Hasil pencarian
9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Pentingnya Merawat Ingatan Peristiwa 1965
IFDHAL Kasim, mantan Komisioner Komnas HAM, menyatakan pentingnya merawat ingatan mengenai peristiwa 1965. Khususnya, adanya pelanggaran berat HAM memberikan kewajiban pada negara untuk mengingat peristiwa itu. “Tidak menghancurkan dokumen atau situs-situs yang bisa membangkitkan ingatan,” ucapnya dalam simposium nasional “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan,” di Hotel Aryaduta, Jakarta, 19 April 2016. Lebih lanjut, Ifdhal memaparkan tujuan merawat ingatan bukanlah untuk membalas dendam. Justru dengan memori diharapkan bisa mencegah peristiwa yang sama tidak terulang. “Jadi memori ini sebagai upaya pemulihan,” tuturnya. Selain iti, menurutnya para penyintas bisa mendapatkan hak-haknya di antaranya restitusi, kompensasi, rehabilitasi, dan memberikan kepuasan pada para korban atau penyintas yang menderita. “Selain empat itu, tentu mencegah peristiwa tidak berulang,” ungkap Ifdhal. Yang terpenting menurutnya negara harus mengambilalih persoalan ini. Negara tidak seharusnya membiarkan hal ini hanya menjadi upaya yang hanya dilakukan oleh masyarakat. Dia menilai negara sebenarnya sudah dibantu masyarakat untuk mengingat. Pun juga untuk mencegah benturan lebih keras di masyarakat. “Ada gerakan dari masyarakat namun negaranya tidak berani mengambil tanggung jawab,” tegasnya. Karenanya, penyembuhan perlu dilakukan sebagai sebuah bangsa. Jika tidak, prasangka politik akan selalu ada. Kekhawatiran juga akan selalu muncul. “Misalnya begitu simposium ini diadakan sudah ada yang protes. Selalu ada protes jika menyangkut peristiwa 1965. Ini menunjukan kita masih belum bisa melepaskan diri dari peristiwa lama seakan peristiwa itu baru terjadi kemarin,” papar Ifdhal.
- Rekonsiliasi Harus Didahului Pengungkapan dan Pengakuan Kebenaran
REKONSILIASI menjadi dasar untuk dapat menyelesaikan pelanggaran HAM berat tahun 1965. Namun, rekonsiliasi harus dimulai dari diri sendiri. Semua pihak harus berdamai dengan masa lalu. Demikian dikatakan oleh Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo, ketua panitia pengarah simposium nasional “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” di Hotel Aryaduta, Jakarta, 19 April 2016. “Banyak yang bilang mending dilupakan, masa lalu itu akan berlalu. Tapi ada berapa beban masa lalu yang akan terus diwariskan. Kita bukan bangsa beradab jika takut menghadapi masa lalu,” ujar Agus Widjojo. Tantangannya, kata Agus, adalah bagaimana semua pihak bisa melepaskan masa lalunya. “Sudahkan secara individu bisa berdamai dengan diri sendiri? Kalau masih berkutat menuntut keadilan kita tanpa sadar akan masuk ke dalam pembuktian pengadilan,” katanya. Menurut Agus konsep rekonsiliasi yang terpenting bukan penyelesaian antarindividu. Rekonsiliasi harus diletakkan pada bingkai kebangsaan. Dia berharap semua pihak tidak takut rekonsiliasi akan menghilangkan hak-hak pihak tertentu. Semua harus sepakat mitos korban bahwa negara bisa berlaku seenaknya pada warganya harus segera ditinggalkan. “Semua yang dituntut oleh semua komponen dapat selesai dengan rekonsiliasi. Tidak ada hak yang hilang,” tegasnya. Agus optimistis tragedi 1965 tak akan terjadi lagi di negara ini selama Indonesia tetap memakai sitem pemerintahan yang demokratis. “Sebelumnya kan kita menganut kultur kekuasaan absolut,” ungkapnya. Koordinator Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK), Kemala Candrakirana memaparkan bahwa selama 40 tahun dari 1965 hingga 2005 terkumpul 1.300 kasus kekerasan yang melibatkan 3.150 korban. “Data itu didapatkan dengan mendengar kesaksian melibatkan korban dan majelis warga di ruang publik dari Aceh sampai Papua,” kata Kemala. Bentuk-bentuk penganiyaan beragam, mulai dari pembasmian, kekerasan dalam merampas aset, penyeragaman dan pengendalian kekerasan antarwarga, serta kekerasan terhadap perempuan. “Impunitas terhadap pelanggaran HAM berat 1965-1966 telah memungkinkan terus terjadinya pelanggaran berat selama 40 tahun terakhir di Indonesia,” ujar Kemala. Sementara itu, Komnas HAM telah mengumpulkan berkas setebal 2000 lembar yang membuktikan terjadinya kejahatan HAM pada 1966-1966 dan dampak sesudahnya terhadap penyintas. “Itu adalah holocaust yang dilakukan oleh negara,” kata pegiat HAM, Harry Wibowo. Lebih jauh, Harry menyebut tragedi 1965 bukan hanya pelanggaran HAM berat, tapi merupakan kejahatan serius. “Jadi UU No. 26 tahun 2000 soal pengadilan HAM itu mereduksi kejahatan serius menjadi pelanggaran HAM,” ungkapnya. Kemala menegaskan proses rekonsiliasi akan tercapai sebagai dampak dari proses penyelesaian. Untuk mencapai proses penyelesaian, KKPK telah menyusun enam pilar yang disebut Satya Pilar. “Satya pilar adalah dasar kerja bersama untuk penyelesaian,” kata Kemala. Sejauh ini, langkah yang dilakukan masih parsial. Usaha menuju penyelesaian belum dilaksanakan dalam satu kesatuan. “Satya Pilar tidak ada jalan tunggal. Ini adalah penegakan integritas Indonesia sebagai negara hukum,” ujar dia. Pilar tersebut antara lain pengungkapan dan pengakuan kebenaran. Upaya ini menurut Kemala telah ada di lingkungan masyarakat. Namun, pilar ini juga dibutuhkan pengakuan dari negara. Kemudian, menurutnya perlu ada upaya khusus lewat pemulihan. Dalam hal ini bukan soal proses hukum. Namun kebijakan sosial, seperti soal kesehatan maupun perlindungan sosial. “Ada peran baik sektor pemerintahan nasional dan daerah. Kemudian ada dialog publik menuju rekonsiliasi yang selayaknya terjadi di semua ranah karena realitas pengalamannya beda-beda,” kata Kemala. Dalam hal ini, Kemala pun optimis bangsa Indonesia bisa mencapai harapan menuju rekonsiliasi. Sebab, berbagai pihak sudah mulai terbuka dengan isu 1965. Ini juga terlihat dari komunitas keagamaan. Beberapa guru pun mulai menggunakan bahan ajar yang independen dan tidak menutup diri pada kisah tragedi 1965. “Kita perlu merangkul ini semua agar menyeluruh dan bisa berdampak pada rekonsiliasi nasional,” kata Kemala. Harry Wibowo sepakat bahwa rekonsiliasi adalah dampak dari pengungkapan dan pengakuan kebenaran. Dia mengajukan empat pilar demi meraih tujuan rekonsiliasi, yaitu hak korban untuk mengetahui kebenaran, keadilan, pemulihan, juga jaminan tidak akan berulangnya kejahatan yang sama. Menurut Harry, dalam proses mencapai rekonsiliasi, perlu dibentuk service crime unit , seperti yang dilakukan dalam pengentasan kasus HAM di Timor Timor. Lembaga yang dimaksud semacam komisi pengungkapan kebenaran yang bisa menyeret pelaku kejahatan ke meja pengadilan. “Usulan saya adalah membentuk komisi pengungkapan kebenaran. Ini bersifat independen bertanggungjawab langsung pada presiden,” kata Harry Wibowo. Hal senada disampaikan Harkristuti Harkrisnowo, pakar hukum dari Universitas Indonesia. Menurutnya diperlukan komisi khusus untuk menangani rekonsiliasi 1965 tanpa mengganggu transformasi politik yang sedang berlangsung. “Komisi itu harus independen, tanpa kontrol pemerintah dalam investigasi dan menghasilkan rekomendasi,” katanya.
