . Setahun berikutnya, Bertolucci “naik kelas” dengan meracik film sendiri yang berjudul La Commare Secca . Film drama pembunuhan seorang pelacur itu terbilang sukses. Booming film-film Italia di dunia pada 1970 turut mendongkrak ketenaran Bertolucci. Pada 1972, dia merilis Last Tango in Paris yang menggandeng aktor Marlon Brando dan Maria Schneider. Lewat film yang lebih sukses ini, Bertolucci masuk nominasi Academy Award untuk kategori sutradara terbaik dan Brando sebagai nominasi aktor terbaik. Namun di sisi lain, film drama-erotis sarat adegan kekerasan seksual itu menuai kontroversi. Tidak hanya filmnya harus banyak disensor di beberapa negara, pun juga di Italia sendiri film ini membuahkan kasus hukum. Pada 1973, sebagaimana tersua dalam Censorship: A World Encyclopedia , film ini diperkarakan di Pengadilan Negeri Bologna. Mahkamah Kasasi lantas memvonis film itu mesti disita komisi sensor dan semua copy filmnya dihancurkan pada 29 Januari 1973. Bertolucci dan Brando pun dibui dua bulan. Skandal itu tak membuat sineas atheis itu berhenti berkarya. Ia comeback dengan film 1900 yang dirilis pada 1976. Film yang diramaikan para aktor sohor seperti Robert De Niro, Gérard Depardieu, hingga Burt Lancaster ini mengisahkan pergulatan para petani di Emilia-Romagna pada Perang Dunia II. Nama Bertolucci kian berkibar setelah memenangi Academy Award dan Golden Globe pada 1988 dalam kategori sutradara dan screenplay terbaik untuk film The Last Emperor . Bernardo Bertolucci saat menggarap The Last Emperor di Kota Terlarang (Foto: Twitter @TheAcademy) “Bertolucci awalnya menawarkan dua proyek film kepada pemerintah China: Man’s Hope dari novel karya (André) Malraux dan From Emperor to Citizen . Tapi pada akhirnya menyingkirkan opsi Man’s Hope karena pemerintah China keberatan terkait interpretasi novel itu terhadap Revolusi Komunis di China,” tulis Peter Lev dalam The Euro-American Cinema . Opsi yang tersisa itu lalu digarap dan diubah tajuknya berdasarkan otobiografi sang kaisar terakhir China Aisin-Gioro Puyi, menjadi The Last Emperor . Produksinya bergulir lancar lantaran pemerintah China memberi kebebasan, termasuk saat pengambilan gambar di Kota Terlarang, demi produksi film tersebut. Film itu sukses berat dan jadi puncak karier Bertolucci, yang tetap berkarya hingga 2012 lewat film terakhir berjudul Me and You . Karya-karya Bertolucci sempat diapresiasi oleh Palme d’Or, anugerah tertinggi dalam perfilman, pada Festival Film Cannes pada 2011.
- Ahmad Yani Dimarahi Sopir
Kolonel Ahmad Yani, Deputi II Staf Umum Angkatan Darat, ditunjuk menjadi Panglima Operasi 17 Agustus untuk memadamkan pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatra Barat pada 1958. Dia dinilai sebagai panglima yang berani, tegas, adil, dan memperhatikan anak buah. Setiap anak buahnya mencintai dan menghormatinya. Dalam tugas sehari-hari, dia merupakan contoh bagi para komandan bawahannya. “Saya dapat menyatakan penilaian ini karena sebagai dokter saya mudah mendengarkan pendapat para prajurit, baik yang berpangkat tamtama, bintara maupun perwira,” kata Soemarno Sosroatmodjo dalam memoarnya, Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya . Saat itu, Soemarno menjabat Komandan Pusat Pendidikan Kesehatan dan Kepala Biro B Direktorat Kesehatan Angkatan Darat. Dalam Operasi 17 Agustus itu, Soemarno yang menjabat Wakil Ketua Palang Merah Indonesia (PMI), mempersiapkan dan mengirimkan kesatuan-kesatuan dinas kesehatan tentara dan PMI. “Tapi sekalipun anak buahnya patuh dan taat, pernah pula Yani kena marah anak buah justru karena keberanian Yani,” kata Soemarnoo. Kejadiannya ketika sebagai Panglima Operasi 17 Agustus, Yani tiba-tiba ingin mengadakan inspeksi ke suatu tempat yang belum aman. Dia hendak berangkat dengan kendaraan jeep. Sopir memperingatkan dan bertanya apakah tidak membawa pasukan pengawal sebab jalan yang dilalui masih belum aman. Yani tidak menghiraukannya, bahkan ajudannya pun tidak diajak. Firasat sopir ternyata benar. Pada sebuah kelokkan yang menanjak dan rimbun, jeep ditembaki dari semak-semak. Jeep terjerumus ke dalam selokan, Yani dan sopir terlempar. Tembakan semakin membabi buta. Sopir itu marah-marah. Sambil mencari perlindungan dia mengomel, “Apa kata saya tadi? Kenapa kita berangkat tanpa pengawalan? Apa kita harus mati konyol?” Untunglah, tembakan yang beruntun itu terdengar oleh pos TNI terdekat yang segera mengirimkan bantuan. Yani dan sopir itu dapat diselamatkan. Meski sudah dimarahi, Yani malah mengangkat sopir itu sebagai sopir khusus Panglima Operasi 17 Agustus. “Kejadian itu saya dengar dari Yani pribadi,” kata Soemarno, “ketika kami bertemu di Padang meninjau kesatuan-kesatuan kesehatan dan PMI.”
- Wejangan Penguasa Buat Partai Kalah
ADA kejutan dalam pemilihan umum (pemilu) yang baru saja kita gelar. Partai Solidaritas Indonesia (PSI), yang populer di kalangan generasi muda, keok. Menurut hasil hitung sejumlah lembaga survei, PSI hanya mendulang suara kurang dari 2%. Itu berarti, PSI gagal mencapai ambang batas parliamentary treeshold (4%). Komisi Pemilihan Umum (KPU) masih dalam proses perhitungan menuju hasil akhir perolehan suara. Kendati demikian, Ketua Umum PSI Grace Natalie telah mengakui dan menerima hasil kekalahan ini. “Kami telah berjuang dengan apa yang kami bisa. (Dengan kekalahan ini) kami tak akan menyalahkan siapa-siapa,” kata Grace Natalie dalam konferensi persnya. "Inilah keputusan rakyat melalui mekanisme demokrasi yang harus kami terima dan hormati.” Menanggapi kekalahan PSI , ada saja politisi lain yang sinis. Hanum Rais, putri politisi gaek Amin Rais ini misalnya. Dalam akun twitter -nya, Hanum me- retweet berita pernyataan Ketua Umum PSI Grace Natalie yang akan melanjutkan perjuangan partainya meski gagal lolos ke Senayan. Cuitan Hanum menarik untuk disimak karena menyebut PSI sebagai Partai Nasakom. “Partai NasaKom. Bukan Nasional Komunis lho. Tapi Partai Nasib Satu Koma,” tulis Hanum dalam retweet-nya . Di masa lalu, menang atau kalah dalam pemilu adalah keniscayaan. Pada pemilu 1987, ada tiga partai yang bertarung: Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Partai Persatuan Persatuan Pembangunan. Hasilnya, Golkar menang besar dengan perolehan suara 73,11% dan meraih 299 kursi di parlemen. Sementara itu, PPP bersama PDI praktis menjadi partai gurem. PPP memperoleh 61 kursi (15,96% suara) dan PDI 40 kursi (10,93% suara). Presiden Soeharto yang maju dari partai pemenang, Golkar tetap mengapresiasi semua pihak, termasuk partai-partai yang kalah. “Dalam sistem Demokrasi Pancasila, dalam negara kekeluargaan kita, kita tidak berbicara tentang siapa yang kalah atau siapa yang menang. Jika kita harus berbicara tentang kemenangan dalam pemilu ini, maka yang menang adalah kita semua,” kata Presiden Soeharto menyikapi hasil pemilu 1987 dalam otobiografinya Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya yang disusun Ramadhan K.H . Menurut Soeharto, dalam pemilu 1987, semua partai berkompetisi dengan menawarkan program kerja nyata yang dikemas secara menarik dan semarak. Kontestasi yang terjadi tak kalah seru dengan adu kampanye ideologi golongan yang mengandalkan politik identitas serta rawan konflik. Meski demikian, dia tak menampik adanya penyimpangan selama proses kampanye berlangsung. “ Benar di sana-sini masih timbul penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan kampanye. Tetapi pengalaman sangat berharga yang dapat kita tarik dari pemilu yang baru lalu adalah bahwa semua peserta pemilu telah berusaha sebaik-baiknya untuk menawarkan program-program yang terbaik dan tokoh-tokoh yang terbaik kepada bangsa kita ,” kata Soeharto . Kesan yang kurang lebih sama juga disampaikan wakil presiden terpilih, Umar Wirahadikusumah. Dia menekankan agar perasaan menang kalah dalam pemilu jangan terus berlanjut. Bagi pemenang, Umar mengingatkan tanggung jawab yang beratdalam mengatur kehidupan dan pembangunan bangsa. Dan bagi yang kalah, Umar berwejang agar berbesar hati dan meyakini pentingnya peranan serta partisipasi mereka untuk ikut bersama-sama membangun negara. “Kita harus mampu meningkatkan, memelihara dan melestarikan solidaritas nasional untuk dapat melampaui masa yang sementara memprihatinkan ini, kemudian membina masa depan bersama yang pasti akan jauh lebih cerah,” kata Umar dalam pengarahannya di depan pejabat pemerintah dan pemuka masyarakat se-Sulawesi Tenggara di Kendari dikutip Antara , 29 September 1987. Pada 1999, gantian PDI Perjuangan yang tampil sebagai partai pemenang dalam pemilu pertama di masa reformasi. PDI Perjuangan menempati urutan pertama dan memperoleh 153 kursi parlemen (33,74% suara). Golkar (22,44% suara, 120 kursi) dan PPP (10,71 suara, 58 kursi) menempati urutan kedua dan ketiga. Pemilu yang dihelat bulan Juli 1999 itu melibatkan 48 peserta pemilu. Sebanyak 28 partai diantaranya terjungkal alias gagal mendapatkan kursi di parlemen. Hanya 6 partai yang tergolong partai pemenang pemilu, yaitu: PDI Perjuangan, Golkar, PPP, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Bulan Bintang (PBB). Dalam memoarnya Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi, Presiden Habibie mengatakan pemilu kali inimemungkinkan rakyat benar-benar memilih secara demokratis sebagaimana halnya pemilu 1955. Atas hasil yang diperoleh, Habibie tak ketinggalan menyampaikan pesan kearifan. Habibie mengimbau partai yang menang hendaknya menggunakan kemenangan yang diperolehnya diabdikan untuk kepentingan rakyat. Pun demikian dengan partai yang kalah tak boleh berkecil hati. Introspeksi perlu dilakukan partai yang kalah. Meski demikian mereka tetap wajib ikut menyukseskan program reformasi untuk seluruh bangsa. “Terlepas dari komposisi perolehan suara oleh partai-partai, harus kita akui bahwa pihak yang mutlak menang dalam Pemilu 1999 ini adalah rakyat Indonesia seluruhnya,” ujar Habibie.
- Kota 120.000 Kanal
TERSEBUTLAH Panglima Utbah ibn Gazwan. Usai menaklukan kota Ubullah di Persia, ia merasa ribuan anak buahnya membutuhkan tempat bernaung untuk menghadapi musim dingin. Lantas disuratinya Khalifah Umar ibn Khattab di Medinah. Permintaan Panglima Utbah dikabulkan oleh Khalifah Umar. Maka pada 638 M, ribuan orang yang terdiri dari tentara dan rakyat sekitar bahu membahu membangun kawasan yang dilukiskan Utbah kepada Khalifah Umar sebagai “tanah subur yang dekat dengan mata air dan tempat penggembalaan.” “Orang berdatangan ke tempat itu dan membangun tempat tinggal dari buluh, dan Utbah membangun sebuah mesjid juga dari batang buluh. Kalau pasukan itu berperang mereka mencabuti bambu-bambu itu lalu diikat. Bilamana kelak kembali dari medan perang mereka bangun kembal,” tulis Muhammad Husain Haekal dalam Umar bin Khattab . Semenjak itu, Basrah menjadi tempat bertolak pasukan Arab Islam dalam beberapa ekspedisi penaklukan. Di kota garnisun Basrah, para prajurit Arab diajarkan untuk menjalani kehidupan Islami yang penuh kesederhanaan dan kewaspadaan. ”Dari sinilah berbagai tradisi yang bisa diakomodasikan dengan pandangan duniawi Qur’an diteruskan di negeri asing,” ungkap Karen Armstrong dalam Islam, A Short History . Selama pemerintahan tiga rasyidin pertama, Basrah tidak begitu populer dibanding Makkah dan Medinah. Hingga pada 657, kala kota tersebut menjadi arena peperangan yang dalam tarikh Islam dikenal sebagai Perang Unta (harb al-jamal). Itu adalah puncak perseteruan antara kubu Khalifah Ali ibn Abithalib dengan Ummu Mukminin Aisyah. “Awalnya perang itu terjadi disebabkan oleh ketidakpuasan para sahabat pimpinan Aisyah yang menganggap Khalif Ali bersikap tidak tegas terhadap para pembunuh Khalif Utsman,” tulis Joesoef Sou’yb dalam Sejarah Daulat Khulafaur Rasyidin. Sejarah mencatat adu nyawa antara saudara tersebutberakhir dengan kekalahan di pihak Ummul Mukminin Aisyah. Korban keseluruhan tercatat berjumlah sekitar 10.000 jiwa. Itu termasuk dua sahabat Nabi: Thulhah dan Zubair. Aisyah sendiri luput dari maut dan mendapat perlakuan hormat dari Ali. Ia lantas kembali ke Medinah dan menghindari dunia politik hingga wafat. Usai berakhirnya massa khalifah yang empat, Basrah berkembang menjadi kota niaga dan pertanian. Tahun 670 M, Gubernur Khurasan —provinsi yang ada dibawah kendali Dinasti Umayyah— menyulap kota militer tersebut menjadi kota pelabuhan bertaraf internasional. Sungai Shatt al-Arab yang ada di sana menjadi pintu masuk menuju Teluk Persia. Begitu pentingnya posisi Basrah bagi Kekhalifahan Bani Umayyah, hingga soal tata kota pun diperhatikan betul. Selain membangun berbagai gedung dagang dan tempat pertahanan, Bani Umayyah pun membuat 120 ribu kanal di Basrah. Itulah sebabnya beberapa sejarawan Barat kerap menyamakan Basrah dengan kota kanal di Italia: Venesia. Terbukanya jalur dari Teluk Persia, menjadikan Basrah ramai oleh lalu lalang berbagai bangsa dari hampir seluruh mancanegara. Orang-orang Cina, Yunani, Romawi, India dan Persia, setiap waktu memenuhi bandar internasional Basrah. Selain berniaga, tak jarang mereka pun melakukan riset-riset sekaligus menjadi tenaga pengajar bagi orang-orang Arab. Dan untuk soal belajar ini, orang-orang Arab memang terkenal rajin dan ulet. “Orang-orang Arab menjadi murid-murid yang rakus dari orang-orang Yunani, Romawi, India dan Persia,” ungkap Philip K. Hitti dalam History of the Arabs. Di Basrah, hampir semua disiplin ilmu berkembang secara pesat kala itu. Namun yang paling termasyur adalah hukum Islam dan seni. Nama-nama seperti Hasan al-Bashri, Ibn Syihab dan Al Zuhri adalah para ahli hukum yang berpengaruh saat itu di Basrah. Kisah Ali Baba dengan 40 penyamunnya juga adalah produk Basrah abad pertengahan. Ali Baba adalah seorang anak muda miskin, penemu sebuah gua tempat menyimpan harta para penyamun. Untuk memasuki gua tersebut, ada sebuah mantra yang harus diucapkan. Bunyinya: "Sesam, buka pintu Anda." Mantra itulah yang jadi terkenal ke seluruh dunia saat Hollywood meluncurkan film Ali Baba and the Forty Thieves pada 1944. Tahun 1922, para ahli menemukan kenyataan bumi Basrah dipenuhi oleh minyak. Jumlahnya sungguh fantastik: 20 milyar barel. Itu adalah 17% dari minyak bumi Irak, yang merupakan negara kedua terbesar penghasil minyak bumi di dunia. Sejak itu, Basrah menjadi rebutan banyak perusahaan kilang minyak dunia, termasuk 2 raksasa perusahaan minyak Inggris: BP Amoco dan Royal Dutch Shell. Seiring ditemukannya “emas hitam” itu, Basrah seolah menuai kutukan. Konflik kerap terjadi di sana, bukan saja melibatkan para petualang minyak, namun juga antar penganut sekte beragama dan para penjahat biasa. Kota yang tadinya merupakan pusat pengetahuan itu, kini telah berubah menjadi salah satu kawasan paling berbahaya di dunia.
