Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Mengorupsi Kitab Suci
Ilustrasi: Micha Rainer Pali KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menyelidiki dugaan korupsi pengadaan Alquran di Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama. Diakui Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar, Direktorat Bimbingan Masyarakat Islam yang dulu dipimpinnya juga melakukan pengadaan Alquran, tapi dia tidak mengurusinya. Pengadaan Alquran tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan dua juta mushaf setiap tahun untuk dibagikan ke Kantor Urusan Agama di seluruh Indonesia. “Nilai pengadaan saat itu ditaksir Rp5,6 miliar yang dikucurkan Inspektorat Jenderal Kementerian Agama,” kata Nasaruddin Umar, seperti dikutip republika.co.id (21/6). Pengadaan Alquran dalam jumlah besar kali pertama pada masa pendudukan Jepang. Pada 11 Juni 1945, pemuka-pemuka Shumubu (Kantor Urusan Agama) dan Masyumi, menghadiri percetakan 100 ribu Alquran di Cirebon. Pada 1960-an Departemen Agama mendapatkan alokasi dana pampasan perang dari Jepang untuk pengadaan Alquran, yang menimbulkan kontroversi. Karena Menteri Agama KH Muhammad Wahib Wahab menunjuk Jepang sebagai tempat pelaksanaan proyek itu. Alquran yang dicetak sebanyak 5 juta eksemplar –6 juta eksemplar menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Agama Departemen Agama– dengan biaya US$1.800. Baca juga: Alquran Cetakan Jepang Menurut Moch Nur Ichwan, “Negara, Kitab Suci, dan Politik,” dimuat dalam Sadur karya Henri Chambert-Loir, Alquran dan Terjemahnya adalah satu-satunya Alquran resmi yang diterbitkan pemerintah –meskipun kemudian swasta diberi hak menerbitkannya. Alquran dan Terjemahnya dikerjakan oleh Lembaga Penyelenggara Penterjemah Kitab Suci Alquran dibentuk Departemen Agama pada 1962, kemudian berubah jadi yayasan pada 1967. Alquran dan Terjemahnya, tulis Ichwan, terdiri dari tiga edisi. Edisi pertama (edisi asli), terbit dalam tiga volume pada 1965, 1967, dan 1969; disebut Edisi Yamunu karena diterbitkan oleh Yamunu (Yayasan Mu’awanah Nahdlatul Ulama). Edisi kedua (edisi revisi pertama), terbit pada 1974; disebut Edisi Mukti Ali –merujuk nama Menteri Agama saat itu. Edisi ketiga (edisi revisi kedua) terbit pada 1990; disebut Edisi Saudi, karena diterbitkan atas kerjasama Departemen Agama dan Pemerintah Arab Saudi dan dicetak oleh percetakan resmi pemerintah Arab Saudi di Madinah. Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk, kebutuhan Alquran terus meningkat dari tahun ke tahun. “Pemerintah memfasilitasi kebutuhan umat tersebut melalui proyek pengadaan kitab suci Alquran hampir setiap tahun,” kata mantan Menteri Agama Muhammad M. Basyuni, saat meresmikan gedung Lembaga Percetakan Alquran di Ciawi, Bogor, 15 November 2008. Percetakan ini kapasitas 1,5 juta eksemplar per tahun. Menurut Lex Rieffel dan Karaniya Dharmasaputra dalam Di Balik Korupsi Yayasan Pemerintah , dalam laporan keuangan Yayasan Pembangunan Islam (YPI) tentang Proyek Pembangunan Percetakan Alquran per 31 Desember 2007 tertera sumbangan dari Departemen Agama sebesar Rp28 milyar sebagai pendapatan YPI. “Patut dicatat, pendapatan YPI lainnya hanya berasal dari jasa giro senilai Rp825 juta lebih,” tulis Lex dan Karaniya. YPI adalah yayasan di lingkungan Departemen Agama yang didirikan pada 27 Mei 1966. Tujuannya membantu pembangunan masjid, surau, madrasah, atau tempat ibadah lainnya, termasuk bergerak di bidang percetakan dan penerbitan buku, kitab, majalah keagamaan dan menyalurkan bantuan kepada misi-misi Islam. Kita masih harus menunggu perkembangan penyidikan dugaan korupsi pengadaan Alquran. Tapi, yang jelas korupsi di Kementerian Agama bukan hal baru. Menteri Agama Said Agil Husen Al-Munawar, divonis lima tahun penjara karena kasus korupsi Dana Abadi