- Ariel Heryanto: Negara Harus Meminta Maaf
DALAM kerangka acuan simposium nasional “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan,” disebutkan bahwa tahap berikut dari tragedi 1965 adalah operasi pengejaran bukan saja oleh TNI tetapi juga meluas menjadi “konflik horizontal” di beberapa daerah yang menyebabkan jatuhnya korban dari eks anggota PKI dalam jumlah besar. Ariel Heryanto, profesor di The School of Culture, History and Language, Australian National University, menegaskan bahwa peristiwa 1965 bukan konflik horizontal tetapi konflik vertikal. “Beberapa dari anda sudah memaklumi dan menyebut bahwa peristiwa 1965 adalah masalah konflik vertikal. Saya kira tugas saya untuk mengembangkan lebih lanjut pokok yang saya anggap penting ini,” kata Ariel. Untuk itu, Ariel menguraikan bahwa perlu dibedakan antara bangsa atau masyarakat Indonesia dengan negara Indonesia. Keduanya sering kali dicampuradukan. Untuk sederhananya, negara adalah sekumpulan badan atau lembaga yang satu-satunya boleh memiliki tentara, punya senjata dan boleh menembak, kalau bukan itu namanya preman; satu-satunya badan yang boleh membuat penjara dan memenjarakan orang; satu-satunya badan yang boleh mencetak uang; satu-satunya badan yang boleh memajaki warganya kalau bukan itu namanya palak. Jadi, jelas sekali bedanya antara bangsa dan negara. Dengan demikian, negara juga perlu dibedakan dengan pemerintah. “Kita tadi bicara siapa yang harus meminta maaf. Kalau menurut saya yang harus meminta maaf adalah negara. Pemerintah adalah perwakilan dari negara itu. Pemerintah bisa datang dan pergi; terpilih dan jatuh; negaranya tidak. Kalau pemerintah yang sekarang atau sebelumnya belum siap atau menolak meminta maaf, tidak berarti utang negara itu lunas; negara masih berutang, tinggal pemerintahnya yang belum siap,” tegas Ariel. “Saya berbicara negara secara kolektif,” lanjut Ariel. “Negara bertanggungjawab yang pertama dan utama atas kegagalan yang terjadi mengelola masyarakat di tahun 1965, baik itu presiden, parlemen, tentara, bersama-sama secara kolektif adalah negara. Saya tidak mau menujuk satu atau dua pihak,” lanjut Ariel. Menurut Ariel, dalam sejarah di Indonesia atau di banyak negara lain, kalau terjadi sebuah kekerasan massal yang meliputi wilayah yang besar dan berlangsung berbulan-bulan, biasanya negara ikut campur. Bukan konflik antarmasyarakat. “Dan tahun 1965 menurut saya menunjukkan itu,” kata Ariel. Apabila konflik-konflik yang terjadi di tahun 1960-an di Indonesia terjadi hanya pada level masyarakat maka yang terjadi adalah kekerasan yang bersifat sporadik, acak dan lokal. Korbannya mungkin puluhan atau ratusan. “Saya tidak bisa membayangkan sampai ribuan. Kalau jumlahnya sampai puluhan ribu atau ratusan ribu, pasti ada bantuan negara. Dan negara tersebut bisa juga dengan bantuan negara-negara lain, bekerjasama memungkinan terjadinya kekerasan,” kata Ariel. Ariel tidak menyangkal ada konfik pada level lokal antarwarga pada 1965. “Tetapi kalau berhenti pada level itu, anda sudah membebaskan negara dari kegagalannya dan kejahatannya ketika terlibat dalam kekerasan itu. Tetapi bila negara terlibat maka negara telah mengalihkan tanggungjawab itu kepada sesama warga yang terus menerus saling membeci dan mencurigai. Kita tidak akan pernah selesai dan akan begini terus,” kata Ariel. Sementara itu, Salim Said mengatakan bahwa mestinya kita memahami peristiwa 1965 sebagai dinamika perkembangan menjadi suatu bangsa. Dan peristiwa itu adalah fenomena dari peradaban yang rendah yang menjadi musuh kita bersama. Kita harus rendah hati menerima kenyataan itu. “Selama bangsa ini belum bisa menerima kenyataan sejarah dan keragaman Indonesia, maka bangsa ini belum beradab. Dan kita dalam proses menjadi Indonesia yang beradab masih lama,” kata Salim Said. Ariel dengan tegas menyatakan berbeda pendapat dengan Salim Said soal bangsa yang beradab. Ucapan itu mengingatkannya kepada kejijikan orang-orang Eropa ketika menjajah di tanah Hindia Belanda. “Mereka jijik melihat bangsa Indonesia: bangsa apa ini, kulitnya cokelat lagi. Ketika ada bangsa seperti Sukarno cs. yang mencoba memerdekakan diri, orang-orang asing itu kagum. Barangkali perlu dirumuskan ulang, kita yang justru kurang beradab sekarang tidak seberadab generasi tahun 1930-an itu,” kata Ariel.
