Hasil pencarian
9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Ingin Mulai Aksi Massa, Aktivis Malah Ditangkap Massa
BERITA kekalahan Jepang membuat para pemuda yang dimotori Chairul Saleh, Sukarni, Wikana, Adam Malik, Maruto Nitimihardjo tak sabar ingin kemerdekaan segera diumumkan. Untuk itulah mereka mendesak pemimpin nasional golongan tua, yang diwakili Sukarno-Hatta, segera memproklamasikan kemerdekaan. Sambil terus memajukan kehendaknya, para pemuda terus bergerak menyelesaikan segala rencana yang bakal dilakukan ketika kemerdekaan telah dicapai. Mereka mencetak dan menyebarkan pamflet-pamflet kemerdekaan, menggalang massa, dan mengatur siasat untuk bergerak begitu Indonesia telah dicetuskan. Kesibukan para pemuda di situasi yang bergerak cepat itu membuat BM Diah, wartawan Asia Raya yang ikut bergabung bersama kelompok pemuda nasionalis, bingung begitu keluar dari tahanan Jepang. “Tanggal 15 Agustus pagi saya berada di luar penjara Jepang, di udara bebas. Segera setelah di luar, saya menemui keluarga saya. Kemudian mencari kawan-kawan yang bergerak dalam Angkatan Baru. Saya mencari Sukarni di rumahnya. Tidak ada. Dikatakan bahwa ia menyembunyikan diri karena bersama saya delapan hari lalu banyak pemuda diburu polisi Jepang. Kemudian saya mencari Chairul Saleh. Juga saya tidak mendapatkannya di rumahnya. Saya mencari Supeno dan Soediro di Cikini, di tempat kami kadang-kadang berkumpul. Juga mereka tidak saya temukan,” kata BM Diah memoarnya, Catatan BM Diah: Peran “Pivotal” Pemuda Seputar Lahirnya Proklamasi 17-8-’45 . Kesibukan itulah yang membuat tokoh-tokoh pemuda justru alpa di Hari-H proklamasi. “Pada hari proklamasi tanggal 17 Agustus 1945, kawan-kawan tidak ada yang hadir di Pegangsaan 56. Kami masing-masing sibuk. Saya dengan Pandu meroneo pamflet proklamasi. Sedangkan Chairul katanya diamankan orangnya Kaigun di Jln. Kebon Sirih 71, dengan alasan untuk menghindari penangkapan dari orang-orangnya Gunseikanbu (semacam garnisun). Sukarni, saya tidak tahu dia di mana, Adam Malik sedang sibuk menyiarkan proklamasi lewat kantor berita Domei bersama Syarudin. Pendek kata, kami tidak ada yang hadir,” kata Maruto Nitimihardjo dalam testimoninya di biografi Chairul, Chairul Saleh Tokoh Kontroversial . Sore setelah proklamasi dibacakan, Maruto, Chairul, Adam, Wikana dan beberapa anak buahnya, serta Jawoto berkumpul kembali di sekolahnya Jawoto. “Kita semua groggy , frustasi,” sambung Maruto. Keadaan berlainan dari yang mereka rencanakan sebelumnya membuat mereka frustasi. “Kita sudah capai-capai kok tidak ada aksi kelanjutan?” Saking frustrasinya, Pandu Kartawiguna bahkan sampai stres dan mengamuk. Kerisnya dia cabut dari sarungnya dan dia coba bunuh siapapun yang kebetulan melintas di dekatnya. “Dengan susah payah kita menenangkan Bung Pandu.” Setelah beristirahat dan suasana tenang, mereka kembali berembuk. Diputuskan bahwa keesokan harinya, 18 Agustus, mereka kembali bergerak. Sasarannya Gedung Raad van India (kini Gedung BP-7 di Kompleks Kemenlu, Pejambon). Di sanalah para anggota PPKI bersidang. Pada Hari-H, para pemuda yang sudah pindah markas ke Prapatan 10, lalu menyabot sidang PPKI dengan menculik beberapa pemimpinnya. “Kita boikot, karena kita anggap bahwa badan tersebut berbau Jepang,” sambung Maruto. Selain Sukarno-Hatta, anggota PPKI yang hadir memenuhi permintaan pemuda ke Prapatan 10 antara lain Achmad Subarjo, Teuku Moh. Hasan, dan Mr. Ketut Puja. Sutan Sjahrir kemudian datang setelah dijemput Abubakar Lubis dan kawan-kawan penghuni Prapatan 10 yang pengikut Sjahrir. Hasil dari pertemuan itu adalah kesepakatan melaksanakan apa yang tercantum dalam proklamasi: pengambilalihan kekuasaan dari Jepang. Selain itu, menggerakkan rakyat di ibukota untuk menunjukkan Indonesia sudah merdeka. Untuk itu, isyarat pembuka gerakan pun ditetapkan berupa: tembakan meriam penangkis udara di Kemayoran, pembakaran di Jatinegara, dan penggerakan satu batalyon Heiho di Jatinegara untuk menguasai Jakarta. Namun, kurangnya koordinasi dan adanya miskomunikasi membuat aksi-aksi yang ditetapkan berjalan sendiri-sendiri dan berakhir tanpa sesuai rencana. “Pamflet proklamasi yang sudah kita sebarkan pun tidak kita ketahui, apa sudah tersebar ke pelosok-pelosok dan bagaimana reaksi masyarakat? Tanda berkobarnya api di Jatinegara yang sedianya dinyalakan oleh Saudara Jamil dengan membakar rumah WTS di Kebonpala, berkesudahan Jamil ditangkap oleh rakyat di sekitarnya. Pendek kata, semua gagal,” kata Maruto.
- Asal-Usul Nama Candi Borobudur
Thomas Stamford Raffles, Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, langsung tertarik ketika Tan Jin Sing, bercerita soal candi besar di Desa Bumisegoro, dekat Muntilan. Ia pun meminta Tan Jing Sing melihat candi itu. Sesampainya di sana, Tan Jing Sing mengajak warga desa bernama Paimin sebagai penunjuk jalan. “Menurut Paimin namanya candi Borobudur,” tulis TS Werdoyo, salah seorang keturunan Tan Jin Sing, dalam biografi Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta . Niken Wirasanti, arkeolog Universitas Gadjah Mada, dalam “B orobudur: Misteri Batu Tak Berujung ” termuat di 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur , menyebut entah bagaimana asal asulnya candi itu sudah bernama Borobudur. Begitu banyak misteri soal Borobudur hingga persoalan nama pun telah banyak menarik perhatian para ahli dan pemerhati seni untuk menelusurinya . Rafflesdalam History of Java menulis berdasarkan cerita penduduk desa di sekitar candi bahwa Borobudur berasal dari kata boro dan budur . Budur artinya "purba". Karenanya Borobudur dapat diartikan "boro purba". Sementara Raffles sendiri berpendapat Borobudur berasal dari kata boro artinya "agung" dan budur dari kata Buddha. Jadi, arti Borobudur adalah "Buddha yang Agung". Pakar sastra Jawa Kuno, R.M. Ng. Poerbatjaraka, menerjemahkan boro dengan "biara" karena ada nama tempat yang diawali dengan kata boro , yaitu Boro Kidul, artinya "Biara di Selatan". Kemudian arkeolog Belanda, Willem Frederik Stutterheim mengartikan Borobudur sebagai "biara di atas bukit" karena buḍur berasal dari bahasa Minangkabau, buduā , artinya "sedikit menonjol" atau "bukit". Sedangkan J.L. Moens mengatakan Borobudur merupakan nama Jawa. Asalnya dari kata bhārabudhūr dalam bahasa India Selatan yang artinya "kota". Jadi, Borobudur artinya "kota Buddha". Berbeda lagi dengan filolog Belanda, J.G. de Casparis. Ia mengaitkan Candi Borobudur dengan Prasasti Sri Kahulunan yang dikeluarkan pada 824. Telaahnya menghasilkan istilah bhumisambarabhudara . Nama itulah yang menjadi nama Borobudur. Interpretasi Casparis itu kemudian populer dan terus dirujuk sebagai acuan tentang berdirinya Candi Borobudur. Pendapatnya mendapat dukungan dari John N. Miksic, peneliti dari Southeast Asian Studies Department, National University of Singapore. Ia juga menyebut kalau kata Borobudur berasal dari bhumisambhara ( -bbudhara ). Pun sejarawan Slamet Muljana yang menyebut Borobudur berasal dari kata Kamulān Bhūmisambhara . “Di lingkungan masyarakat ilmiah pendapat itu masih dipermasalahkan dan tetap menjadi misteri yang hingga kini tak henti-hentinya diteliti,” jelas Niken. Karenanya hingga kini asal-usul nama Borobudur masih belum jelas dan masih membuka banyak pendapat. Ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Titi Surti Nastiti, dalam “Reinterpretasi Nama Candi Borobudur” termuat di Jurnal Amerta Vol 30. No. I, Juni 2018, berpendapat dalam mencari arti kata Borobudur, langkah awal adalah mencari kata boro dan budur yang terdapat di dalam data tekstual. Utamanya dalam karya sastra dari masa Jawa Kuno. Itu baik berupa prosa, kidung, maupun kakawin. Candi Borobudur dalam Berbagai Sumber Secara umum, sumber candi dan sumber tekstual sering tak saling mendukung. Arkeolog Universitas Gadjah Mada, Djoko Dwiyanto dalam “Kewaspadaan Terhadap Candi Borobudur Berdasarkan Data Epigrafis”, termuat di 200 Tahun Penemuan Candi Borobudur, menyebut satu-satunya candi yang dapat dikaitkan secara langsung dengan sumber prasasti adalah Candi Kalasan di Yogyakarta, yaitu dengan Prasasti Kalasan dari 778. prasasti itu “Tempat pemujaan bagi Tarabhawana, sebuah bangunan suci yang bernama Kalasa sebagai tempat pemujaan umatnya,” kata prasasti itu. Bangunan suci yang dikaitkan dengan prasasti umumnya hanya berupa penafsiran kecocokan di antara keduanya. “(Contohnya, red .) Uraian gugusan candi yang terdapat dalam prasasti Siwagrha dari 856 dapat disesuaikan dengan susunan kompleks percandian Lara Jonggrang atau Prambanan,” jelas Joko. Selain dengan keterangan Prasasti Sri Kahulunan, Borobudur juga dihubungkan dengan Prasasti Karangtengah. Di dalamnya terdapat keterangan seorang raja bernama Samaratungga. Putrinya, Pramodawardhani mendirikan bangunan suci Jinalaya dan Wenuwana. Casparis mengaitkan Wenuwana dengan Candi Mendut. Sedangkan arkeolog Soekmono mengidentifikasinya sebagai Candi Ngawen atas dasar persamaan bunyi nama. Adapun Jinalaya diduga merujuk pada Candi Borobudur. Selain dengan prasasti, ada juga karya sastra yang menyebut Borobudur, di antaranya Babad Tanah Jawi. Karya inidiperkirakanditulis pada abad ke-18. Di dalamnya ada cerita pemberontak Ki Mas Dana yang melarikan diri ke Bukit Borobudur. Pringgalaya mengejar dan menangkapnya, kemudian dihadapkan ke sunan untuk menerima hukuman yang kejam. J.L.A Brandes, filolog dan sejarawan seni asal Belanda, sebagaimana dikutip J.F. Scheltema dalam Monumental Java , meyakini Bukit Borobudur itu adalah Candi Borobudur yang terdapat di Magelang, Jawa Tengah. Karena tak ada lokasi lain yang punya nama semirip itu. Rujukan tentang candi ini diduga yang dimaksud oleh Mpu Pranpanca dalam Nagarakrtagama dari masa Majapahit . Di sana disebutkan salah satu bangunan suci Buddha yang bernama Budur. Ini sesuai dengan tulisan Raffles, History of Java , yang menyebut Candi Borobudur berada di Distrik Budur. “Demikianlah kasugatan kabajradharan (bangunan suci Buddha Bajradhara) adalah sebagai berikut… yang lainnya yaitu Budur, Wirun, Wungkulur, dan Mananggung, Watukura, Bajrasana, dan Pajambayan, Samalanten, Simapura, Tambak Laleyan, Pilanggu, Poh Aji, Wangkali, dan Beru, Lembah, Dalinan, Pangadwan, adalah daerah perdikan pertama yang ditetapkan,” catat Mpu Prapanca. Namun, Titi mengatakan bahwa kata Budur, selain sebagai nama bangunan suci, juga merujuk pada salah satu jenis minuman keras. Dalam tulisannya yang lain, “Minuman Pada Masyarakat Jawa Kuno”, yang termuat dalam Proceeding Pertemuan Ilmiah Arkeologi V. II.B, Titi mendaftar semua jenis minuman keras, yang ada dalam data tekstual, termasuk budur seperti disebut dalam teks Ādiparwa . “…Brāhmaṇa tidak makan daging babi yang diternakkan, tidak minum minuman keras, surāpāna namanya minuman keras dan sejenisnya yang disebut tuak, waragaŋ, baḍyag, tuak tal, buḍur, demikian (disebutkan dalam) kitab suci Bagawān Śukra,” catat teks itu. Ada lagi dalam teks Calon Arang : “Tidak lama datang apa yang diminta: tuak, nasik, laukpauk, tampo, brěm, kilang, dan yang lainnya sampai srěbat-buḍur." Kemudian dalam Kidung Harsawijaya: “Makanan, minuman keras tidak ketinggalan, tuak, badeg, siwalan, buḍur dan mrěsi, sěrbat bersama dengan arak harum." Dengan lebih jelas, Kakawin Kāṇḍawawanadahana (Terbakarnya Hutan Kāṇḍawa), yaitu naskah yang sampai saat ini belum diterjemahkan, menjelaskan asal usul budur. “Membuat perumahan sementara...dengan atap dari daun buḍur." Titi pun menyimpulkan bahwa buḍur adalah nama tumbuhan sejenis aren atau enau. Airnya bisa dibuat minuman keras dan daunnya dijadikan atap rumah. Karenanya, menurut Titi, tak aneh jika Borobudur bisa diartikan sebagai "biara yang ada di Budur" atau biara yang ada di tempat yang banyak ditumbuhi pohon budur . Di Indonesia banyak ditemukan nama tempat yang menggunakan nama tumbuhan. Misalnya, seperti di Jakarta, ada Kampung Rambutan, Kebon Nanas, Kebon Kacang, dan Kemang. Penamaan itu sudah terjadi dulu. Titi mengatakan dalam prasasti banyak nama desa yang memakai nama tanaman. Contohnya Poh (mangga), Bungur , dan Nyū (kelapa). “Saya setuju dengan pendapat Poerbatjaraka yang menyebut Borobudur adalah biara di Buḍur. Kata Buḍur diambil dari sejenis tanaman aren, yang mungkin pada saat itu banyak ditemukan di tempat itu,” jelas dia.
- Pierre Tendean, Si Galak yang Memikat
Pada hari Jumat terakhir sebelum tragedi 1 Oktober 1965, Jenderal Abdul Haris Nasution berkunjung ke Bandung. Nasution diundang memberikan ceramah kepada anggota Resimen Mahasiswa Batalyon Universitas Padjajaran. Dalam acara itu, Nasution dikawal oleh seorang ajudannya yang berparas indo. “Yang mendampingi saya adalah adalah ajudan yang paling muda, Letnan Satu Pierre Tendean. Ia terhitung pemuda yang ganteng, dan terus ia saja menjadi sasaran kerumunan para mahasiswa,” kenang Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru. Tercatat 15 April 1965, Pierre resmi menjadi ajudan Nasution yang waktu itu menjabat Menteri Pertahanan dan Keamanan merangkap Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB). Pierre merupakan ajudan termuda yang berpangkat letnan satu. Sementara tiga ajudan Nasution lainnya sudah berpangkat kapten. Mengemban tugas sebagai ajudan mengharuskan Pierre ikut ke mana saja Nasution bertugas. Menurut biografi resmi Pierre Tendean dalam Sang Patriot: Kisah Seorang Pahlawan Revolusi , kegiatan Nasution yang paling sering di kawal Pierre adalah agenda main tenis. Keluarga Nasution biasanya main tenis dua kali seminggu di lapangan tenis Menteng dan Senayan. Menurut Saifuddin Sofyan, mantan pemungut bola ( ball boy ) lapangan tenis Senayan, Pierre termasuk orang yang pendiam. Bicara hanya seperlunya saja. Pierre juga tidak segan menindak petugas lapangan tenis apabila berbuat lalai. Misalnya, saat ikatan net kurang kencang. Biasanya, Saifuddin dan kawan-kawannya kena hukuman oleh Pierre berupa push up di tempat. Lain waktu, Nasution pulang dinas dari Bandara Kemayoran menuju ke rumahnya di Jalan Teuku Umar No. 40. Saat itu mobil Nasution terjebak macet. Pierre yang mendampingi segera berinisiatif turun dari mobil dan turun ke jalan. Jadilah Pierre Tendean menjadi petugas lalu lintas dadakan. Akibat ulah Pierre, mobil yang ditumpangi Nasution akhirnya bisa melengos di jalan sekaligus mengurai kemacetan yang ada. Di kediaman Nasution, Pierre menempati paviliun khusus tempat tinggal para ajudan. Pierre sering diledek “Jawa Londo” oleh anak-anak Menteng sekitar kediaman Nasution. Olokan tersebut lantaran fisik Pierre yang berkulit putih, berhidung mancung, dan postur jangkung 175 cm. Tapi kalau sudah berbicara, maka Pierre terdengar medok dengan logat Jawa-Semarangnya yang sangat kental. Kepada putri-putri Nasution, Pierre menampilkan perangai yang berbeda. Terhadap si sulung Yanti yang kala itu beranjak remaja, Pierre bersikap tegas, disipilin, dan terkesan galak. Yanti kerap kena tegur Pierre kalau menginap di rumah kawannya atau ketahuan coba-coba belajar menyetir mobil. Namun kalau berhadapan dengan sang adik, Ade Irma, Pierre luluh. Pierre cenderung melunak dan memanjakan putri bungsu Nasution ini. Saban sore, Pierre selalu menemani Ade bermain sepeda di halaman belakang rumah. Sementara istri Nas, Sunarti, kerap kali berperan menjadi pamong yang selalu menasihati Pierre, terutama soal percintaannya dengan Rukmini. “Walaupun demikian, Yanti mengakui bahwa wajah Pierre ganteng luar biasa, yang memesona lawan jenis. Namun, dengan kekakuannya, Pierre jarang tampak genit di depan kaum hawa,” catat tim penulis biograsi resmi Pierre Tendean yang disunting Abie Besman. Selain kegiatan di dalam kota, Pierre pun harus siaga sewaktu-waktu Nasution dinas ke kota lain. Nasution acap kali menjadi tamu undangan sebagai pembicara dalam konferensi atau seminar nasional. Biasanya, Pierre lah yang sering diminta Nasution untuk mendampingi dalam kunjungan di luar kota. Di saat Nasution menjadi pembicara, sosok Pierre ternyata menjadi pusat perhatian. Paras tampan Pierre selalu jadi magnet peserta seminar terutama peserta dari kalangan kaum hawa. Bukan sebuah pemandangan lazim jika seorang pria keturunan Indonesia-Prancis berbadan tegap mengawal seorang jenderal penting di jajaran angkatan bersenjata. Para perempuan yang penasaran sering berbisik dan bertanya, siapa sosok pemuda tampan yang mengajudani Jenderal Nasution itu? Hal yang sama pun terjadi ketika Pierre mendampingi Nasution di Bandung, yang menjadi tugas terakhir pengawalannya. Para peserta memang mendengar pidato atau ceramah dari sang jenderal tetapi mata mereka teralihkan ketika melihat sosok Pierre Tendean. Kiranya, dari sinilah muncul istilah yang populer saat itu, “Telinga kami untuk Pak Nas, tetapi mata kami untuk ajudannya.”