- The Dreamers, Drama Vulgar di Tengah Prahara Politis
GADIS bertopi baret merah khas Prancis yang sedang bersender di pagar besi gedung Cinémathèque Française itu begitu memanjakan mata dan hati Matthew (diperankan Michael Pitt). Mulanya, jejaka Amerika Serikat yang kuliah di Prancis lewat pertukaran pelajar itu begitu ragu untuk berkenalan dengan Isabelle (Eva Green), gadis itu. Namun tatapan sang gadis memecut nyalinya untuk memberanikan diri melakukannya. Adegan itu jadi momen cinta pada pandangan pertama Matthew terhadap Isabelle yang jadi prolog film The Dreamers garapan sineas legendaris asal Italia Bernardo Bertolucci. Plot kisah film bergenre drama romantis ini diiringi suasana protes yang berujung kerusuhan Mei 1968 di Prancis. Pertemuan Matthew dengan Isabelle itu pun diracik sang penulis skenario Gilbert Adair, di tengah-tengah protes mahasiswa terhadap pemecatan Direktur Cinémathèque Française Henri Langlois oleh Menteri Kebudayaan André Malraux. Dalam momen itu Matthew juga diperkenalkan Théo (Louis Garrel), saudara kembar Isabelle. Namun perkenalan itu tak bisa berlangsung lama lantaran pecah kericuhan antara para mahasiswa yang berunjuk rasa dengan polisi. Ketiganya pun memilih kabur. Perkenalan tersebut jadi bab baru dalam kehidupan Matthew. Sebagai pribadi yang polos, Matthew merasakan atmosfer berbeda saat diundang Isabelle dan Théo untuk makan malam bersama kedua orangtua mereka, George (Robin Renucci) dan istrinya (Anna Chancellor). Selepas makan malam yang sarat pembicaraan filosofis antara Matthew dan George, sang mahasiswa asing itu ditawarkan bermalam. Ilustrasi Cuplikan Isi Film 1 Keesokannya, kepolosan Matthew kian keras bertubrukan dengan atmosfer yang asing jika dibandingkan dengan kehidupannya di kampung halaman San Diego, California. Terlebih saat Matthew ditawari untuk tinggal sementara di apartemen mereka kala kedua orangtua si kembar bepergian untuk waktu lama. Matthew segera insyaf akan kebiasaan-kebiasaan asing si kembar. Salah satunya, si kembar tidur bersama tanpa sehelai pakaian ketika Matthew tak sengaja mengintip. Matthew kian merasa canggung dengan tabiat-tabiat vulgar Isabelle dan Théo. Menariknya, dalam film ini penonton diajak bernostalgia dengan film-film lawas. Pasalnya, ketiganya klop soal kegemaran akan perfilman. Penonton juga akan dibawa untuk “berkubu” saat Matthew dan Théo beberapakali berdebat soal siapa yang lebih hebat antara aktor Charlie Chaplin dan Buster Keaton, atau gitaris Eric Clapton dan Jimi Hendrix. Ketiganya bahkan nekat me-reka ulang adegan berlarian di Museum Louvre untuk mencatatkan rekor waktu yang ada di film Bande á part (1964). Bab baru kehidupan Matthew bergulir lebih mencengangkan ketika melihat si kembar taruhan kala tebak-tebakan judul film. Saat Théo gagal menyebut film yang diadegankan Isabelle, Théo terpaksa melakoni hukumannya. Di sinilah penonton harus bersiap melihat adegan-adegan seksual yang vulgar. Théo harus bermasturbasi di depan poster Marlene Dietrich dengan disaksikan Isabelle dan Matthew. Syok Matthew memuncak saat ia dan Isabelle gagal menebak adegan yang ditirukan Théo. Sebagai hukumannya, Théo ingin menyaksikan Isabelle bersetubuh dengan Matthew. Meski mulanya menolak, Matthew akhirnya mau. Sampai di sini, adegannya hanya untuk 18 tahun ke atas. Lama-kelamaan, Matthew terbiasa dengan kelakuan-kelakuan si kembar. Matthew juga kian menyadari latarbelakang keduanya hingga jatuh cinta, tidak hanya pada Isabelle namun juga Théo. Sayangnya kelakuan vulgar ketiganya, seperti tidur pulas dalam keadaan bugil bersama, diketahui kedua orangtua si kembar yang kembali dari perjalanan jauh mereka. Isabelle insyaf bahwa orangtuanya tahu kelakuan mereka. Tak kuat hati, ia mencoba bunuh diri bersama Matthew dan Théo yang masih tertidur pulas dengan menghirup gas. Namun upaya itu urung dilakukan lantaran dikagetkan oleh lemparan batu yang memecahkan kaca apartemen mereka. Ilustrasi Cuplikan Isi Film 2 Mereka pun terbangun dan menyaksikan massa demonstran sedang ber-long march. Ketiganya memutuskan turut dalam kerumunan itu. Théo yang tertular kawan-kawannya yang lain untuk menyiapkan bom molotov, sempat ditahan Matthew yang tak ingin adanya kekerasan. Namun Théo berkeras hati. Isabelle yang tak bisa jauh dari saudara kembarnya, menolak berpihak pada Matthew. Sementara Isabelle ikut-ikutan Théo menyerang barisan polisi dengan bom molotov, Matthew pilih balik badan. Persembahan Europe on Screen Mengenang Bertolucci The Dreamers digarap Bertolucci pada 2003 berdasarkan novel semi-biopik The Holy Innocents (1988) karya Adair. Adair sendiri dijadikan Bertolucci sebagai penulis naskah setelah sang sineas berhasil membujukanya agar karyanya difilmkan. Sebelumnya, banyak sineas dan rumah produksi gagal merayu Adair menjual karyanya untuk diangkat ke layar perak. Bertolucci jelas tidak menuangkan 100 persen naskah novel karya Adair itu ke dalam filmnya yang rilis pada 10 Oktober 2003 itu. Sejumlah penyesuaian dibuatnya agar filmnya tak mendobrak etika seni. Adegan sensual homoseksual antara Matthew dan Théo, misalnya. “(Adegan) seks gay memang mulanya ada di skenario pertama, namun saya merasa itu akan melewati batas dan berlebihan. Saya bilang pada Gilbert: ‘Mohon jangan merasa dikhianati, namun ketika buku diangkat ke dalam film, segalanya menjadi konsep baru. Tapi saya merasa spirit buku itu tetap ada walau tetap harus saya jadikan gaya saya sendiri di dalam film,” ungkap Bertolucci kepada The Guardian , 5 Februari 2018. Film ini jadi salah satu karya terakhir Bertolucci yang dikenal kerap meracik film-film erotis macam Il Conformista (1970), Last Tango in Paris (1972) atau Stealing Beauty (1996). Bertolucci sendiri menghembuskan nafas terakhirnya pada 26 November 2018 di usia 77 tahun akibat kanker paru-paru. Untuk mengenang sosoknya, Europe on Screen edisi 2019 memutar tiga karyanya yang digarap di tiga negara serta tiga bahasa berbeda yang didapat dari kearsipan Pusat Kebudayaan Italia (Instituto Italiano di Cultura). The Dreamers salah satunya, diputar dua kali di dua lokasi di Jakarta, yakni IIC (23 April) dan Kineforum (25 April 2019). Sementara dua film lainnya: Il Conformista (1970) pada 20 dan 27 April dan The Last Emperor (1987) pada 19 dan 28 April 2019. Namun, The Dreamers hendaknya tidak ditonton pemirsa berusia 18 tahun ke bawah lantaran memuat banyak adegan seksual yang frontal.