- Simposium 1965 Tanpa Kata Maaf
MENTERI Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan mewakili pemerintah mengatakan akan berupaya menyelesaikan masalah pelanggaran HAM 1965, namun menegaskan tidak akan meminta maaf kepada siapa pun juga tentang masalah ini. Pernyataannya itu merespons gencarnya kabar tentang permintaan maaf pemerintah kepada PKI. “Menguak kembali G30S adalah pintu masuk untuk menyelesaikan masalah HAM di Indonesia. Saya sebagai Menkopolhukam akan mempertaruhkan apapun untuk penyelesaian ini. Namun ingat, pemerintah tidak bodoh untuk melakukan permintaan maaf ke sana-ke mari,” kata Luhut sekaligus membuka simposium nasional “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” pagi tadi di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat. Simposium nasional yang diselenggarakan selama dua hari, 18-19 April, itu merupakan simposium pertama tentang peristiwa 1965 yang disponsori oleh lembaga negara setelah puluhan tahun tak pernah menjadi perhatian pemerintah. Kantor Kemenkopolhukam bekerjasama dengan Komnas HAM, Dewan Pers, dan Dewan Pertimbangan Presiden mengundang berbagai kalangan, baik dari korban, penyintas dan juga pelaku untuk turut duduk bersama membicarakan apa yang terjadi limapuluh tahun yang lalu. “Dua kubu, yang saya sebut golongan anti-PKI dan golongan warga eks PKI, hari ini dapat berbicara bersama, dengan setara. Forum itu akan memberikan kesempatan bagi berbagai pihak untuk menafsirkan sejarah secara jernih, juga memberi kedalaman pemahaman tentang tragedi 1965,” ujar Letjen (Purn) Agus Widjojo, gubernur Lemhanas yang juga ketua panitia simposium. Letjen (Purn) Sintong Panjaitan yang pada saat operasi penumpasan PKI 1965-1966 bertugas sebagai komandan peleton RPKAD juga hadir memberikan kesaksiannya pada sesi pembukaan. Menurutnya jumlah korban pembunuhan massal terlalu dibesar-besarkan. Dia bahkan menantang para ahli sejarah untuk membuktikan jumlah korban yang mencapai ratusan ribu itu. “Saya menantang para peneliti untuk menunjukkan di mana kuburan para korban dari PKI,” kata Sintong. Sintong menolak jumlah korban yang mencapai jutaan yang dirujuk berbagai literatur sejarah. Bahkan Sintong meragukan temuan Tim Pencari Fakta yang dibentuk Presiden Sukarno dan Mayjen Soemarno. Tim Pencari Fakta itu menemukan jumlah korban mencapai 80.000. “Cari saja data 100 korban yang bisa dibuktikan secara otentik,” ujar Sintong menantang. Pandangan Sintong tersebut berdasarkan pengalamannya semasa ikut operasi penumpasan PKI ke Pati, Jawa Tengah. “Pada 19 Oktober kami ditugaskan masuk ke Jawa Tengah, sebab daerah ini basis penyokong utama Dewan Revolusi karena basis PKI,” ujar Sintong. Menurutnya, di daerah Pati yang menjadi tempatnya bertugas, hanya ada satu orang yang ditembak mati. “Dia ditembak karna mencoba lari, dan ternyata itu orang kurang waras,” kata Sintong melanjutkan. Soal Jumlah Korban Keterangan Sintong ini berlawanan dengan keterangan Sarwo Edhie Wibowo, komandan RPKAD yang dalam sebuah wawancara pernah mengatakan jumlah korban pembantaian mencapai tiga juta orang. Ketika dikonfirmasi oleh seniman Arjuna Hutagalung tentang jumlah korban tersebut, Sintong mengelak memberikan keterangan. “Ah nggak benar itu, mana datanya,” kata Sintong sambil berlalu meninggalkan lobi hotel. Psikolog dari Universitas Indonesia Dr. Risa Permanadeli merespons pernyataan itu dengan mengatakan bahwa berapa pun jumlah dan angka korban bukanlah sesuatu yang penting. Menurutnya, lepas dari jumlah korban ada mentalitas destruktif yang diwariskan dari masa lalu Indonesia yang kelam terkait tragedi 1965. “Bukan masalah berapa korban. Bangsa kita terus-menerus memproduksi ingatan kelam yang entah sampai kapan berakhirnya. Dan ingatan itu selalu diwariskan dari masa ke masa yang membentuk siapa kita sebagai sebuah bangsa,” ujarnya. Sementara itu psikiater Limas Susanto menyatakan pengungkapan masalah 1965 juga penting dilakukan secara lebih beradab. “Pemberadaban tersebut bisa dengan mendengarkan pengalaman dari para penyintas. Dan untuk menuju hal itu, diperlukan pemimpin yang jujur dan bertindak berdasar fakta,” ujarnya. Pada sesi pertama diskusi dihujani banyak pertanyaan dan pernyataan. Sebagian besar datang dari pihak penyintas dan korban yang selama ini bungkam akibat stigma negatif komunisme produk pemerintahan Soeharto.
- Pertemuan Penyintas 1965 Dibubarkan Kelompok Anti-Demokrasi
PERTEMUAN penyintas 1965 yang tergabung dalam Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP) di Kompleks Coolibah, Cipanas, Cianjur, Jawa Barat, 14 April 2016, diteror dan dibubarkan oleh organisasi massa, di antaranya Front Pembela Islam dan Pemuda Pancasila. Kepolisian dari Polsek Cianjur yang mestinya menjamin keamanan tak berdaya oleh tekanan massa antidemokrasi tersebut. Padahal, belum lama Presiden Joko Widodo memerintahkan agar menindak tegas kelompok-kelompok antidemokrasi. Para penyintas berjumlah sekira 80 orang dari Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan, berusia 70-80 tahun tersebut akan dilibatkan dalam Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, Jakarta, 18-19 April 2016. Simposium ini terselenggara atas prakarsa Dewan Pertimbangan Presiden, Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan, Komnas HAM, Dewan Pers Indonesia, Institute for Peace and Democracy, Forum Silaturahmi Anak Bangsa, dan lima universitas. “Aksi teror dan pembubaran pertemuan penyintas dari YPKP 1965 ironisnya berlangsung ketika mereka sedang membahas inisiatif untuk simposium nasional tentang 1965 yang disponsori Menkopolhukham,” kata Reza Muharam, aktivis IPT65, kepada Historia. Reza menegaskan kejadian tersebut menunjukkan sekali lagi bahwa para penyintas 1965 dan keluarganya sejak setengah abad yang lalu masih saja menjadi korban stigma dan teror. Tujuan teror jelas untuk menciptakan rasa takut dan membungkam mereka yang menyuarakan kebenaran dan menuntut adanya keadilan menyangkut tragedi 1965. Pembubaran tersebut juga menunjukkan masih adanya kekuatan sisa-sisa Orde Baru yang tidak ingin kejahatan kemanusiaan 1965 ini diungkap ke publik secara terang benderang. “Namun, kami yakin upaya mereka untuk terus menutupi kasus 1965 pada akhirnya akan sia-sia. Kita hidup di era globalisasi informasi, Perang Dingin sudah lama selesai dan nilai-nilai hak asasi manusia dan demokrasi sudah menjadi standar universal bagi kehidupan bernegara dan bermasyarakat secara internasional,” kata Reza. Kejadian teror ini, lanjut Reza, hanya menunjukkan urgensi harus adanya penyelesaian kasus 1965 yang menyeluruh. Rekonsiliasi bukanlah metode untuk penyelesaian suatu kasus impunitas. Ia adalah produk akhir dari proses penyelesaian yang mengakomodir hak-hak korban, yaitu hak atas kebenaran, keadilan, reparasi dan adanya jaminan negara bahwa hal serupa tidak terulang lagi. Dan prasyarat bagi adanya proses menuju rekonsiliasi ini adalah diterapkannya azas kesetaraan secara hukum, dan adanya jaminan keamanan terhadap warga yang dilindungi negara. “Menkopolhukam jika serius hendak menjalankan instruksi presiden untuk ikut menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, sesuai dengan fungsinya harus ikut bertanggungjawab atas terselenggaranya jaminan keamanan itu,” kata Reza.