- Ketika Bangsa Eropa Memperebutkan Maluku
DAYA tarik Kepulauan Maluku seolah tidak akan ada habisnya. Rempah kebanggan mereka (pala dan cengkeh) telah membuka jalan bagi kepulauan di sebelah timur Makassar itu bergaul dengan bangsa dari belahan bumi lain. Berjalan cukup baik di awal, namun berubah kacau kemudian. Bangsa asing itu perlahan memperlihatkan kerakusannya. Tercatat ada empat bangsa Eropa yang secara gamblang berlomba menarik hati rakyat Maluku, yakni Spanyol, Portugis, Belanda, dan Inggris. Semuanya datang dalam waktu yang cukup berdekatan. Setiap kali satu kekuatan runtuh, kekuatan lain dengan sigap mengambil alih. Maluku tidak pernah sepi dari para pencari kekuasaan. Inggris menjadi yang paling dicintai, sementara Belanda yang paling dicaci. Sejak abad ke-16 hingga empat abad setelahnya, Maluku secara langsung terlibat dalam ajang pergumulan orang-orang Eropa tersebut. Wilayah Ambon, Bacan, Banda, Ternate, dan Tidore menjadi pusat kegiatan para pendatang itu. Berawal dari penemuan jalur menuju Nusantara oleh bangsa Portugis, petualangan mereka mencari aneka bumbu yang mewah di Eropa itu pun dimulai. Dari hasil penelitian sejarawan Meta Sekar Puji Astuti diketahui bahwa orang-orang Eropa itu datang karena dorongan sebuah dongeng yang sengaja dibuat di tempat mereka. Dongeng yang berasal dari para pedagang Arab itu menyebut sebuah tanaman yang dapat memberi cita rasa untuk segala jenis makanan. Bahkan dipercaya mampu menyembuhkan beberapa jenis penyakit yang saat itu mewabah di daratan Eropa. Namun yang paling menarik perhatian rakyat Benua Biru adalah harganya. “Selama bertahun-tahun pala diperdagangkan di Jalur Sutra oleh orang-orang Arab dengan harga ribuan kali lipat dari wilayah asalnya,” kata Meta kepada Historia. Gabungan Kekuatan Portugis menjadi bangsa Eropa pertama yang tiba di Maluku. Para pelaut dari barat daya Eropa ini merapatkan kapalnya pada 1512, setelah setahun sebelumnya memastikan penguasaan Malaka. Menurut Tome Pires dalam Suma Oriental , para penjelajah Portugis tiba di bawah pimpinan Fransisco Serrao, salah satu kapten kapal dalam ekspedisi Antonio de Abreu. Dia tercatat sebagai orang Eropa pertama yang menginjakkan kakinya di wilayah Maluku. Kedatangan Serrao di Maluku mendapat sambutan yang hangat dari penduduk. Meski sejumlah hambatan, utamanya komunikasi, sempat membatasi hubungan kedua bangsa ini, dengan cepat halangan tersebut diatasi. Orang-orang Portugis mampu beradaptasi dengan baik. Belum lama mereka tinggal, kepercayaan rakyat sudah berhasil didapat. Penduduk Ternate, kata Pires, menjadi kawan terdekat bangsa Portugis di Maluku. Pemimpinnya, Sultan Bayanullah, banyak memberikan bantuan. “Kabarnya raja ini sangat memegang teguh keadilan. Ia menjaga rakyatnya agar tetap patuh. Ia berkata bahwa ia akan sangat senang bertemu dengan pendeta Kristen, karena apabila keyakinan kita tampak lebih baik di matanya maka ia akan meninggalkan sektenya (agama Islam), kemudian memeluk agama Kristen.” Perlahan namun pasti, orang-orang Portugis mulai menyebarkan pengaruhnya di Maluku. Mula-mula Ternate dikuasai, baik secara politik maupun budaya, kemudian daerah-daerah di sekitarnya turut menjadi incaran. Namun hambatan besar mulai dirasakan saat mereka mencoba menguasai Tidore. Wilayah yang sejak lama berselisih dengan Ternate itu menolak kehadiran mereka. Portugis pun lantas menggunakan cara keras dalam usaha menguasai kerajaan milik ayah Sultan Bayanullah tersebut. Tekanan dari Portugis membuat posisi Tidore terpojok. Gempuran persenjataan lengkap bangsa Eropa itu sangat menyulitkan. Tidore membutuhkan bantuan besar. Dalam penelitian Hubert Jacobs, A Treatise on the Moluccas: Probably the Prellminary Version of Antonio Galvao’s Lost , disebutkan bahwa pertolongan tak terduga tiba pada 8 November 1521. Dua orang pelaut Spanyol, Carvalhinho dan Goncalo Gomes, tiba di Tidore bersama sejumlah pasukan. Mereka diterima dengan baik ketika memasuki pelabuhan Tidore. Spanyol pun praktis terlibat dalam perselisihan Tidore-Ternate. Sekaligus menantang musuh bebuyutannya di Eropa yakni Portugis dalam perebutan kuasa atas rempah Maluku. “Dengan demikian dalam perang itu terdapat di satu pihak Tidore yang dibantu orang-orang Spanyol dan di lain pihak Ternate yang dibantu orang-orang Portugis,” Sartono Kartodirdjo, dkk dalam Sejarah Nasional Indonesia: Jilid 3 . Perang di Maluku terjadi dalam suasana yang serba tidak menentu. Meski dalam sejumlah peperangan kekuatan Ternate bersama kawan-kawan Portugisnya lebih unggul, tetapi mereka tidak bisa mempertahankan keutuhan dari dalam. Koalisi Tidore-Spanyol dan Ternate-Portugis ternyata tidak bertahan lama. Semakin lama rakyat semakin melihat sifat buruk orang-orang Eropa itu, yang sedari awal hanya mengincar rempah-rempah milik mereka dengan cara memecah belah penduduk Maluku. Keruntuhan kuasa Spanyol dan Portugis di Maluku semakin terlihat setelah kedua negara itu menyepakati Perjanjian Zaragoza pada 22 April 1529. Di tambah sejumlah peristiwa di dalam masing-masing kerajaan yang melibatkan bangsa asing, membuat suasana semakin keruh. Ikut campurnya mereka dalam urusan politik kerajaan adalah sebab utama rakyat ingin kedua bangsa itu keluar dari Maluku. Sejumlah perlawanan mulai digelorakan rakyat di beberapa tempat. Meski dua tokoh utama, Ternate dan Tidore, belum berbaikan, tetapi perlawanan yang terpecah itu mulai merepotkan kedudukan Portugis dan Spanyol. Rakyat berhasil menduduki benteng pertahanan, dan melucuti persenjataan keduanya. Portugis bahkan terusir dari tanah Ternate pada 28 Desember 1577. Mereka pun terpaksa mengungsi ke pulau-pulau sekitar untuk mengamankan diri. “Portugis dan Spanyol disatukan di bawah Raja Felipe II, dan raja ini menyuruh Gubernur Jenderal Spanyol yang berkedudukan di Filipina untuk memberi bantuan kepada orang-orang Portugis di Maluku,” tulis Kartodirdjo. Dibantu tentara Spanyol, Portugis berusaha merebut kembali Ternate. Namun sayang pada 1605, Belanda keburu datang mengacaukan jalannya perang di perairan Maluku. Kekuatan gabungan Portugis-Spanyol pun akhirnya teralihkan ke Belanda. Rakyat Maluku yang sudah muak dengan dua bangsa Eropa tersebut lantas memberi bantuan kepada Belanda. Meski tidak tahu bagaimana perangai para pendatang ini. Gabungan kekuatan Ternate-Belanda mampu memukul mundur Spanyol dari Ternate dan Tidore. Segera Belanda membangun benteng-benteng pertahanan di beberapa tempat strategis. Pada 1620-an Belanda sudah berhasil mengamankan posisinya di Perairan Maluku. Mereka akhirnya bisa mulai memonopoli rempah dengan tenang. Menuju Perjalanan Panjang Rupanya ketenangan dalam proses monopoli ini tidak begitu saja didapat. Meski Portugis dan Spanyol telah disingkirkan, Belanda kembali dipusingkan dengan keberadaan orang-orang Inggris. Pasukan Raja James itu telah menempati perairan Maluku sejak 1605. Namun mereka tidak ikut serta dalam konflik Portugis-Spanyol. Inggris sibuk membangun wilayah koloninya, seperti terlihat di pulau Run. Menurut I.O. Nanulaitta dalam Kapitan Pattimura , rakyat Maluku dipaksa berhutang budi kepada Belanda ketika proses pengusiran Portugis dan Spanyol. Akibatnya mereka harus menuruti segala permintaan Belanda, termasuk melarang penduduk menjual rempah-rempahnya kepada bangsa lain. Semua perdagangan rempah diatur dengan menempatkan Belanda sebagai prioritas. Para penguasa diikat oleh kontrak agar Belanda dapat mudah memonopoli rempah-rempah. Mereka juga mulai membangun pertahanan, dan menyiagakan banyak armada di perairan Maluku. Hal itu dilakukan guna menghalau serangan dari Inggris yang sudah menguasai Banda. Dalam The Banda Islands: Hidden Histories and Mirackles of Nature , Jan Russell menyebut jika Belanda sulit menembus pertahanan Inggris di Banda. Mereka pun sementara hanya bisa menancapkan pengaruhnya di Ambon, Saparua, dan sebagian Maluku Tengah. “Orang Banda itu cukup cerdik. Mereka lebih suka berbisnis dengan orang Inggris dibandingkan dengan orang Belanda,” ucap Meta. Kebencian rakyat terhadap orang-orang Belanda mulai muncul setelah pemerintahan asing itu membuat kebijakan yang memberatkan rakyat. Perlakuan semena-mena, ditambah sistem tanam paksa yang menyengsarakan, membuat rakyat Maluku semakin menutup hatinya untuk para kompeni. Rakyat semakin yakin bahwa orang-orang ini tidak lebih baik dari Portugis dan Spanyol. Tahun 1796 terjadi keributan di Ambon. Kehadiran kapal-kapal berbendera Inggris membuat rakyat bertanya-tanya tentang situasai yang terjadi. Bendera Belanda yang semula berkibar di benteng Victoria juga sudah berganti menjadi ‘Union Jack’ milik Inggris. Ratusan tentara bersenjata lengkap ada di seluruh penjuru kota. Rupanya telah terjadi pergantian kekuasaan antara Belanda dan Inggris atas perairan Maluku. Perang yang berkecamuk di Eropa antara Inggris dan Prancis memaksa kerajaan Belanda menyerahkan seluruh wilayah jajahannya di Afrika dan Asia kepada Inggris. “Banyak di antara mereka yang tidak dapat mengerti keterangan itu. Pengetahuan mereka tentang Eropa yang begitu jauh letaknya tidak seberapa. Apalagi mau mengerti pergolakan apa yang sedang terjadi di sana,” tulis Nanulaitta. Kepanikan melanda rakyat Maluku. Mereka khawatir tentang nasibnya di bawah penjajah baru ini. Tindakan nekat pun akhirnya menjadi pilihan. Sejumlah orang mencoba menyerang benteng pertahanan Inggris. Namun pada akhirnya perlawanan tersebut dapat dihalau. Sebagai konsekuensi, para pemberontak itu dieksekusi. Perlahan Inggris membangun pemerintahan di seluruh perairan Maluku. Pengalaman selama di Banda dan Run, ditambah informasi tentang cara Belanda memerintah, membuat Inggris cukup berhati-hati dalam membuat kebijakan. Melalui peraturan yang dibuat, Inggris melakukan pendekatan terhadap rakyat dengan cara yang berbeda. Beberapa peraturan perdagangan yang sebelumnya sangat memberatkan mulai diperlunak. Kerja rodi tetap dipertahankan namun diperingan. Rakyat juga diberi kebebasan dalam berbagai aktifitas. Bahkan Inggris melibatkan penduduk dalam sistem militer mereka, dan membentuk kesatuan khusus untuk rakyat. “Harapan baru akan hidup yang lebih baik timbul lagi. Kebun-kebun cengkih dan pala memberi harapan besar. Perniagaan menjadi ramai. Hanya terhadap penyelundupan Inggris bertindak keras juga,” kata Nanulaitta. Namun kesedihan kembali harus dirasakan rakyat Maluku. Tujuh tahun kebebasan di bawah pemerintah Inggris sirna begitu saja ketika mengetahui orang-orang Belanda kembali menerima hak atas tanah Maluku. Keresahan melanda seluruh negeri. Kepergian bangsa yang memberi kedamaian sangat diratapi rakyat Maluku. Tahun-tahun berikutnya konflik antara Inggris dan Belanda atas Maluku terus terjadi. Keduanya bergantian memberi pengaruh di tanah kelahiran Pattimura tersebut. Sampai pada kondisi di mana Inggris sudah tidak dapat lagi menginjakkan kakinya di sana. Sebuah perjanjian tahun 1816, Traktat London, menyelesaikan konflik Inggris-Belanda di Maluku untuk selama-lamanya. Dengan gagahnya Belanda mampu menyingkirkan tiga pesaing berat, dan berkuasa penuh atas Maluku.