- Bukan Raden Ayu Lemah Lembut
Kamis, bulan Sawal, hari keduapuluh tujuh, pas asar, gubernur dan para pegawai Kompeni datang ke Mangkunegaran. Kanjeng Pangeran Dipati pun pergi ke loji untuk menyambutnya. Ia membawa prajurit perempuan. Mereka mengenakan keris dengan cara Bali, yang dihiasi bordiran daun-daun emas, mengenakan ikat pinggang berbordir emas. Pakaian mereka berkilauan. Mereka yang pergi lebih dulu adalah prajurit Nyutrayu , berjalan kaki membawa busur dan panah. Kemudian prajurit Jayengesta , tidak berpakaian semestinya. Kemudian Pangeran Dipati dikawal secara resmi oleh prajurit perempuan yang tak ada bandingannya. Begitulah penulis buku harian menggambarkan para prajurit éstri dalam sebuah upacara penyambutan seorang gubernur dari pesisir timur di Pura Mangkunegaran. Ann Kumar, sejarawan Australian National University, dalam Prajurit Perempuan Jawa mencatat, buku harian ini adalah salah satu sumber paling penting tentang keberadaan korps perempuan yang berasal dari keraton Jawa. Buku harian itu ditulis seorang anggota prajurit éstri Mangkunegaran pada dasawarsa terakhir pemerintahan Mangkunegara I yang bertakhta sejak 1757-1795. Sayangnya, penulis tak menyebut namanya di buku hariannya. Peter Carey, sejarawan asal Inggris, dalam Perempuan-Perempuan Perkasa berpendapat, keberadaan prajurit éstri di lingkungan keraton Jawa membuktikan kalau citra raden ayu yang lemah lembut dalam literatur kolonial perlu direvisi. Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, bahkan pejabat senior VOC yang terlatih secara militer mengaku keheranan atas keterampilan prajurit éstri sebagai prajurit berkuda. Salah satunya, Jan Greeve, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa yang menjabat 1787-1791. Catatannya mengonfirmasi tulisan dalam buku harian itu. Greeve menulis di buku hariannya soal kunjungan ke Surakarta pada 31 Juli 1788. Dia disambut di Loji Belanda dan di kediaman Mangkunegaran. Dia menyaksikan prajurit perempuan menembakkan salvo dengan teratur dan tepat sehingga membuatnya kagum. Mereka melakukannya sambil menembakkan senjata tangannya sebanyak tiga kali dengan sangat tepat diikuti tembakan senjata kecil lainnya yang diletakkan di samping mereka. “Keterampilan Korps Srikandi dalam menggunakan bedil bertolak belakang dengan pasukan laki-laki istana, yang terkenal kurang terlatih menggunakan senapan laras panjang dan artileri,” tulis Carey. Tak cuma di Mangkunegaran, dua dasawarsa kemudian, 30 Juli 1809, Marsekal Herman Willem Daendels yang menjabat Gubernur Jenderal pada 1808-1811, mengunjungi Yogyakarta untuk pertama kali. Dia sempat menyaksikan pertandingan atau perang-perangan 40 pasukan prajurit éstri kesayangan sultan di alun-alun selatan. Menurut Babad Pakualam , Sang Marsekal, seorang veteran Perang Revolusi Perancis dan Perang Napoleon, mengungkapkan kekagumannya. Betapa perempuan sanggup menunggang kuda sambil menggunakan bedil dengan begitu tangkasnya. “Orang pun bertanya-tanya, apakah Sang Gubernur Jenderal pemuja kejantanan itu sadar bahwa perempuan wirayuda itu bukan sekadar pamer, melainkan memiliki kemampuan tempur hebat,” ujar Carey. Seragam resmi prajurit éstri tak dibedakan dengan pakaian bangsawan laki-laki Jawa ketika bertempur, yaitu berupa pakaian prajuritan. “Pada awal Perang Jawa, beberapa jasad pasukan mantan prajurit éstri yang bergabung dengan Diponegoro ditemukan di medan perang dalam pakaian lengkap prajuritan," tulis Carey. Di luar keprajuritan pun banyak cerita perempuan-perempuan Jawa yang tak kenal takut dalam situasi perang. Contohnya, ketika Inggris menyerbu Keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Perwira yang tewas dalam peristiwa itu adalah seorang letnan Skotlandia dari pasukan resimen infanteri Inggris, Lettu Hector Maclean. Dia ditikam oleh seorang putri keraton karena hendak menjadikannya pampasan perang. Lalu pada akhir Perang Jawa, ibu seorang panglima utama Diponegoro di Bagelen timur, Basah Joyosundargo, dilaporkan menolak ikut putra dan menantunya menyerah. Dia terpaksa ditembak mati oleh pasukan Belanda ketika tempat persembunyiannya di kawasan Gunung Persodo digerebek. Ada juga perempuan-perempuan yang bertindak sebagai panglima dalam Perang Jawa yang mampu berlaku kejam. Menurut Carey, dalam laporan khusus seorang Residen Yogyakarta (1831-1841), Frans Gerhardus Valck, disebutkan mereka merupakan istri pembesar Jawa. Dua di antaranya adalah Raden Ayu Yudokusumo, putri sultan pertama dan Raden Ayu Serang, mantan istri sultan kedua. Begitu juga para perempuan yang membantu menyediakan mesiu di desa-desa sebelah barat Yogyakarta. Mereka berjasa mendatangkan uang kontan dan barang berharga ke daerah-daerh peperangan. Pun mereka yang yang ditemukan tewas mengenakan seragam tempur dalam pengepungan di Yogyakarta pada Agustus 1825. “Mereka sama sekali bukanlah para Raden Ayu yang tersipu-sipu dalam karya sastra rekaan kolonial Belanda akhir abad ke-19 dan mereka berlaku sebagai Srikandi tatkala Indonesia mempertahankan kemerdekaannya pada pertengahan abad ke-20,” jelas Carey.
- Nasib Prajurit Perempuan
“Perhatian! Penulis adalah seorang penulis dan prajurit perempuan yang menyelesaikan cerita Babad Tutur pada Bulan Siam, hari ke-22, masih dalam tahun Jimawal 1717 di Kota Surakarta.” Demikianlah pengumuman penulis buku harian yang identitasnya misterius. Dia hanya menyebut bagian dari prajurit éstri di Pura Mangkunegaran. Dia menulis buku hariannya pada dasawarsa terakhir pemerintahan Mangkunegara I yang bertakhta sejak 1757-1795. Peter Carey, sejarawan asal Inggris, dalam Perempuan-Perempuan Perkasa berpendapat, keberadaan prajurit éstri di lingkungan keraton Jawa membuktikan kalau citra raden ayu yang lemah lembut dalam literatur kolonial perlu direvisi. Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, bahkan pejabat senior VOC yang terlatih secara militer mengaku keheranan atas keterampilan prajurit éstri sebagai prajurit berkuda. Namun, selain mereka terampil menggunakan senjata dan berkuda, tak banyak yang bisa diketahui lagi. Ann Kumar dalam Prajurit Perempuan Jawa menjelaskan, Rijklof van Goens, duta besar luar biasa VOC, yang diutus ke Keraton Mataram lima kali pada pertengahan abad ke-17 mencatat, sekira 150 perempuan muda tergabung dalam korps prajurit éstri. Para prajurit itu tidak hanya dilatih memainkan senjata, tetapi juga menari, menyanyi, dan memainkan alat musik. Tarian Retno Tinandhing diilhami gerak tempur prajurit éstri hingga kini masih digelar di Keraton Surakarta. “Van Goens tidak pernah menuliskan bahwa mereka juga mendalami sastra. Namun bagi orang asing mungkin keahlian seperti itu tidak akan gampang terlihat,” tulis Ann Kumar. Di lingkungan Keraton Yogyakarta, Carey menulis, pengerahan dan pelatihan prajurit éstri menjadi semacam obsesi Sultan kedua. Ibundanya, Ratu Ageng (1732-1803), permaisuri Sultan pertama dan ibu tiri Pangeran Diponegoro, pernah menjadi komandan pertama Korps Srikandi pada awal Keraton Yogyakarta, setelah November 1755. Kebanyakan anggota prajurit srikandi itu terdiri dari putri-putri tercantik di kerajaan. Anggotanya biasanya direkrut dari putri pejabat daerah, seperti lurah atau demang, setingkat kecamatan atau kabupaten. Nantinya sebagai pasukan perempuan yang mengawal raja, mereka diberi gelar Abdi-Dalem Priyayi Manggung atau Prajurit Keparak éstri. Mereka juga disebut Pasukan Langenkusumo. Sayangnya terkadang para anggota prajurit itu dipilih dengan cara licik. Menurut sumber Jawa, kata Carey, banyak sekali suami dan ayah di kesultanan pada akhir abad ke-18 mengeluhkan soal perekrutan ini. Sebab istri-istri muda dan putri-putri cantik mereka dipaksa menjadi prajurit éstri oleh sultan kedua, pada masa akhir dia menjabat Putra Mahkota. Meski kecantikan fisik menjadi salah satu unsur yang penting dalam perekrutan, para prajurit perempuan ini jarang diambil sebagai selir raja. Mereka justru lebih sering dihadiahkan kepada bangsawan untuk dijadikan istri. Kendati begitu, Ann Kumar mencatat, sebagai istri bangsawan, mereka dianggap lebih beruntung daripada menjadi selir raja. Selir raja tidak boleh menerima tawaran pernikahan selama raja masih hidup. Bahkan seringkali tetap tak boleh meski raja telah meninggal. Bahkan menurut François Valentijn, seorang misionaris, ahli botani, dan penulis buku, bahwa di istana Mataram di Kartosuro pada awal abad ke-18, dia menyaksikan perempuan-perempuan muda mantan prajurit estri yang dijadikan istri bangsawan itu tampak bersemangat dan bangga ketika dihadiahkan. Pasalnya mereka menyadari suami priayi agung mereka tak bakal berani memperlakukan mereka secara buruk. Si suami pasti takut raja murka.