- Penyintas 1965 Meminta Negara Jamin Keamanan dan Kebebasan
“Negara kembali gagal melindungi korban pelanggaran HAM 65,” tegas Bedjo Untung, ketua Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965-1966 (YPKP) di YLBHI Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Jumat, 15 April 2016. YPKP berdiri pada 1999 dan aktif mengadvokasi hak-hak penyintas prahara 1965. Pernyataan tersebut disampaikan menyusul pembubaran paksa Lokakarya Pelanggaran HAM 1965 di Wisma Coolibah, Cimacan, Ciajur, Jawa Barat, pada 14 April 2016, karena mendapat tekanan dari berbagai ormas antidemokrasi. Acara yang diselenggarakan YPKP tersebut bertujuan menyatukan pendapat para penyintas 1965 untuk dibawa ke Simposium Nasional Membedah Tragedi 1965 di Hotel Aryaduta, Jakarta, 18-19 April 2016. Bedjo menerangkan, sejak pagi 14 April 2016, wisma didatangi ratusan orang beserta aparat kepolisian. Di antara ormas-ormas tersebut adalah Front Pembela Islam (FPI), Pemuda Pancasila, dan Forum Masyarakat Cianjur. Mereka menuntut dan mengintimidasi pemilik wisma agar tidak menerima tamu dari YPKP karena dianggap orang-orang ateis dan komunis. Pemilik wisma akhirnya memutuskan untuk membatalkan acara karena diteror ormas. Padahal menurut Bedjo, sehari sebelumnya, dia telah mengurus perizinan dan mendapat jaminan dari kepolisian setempat. Pembubaran seperti ini bukan kali pertama terjadi. Acara yang bersenarai dengan pengungkapan peristiwa 1965 memang acap kali berujung pembubaran dan aksi sepihak. “Negara tidak memberikan jaminan keamanan, kebebasan berpendapat, berkumpul, dan bersuara. Kami akan terus melaksanakan acara ini meskipun dibatalkan,” kata Bedjo. YPKP kemudian meneruskan acara diskusi dan lokakarya di Komnas HAM. YPKP mengindikasikan keterlibatan intelijen dalam penyadapan informasi terkait acara tersebut. Menurut Bedjo, seminggu sebelum pelaksanaan acara, beberapa pengurus YPKP di daerah (Pemalang, Pati, Cilacap, Pekalongan) –yang bahkan belum mendapat undangan lokakarya– menerima telepon dan diinterogasi oleh aparat intelijen setempat. Banyak pihak menyayangkan dan menyesali aksi intoleran kemarin. Pada hakikatnya acara tersebut hendak mewadahi aspirasi para penyintas tragedi 1965 yang hak-hak kemanusiannya dirampas ketika rezim Orde Baru berkuasa, untuk selanjutnya disuarakan di simposium nasional. Namun, mereka tetap membuka pintu rekonsiliasi. “Saya sangat kecewa sekali dengan aparat keamanan yang tidak melindungi kita sebagai warga negara tapi kita tidak gentar,” tutur Ariyanto (sersan purnawirawan), 75 tahun. Lelaki sepuh itu mengaku dipenjara sepuluh tahun (1968-1979) di Solo oleh pemerintah karena terkena imbas komandannya yang dituding tidak setia pada rezim Orde Baru. Sampai hari ini, Ariyanto tidak pernah menerima pensiunannya sebagai TNI dan kehidupannya dipersulit oleh citra negatif eks tapol (tahanan politik). Hal senada disampaikan Syamsul Ilal, 75 tahun. Menurut simpatisan YPKP Medan itu, banyak korban tragedi 1965 di Sumatera Utara yang tanah-tanahnya dirampas oleh negara, dijadikan perkebunan dan dijual ke pihak swasta. Oleh karena itu, melalui forum tersebut dia berharap persoalan agraria itu dapat diadvokasi dan diteruskan dalam simposium nasional. “Sejak awal YPKP tidak menolak mekanisme rekonsiliasi maupun proses hukum nonyudisial tetapi tanpa menegasikan penegakan proses hukum dan pengungkapan kebenaran,” kata Bedjo Untung. Menurut Reza Muharam, anggota pengarah IPT1965, pembubaran tersebut punya muatan dan kepentingan politis untuk menggagalkan proses pengungkapan kebenaran dari masa lalu Indonesia yang kelam. Hal ini berkaitan menjelang penyelenggaraan simposium nasional yang akan dijadikan pijakan kebijakan pemerintahan Jokowi untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang terjadi pasca 1965. “Padahal, bagian paling penting dari pemecahan masalah kejahatan HAM adalah pengungkapan kebenaran tentang apa yang sesungguhnya terjadi dan motif politik di balik kejadian pelanggaran HAM tersebut. Banyak kelompok-kelompok yang tidak menginginkan kasus 1965 dibuka,” ujar Reza. Namun Reza optimis, simposium yang akan datang tetap dapat dijadikan momentum pengungkapan kebenaran, bahwa tahun 1965-1966 telah terjadi kejahatan kemanusiaan dan genosida politik yang sampai sekarang masih terjadi.
- Beban Berat Lestarikan Adat
SUKU Baduy di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, yang menyebut diri sebagai Urang Kanekes, kini menghadapi ancaman di tengah modernitas. Tuntutan melestarikan adat-istiadat terbentur kebutuhan hidup dan desakan pengaruh budaya luar. “Sekarang yang terjadi memang ada tuntutan untuk konservasi. Menjaga tetap asli. Tapi juga ada kebutuhan perut,” ujar sosiolog Imam B. Prasodjo, dalam diskusi “Baduy Dulu dan Kini” di Bentara Budaya, Jakarta, Jumat, 8 April 2016. Imam mencermati kondisi lingkungan kurang mendukung pelestarian adat di Baduy. Salah satunya soal pengadaan air. Adat Baduy tidak membenarkan penggunaan selang plastik ataupun penampungan air berbahan plastik. Padahal seringkali mereka dihadapkan pada kondisi sulit air. Kebutuhan akan penampungan air akhirnya memunculkan dialog-dialog alot di antara masyarakat Baduy. Menurut Imam, masyarakat Baduy Luar kini telah memanfaatkan tong air plastik yang diletakkan di perbatasan kampung. “Tong air plastik tidak boleh masuk ke tanah Baduy Dalam. Saat ini saya lagi mengusahakan mereka bisa pakai gentong tanah liat supaya bisa tetap mematuhi adat,” jelas dia. Menurutnya, seiring perkembangan zaman, kewajiban masyarakat Baduy untuk terus melestarikan adat terbentur kebutuhan hidup yang semakin mendesak. Tak hanya perkara sulitnya air, masyarakat Baduy pun akhirnya seringkali “dipaksa” berkompromi dengan budaya baru. Misalnya, alat kontrasepsi kini digunakan masyarakat Baduy Dalam. “Soal ini memang hanya akan jadi perdebatan panjang yang tidak selesai-selesai. Kalau saya, yang penting bagaimana mereka bisa hidup nyaman,” ucap Imam. Adapun Cecep Eka Permana, arkeolog Universitas Indonesia, mencermati perubahan yang terjadi pada masyarakat Baduy diawali dengan adanya ledakan penduduk. Berdasarkan catatan pertama demografi, penduduk Baduy tahun 1888 hanya berjumlah 291 jiwa yang menempati sepuluh kampung. “Hari ini, berdasarkan informasi Pejabat Bidang Pemerintahan Desa Kanekes, Supri, penduduk Baduy berjumlah 11.667 jiwa atau 3.402 kepala keluarga, yang bermukim di 64 kampung,” papar Cecep. Data itu berlawanan dengan kenyataan lahan tempat tinggal mereka yang tidak beranjak dari seluas 5.101,85 ha. Hitungan ini belum termasuk ladang untuk adat maupun lahan suci yang tidak boleh dibuka untuk apapun. “Orang Baduy masih memegang pikukuhnya. Tapi masalahnya lahan mereka untuk melakukan perladangan sudah terbatas,” katanya. Sementara untuk menerapkan teknologi pertanian di lahan sempit, lagi-lagi terbentur larangan adat. Jangankan teknologi modern, memelihara binatang berkaki empat untuk membantu mengolah tanah pun dilarang. Mereka juga dilarang memakai cangkul, apalagi traktor. Air langka, hutan habis, lahan menyempit, kini mereka masih harus menerima kedatangan turis-turis masuk ke kampung mereka. Tak disangkal orang-orang luar ini selain mendatangkan penghasilan tambahan juga berpotensi merusak kebijakan adat Baduy. Dalam hal ini, Cecep menghimbau kepada semua pihak untuk berhati-hati membawa pengaruh luar ke dalam komunitas Baduy. Menurutnya, masyarakat Baduy telah memiliki kearifan lokal sendiri dalam mengolah lingkungan dan membangun permukiman. “Baduy Luar berada di garda depan sebagai barikade penyaring pengaruh yang tak sesuai dengan pikukuh Baduy. Meski tak jarang benteng ini ada yang retak sehingga perlu modifikasi kembali,” tutur Cecep. Imam berpendapat, pemerintah harus membangun Pusat Informasi Baduy. Bukan untuk promosi, tapi untuk memberi bekal para turis soal kearifan budaya Baduy yang harus mereka hormati dan patuhi selama menginjak tanah Baduy. “Problem orang luar itu datang bawa plastik, buang seenaknya. Mereka ini perusak,” tegas Imam.