Umat, juga bukan yang pertama. Pada masa “negara dalam keadaan bahaya” (SOB) tahun 1957, mantan Menteri Agama dan anggota DPR KH Masykur ditahan di Hotel Talagasari Bandung, atas perintah KSAD sekaligus Penguasa Perang Pusat (Peperpu) Jenderal AH Nasution. Di Hotel Talagasari, terdapat lima mantan menteri, anggota konstituante, anggota parlemen, kepala jawatan, komisaris polisi, jaksa, pengusaha, dan lain-lain. Ditaksir, jumlah orang yang diperiksa berjumlah 60 orang. (Baca: Hotel “Prodeo” Talagasari di Majalah Historia nomor 2 ). Dalam memoarnya, Dari Gontor ke Pulau Buru , H. Achmadi Moestahal menyebut penangkapan para pemimpin partai politik terutama para anggota DPR sebagai bentuk “pembalasan” terhadap ulah mereka ketika terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. “Tuduhan yang dilontarkan kepada KH Masykur,” kata Achmadi, “adalah penyalahgunaan dana nonbudgeter Kas Masjid, yaitu pengepoolan hasil retribusi biaya nikah, talak dan rujuk oleh para pegawai pencatat nikah (Depag) dan ketidakberesan pengelolaan keuangan dari penyaluran tekstil kain kafan yang merupakan bagian dari rampasan perang dari Jepang ke Indonesia.” “Setelah pemeriksaan permulaan dianggap selesai, beberapa tahanan dilepaskan yaitu KH Masykur, AK Gani, KH Ahmad Dahlan, Zainul Arifin, dan seorang komisaris polisi,” kata Jusuf Wibisono, yang juga ditahan di Hotel Talagasari, dalam biografinya, Karang di Tengah Gelombang karya Soebaginjo IN. Mantan Menteri Agama lain yang didakwa korupsi adalah KH Muhammad Wahib Wahab. Pada 30 Oktober 1962, jaksa menuntut Wahib sepuluh tahun penjara dan membayar denda Rp15 juta. Menurut jaksa, tulis Rosihan Anwar dalam Sukarno, Tentara, PKI , terdakwa terbukti melakukan transaksi gelap Rp2,9 juta dan ditukar dengan dolar Malaya 11.600 dengan kurs gelap 1.250. Di Singapura terdakwa juga mempunyai: 3 buah mobil sedan Prince, 1 sedan Pontiac, 1 sedan Mercedez Benz, dan sebuah skuter; 1 buah sedan Mazda dihadiahkan kepada kenalannya Miss Melly Kho. Ada rumah sewa sebagai tempat penginapan jika terdakwa bepergian ke Singapura. Selain itu, terdakwa juga akan membangun dua buah bangunan di Opera Estate Singapura untuk cabang perusahaan batik Ponorogo dengan biaya 39.000 dolar Malaya. Wahib menyanggah tuduhan itu. Dia menyatakan, ketika mengurus semua hal terkait pembukaan cabang perusahaan, kedudukannya bukan sebagai Menteri, melainkan dalam cuti 40 hari di Singapura. Menurut Abdul Azis, penulis profil Wahib Wahab dalam Menteri-Menteri Agama RI, H. Machdan menceritakan bahwa kekayaan Wahib di Singapura bukan miliknya, tapi punya seorang Tionghoa bernama Maliko, anak advokat di Mojokerto, yang telah lama tinggal di Singapura dan memiliki perusahaan biro perjalanan. “Maliko kenal baik dengan KH Wahib sejak kecil dan Maliko inilah yang memberi uang Wahib untuk modal berdagang,” kata Machdan. Hakim menjatuhkan vonis enam tahun penjara kepada Wahib. “Terdakwa menerima keputusan hakim dan akan memajukan grasi kepada Presiden,” tulis Rosihan. Presiden Sukarno memberikan grasi. Wahib hanya menjalani tahanan kurang dari sebulan di Salemba. H. Shobih Ubaid, kerabat dekat Wahib yang menangani pembayaran denda sampai lunas, menduga kebencian Wahib terhadap manuver Partai Komunis Indonesia (PKI) mengakibatkan Sukarno merasa risih dan tidak suka. “Sehingga, orang-orang PKI berusaha mencari celah untuk menjatuhkan KH Wahib karena khawatir posisinya sebagai Menteri Agama akan mudah menggalang opini publik yang dapat mengancam kelangsungan hidup PKI,” kata Shobih. “Oleh karena itu, kasus di atas diyakini Shobih sebagai hasil rekayasa PKI disertai dukungan politis secara tidak langsung dari Presiden,” tulis Abdul Azis. Selanjutnya, laporan utama pemberantasan korupsi di era rezim Sukarno dimuat Majalah Historia nomor 2 .