- Matahari Terbit di Kereta Rel Listrik
Pernahkah anda melihat masinis Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek menunjuk-nunjuk sesuatu sembari berkata sendiri ketika kereta berjalan atau berhenti? Ini cara masinis KRL menjaga konsentrasinya selama bekerja. Istilahnya "tunjuk" dan "sebut". Adopsi dari cara kerja masinis KRL di Jepang. Di sana cara kerja ini telah berjalan lebih dari 100 tahun. Jepang mempunyai pengaruh besar dalam layanan KRL Jabodetabek. Cobalah anda tengok pakaian masinis KRL dan Petugas Pelayanan Kereta (PPK) di Indonesia. Dari topi, kemeja, sampai sarung tangan. Benar-benar menyerupai pakaian masinis dan PPK di Jepang. Tapi cara kerja dan pakaian masinis hanya sebilangan kecil dari pengaruh tersebut. Pengaruh besar Jepang terletak pada rencana perbaikan dan pengembangan KRL Jabodetabek. Akarnya tertanam pada dekade 1970-an. Masa ini layanan KRL di bawah Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) sedang terpuruk. Sejumlah gardu penyuplai listrik rusak sejak 1964. Anggaran PNKA untuk membayar listrik juga berkurang. Jumlah perjalanan KRL pun turun drastis. “Layanan KRL hampir ditutup,” kata Ibnu Murti Hariyadi, sejarawan perkeretaapian sekaligus penulis sejumlah buku sejarah kereta api, kepada Historia . Sebagian rute layanan KRL berganti kereta rel diesel (KRD) peninggalan Belanda. Keretanya sudah kusam. Tapi keadaan sedikit cerah pada 1971. PNKA Eksploitasi (daerah operasi) Barat memperoleh alokasi dana bantuan dari pemerintah pusat. Masuk dari Kereta Baru Pemerintah pusat memperoleh dana itu dari Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), sebuah kelompok negara pemberi bantuan untuk Indonesia. Di dalamnya termasuk Jepang. PNKA berencana menggunakan dana bantuan untuk membeli beberapa rangkaian kereta dari Jepang. Kedatangan kereta baru penting untuk memenuhi dua tujuan: jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek untuk mengatasi kemacetan di dalam kota Jakarta, sedangkan jangka panjang untuk menghubungkan Jakarta dengan kota-kota satelitnya di wilayah timur, selatan, dan barat. Selaras dengan konsep pengembangan Jabotabek. Tapi pembelian kereta baru tidak bisa langsung mewujud. Perlu ada studi pendahuluan. Maka pemerintah mengundang konsultan transportasi asal Jerman Barat untuk mengkaji perbaikan dan pengembangan KRL. Hasil kajian mensyaratkan biaya besar untuk perbaikan dan pengembangan KRL jangka panjang. Pemerintah hanya punya dana untuk melaksanakan rencana perbaikan dan pengembangan KRL jangka menengah ( intermediate programme ). Aksi ini berupa pengadaan KRL baru dari Jepang sebanyak sepuluh rangkaian pada pertengahan 1976. Satu rangkaian terdiri atas empat kereta. Biaya pengadaan mencapai Rp700 juta, demikian catatan Kompas , 30 Januari 1975. KRL baru itu berjalan pada rute Manggarai–Bogor PP sejak 2 September 1976 sekaligus menandai beroperasinya kembali KRL rute tengah. Dan sejak ini pula, pengaruh Jepang kian menancap dalam layanan KRL Jabotabek. “Pemerintah melirik Jepang karena perkembangan pesat teknologi kereta apinya pada masa itu. Apalagi prestasi Jepang berhasil meluncurkan kereta api cepat pertama sejak 1964 itu menjadi perhatian betul dari pemerintah Orde Baru,” ungkap Ibnu. ODA dan JICA Dari pandangan Jepang, Indonesia tampak sebagai negara terpenting di kawasan Asia Tenggara. Indonesia di bawah Orde Baru ramai oleh pembangunan infrastruktur. Kelas ekonomi baru bermunculan di Jakarta dan sekitarnya. Merekalah pasar bagi produk dagang Jepang. Bahan baku untuk industri Jepang tersedia melimpah di Indonesia. Begitu pula dengan tenaga kerja murah. Sangat menguntungkan jika Jepang memperluas investasi industrinya di sini. Dengan demikian, menjaga hubungan baik dengan Indonesia berarti turut menjamin keberlangsungan industri dan pasar produk dagang Jepang. Maka Jepang tak segan mengucurkan bantuan untuk memperbaiki infrastruktur di Indonesia. Bantuan itu terkemas dalam Official Development Assistance (ODA). “Perdagangan, investasi, serta ODA merupakan trilogi yang tak dapat dipisahkan,” tulis Sueo Sudo dalam The International Relations of Japan and Southeast Asia: Forging a New Regionalism . Salah satu pengelola ODA adalah Japan International Cooperation Agency (JICA). Lembaga kerja sama teknik ini menggandeng sejumlah konsultan dan perusahaan kereta Jepang untuk membantu Indonesia dalam perbaikan dan pengembangan KRL Jabotabek. Wujud bantuan JICA berupa pembuatan Rencana Induk KRL Jabotabek dengan beberapa kali revisi selama 1980–1985. Rencana Induk memuat kajian jumlah penumpang KRL Jabotabek, keruangan kota Jakarta dan sekitarnya, permasalahan KRL, biaya pelaksanaan, dan langkah-langkah perbaikan dan pengembangan KRL untuk 20 tahun ke depan. “Rencana Induk menjelaskan langkah-langkah apa saja yang dibutuhkan untuk perbaikan layanan KRL seperti penyediaan rel ganda, renovasi stasiun, elektrifikasi, sinyal otomatis, persilangan, pengadaan KRL baru, pemutakhiran bengkel dan depo, pembangunan rute baru dan sebagainya. Target penyelesaian pada tahun 2000,” tulis Tomoyoshi Haya dalam “Improvement of Railway System in Jakarta Metropolitan Area”, termuat di Japan Railway & Transport Review No, 35, Juli 2003. Pemerintah Indonesia menyetujui Rencana Induk KRL tersebut dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 26 tahun 1982 dan Keppres No. 67 tahun 1983. Setelah itu, Presiden Soeharto menetapkan Rencana Induk KRL Jabotabek sebagai Proyek Nasional. Semua kebijakan ini demi meningkatkan peranan KRL pada tahun-tahun mendatang. Saat Rencana Induk KRL kali pertama muncul, KRL hanya mempunyai peran sebesar 1,2 persen (44.000 orang) dari 3,6 juta warga Jabotabek yang melakukan perjalanan tiap harinya. Peran ini akan meningkat jadi 20 persen dengan bantuan lanjutan pemerintah Jepang berupa suplai kereta baru, alih teknologi, dan pinjaman lunak. Seiring pembuatan Rencana Induk KRL, Jepang mengirimkan empat rangkaian KRL (16 kereta) baru produksi pabrik Kawasaki ke Indonesia pada Oktober 1984. Harga tiap rangkaian Rp1,9 miliar. Di samping itu, Jepang juga mulai mencari skema pinjaman dana untuk pembangunan rel layang rute tengah (Manggarai–Jakarta Kota). Rel layang ini maujud pada 1992. Pengaruh Negara Lain Sebenarnya Jepang tidak sendirian memberikan pengaruh dalam layanan KRL Jabotabek. Mereka sedia berbagi pengaruh dengan Prancis dan Inggris. Rencana Induk KRL membagi perbaikan dan pengembangan KRL dalam tiga rute: tengah (Bogor–Jakarta Kota), timur (Tanjung Priok–Bekasi–Cibinong), dan barat (Jakarta Kota–Tanah Abang–Tangerang–Rangkasbitung). Jepang menggarap rute tengah, Inggris kebagian rute timur, dan Prancis memperoleh rute barat. Inggris menyiapkan Rp300 miliar, sedangkan Prancis sanggup kasih Rp75 miliar untuk Indonesia. Syaratnya Indonesia harus menyertakan dana pendamping pinjaman dalam bentuk rupiah. Perbandingannya 60 persen dana pinjaman dengan 40 persen dana pendamping. Kompas, 4 Oktober 1985 menyebut Indonesia tidak mampu menyediakan dana pendamping pinjaman tersebut. Perbaikan dan pengembangan KRL rute timur dan barat pun tersendat. Sementara Jepang mengakalinya dengan mengganti sebagian dana pinjamannya dalam bentuk rupiah. Cara ini memperkecil jumlah dana pendamping pinjaman dari Indonesia. Hasilnya pembangunan rel layang rute tengah terlaksana. Karena ketidakmampuan Indonesia menyediakan dana pinjaman, Inggris dan Prancis pun hengkang dari rute timur dan barat. Jepang mengambil alih penggarapan dua rute tersebut. Akhirnya Jepang menjadi negara dominan dalam rencana perbaikan dan pengembangan KRL Jabotabek hingga sekarang.