- Sukarno: Uzbekistan Jauh di Mata Dekat di Hati
KOTA Tashkent meriah pada 5 September 1956. Bendera dan spanduk menghiasi banyak titik ibukota Uzbekistan itu. Orang-orang berjajar di jalan-jalan utama. Di bandara Internasional Tashkent, orang-orang rela berjubel menanti kedatangan tamu agung dari negeri nun jauh di timur. A. Hakimov, ketua Soviet Uzbekistan dan Kazy Zianuddin Babachanov, anggota Pimpinan Dewan Agama Islam Asia Tengah dan Kazakhstan, tampak berada di antara kerumunan itu. Bersama A. Rasjdov, ketua Presidium Soviet Uzbekistan, dan tokoh-tokoh penting setempat, Hakimov langsung menyambut tamu agung tadi, Sukarno, begitu pesawatnya mendarat. Hampir berbarengan, para siswi dari berbagai sekolah ibukota langsung memberikan bunga-bunga indah kepada presiden Republik Indonesia itu. Setelah pidato sambutan singkat oleh Hakimov dan pidato balasan Sukarno, rombongan tamu dari Indonesia langsung menuju penginapan yang telah disediakan. Sukarno menaiki sebuah sedan terbuka yang dihiasi mawar. “Hampir seluruh penduduk Tasjkent, kota terbesar di Asia Tengah, keluar untuk menyambut para tamu dari Indonesia itu. Jalan-jalan berkumandang dengan pekikan-pekikan: ‘Hidup, Bung Karno! Merdeka! Hidup persahabatan rakyat Indonesia dan Soviet’,” tulis buku Perjalanan Bung Karno! Selama di Uzbekistan, rombongan Sukarno dipandu langsung oleh Presiden Uzbekistan Shar Rasjidov. Menurut Ganis Harsono dalam Cakrawala Politik Era Sukarno , penghormatan itu merupakan perintah langsung dari Moscow. “Waktu Sukarno sampai di Moskow, Presiden Voroshilov telah mengangkat Shar Rasjidov –presiden Republik Uzbekistan dan wakil ketua Presidium Soviet Tertinggi USSR– untuk mengantar para tamu Indonesia itu,” tulis Ganis. Sukarno dan rombongan menyempatkan diri salat di Masjid Pusat Sjech-Tillja. Mereka disambut Mufti Isjan Babachan bin Abdulmadjitchan, ketua Dewan Agama Islam untuk Asia Tengah dan Kazakhstan. Setelah saling berkenalan, Sukarno ngobrol banyak hal, termasuk mengenai prinsip negerinya yang menjamin toleransi kehidupan umat beragama. Setelah itu, rombongan Sukarno berkeliling ke berbagai kota dan menyinggahi tempat-tempat penting seperti pabrik kimia Chirchik atau pertanian kolektif kapas Kzyl-Uzbekistan. Di Kzyl-Uzbekistan, rombongan Sukarno antusias berkeliling meninjau perkebunan. Setelah beraudiensi dengan petani-petani di sana, rombongan mendapat jamuan makan siang. Selepas makan, suasana makin cair ketika mereka mendapat suguhan orkes yang memainkan musik tradisional plus tarian lokal. Para tamu Indonesia ikut menari bersama. Presiden Sukarno tampak gembira sambil memainkan sebuah alat musik tabuh mirip rebana. Sebagai tanda mata, A. Matkabulov, ketua Pertanian Kzyl-Uzbekistan, menghadiahkan seekor kuda Karabair kepada Sukarno. Setelah kembali ke ibukota, Sukarno melanjutkan tur ke berbagai tempat. Dia antusias saat berkunjung ke University Pedagogical. Selain masuk ke laboratorium dan ruang-ruang lain kampus itu, dia amat menikmati bincang-bincang dengan orang-orang setempat, terutama mahasiswa. Kepada mereka Sukarno menyampaikan salam pemuda Indonesia. Di kampus itu Sukarno mendapat kehormatan berpidato di aula kampus. Tuan rumah juga mengajak rombongan Sukarno ke gedung opera. Di sana, selain menonton pertunjukan musik dan teater, mereka juga mendapat suguhan tarian tradisional yang dipentaskan Tamara Khanum, penari terbesar Asia Tengah asal Uzbekistan. Performa Khanum memukau Sukarno sehingga dia mengundang khusus penari berdarah Armenia itu untuk pentas di Indonesia. Khanum memenuhi undangan itu setahun kemudian. “Khanum yang lalu diikuti rombongan (kesenian, red. ) lain Uzbek, dalam tur dua bulannya mengadakan 26 pementasan dan diterima langsung oleh Presiden Sukarno,” tulis Frederick Charles Barghoorn dalam Soviet Cultural Offensive . Sukarno menghadiahinya sebuah baju bordir asli Indonesia yang kini terpajang di Memorial-House Museum of Tamara Khanum. Renat Urazajev, pegawai dinas ceramah lokal, amat gembira akan kunjungan Sukarno ke kotanya itu. Kebahagiaannya makin bertambah karena kunjungan itu bertepatan dengan kelahiran putrinya. Untuk mengabadikan kunjungan itu, dia segera mengirim telegram kepada Sukarno yang isinya permohonan pemberian nama oleh Sukarno kepada bayinya. Dengan senang hati Sukarno membalas telegram itu. Si jabang bayi olehnya diberi nama Julduz berarti bintang. Puncak kunjungan Sukarno ke Tashkent ditandai dengan pidato di Stadion Pakhtakor (kini Dinamo Stadium). Sama seperti pidatonya di kota-kota lain Soviet sebelumnya, setelah membuka pidato dengan ucapan terimakasih, Sukarno memperkenalkan dasar negaranya, Pancasila, kerjasama Indonesia-Soviet, perjuangan global melawan penghisapan dan ketidakadilan, dan kesan dirinya terhadap Uzbekistan. “Saya menjadi merasa sangat gembira bahwa saling hormat-menghormati