- Ciputra dan Proyek Senen
Ciputra, konglomerat Indonesia, wafat pada 27 November 2019 dalam usia 88 tahun. Hidupnya cukup panjang untuk ukuran manusia abad ini. Dia melewati bermacam zaman dan era pemerintahan. Dari kolonialisme Belanda, pendudukan Jepang, era Sukarno, otoritarianisme Soeharto, sampai masa Reformasi. Rina Ciputra Sastrawinata, anak tertua Ciputra, mengatakan ayahnya tidak mengidap penyakit serius sebelum wafat. “Ayah saya meninggal karena usianya,” kata Rina dalam konferensi pers di Artpreneur Ciputra, Jakarta, Kamis 28 November 2019. Ciputra bekerja menangani puluhan perusahaan hingga usia senja. Dia tercatat jarang sakit dan dirawat. Dia lebih sering terlihat sehat dan bugar dalam beragam kesempatan. Sembari berkelakar, dia sempat berbagi rahasia hidup sehat dan bugar. “Saya sukses, tetapi setiap hari saya hanya makan rumput. Soalnya saya hanya makan nasi, roti, dan sayur-sayuran yang tidak mengandung zat purin, penyebab perkapuran. Hahaha…” kata Ciputra dalam Eksekutif , Agustus 1996. Ketika itu usianya sudah 65 tahun dan duduk sebagai Direktur Utama PT Pembangunan Jaya. Ciputra juga rutin bermeditasi dan melakukan waitankung (Senam Sehat Indonesia). “Setiap hari saya bermeditasi dan berolahraga,” kata Ciputra. Karena tak ingin membuat senam itu hanya bermanfaat bagi dirinya, dia sebarkan waitankung kepada karyawan dan direksi di Grup Pembangunan Jaya, grup perusahaan yang dia pimpin selama hampir 35 tahun. “Ciputra selalu punya keinginan agar hal-hal baik yang dinikmatinya juga dinikmati oleh orang lain,” catat Bondan Winarno dalam Kiat Menjadi Konglomerat: Pengalaman Grup Jaya . Dari prinsip berbagi kenikmatan itulah, dia terlibat meremajakan Pasar Senen, proyek pertamanya di PT Pembangunan Jaya. Tapi kadang niat berbagi kenikmatan itu tak selalu laras dengan keinginan banyak orang. Menunggu Gubernur PT Pembangunan Jaya berdiri di Jakarta pada 3 September 1961. Ciputra selalu mengisahkan awal keterlibatannya di Pembangunan Jaya, bermula dari membaca Star Weekly pada 1961. Dia katakan Star Weekly memuat maklumat Soemarno, Gubernur Jakarta 1960—1964, kepada pihak swasta agar turut membangun Jakarta. “Saya ingin mengikutsertakan seluruh masyarakat dalam usaha pembangunan besar-besaran Jakarta Raya. Dan saya tahu dan yakin, bahwa masyarakat ibu kota mempunyai potensi yang besar, baik dalam hal manajemen, maupun dalam modal (keuangan),” kata Soemarno dalam Star Weekly, 15 April 1961. Jakarta tengah giat dengan aneka pembangunan fisik pada dekade awal 1960-an. Sukarno membayangkan Jakarta akan menjadi wajah muka Indonesia baru. Dia rencanakan pembangunan gedung-gedung bertingkat, jalan-jalan lebar nan lapang, jembatan layang modern, dan kompleks olahraga megah. Ciputra kepincut dengan ajakan Soemarno dan terkesan pada semangat menggebu Sukarno. Dia pun ambil koper, berangkat dari Bandung menuju Jakarta. Dia bilang tak akan melupakan dua temannya jika memperoleh proyek di Jakarta. Ciputra meninggalkan sementara pekerjaannya di CV Daja Tjipta. Dia telah merintis perusahaan itu bersama dua kawannya sejak masih kuliah di Institut Teknologi Bandung (ITB) pada pertengahan dekade 1950-an. Perkembangannya bagus, tetapi lambat. “Moda bisnisnya juga begitu-begitu saja. Menerima order, tawar-menawar, dan pembangunan pun berjalan sesuai biaya yang disepakati,” kata Ciputra kepada Alberthiene Endah dalam The Passion of My Life . Ciputra menginginkan perusahaannya melompat lebih jauh dan berkembang melampaui bisnis kontraktor atau jasa konsultan arsitek. Ciputra beberapa kali berjalan melihat sudut-sudut kota Bandung dan Jakarta. Pasarnya becek, bangunannya rusak, rapuh dimakan usia, dan tak elok dipandang mata. Dia membayangkan keadaan buruk itu masih bisa berubah jadi lebih baik. Dia menikmati mimpinya dan bertekad mewujudkannya. Caranya dengan mengubah perusahaannya menjelma pengembang wilayah (developer ). Kesempatan itu terbuka luas di Jakarta, kota yang tengah gandrung dengan pembangunan fisik di banyak sudut, tetapi sudut lainnya justru bobrok dan jauh dari pembangunan. Tapi menemui Soemarno bukanlah perkara mudah. Ciputra seorang arsitek piyik . Baru lulus dari ITB dan cuma punya perusahaan kecil. Selain itu, jadwal Soemarno pun sangat padat. Di kota sebesar Jakarta, reputasi Ciputra benar-benar nolpothol . Tak punya nama. Dia harus menunggu berhari-hari di kantor gubernur hanya untuk bertemu dengan Soemarno. Tapi kesabarannya terbayar. “Melalui seorang keluarga, saya bisa menemui Pak Marno di rumahnya pukul 9 malam. Di situ saya sampaikan bahwa saya ingin membantu pemda,” kata Ciputra dalam Eksekutif . Soemarno bertanya apa konsep Ciputra tentang pembangunan Jakarta. “Saya katakan bahwa sebuah kota bisa dipercantik dan terlihat lebih modern dengan peremajaan, selain juga membangun properti baru. Konsep pembangunan harus sebesar-besarnya menonjolkan daya guna, dengan biaya efisien tapi hasil bangunannya kokoh,” kata Ciputra dalam The Passion of My Life . Konsep Ciputra rupanya klop dengan rencana Soemarno meremajakan Pasar Senen. “Pasar Senen ini sibuknya dan kotornya bukan main, siang dan malam, dua puluh empat jam terus menerus,” kata Soemarno dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945— 1966. Maka Soemarno meminta Ciputra bikin rencana peremajaan Pasar Senen. Saham 3 Persen Ciputra meminjam sepeda motor. Dia mengelilingi Pasar Senen saban terang tanah untuk mengumpulkan bahan. Malam hari, dia tidur di rumah sepupunya. Sempit, tetapi cukup dekat dengan Pasar Senen. Menghemat jarak tempuh dan membuat kerjanya mangkus. Setelah bahan terkumpul, Ciputra kembali ke Bandung untuk menyelesaikan rencananya dengan bantuan dua temannya. “Dalam dua minggu mereka sudah merampungkan rencana yang siap diajukan kepada Gubernur Soemarno,” ungkap Bondan Winarno dalam Tantangan Jadi Peluang: Kegagalan dan Sukses Pembangunan Jaya Selama 25 Tahun . Soemarno menyetujui rencana Ciputra, lantas membawanya ke Sukarno untuk presentasi. Sukarno manggut-manggut dan mengajukan dua pertanyaan: pengelolaan sampah dan cara membangun pasar sebesar Senen. Ciputra merencanakan sampah pasar akan dikumpulkan di suatu tempat, kemudian diangkut oleh Dinas Kebersihan. Tentang cara membangun, dia jelaskan tahapannya. Dari pembebasan lahan, pembangunan toko-toko darurat atau penampungan sementara di sekitar Senen, sampai pembangunan blok demi blok. Semua rapi dan terencana. “Presiden Sukarno lalu menyetujui agar proyek itu segera dilaksanakan,” lanjut Bondan. Masalahnya kemudian adalah uang. Rencana Ciputra bagus, tapi uang untuk mengkonkretkan rencana itu darimana? Ciputra angkat tangan. Soemarno juga pusing dengan soal uang. Karena itu, dia mengajak pihak swasta dan tokoh bisnis lainnya. Mereka adalah J.D. Massie, R.A.B. Massie, Jusuf Muda Dalam, S.S. Amidharmo, Hasjim Ning, dan A.M. Dasaad. Mereka seiya sekata untuk membiayai Proyek Senen melalui pendirian perusahaan. Syaratnya, perusahaan itu tidak dikelola pemerintah pusat atau daerah. “Perusahaan negara terikat oleh begitu banyak birokrasi sehingga akan lamban dalam menangani pekerjaan seperti itu. Selain itu, perusahaan negara tidak terlalu berani menyerempet bahaya karena pertanggungjawaban administratifnya repot,” kata mereka. Soemarno tak bisa menampiknya. Dia merestui pendirian perusahaan itu. Inilah PT Pembangunan Jaya, pelaksana teknis Proyek Senen. Modal awalnya Rp10 juta setara dengan Rp93 juta nilai uang sekarang. Hasil patungan pengusaha kakap tadi. Mereka mendapat saham sesuai dengan porsi setorannya. Hasjim Ning menjadi direktur utamanya. Pemerintah Daerah Jakarta tidak keluar uang sepicis pun. Tetapi sebagai pemegang otoritas Proyek Senen, mereka memperoleh saham 25 persen dalam PT Pembangunan Jaya. Kepemilikan ini tak berlangsung lama. Sebab UU No. 5 Tahun 1962 melarang keterlibatan pemerintah dalam usaha swasta. Pemerintah daerah menyerahkan kembali saham tersebut. Ciputra hanya memegang saham sebanyak tiga persen. Itu pun dari meminjam dana pengusaha lainnya. Saham itu juga masih harus dibagi dengan dua temannya di CV Daja Tjipta. Kepikiran yang Digusur Kekuatan dana awal Pembangunan Jaya sebenarnya tak cukup untuk membiayai Proyek Senen. Ciputra mengusulkan pengalihan dana untuk pembangunan rumah di Slipi, Jakarta Tengah. Sebab jika menunggu uang terkumpul, nilai uang akan tergerus inflasi. Keuntungan dari Proyek Slipi digunakan untuk membiayai Proyek Senen. "Peranan proyek-proyek pembantu adalah efektif untuk kebutuhan keuangan Proyek Senen," catat Soemarno. Proyek Senen mulai bergulir pada 26 April 1964. Warga sekitar dikumpulkan. Pengumuman diberikan. Lahan-lahan akan dibebaskan. Rumah-rumah bakal dihancurkan. Ganti rugi segera disiapkan. Toko-toko darurat nantinya didirikan. Bahkan makam-makam pun harus ikut dipindahkan. Ciputra