- Papillon Ogah Pasrah
HANYA dalam satu malam, hidup Henri “Papillon” Charrière (diperankan Charlie Hunnam) berubah drastis. Nasibnya berbalik 180 derajat dari hidupnya yang flamboyan dan glamor di kota Paris menjadi narapidana yang dipenjara di tempat terpencil di seberang Samudera Atlantik. Ganjalan berat juga datang dari asmaranya, Papillon sedang kasmaran dengan pacarnya, Nenette (Eve Hewson). Nestapa itu bermula dari pengkhianatan Papillon terhadap Jean Castili, bos kriminal yang punya banyak jaringan di kepolisian. Setelah sukses mencuri sejumlah berlian dari brankas sebuah bank di Paris pada suatu malam di tahun 1931, Papillon bukannya menyerahkan semua hasilnya untuk “ditukar” dengan honornya tapi malah menyimpan sebagian guna dijadikan hadiah untuk Nenette. Maka, setelah berfoya-foya dan bercumbu semalaman dengan Nenette, Papillon diciduk polisi di kamar hotel. Ia dijebak dengan tuduhan membunuh Roland Le Grande, seorang mucikari yang sebelumnya ia lihat di kantor bosnya sedang menanti eksekusi oleh para anak buah bosnya. Papillon lantas divonis penjara seumur hidup di penjara terpencil di Guyana Prancis, Camp de la Transportation. Jalinan adegan itu jadi preambul yang disajikan sutradara Michael Noer dalam film bertajuk Papillon. Noer tampak tak ingin mengisahkan masa lalu sang karakter utama. Sang sineas langsung menghadirkan kenyataan pahit yang harus dijalani Papillon bersama sejumlah napi lain dalam sebuah kapal buruk yang membawa mereka ke Guyana. Papillon segera insyaf bahwa kehidupannya akan berjalan berbeda dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang keras. Dalam perjalanan itu, ia berkawan dengan Louis Dega (Rami Malek), napi kaya yang dipidana atas kasus penipuan. Seiring dengan nasibnya menjadi pesakitan, Papillon merencanakan pelarian dari kamp penjara yang brutal itu. Dia tak peduli ancaman yang disampaikan kepala sipir Barrot (Yorick von Wageningen) saat menyambut para tahanan baru dari daratan Prancis itu. “Saya tahu kalian berpikir untuk kabur. Silakan coba! Akan selalu ada dua penjaga. Semak-semak yang akan membuat kalian kelaparan, atau bisa pilih lautan, di mana hiu-hiu selalu lapar. Jika kalian tertangkap dalam upaya pertama, kalian akan dimasukkan ke sel isolasi dua tahun. Upaya kedua, akan dihukum seumur hidup di Île du Diable (Pulau Setan),” kata Barrot. Pemutaran film Papillon di Erasmus Huis (Foto: Twitter @EuropeonScreen) Upaya pelarian pertama Papillon dilakoni saat diperintah ikut membuang mayat sesama napi yang dihukum pancung akibat membunuh penjaga penjara. Sial, upaya itu gagal. Dia langsung dijebloskan ke sel isolasi selama dua tahun. Namun, Papillon tidak kapok. Upaya kedua direncanakannya selepas pulih dari kondisi memilukan setelah dua tahun mendekam di sel isolasi. Kali ini tidak hanya bersama Dega, Papillon juga berkomplot dengan napi bekas pelaut Celier (Roland Møller) dan rekannya yang acap jadi korban pelecehan penjaga penjara, Maturette (Joel Basman). Kuartet itu memanfaatkan momen nonton bareng film King Kong yang diputar kepala sipir untuk sejumlah pejabat pemerintahan kolonial Guyana Prancis. Memanfaatkan uang simpanan Dega, mereka membayar gerombolan kolonialis sipil demi sebuah perahu. Adegan mereka kabur dari penjara hingga benar-benar lolos amat menegangkan. Mereka bebas! Namun adegan seru tak berhenti sampai di situ. Sebuah pertikaian bermuara pada ditikamnya Celier oleh Dega berkali-kali hingga tewas. Tantangan juga kian menghebat saat ketiga pelarian yang tersisa pontang-panting bertahan dari terpaan badai. Adegan langsung berganti kala Papillon terbangun mendadak di sebuah gubuk. Ia dirawat oleh seorang gadis Indian, Zoraima (Poppy Mahendra). Ternyata, para pelarian itu tersapu badai sampai ke pesisir Kolombia dan diselamatkan penduduk Indian pesisir. Untuk sesaat, mereka aman. Seorang suster kepala mengadukan keberadaan mereka ke kepolisian Kolombia. Mereka pun digeruduk. Maturette ditembak di tempat, sementara Papillon dan Dega ditahan dan dibawa kembali ke penjara Guyana Prancis. Takdir membawa keduanya ke penjara yang lebih buruk, di Pulau Setan. Lagi-lagi, Papillon menolak pasrah. Ia bersama Dega kembali merencanakan pelarian, mengingat pulau itu justru tak dijaga sipir. Kepala sipir mempercayakan keamanan kepada kondisi “alam” pulau itu dan meyakini tak satupun napi mampu lolos. Perkiraan itu salah. Papillon berhasil mengumpulkan batok-batok kelapa dan menyatukannya dengan jaring dan karung sehingga jadi rakit yang akan membawanya ke daratan utama. Namun saat hendak kabur, Dega menolak ikut. Adegan dramatis penuh emosio itu membawa cerita menuju bagian akhir. Dan sutradara Noer mengemas epilog Papillon dengan adegan loncat ke masa senja Papillon di tahun 1969. Di sana, Papillon melakukan hal yang tak hanya penting buatnya tapi juga bagi sejarah. Tidak ketinggalan, Noer memberi post-credit script berisi fakta tentang penjara Guyana dan Papillon. Pilihan Europe on Screen Papillon yang rilis pada Agustus 2018, jadi salah satu dari 14 film komersil populer yang dihadirkan dalam Europe on Screen (EoS) 2019. Film berdurasi 133 menit ini diputar secara cuma-cuma di dua lokasi: Erasmus Huis (Kedutaan Besar Belanda) Jakarta pada 21 April 2019 dan Alliance Française Denpasar, Bali, pada 27 April 2019. Sebagaimana diuraikan oleh Festival Co-Directors EoS Nauval Yazid, tahun ini EoS ingin menonjolkan film-film yang mengandung tema tentang “Our Land” atau tanah dalam berbagai aspek. “Tahun ini (temanya) tentang our land , tentang tanah. Kita ingin angkat isu tanah dari sisi sejarah, turisme, hukum, tanah sebagai tempat tinggal, sampai tanah yang jadi sengketa,” kata Nauval kepada Historia. Papillon dianggap sebagai salah satu interpretasi dari tema itu mengingat film ini merepresentasikan bagaimana suatu tanah jajahan Prancis di seberang samudera berdekade-dekade dijadikan tempat pembuangan napi. Karakter Zoraima yang merawat Papillon selepas kabur dari penjara (Foto: Ram Bergmann Productions) Selain itu, Papillon merupakan remake dari film serupa dengan judul sama, Papillon , yang muncul pada 1973. Kala itu karakter utama Papillon diperankan Steve McQueen. Jalan ceritanya hampir tak beda dan dalam versi 2018 juga menghadirkan aktris berdarah Indonesia, Poppy Mahendra (memerankan gadis Indian bernama Zoraima). Di versi 1973, Zoraima si gadis Indian yang memadu kasih dengan Papillon dimainkan model majalah Playboy Ratna Assan. Hanya saja di versi 2018, Noer tak menggambarkan bagaimana kehidupan Papillon selepas merdeka dari penjara Pulau Setan. Kedua film itu sama-sama mengangkat kisah nyata Henri Charrier yang dituangkannya lewat memoar, Papillon , yang berarti kupu-kupu. Hewan itu menjadi julukan Charrière lantaran dijadikan tato di dadanya. Dalam memoarnya, Papillon berkisah bahwa dia mesti melaut bermil-mil dengan rakit yang terbuat dari batok-batok kelapa sampai ke pesisir Venezuela. Ia sempat ditangkap dan ditahan selama setahun sebelum dibebaskan dan diberi kewarganegaraan Venezuela pada 1945. Diam-diam, ia kembali ke Paris untuk meminta Laffont menerbitkan kisahnya itu. Adalah Rita, istri yang dinikahinya di Venezuela, yang menyarankan Charrier untuk menulis kisahnya selama ingatannya masih kuat. Berkat kisahnya, ia sempat jadi seleb dadakan di Venezuela. Meski statusnya dimaafkan Kementerian Kehakiman Prancis pada 1970, Papillon memilih menetap di Venezuela. Ia mengembuskan nafas terakhirnya di Madrid, Spanyol, pada 29 Juli 1973 akibat kanker tenggorokan.