- Kiai Kasan Besari, Guru Bagi Para Ulama dan Bangsawan
BERKAT peran seorang santri bernama Kasan Besari, Pesantren Tegalsari, Ponorogo kemudian dikenal sebagai salah satu pemasok pemikir dan pemimpin negeri ini. Menurut Abdurrahman Wahid, sebagaimana dikutip Abdul Munir Mulkhan dalam Reinventing Indonesia, ada dua muara kepemimpinan nasional: kalau bukan dari raja-raja Jawa, ya dari Kiai Kasan Besari. Pesantren Tegalsari sendiri dibangun kakeknya, Mohamad Besari. Menurut penelusuran Claude Guillot dalam “Le rôle historique des perdikan ou villages francs: le cas de Tegalsari , ” Archipel, Vol. 30, 1985, Mohamad Besari adalah santri sekaligus menantu Kiai Danapura di Setana, Ponorogo. Setelah Kiai Danapura wafat, perjuangan dakwah Islam diteruskan Mohammad Besari dengan membuka daerah yang kemudian dinamai Tegalsari. Mohamad Besari memberikan pengajian untuk santri dan keturunannya di rumahnya. Tapi, pengaruhnya masih terbatas di desa-desa sekitar. Baru pada masa Kiai Kasan Besari, Pesanten Tegalsari semakin luas pengaruhnya. Dia tenar sebagai ulama yang cerdas. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah di Jawa. “Di sinilah anak-anak dari pesisir utara Jawa pergi untuk melanjutkan pelajarannya,” tulis Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning dan Pesantren dan Tarikat . Survei Belanda tentang pendidikan yang diadakan pada 1819 menyimpulkan bahwa Tegalsari merupakan salah satu tempat penting penyebaran Islam. Selain mumpuni dalam pengetahuan agama, Kiai Kasan Besari juga memiliki kemampuan politik. Ia pernah menghelat acara maulid Nabi Muhammad di Masjid Agung, Surakarta, pusat Kerajaan Mataram. Kiai Kasan Besari dan lima ratus santrinya melantunkan pujian kepada Nabi Muhammad dalam Barzanji . Kiai Kasan Besari kemudian diambil mantu oleh Pakubuwana III, dinikahkan denga putrinya yang bernama Murtosiyah. Sejak saat itu Kiai Kasan Besari jadi bagian keluarga kerajaan dan, karena itu, mendapat julukan Kanjeng Kiai Kasan Besari. Pamornya meningkat pesat. Pesantrennya dijadikan tempat penggemblengan para pangeran dan keluarga raja. “Tidaklah aneh jika Pesantren Tegalsari menjadi tempat penting bagi pengajaran Islam untuk elite politik dan keluarga di Kerajaan Mataram,” tulis Jajat Burhanudin dalam Ulama dan Kekuasaan . Bahkan, pujangga Surakarta Yasadipura mengirimkan Bagus Burhan untuk mengaji kepada Kiai Kasan Besari. Selesai mengaji di Tegalsari, Bagus kembali ke Mataram dan menulis banyak karya sastra, seperti Serat Kalathida . Di kemudian hari dia dikenal sebagai Ranggawarsita, pujangga penghabisan Jawa.*
- Jalan Kartini Temukan Islam
SURAT bertarikh 6 Nopember 1899 dalam Habis Gelap Terbitlah Terang itu menandaskan betapa Kartini tak sreg benar dengan agamanya. Katanya, “Sebenarnya agamaku agama Islam, hanya karena nenek moyangku beragama Islam. Manakah boleh aku cinta akan agamaku, kalau aku tiada kenal, tiada boleh mengenalnya? Quran terlalu suci, tiada boleh diterjemahkan ke dalam bahasa mana juapun. Di sini tiada orang yang tahu bahasa Arab. Orang diajar di sini membaca Quran, tetapi yang dibacanya itu tiada ia mengerti. Pikiranku, pekerjaan gilakah pekerjaan semacam itu, orang diajar di sini membaca, tetap tidak diajarkan makna yang dibacanya itu.” Ia, dengan jujur, juga menyatakan malas membaca Al-Quran. Dilahirkan dalam keluarga priyai, sebenarnya Kartini tak mendapatkan pengetahuan agama yang memadai. Namun, dasar orang haus pengetahuan, ia senantiasa ngangsu kaweruh , belajar. Sekitar tiga tahun kemudian setelah suratnya kepada Stella Zeehandelaar, pegiat feminis Belanda, di