sebagai pemimpin proyek kerap memperoleh kritik warga. Seorang warga datang padanya dan mengaku pensiunan tentara. Dia menodongkan pistol ke Ciputra. Alasannya tidak puas dengan proses ganti rugi. Padahal proses ganti rugi dan pembebasan lahan sepenuhnya urusan pemerintah daerah. “Saya lelah dikritik, Pak,” curhat Ciputra ke Hasjim Ning. Selain kritik, datang pula peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ketegangan merebak di mana-mana. Perekonomian lumpuh. Kerja berhenti sementara. Tapi tahun 1966 menjadi titik balik. Ali Sadikin menjabat gubernur Jakarta. Perekonomian bergeliat lagi. Proyek Senen dimulai kembali. Proyek berjalan cepat. Pasar Senen tampil dengan wajah baru. Sebuah gedung empat lantai dengan luas 28.551 m2. “Jakarta terkesima. Bung Karno dan Bang Ali merasa puas,” kata Ciputra. Ada rasa bangga dalam dirinya. Tapi dia kepikiran juga dengan penduduk yang tergusur. Orang-orang yang marah. Orang-orang yang kehidupannya tak akan pernah sama lagi. “Barangkali ada ratusan keluarga yang kemudian hidupnya menjadi mundur bahkan terpuruk setelah kami paksa pindah. Siapa yang tahu?” kenang Ciputra kepada Alberthiene Endah. Prinsip berbagi kenikmatan tidak selalu berjalan mulus. Ciputra memutuskan mundur dari Proyek Senen dan bertekad hanya kerja sebagai pengembang. Dia memutuskan kerja selanjutnya adalah mencari lahan kosong dan nganggur. Lalu mengubahnya bernilai guna.
- Bunuh Diri Kelas Soegoro Atmoprasodjo
PENJARA Kota Baru, Hollandia (kini Jayapura), 9 Juli 1946. Soegoro Atmoprasodjo dikunjungi oleh muridnya, Frans Kaisiepo dan Corinus Krey. Situasi penjagaan begitu ketat karena Soegoro termasuk tahanan kelas kakap. Beruntung, Frans Kaisiepo bisa melobi seorang penjaga yang sama-sama berasal dari Pulau Biak. “Tak usahlah saya jelaskan bagaimana susahnya untuk bertemu seseorang tahanan yang diberi cap komunis,” tutur Frans Kaisiepo dalam risalahnya berjudul “Irian Barat” yang ditulis di Kokonao pada 1 Oktober 1962. Risalah itu termuat dalam khasanah arsip pribadi Marzuki Arifin No. 383 yang saat ini tersimpan dalam Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). Pertemuan keduanya berlangsung selama satu jam. Soegoro mewejangi Frans dan Corinus agar bersama teman-temannya yang lain terus berjuang melawan pemerintah Belanda. Di akhir perbincangan, haru menyelimuti pertemuan guru dan murid itu. Menurut Frans, pertemuan hari itu merupakan hari terbesar dalam sejarah Irian (kini Papua). “Waktu bersalam-salaman tak sengaja keluarlah air mata beliau membasahi pipinya,” kenang Frans. Menghantam dari Dalam Menurut Bernarda Meteray, sejarawan Universitas Cendrawasih, Soegoro merupakan bekas tawanan Digoel yang ditunjuk Residen Papua (setara gubernur) Jan Pieter Karel van Eechoud untuk menjadi pengajar sekaligus direktur asrama Sekolah Pamong Praja di Holandia. Pemerintah kolonial bersedia merekrut Soegoro karena kekurangan tenaga pengajar. Sekolah yang dibuka pada 1 Januari 1945 itu mengadakan kursus singkat pamong dan mantri bagi putra-putra asli Papua. Selain Frans dan Corinus, nama-nama lain seperti Marcus Kaisiepo, Lukas Rumkorem, Lisias Rumbiak, Nicolaas Jouwe, Marthen Indey, Silas Papare, Baldus Mofu, O Manupapami, dan Herman Wajoi merupakan siswa di sekolah yang sama. Mereka adalah elit terdidik Papua generasi pertama yang berhubungan langsung dengan Soegoro. “Soegoro adalah orang Indonesia pertama yang berperan besar memengaruhi orang Papua menentang Belanda sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945,” tulis Bernarda dalam disertasinya yang dibukukan Nasionalisme Ganda Orang Papua . Sebagai seorang guru, Soegoro berkesempatan mengajarkan sejarah dan budaya Indonesia. Salah satu cara yang dilakukan Soegoro adalah dengan mengajarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya . Dalam berbagai diskusi, Soegoro mengajak para siswanya untuk berpikir bahwa mereka adalah bagian dari Indonesia. Dia menggambarkan Indonesia sebagai bangsa multikultur sebagaimana Papua yang terdiri dari banyak suku. Soegoro juga berusaha meyakinkan muridnya bahwa bangsa Indonesia yang terdiri dari banyak suku memerlukan persatuan untuk menentang Belanda. Sebagai pegawai pemerintah Belanda, Soegoro adalah bagian kelas priyayi yang memiliki kesempatan untuk hidup enak dan tenang di bawah bayang kolonial. Tapi dia melewatkannya dan malah melakukan bunuh diri kelas dengan melakukan pemberontakan. Sejak tanggal 31 Agustus 1945, Soegoro menghimpun para muridnya yang terpercaya. Dia juga menjalin kontak dengan ratusan mantan tentara Heiho yang berasal dari Sumatra dan Jawa. Bernarda mencatat Soegoro akan melancarkan aksi pada 15 dan 16 Desember 1945. Sementara dalam Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare yang disusun tim Depdikbud menyebut rencana pemberontakan Soegoro akan dilaksanakan pada hari Natal 25 Desember. Nahas bagi Soegoro, rencana pemberontakannya keburu bocor. Pemerintah Belanda segera bereaksi dengan mendatangkan pasukan dari Rabaul (kini Papua Nugini). Di Hollandia terjadi penangkapan besar-besaran. Soegoro sendiri ikut kena ringkus bersama beberapa muridnya. “Sebagai penanggung jawab dalam rencana ini, maka sebagai tertuduh adalah Marthen Indey, Silas Papare, dan Soegoro Atmoprasodjo dijatuhi hukuman penjara, sedangkan anggota lainnya dibebaskan dari tuduhan,” tulis Onnie Lumintang, Pius Suryo Haryono, Restu Gunawan, dan Dwi Ratna Nurhajirini dalam Biografi Pahlawan Nasional Marthin Indey dan Silas Papare. Soegoro dicurigai terlibat dalam pencurian senjata di depot tentara. Bentrokan yang terjadi antara pihak pemerintah melalui kompi orang-orang Manado dengann pemberontak menyebabkan jatuhnya korban dan orang luka-luka yang tidak perlu. Kejadian ini jelas bikin kecewa van Eechoud yang kadung menggadang Seogoro sebagai anak emasnya. “Bagi dia hal ini secara khusus menyakitkan, karena kecurigaan terkuat ditujukan kepada anak emasnya, Seogoro, seorang mantan Digoel, yang sangat ia percayai,” tulis sejarawan Belanda, Pieter Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri. Doyan Melawan Meski meringkuk dalam jeruji besi, Soegoro belum jera melawan. Pada Juli 1946, pemberontakan kembali dirancang. Mereka yang terlibat antara lain: Marthen Indey, Corinus Krey, Bastian Tauran, 11 orang Ambon yang bekerja sebagai tukang reparasi, tentara KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda), anggota Batalyon Papua, dan 30 pemuda Papua yang berasal dari sekitar Danau Sentani. Rencananya, aksi ini dimulai dengan membebaskan Soegoro dan tahanan lainnya dari penjara. Setelah itu, kelompok ini akan menyerbu dan membunuh semua orang Eropa di Hollandia. Lagi-lagi Soegoro gagal. Seturut penelitian Bernarda, ada anggota batalyon yang menginformasikan kepada pemerintah bahwa tentara KNIL yang beragama Islam hendak menyerang warga Hollandia yang beragama Kristen pada hari Natal. Alih-alih dibebaskan, Soegoro tetap mendekam di penjara dan menjalani interogasi. Menurut Suyatno Hadinoto, pengadilan mendakwa bersalah Soegoro dan memvonisnya hukuman mati. Soegoro sempat mengirim pesan kepada istrinya untuk bercerai. Keputusan itu diambil Soogoro karena tidak ingin menyusahkan sang istri. “Ia perlu menceraikan istrinya dulu dengan harapan istrinya dapat suami baru, sehingga kepergiannya tidak meninggalkan penderitaan bagi pihak lain, juga istrinya,” tulis Suyatno dalam Api Perjuangan Pembebasan Irian Barat. Dari Hollandia, Soegoro dipindahkan ke Penjara Tanah Merah, di Merauke. Terhadap nasib Soegoro, pemerintah Indonesia akhirnya campur tangan juga. Lobi dari pihak Jakarta pada 9 Desember 1947 meringankan hukuman terhadap Soegoro menjadi 14 tahun penjara. Belum lagi rampung menjalani masa kurungan, Soegoro berhasil kabur dari penjara. Bermodalkan seekor kuda yang diberikan penduduk, Soegoro meloloskan diri dari kejaran tentara NICA, termasuk dengan cara nyebur ke rawa-rawa Sungai Digoel yang terkenal dengan keganasan buayanya. Soegoro terus melanjutkan pelariannya ke Papua Nugini sampai Australia. Di Melbourne, Soegoro diterima oleh rekan seperjuangannya Mohamad Bondan , sekretaris jenderal Central Komite Indonesia Merdeka (CENKIM) yang juga mantan Digulis. Hingga pada 1950, Soegoro berhasil kembali ke Jawa. Soegoro gagal total dalam melancarkan pemberontakan kepada Belanda. Kendati demikian, sebagai seorang pengkader, dia merupakan pejuang yang cukup berhasil. Sebagian dari murid-muridnya berperan penting bagi Indonesia di kemudian hari. Dari 4 pahlawan nasional asal Papua, 2 diantaranya ialah murid Soegoro. Mereka antara lain Frans Kaisiepo dan Marthen Indey. Frans Kaisepo bahkan menjadi gubernur Papua (masih bernama Irian Barat) pasca integrasi yang menjabat periode 1964—1973. Pemerintah Indonesia menobatkan Frans dan Marthen sebagai pahlawan nasional pada 1993.