- Kapan Perempuan Bercelana Panjang?
Awalnya, celana panjang adalah pakaian militer. Mereka berbentuk celana pendek yang nyaman atau celana panjang longgar yang menutupi pergelangan kaki. Meskipun dipakai oleh kedua jenis kelamin pada zaman kuno, celana panjang adalah pakaian "maskulin" selama ratusan tahun. Sebaliknya, perempuan diharuskan mengenakan rok panjang dan tebal. Namun, pada abad ke-19, perempuan mulai mengenakan celana panjang lagi. Ini dipakai hanya untuk menunggang kuda, meski mereka masih mengenakan rok penuh di atasnya untuk menyembunyikannya. Celana panjang tidak dianggap pakaian perempuan yang dapat diterima hingga 1970-an. Bahkan, di beberapa tempat, ilegal bagi perempuan untuk mengenakan celana panjang. Saat ini, celana panjang dikenakan oleh perempuan untuk semua kesempatan tanpa konotasi maskulin. Celana penunggang kuda ukisan prajurit Amazon mengenakan celana panjangpada keramik kuno dari 470 SM koleksi British National Museum. (kingandallen.co.uk) Laporan pertama yang mencatat tentang celana dibuat oleh ahli geografi Yunani abad ke-6 SM. Mereka mencatat penampilan penunggang kuda Persia, Asia Timur dan Tengah. Demi kenyamanan menunggang kuda dalam waktu yang lama, celana panjang menjadi pilihan yang praktis. Gambar pengendara kuda pria dan perempuan yang mengenakan celana panjang dapat ditemukan pada keramik kuno. Contohnya dalam vas yang menggambarkan seorang perempuan prajurit Amazon dalam mitologi Yunani yang mengenakan celana panjang dan membawa perisai dari sekira 470 SM. Kendati begitu, orang-orang Yunani Kuno menolak pakaian itu, menganggapnya konyol. Mereka menjulukinya thulakos , artinya karung. Begitu pun orang-orang Romawi. Mereka menganggapnya sebagai pakaian yang dikenakan oleh orang barbar. Baju zirah Lukisan Joan of Arc at Prayer karya Peter Paul Rubens koleksi North Carolina Museum of Art Joan of Arc terkenal karena sering mengenakan baju besi seperti yang biasa dipakai laki-laki ketika berperang pada abad ke-15. Dia akhirnya dibakar di tiang pancang sebagian karena hal ini. Pantalettes Pantalettes Pantalettes adalah pakaian dalam yang menutupi kaki yang dikenakan oleh perempuan, anak perempuan, dan anak laki-laki pada awal hingga pertengahan abad ke-19. Pantalettes berasal dari Perancis pada awal abad ke-19. Dengan cepat ia menyebar ke Inggris dan Amerika. Pantalettes berbentuk seperti celana selutut. Ini dikenakan perempuan di bawah rok mereka. Sementara pantalettes untuk anak-anak dan gadis-gadis muda dikenakan sepanjang pertengahan betis dan dimaksudkan untuk ditampilkan di bawah rok pendek mereka. Pantalettes bisa terdiri satu bagian atau dua pakaian terpisah, yaitu satu untuk setiap kaki. Celana ini terpasang di pinggang dengan kancing atau tali. Selangkangan dibiarkan terbuka karena alasan kebersihan. Paling sering pantalettes terbuat dari kain linen putih dan ada yang dihiasi renda atau pita. Baju Koboy Baju Koboy Martha Jane Canary (1852-1903) merupakan seorang perempuan di garis depan Amerika dan pengintai profesional ketika berperang melawan penduduk asli Amerika. Dia lebih dikenal dengan nama Calamity Jane karena kebiasaannya mengenakan pakaian pria. Pakaian yang dikenakan ketika itu mirip pakaian pria di film-film koboy. Bloomers Bloomers Pada awal 1850-an seorang Amerika, Elizabeth Smith Miller (1822-1911) memperhatikan perempuan-perempuan di sanatorium kesehatan Swiss mengenakan celana Turki di bawah gaun pendek mereka yang lebar. Dia kemudian memutuskan mengadopsi model pakaian itu. Dia mendorong sepupunya, Elizabeth Cady Stanton (1815-1902) dan Amelia Blommer (1818-1894) untuk melakukan hal yang sama. Lahirlah gaya bloomers . Gaya berpakaian ini memadukan rok selutut dengan celana longgar yang bagian mata kakinya berkerut. Pakaian atasnya dikenakan tanpa korset. Karenanya ia nyaman dan praktis. Gaya ini sangat disukai para feminis awal. Namun, berpakaian semacam ini juga sering menjadi bahan olok-olok. Pada 1860 pakaian ini ditinggalkan agar pegiat hak-hak perempuan ditanggapi lebih serius. Celana kulot Celana kulot Pada 1880-an Rational Dress Society yang baru dibentuk mempromosikan pakaian belah. Itu berupa rok celana atau kulot. Gaya ini populer di kalangan pengendara sepeda perempuan. Pasalnya bersepeda sulit dilakukan dengan rok lebar. Sayangnya gaya berpakaian ini tak diterima oleh sebagian besar masyarakat. Dalam satu kasus pengadilan, seorang hakim bahkan membenarkan pengusiran seorang perempuan dari sebuah hotel karena memakai pakaian belah. Celana Harem Celana Harem Budaya timur mengilhami perancang Prancis, Paul Poiret (1879–1944) untuk menjadi salah satu yang pertama merancang celana perempuan. Pada 1913, Poiret menciptakan celana panjang longgar yang pas untuk perempuan yang disebut celana harem, yang diberi label "jupe-kulot”. Rancangannya itu didasarkan pada kostum opera Sheherazade yang populer. Ditulis oleh Nikolai Rimsky-Korsakov pada 1888, Sheherazade didasarkan pada kumpulan legenda dari Timur Tengah, 1001 Arabian Nights . Celana ini hanya dikenakan oleh para pengikut mode paling berani. Setelan maskulin Setelan maskulin Sebagai seorang aktivis politik untuk hak-hak buruh di Puerto Rico, Luisa Capetillo, menjadi perempuan pertama di negaranya yang mengenakan celana di depan umum. Itulah yang membuatnya ditangkap pada 1919. Hakim kemudian membatalkan dakwaan, dan dia dapat membantu mengesahkan undang-undang upah minimum untuk pekerja. Lalu hadir Katharine Hepburn menjadi ikon mode ketika mulai mengenakan celana panjang pria pada saat gaya semacam itu tak biasa dilakukan. Bagi seorang perempuan, untuk mengenakan celana panjang pada 1930-an, adalah tanda pemberontakan. Namun, aktris Amerika itu sangat gigih melakukannya dan bersikeras mengenakan celana panjang baik di dalam maupun di luar syuting. Karena melakukan hal itu, dia mendapat julukan “racun box office ”. Namun belakangan dia menjadi sangat populer lagi ketika orang-orang mulai mengaguminya karena keberaniannya. Freedom-Alls Freedom-Alls Levi Strauss & Co menawarkan model pakaian perempuan pada awal 1918 bertajuk "Freedom-Alls”. Pakaian ini berupa one-piece yang namanya membangkitkan emosi Perang Dunia I. Freedom-Alls semacam tunik berikat pinggang di atas celana harem panjang. Bahannya ringan. Pada bagian betis hingga pergelangan kaki biasanya tersembunyi di balik sepatu bot. Celana lonceng Celana lonceng Dari model celana bagi Angkatan Laut pada 1812, celana model lonceng ini memasuki dunia mode pada 1920-an berkat desainer Prancis, Coco Chanel. Chanel merevolusi industri mode pada masa itu dengan membawa perempuan keluar dari korset dan gaun yang membatasi, lalu menempatkan mereka dalam celana panjang. Untuk urusan ini, Chanel tertarik pada celana pelaut yang longgar. Model ini kemudian menjadi inspirasi