atas pandangannya terhadap Islam berubah. Selama ini, akunya, ternyata ia bebal dan angkuh. Namun, ia bersyukur bahwa dalam perjalanan hidupnya ia bisa menemukan Tuhan. “Betapa aman sentosanya di dalam diri kami sekarang ini, betapa terima kasihnya dan bahagianya, karena sekarang ini telah mendapat Dia; karena kini ini kami tahu, kami rasa, bahwa senantiasa ada Tuhan dekat kami, dan menjagai kami,” tulisnya pada 15 Agustus 1902. Perubahan itu terjadi berkat pertemuannya dengan Kyai Saleh Darat. Tak ada yang bisa memastikan waktu mereka bertemu. Namun, menurut penelusuran Saiful Umam, dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta, dalam “God’s Mercy is Not Limited to Arabic Speakers” dimuat Studia Islamika vol. 20, 2, 2013, pertemuan itu terjadi di rumah Bupati Demak, Pangeran Ario Hadiningrat. Yang disebut terakhir ini adalah paman Kartini. Kartini kerap beranjangsana ke rumah pamannya itu. Mereka bertemu saat Kyai Saleh Darat memberikan pengajian di Pendopo Sang Bupati. Dalam menyatakan bahwa bisa jadi Kartini mengikuti pengajian Kyai Saleh Darat sesering ia mengunjungi pamannya itu. Pertemuan-pertemuan inilah yang menjadi titik balik pandangan Kartini tentang Islam. Kyai Saleh Darat bernama lengkap Muhammad Salih ibn Umar Al-Samarani. Disebut Saleh Darat karena mengelola pesantren di daerah Darat, Semarang; sekarang masuk Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara, Jawa Tengah. Saat remaja, Saleh rajin mengaji kepada ulama-ulama di Jawa, kemudian belajar ke Mekkah. Setelah menimba ilmu bertahun-tahun di tanah suci, ia kembali ke Jawa dan mensyiarkan Islam ke banyak daerah. Banyak ulama besar yang pernah nyantrik kepadanya, antara lain K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyah) dan K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama). Kyai Saleh Darat pendakwah intelektual yang menulis hampir semua kitabnya dalam Arab berbahasa Jawa atau biasa disebut pegon . Kitab-kitabnya terdiri dari fiqih, akidah, tafsir, sampai tasawuf. Ialah mufasir (ahli tafsir Alquran) pertama yang menulis dalam bahasa Jawa. Kitab anggitannya, Faidhul Rahman , adalah kitab tafsir Al-Quran pertama yang ditulis dengan bahasa pegon. Ingin menjangkau pembaca lebih luas, ia tak menulis dalam bahasa Jawa kromo yang biasanya digunakan untuk buku-buku puisi bahasa Jawa dan digunakan untuk komunikasi antarpetinggi. Ia menulisnya dalam bahasa Jawa ngoko atau bahasa Jawa untuk kelas rakyat biasa. Contohnya, dalam pendahuluan Kitab Al-Hikam , ia menyatakan bahwa ia meringkas dan menerjemahkan ke bahasa Jawa Matn Al-Hikam karya Syaikh Ahmad ibn Athaillah itu agar lebih mudah dicernah orang awam dan mereka yang sedang mencari ilmu. Dalam Ulama dan Kekuasaan , Jajat Burhanudin, dosen UIN Jakarta, menyatakan bahwa Kyai Saleh Darat diakui sebagai ulama terkemuka yang dihormati para ulama pesantren Jawa. Dalam salah satu pertemuan dengan Kartini, Kyai Saleh Darat memberikan semua kitab-kitabnya yang berbahasa Jawa. Kata Kartini, “Seorang tua di sini karena girangnya, menyerahkan kepada kami semua kitab-kitabnya naskah bahasa Jawa, banyak pula yang ditulis dengan huruf Arab. Kami pelajarilah kembali membaca dan menulisnya.” Berkat pertemuan dengan Kyai Saleh Darat inilah Kartini semakin kukuh dengan agamanya. Kita bisa simak, misalnya, pada surat bertanggal 21 Juli 1902 kepada Nyonya Abendanon Kartini menulis: “Yakinlah nyonya, kami akan tetap memeluk agama kami yang sekarang ini. Serta dengan nyonya kami berharap dengan senangnya, moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama kami patut disukai.”