dan persahabatan hidup antara rakyat-rakyat kita, antara rakyat Indonesia dan rakyat Soviet Uni. Saya meminta pada saudara semua untuk di dalam hati berkata, ‘Hidup persahabatan antara rakyat semua negara. Hidup saling hormat-menghormati antara semua bangsa. Hidup untuk dunia baru’,” kata Sukarno dalam pidatonya. “Sekali lagi, stadion itu meledak dibarengi pekikan-pekikan keras ‘merdeka! Merdeka! Merdeka!’” tulis buku Perjalanan Bung Karno! Sukarno amat terkesan terhadap Uzbekistan. Banyaknya persamaan, termasuk keramahan penduduknya, membuat dia kerap menyebut Uzbekistan seperti rumahnya sendiri. Sebelum melanjutkan perjalanan ke Kota Samarkand, dia sempat menuliskan surat kenang-kenangan. “Hari ini saya meninggalkan Tasjkent. Tetapi hati saya akan selalu teringat kepada saudara-saudara dan kebaikan budi saudara-saudara. Selamat tinggal, selamat bekerja. Hiduplah persahabatan kita. Jauh di mata, dekat di hati,” tulis Sukarno dalam surat bertanggal 6 September 1956 itu.*
- Ritual Panen Raya Kerajaan Adat Marusu di Sulawesi Selatan
SABTU malam, 19 Maret 2016, di Balla Lompoa (rumah adat kerajaan Marusu) Kabupaten Maros, berkumpul kerabat kerajaan, masyarakat dan perwakilan petani. Mereka duduk bersama, tak ada kursi yang lebih tiggi untuk sang raja, semua sama rata. Raja Adat Marusu, Andi Abdul Waris Karaeng Sioja, bahkan menjadi pembawa acara sekaligus pembicara utama malam itu. Bahkan sebelum pertemuan itu dimulai, sang raja merapikan meja jamuan, menata meja, dan membersihkan lantai. “Raja dari dulu itu nak, tugasnya melayani. Bukan memerintah,” katanya. Setelah rembuk bersama, suara gendang, pui-pui (alat musik tiup), dan gong dibunyikan. Seorang pinati (pemimpin ritual) membawa nampan berisi dupa. Dia duduk dengan takzim, membaca doa, lalu menyentuh daun sirih yang telah digulung sedemikain rupa hingga membentuk huruf arab Lam , Alif dan Hu (Allahu). Sang raja, duduk di bagian lain. Kerabat kerajaan tak ada yang mendekat. Malam itu, prosesi begitu hikmat. Namanya appabattu, yaituritual untuk ucapan syukur pada yang maha kuasa . Setelah itu, sang pinati bersama sang raja membawa gulungan sirih ke lantai dua rumah. Di letakkan berdekatan pajekoang (alat bajak sawah sebagai pusaka kerajaan). Lantai dua rumah merupakan tempat sakral dan penuh rahasia bagi keluarga kerajaan. Masyarakat umum tak diperkanankan menapaki tangga lantai itu. Tapi, di ruang utama Balla Lompoa , tempat prosesi berlangsung, saya melihat sang raja dari jendela sirkulasi kecil di lantai duanya. Mengangkat tangan bertakbir. Sang raja salat dua rakaat. Prosesi itu berlangsung sekitar 30 menit. Suara gendang, gong dan pui-pui pun tak boleh terputus. Pemainnya bermandi keringat dan semua orang duduk dengan hikmat menunggu. Subuh hari berikutnya, sekitar pukul 04.00, gendang pun kembali ditabuh. Namanya appabangung (membangunkan masyarakat). Saat azan subuh, gendang dihentikan. Pukul enam, masyarakat yang berkumpul akan menuju torannu (gelar untuk sawah kerajaan)dipimpi pinati . Orang-orang ini membawa katto (ani-ani). Sang pinati akan memulai memotong pucuk padi. Lalu diikuti masyarakat. Ada sekitar seratusan orang memadati petak sawah seluas 10 are itu. Dari mulai anak-anak, orang dewasa, hingga orang tua, laki-laki dan perempuan turun bersama. Suasana pagi di sawah itu benar-benar ramai. Inilah inti dari ritual katto bakko (panen raya). Masyarakat bergotong royong, ada yang memotong padi, ada yang mengumpulkan, ada pula yang memilah. Beberapa lainnya membuat bakko (padi yang digulung besar) diikat menggunakan rotan. Menjelang duhur, dua bakko besar dan empat belas bakko kecil pun sudah selesai. Puluhan masyarakat dengan gembira mengarak hasil panen itu menuju Balla Lompoa , yang jaraknya sekitar satu kilometer. Jalanan menjadi ramai. Orang-orang berseru. Katto Bakko dilakukan kerajaan adat Marusu setiap tahun, sebagai tanda dimulai panen. Sebelum ritual ini dilaksanakan sawah-sawah yang berada di sekitar dan dalam kawasan adat Marusu tidak dibolehkan memanen. “Jadi di sawah kerajaan, kita selalu menanam duluan, agar panen duluan. Jadi nanti tak ada sawah masyarakat yang masak duluan,” kata Karaeng Sioja. Ritual panen ini berpasangan dengan ritual menanam ( appalili ). Di satu sisi, sawah kerajaan yang menanam duluan akan menjadi penanda apakah ada hama atau tidak. “Jadi sawah kerajaan menjadi pembelajaran,” lanjut Karaeng Sioja. Setelah padi itu menapaki anak tangga Balla Lompoa , maka kerabat kerajaan akan memilahnya menjadi beberapa ikatan-ikatan kecil. Ikatan itu kemudian hari akan dibagikan pada keluarga atau masyarakat yang kurang mampu. Dan malam selanjutnya, sebagai penutup ritual panen raya, digelar pa’dendang (menumbuk padi dalam lesung dengan iringan musik). “Itu sebagai sarana hiburan juga. Jadi semua orang bergembira,” kata Karaeng Sioja.