- DNA dan Keragaman Manusia
PERNYATAAN seorang milenial yang tengah go-international, Agnes Monica alias Agnez Mo, bikin geger. Dia menyatakan tak punya darah Indonesia dalam sebuah wawancara. Kendati esensi pernyataannya tidak salah, cara penyampaian Agnes akhirnya disalahpersepsikan. Sejarawan Bonnie Triyana menyatakan, secara biologis tidak ada yang namanya gen maupun DNA orang Indonesia. Indonesia adalah konsep nation-state dari sebuah wilayah yang pernah jadi jalur perlintasan empat gelombang migrasi nenek moyang manusia dari Afrika. Secara ilmiah, gelombang migrasi itu dijabarkan dalam teori “Out of Africa”. Maka, menilik hasil dari proyek tes DNA yang digarap Historia.id bersama Kemendikbud RI dalam Pameran Asal Usul Orang Indonesia , sebanyak 16 relawan yang dites punya sebaran asal-usul gen dan DNA yang beragam. Nah, apa itu DNA? Apa bedanya dengan genetika, ras, atau etnis? Dalam beragam literatur ilmiah, DNA ( Deoxyribonucleic acid ) atau Asam deoksiribonukleat adalah sebuah molekul yang menjadi penyusun utama setiap makhluk hidup, termasuk hewan dan tumbuhan. Dr. Ryu Hasan menerangkan A-Z perihal genetika dan DNA yang terkandung di tubuh manusia (Foto: Fernando Randy/Historia) Menurut pakar neurogenetika dan biologi molekuler dr. Roslan Yusni Hasan atau biasa disapa Ryu Hasan, DNA itu semacam kode genetik dalam tubuh makhluk hidup, termasuk manusia. Sederhananya ia mengibaratkan DNA adalah unsur terkecil dari sebuah buku besar catatan diri manusia yang namanya genom. “Genom/buku ini terdiri dari 23 bab yang namanya kromosom. Tiap bab/kromosom terdiri dari ribuan cerita/gen. Nah, gen disusun oleh paragraf-paragraf yang namanya exon dan intron . Exon ibarat cerita utama dan intron adalah iklan namun sama-sama penting. Tiap paragraf/ exon dan intron disusun oleh kata yang namanya codon. Setiap kata/ codon disusun oleh yang namanya basa. Ya A,C,G,T ( adenine , cytosine , guanine , thymine ) itu. Setiap kata itu awalnya disebut RNA dan kemudian menjadi DNA,” ujar Ryu Hasan dalam perbincangannya dengan Historia. Ilmuwan pertama yang meneliti tentang DNA itu sendiri terurut ke belakang dari penemuan ahli fisika Swiss Friedrich Miescher pada 1869. Dalam “Discovering DNA: Friedrich Miescher and the Early Years of Nucleic acid Research”, dimuat dalam Human Genetics , R. Dahm menyebut Miescher lebih dulu mengisolasi molekul asam nukleat dari sebuah perban bekas operasi. Seiring waktu, sejumlah ilmuwan lain mengembangkan temuan itu, dari pengisolasian RNA (Ribonucleic acid) hingga DNA. Setelah Miescher, pada 1909 Phoebus Levene mengidentifikasi basa, senyawa gula, dan senyawa nukleat fosfor dari RNA. Dua dekade berselang (1929) ia juga yang mengidentifikasi senyawa gula deoxyribose hingga menjadikannya DNA. Pada 1933, Jean Brachet menemukan inti sel nucleus dalam DNA. Empat tahun berselang, William Astbury menemukan DNA memiliki struktur reguler lewat penguraian melalui x-ray . “Penampakan” DNA yang dikristalisasi pertamakali lewat foto x-ray diambil pertamakali oleh Raymond Gosling pada 1952, dinamakan Photo 51, di mana foto itu diakui sebagai model pertama DNA dengan struktur double-helix. “Yang pertamakali ditemukan itu adanya RNA. Lalu DNA yang digunakan para ahli sampai sekarang karena (strukturnya) lebih stabil daripada RNA. Lalu pemetaan genom manusia konkret dibuat pertamakali secara lengkap itu baru 26 Juni 2000,” sambung Ryu. Yang dimaksud Ryu adalah “Human Genome Project” yang digarap International Human Genome Sequencing Consortium. Perampungannya baru diumumkan kepada publik pada 14 April 2003. Sejak itulah mulai ramai institusi riset biologi “menawarkan” program-program tes DNA. Mengapa Manusia Berbeda-beda? Intisari tes DNA yang digarap Historia.id dan Kemendikbud adalah, menggambarkan bahwa manusia Indonesia punya asal-usul DNA yang sangat beragam. Itu terkait dengan empat gelombang migrasi “Out of Africa” puluhan ribu tahun silam, merujuk pada teori Homo sapiens alias manusia modern pertama berasal dari bagian timur Afrika yang diperkirakan sudah eksis antara 300-200 ribu tahun lalu. “Dari situ muncul pembagian dua populasi yang punya sejarah panjang 200 ribu tahun lalu. Yaitu orang-orang yang sekarang jadi suku Khoisan dan Pigmi. Baru sekitar 60 ribu tahun lalu Homo sapiens yang keluar dari Afrika menyebar ke banyak wilayah. Bahkan 50 ribu tahun lalu sudah ada yang mencapai Australia. Lalu sekitar 45 ribu tahun lalu sudah ada yang di Siberia. Dan, butuh sekitar 30 ribu tahun kemudian yang di Siberia itu menyebar ke Amerika Selatan,” lanjut Ryu. Seiring waktu, lantaran faktor lingkungan tempat para manusia modern itu tinggal, tampilan fisik mereka berubah hingga akhirnya menjadikan manusia di segenap bumi punya rupa yang berbeda-beda. Manusia di Eropa berkulit putih, di Amerika (suku asli Indian) berkulit kemerahan, di Asia berkulit kuning dan coklat, dan di Afrika yang tetap berkulit hitam. Tapi, lanjut Ryu, gen pembawa kulit terang sudah ada di orang-orang Afrika kulit hitam ratusan ribu tahun lalu itu. “Jadi gen dan DNA itu sendiri tidak bicara apa-apa tentang perbedaan. Ada yang namanya gen untuk orang kulit terang, itu SLC24A5, yang terdiri dari sekitar 20 ribu pasang basa dan kode genetik. Cuma satu bedanya. Yang (manusia) berkulit terang itu bermutasi sesuai lingkungannya. Itu saja. Kode mutasinya hanya berubah dari A jadi G. Satu huruf itu yang membedakan seseorang berkulit terang dan gelap. Hanya mutasi kecil saja,” terangnya. Perihal genetik, DNA, serta Teori Out of Africa itu sontak “menggugurkan” teori ras yang dipaparkan ilmuwan Amerika Samuel Morton pada 1839 lewat risetnya yang dibukukan, Crania Americana. Teori itu menyatakan manusia diciptakan berbeda-beda berdasarkan ras: Kaukasia, Mongoloid, Indian-Amerika, Melayu (Asia Tenggara), dan Negroid (Afrika). “Morton itu ‘Bapak Rasialis’. Setelah ada teori baru tentang evolusi, kemudian genetika, semua (ide teori ras) itu salah. Manusia pertama ya dari Afrika. Bicara perbedaan misalnya orang Denmark dan orang Bantul, itu sama saja seperti orang Bantul dengan orang Kulonprogo – secara genetik enggak ada beda. Ekspresi (penampilan fisik) berbeda tergantung adaptasi lingkungan.” Oleh karena itu, lebih jauh, konsep pribumi dan non-pribumi pun gugur. Secara genetik dan DNA, tidak ada orang Indonesia yang disebut pribumi. Gagasan itu sekadar dampak dari situasi sosial-politis yang ada di masing-masing wilayah bumi. “Kalau disebut pribumi, ya kita semua pribumi. Bumi ini punya kita. Sekarang gini, apa bedanya pribumi Sunda dan Jawa? Batasnya di mana? Siapa yang membatasi? Nah, politis itu. Kita semua pendatang kok. Bahkan Homo erectus saja ditemukan Eugène Dubois di Trinil, di mana dia sudah ada sebelum Homo sapiens , itu juga pendatang,” tandas Ryu.