- Ketika Siaran Azan Diprotes
NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij) stasiun radio Hindia Belanda. DESEMBER 1936, sepucuk surat tiba di kantor radio NIROM (Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschappij) , stasiun radio Hindia Belanda. Seorang pendengar protes atas siaran azan yang tak tepat pada waktunya. Tak lama berselang, surat-surat pendengar lain mulai berdatangan, memprotes hal yang sama. NIROM didirikan di Amsterdam pada 1928, direncanakan jadi stasiun radio yang menangani siaran ke seluruh Jawa, dan dalam tiga tahun ke seluruh Hindia Belanda. Namun, karena beberapa kendala teknis, baru pada 1 April 1934 NIROM resmi mengudara. NIROM sebenarnya stasiun radio swasta yang diberikan lisensi oleh pemerintah Hindia Belanda untuk mengimbangi stasiun-stasiun radio yang didirikan bumiputera. NIROM memiliki lima studio cabang lengkap dengan stasiun transmisinya: Batavia, Bandung, Medan, Semarang, dan Surabaya. Awalnya, dengan alasan eksklusitivitas, NIROM hanya menyiarkan siaran-siaran berbahasa Belanda. Namun pada 1935, diperluas dengan program-program “ketimuran” yang ditujukan untuk pendengar berbahasa Melayu. “Walaupun dikontrol pemerintah Hindia Belanda dan didesain untuk melayani orang-orang Eropa di Hindia Belanda, NIROM juga bermaksud merangkul pendengar non-Eropa, dari bumiputera hingga Tionghoa Peranakan dengan program-program ketimurannya,” tulis Peter Keppy, “Keroncong, Concours and Cooners; Home-grown Entertainment in Early Twentieth-century Batavia” dalam Linking Destinies: Trade, Towns, and Kin in Asian History yang disunting Peter Boomgaard, Dick Kooiman, dan Henk Schulte Nordholt . Untuk menarik simpati bumiputera, mulai April 1936 NIROM menyiarkan kumandang azan setiap waktu salat magrib tiba. Awalnya, azan hanya terdengar di wilayah Jawa Timur, yang masuk dalam jangkauan stasiun radio NIROM Surabaya. Pada akhir 1936, setelah dilakukan beberapa perbaikan teknis, NIROM Surabaya meluaskan jangkauan siarannya hingga Jawa Tengah. Sementara itu, NIROM Bandung juga mulai menyiarkan kumandang azan magrib. Di sinilah awal mula berbagai keluhan dan protes muncul. Karena mendengar kumandang azan yang berbeda waktunya dengan masjid setempat, para pendengar di Jawa Tengah mengirim surat keluhan ke NIROM. Menurut Philip Bradford Yampolsky dalam “Music and Media in the Dutch East Indies: Gramophone Records and Radio in the Late Colonial Era, 1903-1942” , disertasi untuk meraih gelar doktor di Universitas Washington, para pendengar mulai menulis surat keluhan atas kumandang azan magrib yang disiarkan pada waktu yang salah. Hal ini terjadi akibat masuknya waktu salat magrib di Jawa Tengah terjadi setelah waktu salat magrib di Jawa Timur, dan lebih cepat daripada di Bandung. Karena mustahil bagi NIROM untuk menyiarkan azan tepat waktu di semua wilayah, akhirnya pada Mei 1937 mereka memutuskan hanya mengumandangkan azan seminggu sekali. Azan disiarkan Kamis sore, sebagai pengingat kaum bumiputera untuk melakukan salat Jumat keesokan harinya. Di tengah berbagai protes dan keluhan yang dilayangkan pendengar, NIROM berkilah. Mereka memberikan alasan atas perubahan itu. “Siaran azan hanya digunakan sebagai bentuk simbolik, untuk mengingatkan masyarakat atas kewajiban agamanya,” tulis Philip. Dua tahun berselang, pada 1938, surat-surat keluhan tetap berdatangan ke kantor NIROM. Mereka menuntut NIROM menghentikan siaran azannya. “Beberapa surat itu menyatakan, apabila kamu (NIROM) tidak bisa menyiarkan azan tepat waktu, kalau begitu jangan siarkan saja sama sekali,” tulis Philip.