- Cara Raja Bone Melawan Belanda
SUATU waktu di tahun 1857, sebuah kisah terjadi di pelabuhan Bajoe. Raja Bone ke-28, seorang perempuan, Besse Kajuara memerintahkan semua kapal yang berlabuh dan berbendera Belanda, merah-putih-biru harus membalikkannya menjadi biru-putih-merah. Besse Kajuara (nama panjangnya We Tenriawaru Pancaitana Besse Kajuara Sultana Ummulhadi Matinroeri Majennang), memerintah antara 1857-1860, menggantikan suaminya, Raja Bone ke-27, La Parenrengi Arumpugi Sultan Ahmad Saleh Muhiddin. La Parenrengi adalah raja yang gencar menentang pendudukan Belanda di tanah Bone. Dia mengirim surat kepada gubernur Hindia Belanda di Makassar mengajak berperang. Dalam Sejarah, Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan , sejarawan Mattulada menulis, genderang perang yang dikobarkan La Parenrengi disebabkan ulah Belanda menjalankan politik adu domba dan mencampuri urusan pemerintahan Kerajaan Bone dalam sengketa keluarga. Dalam persiapan perang itu, sang raja mengirim utusan kepada raja-raja, yang masih ada hubugan keluarga, ke Wajo, Soppeng, dan Aja’tappareng, untuk bersama melawan Belanda. Sejak upaya penyerangan Belanda ke Bone (1824-1830), pimpinan ekspedisi itu adalah Jenderal Jenderal Mayor van Geen, dengan persiapan kekuatan 1.400 personel, satu divisi Angkatan Laut (delapan kapal perang, tiga kapal meriam), dan sekitar 3.200 laskar dari Gowa, seribu laskar dari Selayar, dan pasukan berkuda yang diperbantukan untuk menyerang semua lini pertahanan Bone. Pada Januari 1825, pasukan Belanda memasuki wilayah Bone. Di saat bersamaan meletus Perang Jawa yang dipimpin Pangeran Diponegoro (1825-1830). Pasukan Jenderal Mayor van Geen beberapa hari telah menyusuri Sungai Cenrana dan mengalami kondisi kritis, karena hujan berhari-hari dan air meluap. Ratusan pasukannya terserang malaria dan disentri. Melihat hal tersebut, Belanda menunda penyerangan dan mengalihkan pasukannya ke Jawa. Setelah Perang Jawa selesai dan Diponegoro ditawan di Makassar, persiapan penaklukkan Bone dimulai lagi dalam jumlah yang lebih besar. Raja Bone ke-26, Sultan Saleha Rabiatuddin dan panglima perangnya Arung Lompo, tak gentar dan tetap menentang kerjasama dengan Belanda. Tapi, dua pembesar ini meninggal dunia pada 1835. Sementara itu, Mangkubumi Kerajaan Bone La Mappangara yang lebih moderat melakukan negosiasi dengan pemerintah Hindia Belanda di Makassar. Bone meminta pengampunan dan menggalang persekutuan. Menurut Mattulada, alasan La Mappangara memilih negosiasi karena daerah taklukkan akan mendi ata (budak) dari penakluk. Jika menjadi sekutu maka Bone tetap sejajar, bukan negeri taklukan. Kerjasama dengan Belanda menjadi buah tangannya, dan tetap dipertahankan penerusnya La Parenrengi. Namun, beberapa tahun kemudian terjadi percekcokan antara sang raja dan La Mappangara yang membuatnya harus meninggalkan tanah Bone menuju Camba di Maros. La Parenrengi pun semakin memperlihatkan ketidaksukaannya pada Belanda. Ketegangan-ketegangan dalam beberapa hal kerap terjadi. Persekutuan akhirnnya retak. Pada Februari 1857, La Perenrengi meninggal dunia. Pemerintah Hindia Belanda suka cita dan menyambut baik pengangkatan Besse Kajuara. “Belanda berpikir, raja perempuan akan lebih mudah diajak kerjasama dan dilunakkan,” kata Nurhayati Rahman, Guru Besar Filologi Universitas Hasanuddin. Kenyataannya di luar dugaan Belanda. Besse Kajuara, kata Nurhayati, lebih militan. Dalam beberapa perang, dia ikut berperang dengan menggunakan pakaian perang. “Dia raja yang tidak hanya mendengar laporan. Dia ikut bersama rakyatnya dan bersama memegang senjata,” katanya. Keengganan Besse Kajuara kerjasama dengan Belanda ditunjukkan saat B.F. Mathhes, seorang penginjil dan ahli bahasa –yang kemudian dikenal bersama Colli Pujie karena jasanya menyalin epos I La Galigo – ditentangnya masuk ke tanah Bone. “Besse Kajuara, memerintahkan rakyatnya mencuri kuda Mathhes agar dia tak bisa kemana-mana,” kata Nurhayati. “Bayangkan, Mathhes dari wilayah Bone itu harus berjalan kaki hingga ke Camba (wilayah Kerajaan Maros), yang jaraknya puluhan bahkan mencapai seratusan kilometer.” Akhirnya, perang tak terhindarkan. Belanda menyerang Bone dan menaklukkannya pada 1859. Besse Kajuara yang menolak tunduk memilih wilayah Suppa sebagai tempat bermukim dan menyatakan diri tak akan kembali lagi ke Bone. Pada 1862, Besse Kajuara meninggal dunia di Suppa dan diberi gelar anumerta Matinnroeri Majennang (meniggal di Majennang daerah Suppa). Penggantinya, Ahmad Singkeru Rukka dilantik menjadi raja Bone ke-29 pada 31 Januari 1862. Pada masa pemeritahan inilah Bone yang awalnya berstatus Bondegenoots-chap (sekutu) diturunkan menjadi Leenvorstendon (kerajaan pinjaman), di mana semua kebijakan dan tata pemerintahan harus sepengetahuan pemerintah Hindia Belanda.