- Jusuf Muda Dalam di Mata Hasjim Ning
SUKA bergaul dan gemar menolong plus menjadi sabahat Bung Karno membuat Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta yang menjadi pengusaha nasional berjuluk “Raja Mobil Indonesia, berada di dalam orbit elite. Posisi itu membuatnya dianggap serba-tahu oleh banyak orang. Padahal, posisi itu kerap membuatnya sial kendati dirinya hanyalah seorang partikelir alias di luar pemerintahan. Kesialan terutama menimpanya jika ada suatu gejolak politik. Periode peralihan rezim, 1965-1966, menjadi periode terberat yang dirasakannya. Hasjim bahkan ikut kena periksa Tim Pemeriksa Umum (Teperpu). “Empat puluh delapan kali aku diperiksa. 48 kali diperiksa oleh suatu tim dengan cara cross examination memang sangat melelahkan bahkan menjengkelkan walaupun pertanyaan dimajukan dengan sopan tapi korektif. Mungkin karena aku seorang pengusaha besar dan dekat dengan Istana, maka aku dipandang serba tahu ke mana saja uang negara digunakan dan dicolongi orang. Mereka seperti tidak percaya bahwa aku tidak tahu dan tidak ikut kebagian. Mereka seperti tidak tahu bahwa dalam masyarakat lingkungan Istana terdapat serigala dan ular yang saling mengincar mangsa untuk disergap ramai-ramai atau difitnah,” kata Hasjim dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Namun, Hasjim tak pernah mengeluhkan posisi yang dimilikinya. Justru dari posisinya itulah dia mengenal banyak orang. Dibandingkan kawan-kawannya yang memiliki jabatan, posisi Hasjim sebagai partikelir memungkinkannya lebih mengenal secara personal orang-orang di kalangan elit. Tak heran bila setiap penilaiannya terhadap seseorang acap berbeda dari pemberitaan umum. Salah satunya, terhadap sosok Menteri Urusan Bank Central/Gubernur Bank Indonesia Jusuf Muda Dalam. Isu korupsi, hidup mewah, dan tukang main perempuan menghancurkan nama Jusuf dan membawanya ke dalam akhir kehidupan yang tragis, mengubur jasa-jasanya yang telah dirintis sejak muda. Jusuf merupakan pejuang kemanusiaan sejak muda. Ketika kuliah di Ekonomische Hoge School di Rotterdam, Belanda, Jusuf aktif memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dengan bergabung dalam Perhimpunan Indonesia (PI). Ketika Perang Dunia II pecah, Jusuf ambil bagian dalam melawan pendudukan Jerman-Nazi dengan bergabung ke dalam gerakan bawah tanah. Jusuf memilih angkat senjata dengan menjadi penembak senapan mesin. Begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo, yang juga ikut gerakan bawah tanah, ingat betul keberanian Jusuf. Kepada Soe Hok Gie, yang kemudian menuliskannya dalam Orang-Orang Kiri di Persimpangan Kiri Jalan , Soemitro mengatakan Jusuf pernah sukses menghujani peluru konvoi pasukan Jerman. Semasa Perang Kemerdekaan, Jusuf aktif memberitakan revolusi Indonesia lewat tulisan-tulisannya di De Waarheid , harian milik Partai Komunis Belanda. Kiprah Jusuf dalam pemerintahan dimulai dengan menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat. Pada 1956, dia diajak Margono Djojohadikusumo menjalankan roda Bank Negara Indonesia (BNI). Kariernya melesat. Pada 1959, dia sudah menduduki jabatan presiden direktur. Kinerja apik itu menjadi alasan Presiden Sukarno menunjuknya menjadi Menteri Urusan Bank Central/Gubernur Bank Indonesia pada 1963. Lewat kampanye “Bank Berdjoang”, Jusuf sukses mengintegrasikan seluruh bank pemerintah ke dalam BNI. Namun, kehidupan pribadi Jusuf dan kedekatannya pada Presiden Sukarno membawanya menjadi pesakitan setelah G30S pecah. Begitu Supersemar didapat Jenderal Soeharto, masa kegelapan Jusuf pun dimulai. Berbekal surat perintah pengamanan itu, Jenderal Soeharto memasukkan nama Jusuf ke dalam daftar 15 menteri yang ditahan pada 18 Maret 1966. Jusuf disidangkan pada 30 Agustus 1966. Dengan dakwaan subversi, korupsi, tindak pidana khusus menguasai senjata api tanpa hak, dan perkawinan yang dilarang undang-undang, Jusuf divonis hukuman mati. Sebelum penahanan Jusuf pada 18 Maret itulah Hasjim bertemu Jusuf. Karena mengenal secara pribadi, Hasjim tak mau membeo pada pemberitaan media dalam berkawan dengan Jusuf. Selain memberitahu Jusuf bakal ditangkap dalam waktu dekat, Hasjim juga menawarkan bantuan dengan mengupayakan “pelarian” Jusuf ke luar negeri bila yang bersangkutan berkenan. Jusuf dengan tegas menolak tawaran Hasjim. “Dengan meninggalkan Bung Karno? Tidak. Aku sudah tahu bahwa aku akan ditangkap. Aku tahu alasan aku ditangkap. Tapi tak apalah. Setidaknya aku akan diketahui orang bahwa aku sama dengan Chaerul Saleh yang tidak mau meninggalkan pemimpinnya. Tidak sama dengan Adam Malik dan Frans Seda yang mau menyerahkan uang kantornya kepada tentara untuk menangkapi teman sendiri dan terakhirnya Bung Karno,” kata Jusuf dikutip Hasjim.
- Kisah Mistis Candi Borobudur
Pada masa Sunan Pakubuwono I bertakhta di Kartasura, muncul pemberontakan yang dipimpin Ki Mas Dana di daerah Enta-Enta. Sunan memerintahkan Bupati Mataram, Ki Jayawinata, untuk memadamkan pemberontakan itu. Namun, balatentaranya kewalahan dan mundur ke Kartasura. Jayawinata melaporkan peristiwa itu kepada sunan. Sunan kembali mengutus orang kepercayaannya. Kali ini Bupati Kartasura, Pangeran Pringgalaya, yang diperintahkan untuk mengurus pemberontakan itu. “Tangkap Ki Mas Dana hidup-hidup!” perintah Sunan. Pertempuran terjadi. Banyak korban bergelimpangan. Pemberontakan berhasil dipadamkan. Namun, Ki Mas Dana melarikan diri ke Bukit Borobudur. Pringgalaya mengejarnya hingga tertangkap dan dibawa ke hadapan sunan untuk menerima hukuman yang kejam. Kisah itu diceritakan dalam Babad Tanah Jawi yang ditulis pada abad ke-18. Di sana nama Borobudur disebut sebagai tempat pelarian. Filolog dan sejarawan seni asal Belanda, J.L.A Brandes, sebagaimana dikutip J.F. Scheltema dalam Monumental Java, me yakini Bukit Borobudur adalah Candi Borobudur yang ada di Magelang, Jawa Tengah. Karena tak ada lokasi lain yang punya nama semirip itu. Ini menjadi menarik karena kisah tentang Borobudur telah banyak berubah sejak masa keemasannya kala Dinasti Sailendra berkuasa. Awalnya, candi ini dibangun untuk beribadah umat Buddha. Bahkan sampai sekarang, 12 abad setelah masa pembangunan candi, Borobudur masih dianggap sebagai candi Buddha Mahayana terbesar di dunia. Ada beberapa asumsi mengenai nasib Candi Borobudur setelah pemerintahan Kerajaan Mataram Kuno (Medang) yang menaungi pembangunannya, tak lagi melanjutkan pusat kekuasaannya di wilayah yang kini disebut Jawa Tengah. Sejak abad ke-10, rajanya, Mpu Sindok, memindahkan kerajaannya ke wilayah Jawa Timur sekarang. Ada beberapa pendapat soal alasan kepindahannya. Arkeolog Soekmono dalam Chandi Borobudur menyebutkan bahwa sangat mungkin Candi Borobudur ditinggalkan ketika pusat pemerintahan itu berpindah. Walaupun itu tak pernah benar-benar hilang dari memori masyarakatnya. “Kalau memang begitu, Candi Borobudur sudah ditinggalkan oleh penganutnya beberapa abad sebelum candi-candi di Jawa Timur,” katanya. Kendati pusat pemerintahan Jawa Tengah meredup setelah tahun 928, Borobudur tak sepenuhnya terabaikan. Buktinya keramik dan koin Tiongkok dari abad ke-11 dan ke-15 ditemukan di sana. Pun KakawinNagarakrtagama atau Desawarnana dari masa Majapahit menyebut para peziarah masih terus mengunjungi monumen itu. Meski memang kondisi bangunannya sudah tak terjaga dengan baik. Dalam karya Mpu Prapanca itu disebutkan salah satu bangunan suci Buddha bernama Budur. Sementara dalam tulisan Thomas Stamford Raffels, History of Java, disebutkan Candi Borobudur terdapat di Distrik Budur. “Demikianlah kasugatan kabajradharan (bangunan suci Buddha Bajradhara) adalah sebagai berikut… yang lainnya yaitu Budur, Wirun, Wungkulur, dan Mananggung, Watukura, Bajrasana, dan Pajambayan, Samalanten, Simapura, Tambak Laleyan, Pilanggu, Poh Aji, Wangkali, dan Beru, Lembah, Dalinan, Pangadwan, adalah daerah perdikan pertama yang ditetapkan,” catat Mpu Prapanca. Dari situ, ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Titi Surti Nastiti, dalam “Reinterpretasi Nama Candi Borobudur” termuat di Jurnal Amerta Vol 30. No. I, Juni 2018 , menyimpulkan bahwa Budur pada masa Majapahit masih dipergunakan sebagai nama bangunan suci Buddha. Candi itu baru benar-benar ditinggalkan sejak penduduk sekitarnya beralih ke Islam pada abad ke-15. Seperti disebutkan Soekmono, perubahan kepercayaan tentu saja mengarah ke perubahan sikap masyarakat terhadap candi. Akibatnya, yang berkembang adalah takhayul di seputar reruntuhan candi yang tak jelas asal usulnya bagi penduduk. Alih-alih sebuah monumen Buddha, candi itu menjadi bukit yang strategis, tempat pemberontak melarikan diri, sebagaimana dikisahkan dalam Babad Tanah Jawi . Kronik Jawa lainnya bahkan menganggap Candi Borobudur sebagai tempat yang angker. Babad