- Haji "Mahiwal" Hasan Mustapa
Haji Hasan Mustapa. HAJI Hasan Mustapa kerap disebut sebagai haji mahiwal atau kontroversial. Dia dianggap sebagai penganut ajaran wahdatul wujud lantaran karya-karyanya yang terkenal berkaitan dengan hubungan menyatunya manusia ( kawula ) dengan Tuhan ( Gusti ) . Sebagai ulama, dia menggunakan dangding atau guguritan untuk mengekspresikan pemikiran dan renungan tentang ajaran Islam, tasawuf, kebudayaan Sunda, dan kejadian yang dialami sehari-hari. Hasan Mustapa lahir pada 3 Juni 1852 di Cikajang, Garut, Jawa Barat. Ketika berusia sembilan tahun dia bersama ayahnya, Mas Sastramanggala, pergi ke Tanah Suci menunaikan ibadah haji. Hingga dewasa dia menghabiskan hari-harinya di pesantren di Tatar Sunda, Jawa, ataupun Madura. Hasan Mustapa kembali lagi ke Tanah Suci dan sekira delapan tahun belajar dan mengajar di sana. Ketika terjadi perselisihan paham antarulama di Garut, Hasan Mustapa dipanggil pulang untuk menyelesaikan persoalan. Pada 1882 Hasan Mustapa mulai memberikan pengajaran agama di mesjid agung Garut. Tujuh tahun setelahnya, dia berkeliling Jawa dan Madura membantu pekerjaan Snouck Hurgronje yang dia kenal semasa di Arab Saudi. Atas usul Hurgronje, Hasan Mustapa diangkat menjadi hoofd penghoeloe (kepala penghulu) Aceh, dan dua tahun kemudian pindah menjadi hoofd penghoeloe di Bandung sampai pensiun dari jabatannya pada 1910-an. Baca juga: Para Pembantu Snouck Hurgronje Hasan Mustapa yang meninggal pada 13 Januari 1930, tidak hanya dikenal sebagai ulama, tapi juga sebagai sastrawan yang termasyhur dengan dangding- nya. Dangding atau guguritan adalah jenis puisi klasik yang dikenal dalam kesustraan Sunda sebagai tulisan berpola dan melodis. Penggunaan istilah dangding pun dipilih karena pengucapannya yang terdengar melodis. Karya sastra ini biasanya juga disebut sebagai nyanyian puitis. Tak sekadar tulisan, naskah dangding pun ditembangkan. Susastra Sunda mengenal pupuh , yakni irama lelaguan yang memiliki ciri khas masing-masing jenisnya dan memiliki aturan. Lirik lelaguan inilah yang dikenal sebagai dangding. Ia terikat aturan baku. Guru wilangan adalah aturan jumlah suku kata setiap larik dan jumlah larik dalam setiap bait. Sedangkan guru lagu adalah aturan bunyi rima akhir yang harus sesuai dengan jenis pupuh -nya. Nyanyian puitis atau dangding ini terbagi ke dalam 17 jenis pupuh , yaitu asmarandana, balakbak, dangdanggula, durma, gambuh, gurisa, jurudemung, kinanti, ladrang, lambang, magatru, maskumambang, mijil, pangkur, pucung, sinom dan wirangrong. Setiap pupuh memiliki aturan dan karakteristik suasana masing-masing. Melalui dangding inilah Hasan Mustapa menyampaikan pemikirannya. Dia menulis dangding dengan menggunakan huruf pegon, yakni huruf Arab dengan bahasa Sunda atau Jawa. Pujangga sekelas Hasan Mustapa, yang mungkin sudah tidak memiliki