bagi celana panjangnya yang lebar, yang dikenal sebagai "celana berperahu pesiar" dan "piyama pantai", sebagai pelopor bagi celana lonceng pada zaman modern. Celana ini mendapat sambutan lebih luas ketika hadir kembali pada pertengahan 1960-an. Menjelang akhir 1970-an, semua orang membuat celana bagian bawah mereka berbentuk lonceng. Bahannya pun beraneka ragam, denim, katun, korduroi, polyester, dan satin. Celana jeans Celana jeans Levi Strauss & Co. mengambil risiko selamanya dengan mengubah arah mode bagi perempuan. Pada musim gugur 1934, perusahaan itu memperkenalkan jeans pertama di dunia yang dibuat khusus untuk perempuan,Lady Levi’s jeans. Pertama kali jeans perempuan ini dikembangkan untuk mereka yang bekerja di pertanian dan peternakan. Celana kodok Celana kodok Pada awal 1940-an, ketika Perang Dunia II berkecambuk, banyak perempuan mendaftarkan diri ikut perang, juga bekerja jauh dari rumah. Karenanya mereka mendapat kebebasan lebih daripada sebelumnya. Perempuan pun mulai mengenakan pakaian yang biasanya dipakai pria untuk bekerja dan bersantai. Perempuan banyak yang bekerja di ladang menggantikan suami mereka. Mereka dan para pekerja pabrik pun mengenakan celana secara rutin. Dungarees atau celana kodok, pun menjadi pakaian yang biasa dipakai para perempuan pada masa itu. Jumpsuit Jumpsuit Jumpsuits atau "pakaian sirene" juga salah satu celana yang dipakai selama Perang Dunia II pada 1940-an. Celana ini terbuat dari kain flanel lembut atau bahan yang lebih ringan. Pakaian ini ideal dipakai di atas piyama atau gaun tidur jika perlu diganti dengan cepat selama serangan udara. Mereka membuka ritsleting di bagian depan untuk membuatnya mudah dikenakan. Pixie pants Pixie pants Aktris Audrey Hepburn (1928-1993) pernah berperan sebagai seorang beatnik (bohemian) dalam Funny Face (1957). Pada 1950-an, celana panjang well-cut pun tak absen dari lemari-lemari gadis muda yang modis. Perlu satu dekade lagi agar perempuan yang lebih tua mau mengenakan celana panjang. Celana Kekinian Celana Kekinian Pada masa sekarang celana bagi perempuan makin beraneka modelnya. Yang sedang naik daun misalnya model Ruffle Pants, celana dengan akses ruffle. Lalu Plaid Pattern, celana bermotif kotak-kotak yang sebenarnya sudah ada sejak dulu, tetapi kembali beken pada masa kini. Kemudian Fringe Jeans, yaitu celana berbahan jeans dengan detail rumbai di bagian bawahnya. Celana kulot yang memiliki potongan lurus dan lebar dari pinggang hingga bawah juga kembali digemari. Ada pula track pants yang biasanya dihiasi list putih pada bagian samping dengan aksen belah pada bagian luar betis. Jumlah dan warna list pada track pants pun beragam.
- Mula Kedatangan Telepon Umum
KETIKA melakukan perjalanan dinas ke London, Inggris, beberapa karyawan Perusahaan Umum Telekomunikasi (Perumtel) melihat baiknya layanan dan ketersediaan telepon umum di negeri tersebut. Pengalaman itu menginspirasi mereka untuk meniru dan menerapkannya di Indonesia. Begitu kembali ke tanah air, mereka langsung mengusulkan agar Perumtel membuat layanan telepon umum jenis kartu. Namun Direktur Utama Perumtel Willy Moenandir meragukan terwujudnya gagasan mereka. Pasalnya, ketersediaan dan persebaran kartu akan jadi PR baru untuk perusahaan plat merah tersebut. Dus, masyarakat masih awam dengan telepon umum. Sebagai jalan tengah, pada 1981 Perumtel meluluskan ide mereka membuat layananan komunikasi telepon umum namun dengan jenis berbeda. “Akhirnya telepon umum pertama itu yang koin. Di eranya Pak Cacuk jadi dirut, dibangun besar-besaran tahun 89, dimasukkan juga dalam proyek pembangunan,” kata Setyanto P Santosa, kepala Bagian Pemasaran Jasa Telekomunikasi periode 1980, kepada Historia . Lewat proyek Telekomunikasi Nusantara, penyediaan telepon umum ( publicpayphone ) dilakukan besar-besaran bersamaan dengan peningkatan layanan pos. Pembiayaannya dilakukan lewat bantuan Bank Dunia. Oleh karenanya, teknologi telepon umum yang beredar di Indonesia tergantung negara pemberi bantuan. Sebagian besar telepon umum generasi pertama, misal, keluaran Belgia Telephone Manufacturer yang dirakit di PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI). “Dari Jerman dan Jepang juga ada. Tergantung dari negara asal bantuan utang,” kata Setyanto. Lantaran banyaknya telepon umum yang terpasang, Telkom punya unit khusus yang mengurusi telepon umum meski kini unit itu telah tiada. Para petugas di unit layanan telepon umum bertugas untuk merawat perangkat dan mengangkut koin-koin yang memenuhi kontainer telepon. Koin-koin itu lantas ditukar di Bank Indonesia. Pernah suatu kali saking banyaknya koin yang terkumpul, Telkom kewalahan. Setyanto sempat mengeluh pada Gubernur BI Joseph Sudrajad Djiwandono. Tiap hari pasti ada petugas yang berkeliling mengecek kondisi telepon sebab bukan hanya rusak karena dipakai, tapi juga rusak karena dijahili. Ada yang ditempeli permen karet, dimasukkan koin yang sudah dilubangi untuk kemudian ditarik lagi. Ada juga orang yang mencuri koin dengan merogoh dari tempat koin kembalian. Gara-gara kejahilan itulah Telkom merugi, termasuk beberapa telepon umum rusak. Ketika Setyanto menjabat Dirut Telkom, dia meminta bantuan ibu-ibu Dharma Wanita untuk segera memberitahu suami mereka bila mendapati telepon umum rusak. “Ada banyak kejahilan. Tapi kalau yang kartu relatif sulit untuk diakali,” kata Setyanto. Namun, kisah tentang telepon umum –yang setelah jenis koin dilanjutkan dengan jenis kartu– kini sudah berhenti. Telepon umum sudah ditinggalkan. Telepon umum berwarna biru di pinggir Jalan Praja Dalam, Gandaria Utara, misalnya, perangkat beserta tudung pelindungnya masih ada. Namun, gagang teleponnya raib, terputus dari kabel. Besi penutup koinnya pun hilang. Kondisi telepon umum semacam ini jamak ditemui. Kadang malah perangkat teleponnya sudah tak ada, hanya tersisa tudungnya saja. Beberapa telepon umum bernasib baik, masih utuh terpasang. Di Bintaro Plaza, misalnya. Namun, sudah tidak berfungsi. Unit yang mengurusi telepon umum pun sudah ditiadakan dari Telkom. Telepon umum hadir sebagai media komunikasi populer hanya berlangsung dari dekade 1980-an hingga 1990-an. Realita itu berbeda dari realita di beberapa negara. “Di Singapura dan Amerika, masih ada. Kehadiran telepon umum intinya adalah pelayanan untuk masyarakat,” kata Setyanto menjelaskan kebijakan beberapa negara tersebut yang tetap dipertahankan kendati eranya sudah era ponsel. Meski ponsel menjadi barang “wajib” punya, menurutnya, tak semua orang memilikinya. Pun, bila pengguna ponsel mengalami keadaan darurat, seperti hilang, habis daya, atau hilang sinyal, telepon umum bisa menjadi andalan. “Kalau menurut saya, layanan telepon umum harus tetap ada. Itu bagian dari PSO ( public service obligation ).”





