- Pencipta Aksara Perjuangan Kaum Bugis
USIA Colliq Pujie sekitar 40 tahun ketika pertama kali bertemu B.F. Matthes, penginjil dari Belanda, di Tanete, pada 1852. Dia juga sudah menjanda, bermukim di Pancana dan mendapat gelar Arung Pancana Toa (Aroe Pantjana). Anaknya Siti Aisyah We Tenriolle menjadi raja Tanete dan tidak bercocok paham. Colliq Pujie seorang yang keras dan tak mengenal kompromi pada apa yang merugikan rakyat. Temasuk menentang takhta We Tenriolle yang dianggapnya sebagai bayangan dari Belanda. Dia bersama beberapa pengikutnya melakukan perlawanan dengan sistem gerilya dan perang terbuka. Colliq Pujie, tumbuh dan besar di lingkungan istana Tanete. Dia membaca beragam karya dalam perpusatakaan kerajaan, menghapal Alquran dan melagukan sureq I La Galigo pada beberapa kesempatan ritual. Setahun setelah pertemuannya dengan Matthes, dia bertemu Ida Pfeifer dari Austria, seorang perempuan yang melakukan perjalanan mengililingi dunia. “Saya kira nama Colliq Pujie sebagai seorang sastrawan Bugis sudah menjadi referensi bagi para pelancong dari negeri luar,” kata Nurhayati Rahman, Guru Besar Filologi Universitas Hasanuddin. Bagi Colliq Pujie berbagi ilmu dan pengetahuan sangatlah penting. Untuk itu, kata Nurhayati, datangnya orang asing yang mengunjungi Tanete dengan membawa misi pengetahuan akan disambut dengan baik. Maka tak heran, kerajaan Tanete membangun perpustakaan, koleksi buku dan karya dari tanah Bugis dijaga dengan begitu baik. “Dalam beberapa naskah lontaraq , dinyatakan sebanyak dua kali kerajaan Tanete kebakaran. Ironisnya koleksi buku dan beberapa catatannya ikut hangus. Dan itu membuat Colliq Pujie sangat sedih,” kata Nurhayati. Ketika kisruh di kerajaan Tanete, Colliq Pujie diasingkan ke Makassar pada Maret 1857 hingga 1867, karena tidak mendukung kebijakan pemerintah Belanda. Dia menjadi tahanan politik dan kebebasannya dirampas. Pada 7 Mei 1861, Matthes menuliskan suratnya yang penuh haru pada Bibelgenoshaap , pada apa yang disaksikannya ketika mengunjungi Colliqq Pujie di rumah pengasingannya di Makassar. “Jika membaca syair kepahlawanan Bugis yang lama, sastra La Galigo yang sering dibicarakan dan yang menjadi keahlian ratu tersebut (namanya Aroe Pantjana), saya menemui bahwa dalam segala sesuatu dibuat dari emas atau dihiasi dengan emas yang banyak. Tetapi harus dikatakan zaman sudah sangat berubah. Ya, saya mau bertaruh bahwa kalau Anda dengan pukulan dengan tongkat sihir ditempatkan di istana teman Bugis saya ini, Anda tidak akan berpendapat itu sebuah istana tetapi sebuah kandang babi; ya, juga hampir Anda tidak berani makan sesuatu dari masakannya yang enak. Untung akhirnya bisa menyesuaikan diri dengan segala sesuatu, tetapi tidak menyenangkan hidup di antara pribumi senantiasa.” Meski demikian dalam masa pengasingan itu, Belanda memberikannya tunjangan sebesar 20 gulden dan dua pikul beras setiap bulan. Belas kasih itu, rupanya tak pernah cukup karena sebagai seorang bangsawan dalam pengasingan Colliq Pujie didampingi beberapa kerabat dan pelayannya. Akhirnya, beberapa kali Colliq Pujie harus menjual perhiasan dan menerima tawaran Matthes dalam mengerjakan beberapa salinan naskah, dengan bayaran tertentu. Salah satu mahakarya terpeting yang diselesaikannya dalam pengasingan adalah salinan 12 jilid naskah I La Galigo , yang tebalnya mencapai 2851 halaman folio dengan panjang mencapai 300.000 baris. Naskah inilah yang kemudian diperkirakan baru merangkum sepertiga dari semua naskah utuh. Pada masa lalu, naskah I La Galigo merupakan tradisi lisan yang dituturkan dengan sureq (bernyanyi). Sekuel naskah ini tersebar di banyak tempat di Sulawesi Selatan. Dimiliki oleh kalangan bangsawan, keluarga kerajaan dan pemuka adat. Bagi para pemilik naskah, dalam aksara lontaraq Bugis, menjadi bagian penting dan menjadi semacam identitas legitimasi status sosial dalam masyarakat Bugis dan Makassar. Maka, Matthes hanya mampu meminjam dari beberapa orang yang ditemuinya dan menjadi tugas Colliq Pujie menyadurnya kembali. Pada tahap penyalinan inilah, kata Nurhayati, Colliq Pujie bertindak sebagai editor dan menyusunnya menjadi bagian per bagian. “Dia jugalah yang memberi pengantar atas naskah I La Galigo dan menjadi petunjuk pencarian sekuel yang tercecer,” katanya. Naskah I La Galigo , memiliki satuan lima suku kata pada setiap penggal frase. Penggalan itu tidak tersusun kebawah seperti lazimnya puisi, melainkan ditulis sambung menyambung tanpa alinea baru. Satu-satunya tanda baca pengenal adalah titik tiga ( pallawa ) yang tersusun ke bawah, digunakan sebagai titik, koma, atau pula garis baru. Namun, ketika ditembangkan tanda baca pallawa digunakan sebagai tanda pengaturan intonasi suara penyanyi. Tak hanya menyalin naskah I La Galigo , Colliq Pujie dalam masa pengasingan tetap berhubungan dengan para pengikutnya di Tanete, Lamuru, dan Pancana. Untuk itu, dia kemudian menciptakan aksara rahasia yang dikenal sebagai aksara Bilang untuk melakukan korespendensi. Jika ketahuan dipastikan hanya orang-orang tertentu yang dapat membaca dan memahaminya. Aksara Bilang adalah modifikasi dari aksara Bugis dan aksara Arab. Aksara itu terdiri dari 18 huruf. Aksara ini juga yang dijadikan Colliq Pujie dalam menuliskan puluhan hingga seratusan syair. Dalam Lontaraq Bilang, Mozaik Pergolakan Batin Seorang Perempuan Bangsawan , Ahmad Saransi mengumpulkan beberapa syair itu dan mentransliterasikannya dalam bahasa Indonesia. “Penemuan aksara Bilang ini membuktikan kadar kecerdasaan dan ketajaman berpikirnya,” tulisnya. Dalam pengantarnya, Saransi menulis, bila syair-syair ditulis oleh Colliq Pujie memiliki beragam asosiasi. Misalnya, dalam beberapa syair, Colliq Pujie menggunakan analogi benda, nama buah, pohon atau bahkan nama kampung dalam menyampaikan maksudnya. Pada tahap bersamaan, Colliq Pujie juga megerjakan naskah Sejarah Tanete . Dalam naskah itu, dia menulis sejarah kerajaan dari mulai raja Tanete pertama hingga ke-20. Setiap tokoh dideskripsikan dengan detail, dari masa kecil hingga meninggal. Selain itu, Colliq Pujie pun menulis kembali naskah La Toa . Naskah ini dalam kalangan Bugis merupakan aturan dalam mengelola pemerintahan dan bagaimana seharusnya pemimpin bersikap. Pada kesempatan lain, dia juga menulis kelong (nyanyian). Kelong yang dihasilkannya kini tersebar di berbagai perpustakan dan museum-museum dunia. Karya monumental lainnya adalah Sureq Baweng . Menurut Ahmad Saransi, bagi beberapa orang yang pernah membaca Sureq Baweng , selalu menyimpulkan sebagai sebuah karya yang sangat indah. “Karya ini berisi petuah-petuah dengan nilai estetika daan pendalaman makna yang sangat tinggi,” tulis Saransi. Kepekaan dan kecerdasan Colliq Pujie inilah yang mendorong beberapa peneliti kebudayaan Bugis dan Makassar mengajukannya sebagai pahlawan nasional pada 2004. Para penganjur termasuk Nurhayati Rahman mengatakan, Colliq Pujie yang berjuang menentang Belanda, kemudian melakukan penyelamatan naskah dan membuat karangan sendiri adalah seorang sastrawan dan sejarawan yang telah melampui zamannya. “Tapi, rupanya hingga sekarang masih dikategorikan tak layak. Bahkan saya menemukan alasan yang tidak masuk akal, kegagalan Colliq Pujie menjadi Pahlawan Nasional karena dia bekerjasama dengan Belanda,” katanya. “Kan apa bedanya dengan Kartini yang mengirim surat ke orang Belanda dan itu dibukukan.”*
- Jejak Singosari dan Majapahit di Malang
PERTENGAHAN Maret 2016. Suara riang para bocah terdengar di Petirtaan Watugede di Desa Watugede, Singosari, Kabupaten Malang. Dengan menggunakan ban dalam bekas berukuran besar, mereka berenang kian kemari di kolam yang dipercaya penduduk sebagai tempat Ken Dedes kerap membersihkan diri pada masa dahulu.





