kesulitan lagi dalam hal pembuatan puisi dengan keterikatan aturan, dalam tempo dua hingga tiga tahun mampu menghasilkan dangding lebih dari 10 ribu bait. Mistisime Islam kental terasa dalam dangding atau guguritan karyanya yang banyak memperlihatkan renungannya tentang tasawuf atau ketuhanan. Karena pandangannya tentang hubungan masnusia dengan Tuhan yang dia ibaratkan seperti rebung dengan bambu, dia dinilai sebagai Haji “mahiwal” atau kontroversial penganut wahdatul wujud . Baca juga: Tuan Holla dari Belanda Sahabat Orang Sunda "Setiap kali membaca dangding-dangding Haji Hasan Mustapa, saya merasa seperti mendekati arus sungai besar. Betapapun dalam diri saya ada dorongan untuk menyentuh arus yang deras itu, tapi pada saat yang sama saya merasa takut hanyut karena saya merasa belum mampu atau sanggup mengarunginya," kata Hawe Setiawan dalam kuliah umum “Islam dan Mistisisme Nusantara: Dangding Mistis Haji Hasan Mustapa,” di Salihara, Jakarta, 4 Agustus 2012. Dangding karya Haji Hasan Mustapa, diantaranya Puyuh Ngungkung dina Kurung, Hariring nu Hudang Gering, Dumuk Suluk Tilas Tepus, Sinom Pamaké Nonoman, Amis Tiis Pentil Majapait, Kinanti Kulu-kulu, Sinom Barangtaning Rasa, Sinom Wawarian, Asmarandana nu Kami, dan Dangdanggula Sirna Rasa . Karya-karyanya terkenal sampai sekarang. Pada 1994 mereka pernah melakukan perunjukan bertajuk Nembangkeun Karya Akbar Haji Hasan Mustapa atau "Melantunkan Karya Akbar Hasan Mustapa", yakni acara yang menyajikan pertunjukan tembang-tembang Sunda dengan lirik dangding dari Hasan Mustapa. Atas karya-karyanya, pada 1977 Haji Hasan Mustapa menerima Anugerah Seni dari Presiden Republik Indonesia sebagai Sastrawan Daerah Sunda.
- Zaman Orba, Calonkan Diri Jadi Presiden Langsung Ditangkap Polisi
INI bukan dongeng ajaib yang mungkin terdengar aneh di zaman demokrasi seperti sekarang, di mana setiap orang bebas mencalonkan dirinya jadi presiden. Urusan terpilih atau tidak, itu belakangan. Namun di zaman Orde Baru, bercita-cita jadi presiden bisa jadi perkara serius.
- Saat Soeharto Bicara Sejarah
KECUALI menyampaikan nilai-nilai falsafah Jawa yang dianutnya dan menjabarkan persoalan teknis dalam beberapa urusan, Soeharto jarang terdengar melontarkan gagasan yang berpijak pada konsep-konsep ilmu pengetahuan. Namun, sebuah video yang dimuat di laman Youtube berjudul “Pekan Tabungan Nasional” menunjukkan Soeharto yang menafsir dan membagi babak sejarah Indonesia berdasarkan sudut pandangnya sendiri.
- Ritual Pengorbanan Anak
SEKELOMPOK ilmuwan yang dipimpin Haagen Klaus, antropolog Utah Valley University, menemukan kerangka puluhan anak yang menjadi korban dalam upacara ritual suku Muchik di utara Peru. Menurut Klaus, ini adalah bukti pertama tentang ritual sejenis yang melibatkan proses mutilasi anak di wilayah pegunungan Andes, Amerika Selatan.

