Mataram mengisahkan Pangeran Mancanagara, putra mahkota Kesultanan Yogyakarta, mengunjungi Borobudur untuk membuktikan bahwa orang yang mendatangi seribu arca akan mati. Ia lalu mendatangi kesatria yang terpenjara di dalam sangkar, yang ada di dalam bangunan itu. Kesatria yang terpenjara itu kemudian ditafsirkan sebagai arca Buddha di dalam stupa berterawang yang ada di Candi Borobudur. Singkat cerita, setelah tidak ada pertanda kepulangannya, raja pun memerintahkan pasukan untuk membawa pulang anaknya, hidup atau mati. “Pangeran itu ditemukan, tetapi ia muntah darah, lalu meninggal dunia,” kata Titi. Keberadaan Borobudur baru terungkap lagi setelah seorang Tionghoa, Tan Jin Sing melaporkan keberadaannya kepada Letnan Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffles pada 1812. Seperti dikisahkan T.S. Werdoyo, salah seorang keturunan Tan Jin Sing, dalam biografi Tan Jin Sing: Dari Kapiten Cina sampai Bupati Yogyakarta , Tan Jin Sing diminta Raffles untuk mendatangi candi yang katanya terletak di dekat Muntilan itu. Saat sampai, bangunan candi terlihat menyedihkan. Paimin, warga desa yang diajak Tan Jin Sing sebagai penunjuk jalan mesti membabat semak belukar di sekeliling candi dengan parang. Tubuh candi pun ditumbuhi tanaman. Bagian bawahnya terkubur dalam tanah, sehingga candi itu seolah-olah berada di atas bukit. Pada 1850-an, hanya empat dekade setelah Borobudur disibak dari semak belukar, orang Jawa sekali lagi melakukan ritual di tempat itu. Menurut John Miksic dalam Borobudur: Golden Tales of the Buddhas , mereka membakar dupa dan membawa persembahan bunga ke hadapan arca Buddha di teras atas dan ke depan arca Buddha yang belum selesai dibuat. Mereka memulas patung-patung itu dengan bubuk beras yang secara tradisional dipakai oleh para wanita muda untuk mendandani diri mereka. “Para pengunjung ini datang untuk meminta anugerah, untuk mendapatkan perlindungan dari penyakit, untuk meminta berkah setelah pernikahan dan kepentingan domestik lainnya,” jelas Miksic. Mitos tentang arca di dalam sangkar yang membawa sial, pada masa ini justru sebaliknya. Ada keyakinan kalau salah satu arca di stupa berlubang di teras atas justru membawa keberuntungan bagi siapapun yang bisa menyentuhnya. Masyarakat menyebutnya dengan nama Kakek Bima, tokoh dalam kisah Pandawa lima dalam epos Hindu, Mahabarata. “Wanita tanpa anak khususnya mengulurkan jari mereka ke arahnya, percaya bahwa dengan melakukan itu mereka telah memuaskan Kakek Bima,” jelas Miksic. Candi Borobudur akhirnya mulai serius diurus ketika pemerintah kolonial Belanda membentuk Borobudur Comissie. Anggotanya J.L.A Brandes, Van de Kamer (insinyur konstruksi dari Departemen Pekerjaan Umum), dan Theodore van Erp (insinyur perwira militer). Mereka bertugas menyelamatkan dan melestarikan Borobudur. Van Erp memimpin pemugaran Candi Borobudur pada 1907-1911. Pemugaran berikutnya dilakukan pemerintah Indonesia dengan bantuan UNESCO pada 1973-1983. Hasilnya, kini Candi Borobudur berdiri dengan megah, disaksikan masyarakat dari seluruh dunia. Keangkerannya pun berangsur menghilang.
- Pulau Buru dalam Kenangan Penjelajah Prancis
KEJADIAN pilu itu akan terkenang sepanjang hidupnya. Terombang-ambing di atas kapal tanpa sedikitpun makanan menjadi derita teramat pedih Louis de Bougainville. Penjelajah Prancis tersebut harus berjuang melawan rasa lapar dan ganasnya ombak samudera selama berbulan-bulan. Sejatinya mereka akan menuju Batavia, sebelum melanjutkan perjalanan ke India. Namun kondisi angin membuat para pelaut ini kehilangan arah hingga akhirnya tiba di sebuah pulau, yang kemudian mereka sebut Boero (Buru). Bagi mereka Buru adalah surga. Surga yang tergapai setelah terjerat jurang neraka. Sekira pukul 10 malam pada suatu hari di bulan September 1768, pijar api dari Pulau Buru telah menyelamatkan Bougainville dan anak buahnya. Para awak terus mengikuti keberadaan cahaya tersebut sampai nampak sebuah daratan. Namun Si Kapten tidak buru-buru menurunkan jangkarnya. Ia tidak ingin kedatangan mereka malah mengusik pemilik pulau tersebut. Dalam catatan perjalanannya, A Voyage Round the World: Performed by Order of His Most Christian Majesty in the Years 1766-1769, Bougainville menyebut kalau ia telah mengetahui jika Belanda berkuasa di sana. Tetapi karena kekurangan informasi tentang situasi politik di Eropa, maka ia harus berhati-hati dalam membuat keputusan. Meski begitu, keadaan di atas kapal memaksa Bougainville untuk segera mencari bantuan. Semua orang sudah benar-benar kelaparan. Ditambah setengah anak buahnya membutuhkan perawatan medis akibat penyakit kulit yang mereka derita. “Setengah awak kapal kami sudah tidak bisa menjalankan tugas. Seandainya kami memaksa untuk tetap melaut selama delapan hari lebih lama, kami akan kehilangan sebagian besar awak kapal dan kami semua akan sakit,” tulis Bougainville. Sejak tengah malam, kata Bougainville, tercium bau yang amat harum dari arah pulau. Ia yakin aroma yang sangat menenangkan itu berasal dari tanaman aromatis yang berlimpah di Maluku. Sensasi wangi yang lama tidak mereka rasakan itu telah meninggalkan bekas di indera penciuman Si Kapten dan awak kapalnya. “Saya membebaskan setiap orang berimajinasi betapa situasi ini membuat Pantai Boero jadi terlihat begitu indah di mata kami… Saya hanya bisa merasakannya tapi tak mampu menjelaskannya,” kata Bougainville sebagimana dikutip George Miller dalam Indonesia Timur Tempo Doeloe 1544-1992 . Di tengah lamunannya, Bougainville dikejutkan dengan kedatangan dua perwira Belanda dari arah pulau. Mereka bertanya tujuan rombongan tersebut. Ia lalu menjelaskan kejadian yang telah menimpa mereka. Dalam sebuah surat, Bougainville meminta pejabat setempat memperbolehkan kapalnya merapat. Meski tahu perbuatannya itu melanggar aturan perdagangan antara VOC dan negaranya, bahwa hanya kapal milik VOC yang boleh berlabuh di seluruh wilayah Maluku, ia tetap harus menyelamatkan nyawa awak kapalnya. Awalnya ia tidak mendapat persetujuan dari Gubernur Ambon sebagai penanggungjawab atas Pulau Buru. Namun kepala daerah Buru saat itu, Henry Ouman, memberi pengecualian. Ia meminta Bougainville membuat surat penjamin, yang akan digunakan sebagai tanda masuk mereka di Buru. Sejak itu segala urusan Bougainville dan awak kapalnya, dijamin langsung oleh Ouman. “Dengan mudahnya ia menawarkan segala yang ia punya seakan-akan ingin memberikan semua yang kami butuhkan. Kendati kedatangan kami telah membawa aib baginya, ia tetap menyambut kami dengan sangat baik,” ucap Bougainville. Keramahan Ouman dan penduduk Buru membuat para pelaut Prancis ini terharu. Bahkan di dalam sebuah jamuan makan, para penduduk Buru hanya melihat Bougainville dan kawan-kawannya melahap habis makanan di hadapannya, yang bahkan terkesan rakus. Pemandangan itu pun semakin meyakinkan Ouman bahwa kondisi orang-orang Prancis ini sudah begitu gawat. “Seseorang agaknya harus menjadi pelaut dulu dan mengalami kondisi ekstrim seperti yang kami alami untuk memahami sensasi yang dirasakan orang-orang dalam kondisi seperti kami saat melihat makanan hijau dan segar melimpah di depan mata,” kata Bougainville. “Makan malam itu merupakan momen terindah dalam hidup saya.” Hari ke-3 di pulau Buru, Bougainville membawa turun awak kapalnya yang sakit agar bisa diberi perawatan. Ia pun telah mendapat izin untuk bekeliling pulau. Dan kesempatan itu dimanfaatkan anak buahnya untuk menghibur diri, melepaskan seluruh penderitaan yang beberapa saat lalu menghantui mereka. Bougainville memanfaatkan waktunya berbincang dengan Ouman. Sambil sesekali berburu rusa di hutan bersama sang tuan rumah. Baginya saat-saat itu sungguh menyenangkan. Seakan ia tidak ingin meninggalkan pulau yang indah tersebut. Namun Si Kapten sadar bahwa semakin lama ia tinggal di sana, maka posisi Ouman akan semakin sulit. Bougainville memutuskan untuk tinggal paling lama seminggu, sampai keperluannya menuju Batavia sudah terpenuhi semua. Dalam suatu kesempatan, Bougainville membuat kesepakatan dengan para pedagang Buru. Ia membeli sejumlah kebutuhan, seperti lembu, domba, unggas, beberapa karung beras, sedikit kacang-kacangan, telur, beberapa jenis buah, serta minuman. Hari ke-6 semua barang keperluan diangkut ke atas kapal. Bougainville dan rekan-rekannya mengadakan pesta untuk terakhir kalinya di pulau yang telah menyelamatkan hidup mereka tersebut. Hari ke-7, pagi-pagi sekali, para pelaut Prancis ini sudah siap berlayar. “Bahan pangan segar dan udara Boero yang menyegarkan telah banyak membantu awak kami yang sakit. Tinggal di daratan walaupun selama enam hari saja membuat kondisi mereka bisa cepat pulih atau setidaknya mencegah agar kesehatan mereka tidak memburuk,” ucap Bougainville.





















