Hasil pencarian
9572 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Senandung Lenso ala Bung Karno
BERSAMA Orkes Irama, kelompok musik yang dipimpin Jack Lesmana, Sukarno mengarang sebuah lagu. Kemudian Jack menggubah musiknya. Lahirlah lagu: Bersuka Ria . Iramanya lenso, sebagai pengiring tarian kegemaran Bung Karno yang juga bernama sama dengan irama lagunya: lenso. Konon, itulah satu-satunya lagu karya pemimpin besar revolusi Indonesia. Lagu tersebut kemudian dipopulerkan oleh Suara Bersama,kelompok musik yang digawangi Jack Lesmana dan bersama Bing Slamet. Jack Lesmana adalah ayah sineas Mira Lesmana dan musisi Indra Lesmana. Bersuka Ria dirilis bersama lagu Euis (Bing Slamet dan Rita Zahara), Bengawan Solo (Bing Slamet dan Titiek Puspa), Malam Bainai (Rita Zahara dan Nien Lesmana), Gendjer Gendjer (Bing Slamet), Soleram (Suara Bersama), Burung Kakatua (Suara Bersama), Gelang Sipaku Gelang (Suara Bersama) di album bertajuk “Mari Bersuka Ria Dengan Irama Lenso”. Album ini diproduksi dan diedarkan pada 1965 oleh The Indonesian Music Company Irama LTD, perusahaan rekaman milik pengusaha Soejoso alias Mas Yos, kakak kandung Nien –istri Jack Lesmana. Di sampul belakang piringan hitam album itu terdapat tulisan berwarna merah: Dipersembahkan oleh para seniman Indonesia dan karyawan IRAMA bertalian dengan DASA-WARSA KONFERENSI AFRIKA-ASIA . Pada bagian atas tulisan tersebut tertera kalimat persetujuan dan tanda tangan Sukarno yang berbunyi: “Saja restui. Setudju diedarkan, Soekarno 14/4 ’65”. Seluruh lagu di album itu sangat populer pada masanya. Bahkan beberapa di antaranya masih melekat dalam ingatan banyak orang hingga hari ini. Saking populernya, berdasarkan data tertulis koleksi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), dua kali lagu Bersuka Ria bergumuruh dinyanyikan di Istora Senayan –kini Gelora Bung Karno, Jakarta. Pertama , pada Kongres Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) di Istora Senayan, 29 September 1965. Kedua , pada saat Musyawarah Nasional Teknik (Munastek), juga di Istora Senayan, 30 September 1965. Di kedua perhelatan tersebut, Sukarno memulai pidatonya dengan menyanyikan Bersuka Ria, yang digubah sesuai tema musyawarah tersebut. Seluruh hadirin turut serta menyanyi bersama. Siapa bilang saya tidak suka opor bebek/kan bebek sama saja dengan itik/Siapa bilang saya tidak senang kepada Munastek/karena saya seorang orang teknik. Siapa bilang sukarelawati ini tidak berani bertempur/meskipun dia memakai kain batik/Siapa bilang masyarakat kita tidak akan jadi adil dan makmur/Revolusi kita kan didukung oleh kaum teknik. Menurut Solichin Salam dalam Bung Karno Putra Fajar, lagu ciptaan Bung Karno itu kata-katanya sederhana, gampang dipahami dan mudah dimengerti. Dengan menyanyikan lagu itu, tidak saja rakyat dididik untuk memiliki kesadaran politik, akan tetapi juga rakyat dididik untuk menjadi bangsa yang periang, gembira dalam hidup, tidak kecut menghadapi hidup. Coba saja dengarkan lagunya berikut ini:
- Kisah Cinta Margonda
Setelah Margonda gugur, Maemunah membesarkan buah hatinya yang bernama Jopiatini. Nama Jop diambil dari JOP (Jajasan Obor Pasoendan), salah satu anak organisasi Pagoejoeban Pasoendan yang berdiri pada 1914, di mana Margonda dan Maemunah kali pertama bertemu. “Kata ibu, nama Jopiatini diambil dari nama organisasi JOP, tempat ayah dan ibu pacaran dulu,” ujar Jopiatini kepada Historia . “Ibu sering bercerita kalau ayah saya itu orangnya periang dan pemberani. Karena itulah ibu jatuh cinta.” Pada masa Hindia Belanda, Maemunah pernah belajar di Sekolah Kepandaian Putri di Kebon Sirih Jakarta. Setelah lulus, dia mengajar di sekolah yang diselenggarakan oleh JOP di Kuningan Jawa Barat. Sedangkan Margonda pernah mengikuti pendidikan analysten cursus, yang diselenggarakan Indonesiche Chemische Vereniging . Kini, tempat kursus itu menjadi Balai Besar Industri Agro Bogor. Dia juga pernah ikut pelatihan penerbang cadangan di Luchtvaart Afdeeling, salah satu unit kemiliteran Belanda. Margonda dan Maemunah menikah di Bogor pada 24 Juni 1943. Semenjak menikah mereka tinggal di rumah keluarga Maemunah di Bogor. Rumah itu selalu ramai oleh anak-anak JOP dan para pemuda Bogor. “Dari cerita yang sering saya dengar, kawan-kawan ayah yang sering berkumpul di rumah antara lain Ahmad Tirtosudiro, Pak Adam, Ibrahim Adjie, Mintaredja, dan banyak lagi,” kenang Jopiatini. Untuk menafkahi keluarga, Margonda bekerja di Departemen Jawatan Penyelidikan Pertanian Jepang. Setelah setahun menikah, mereka dikaruniai seorang anak perempuan, Jopiatini. Sepeninggal Margonda, Maemunah membesarkan Jopiatini sendiri dengan membuka tempat jahit “Modiste Tini.” Nama ini diambil dari panggilan Jopiatini: Tini. “Waktu saya masih kecil, di zaman Bung Karno, ibu mendapat order menjahit pakaian orang-orang di Istana Bogor,” tutur Jopiatini. “Yang saya ingat, orang Istana Bogor yang sering menjahit baju di tempat ibu saya, Ibu Hartini istri Bung Karno dan istrinya Pak Sabur (komandan) Tjakrabirawa.” Selain itu, menurut Jopiatini, Jaka Bimbo yang kelak menjadi penyanyi terkenal juga menjahit baju di tempat ibunya. Dengan usaha itu, Maemunah dapat menyekolahkan Jopiatini hingga perguruan tinggi.
- Riwayat Jalan Margonda
PADA 1973, kawan-kawan seperjuangan Margonda sering datang ke rumah menemui Maemunah. Mereka berencana mengusulkan Margonda sebagai nama jalan. “Dalam perbincangan itu, samar-samar saya dengar, kawan-kawan ayah sedang mengusulkan kepada Departemen Sosial beberapa nama kawan seperjuangan yang telah gugur agar diabadikan menjadi nama jalan. Termasuk nama Margonda,” kata Jopiatini kepada Historia . Usul itu disetujui. Nama Margonda diabadikan menjadi nama jalan di Depok, yang saat itu masih menjadi bagian dari wilayah Bogor. Kala itu, Margonda hanyalah jalan kecil, belum sebesar sekarang. Sebelum bernama Margonda, jalan itu lebih dikenal sebagai Jalan Pintu Air. Jalan setapak itu kemudian menjadi jalan raya besar. Lulus dari Universitas Indonesia, Jopiatini menikah dengan Abu Hanifah, seorang tentara Angkatan Laut. Mereka dikarunia seorang anak laki-laki bernama Teguh Hassanudin. Suatu hari, sekira tahun 2000-an, mereka melancong ke Depok. Mereka makan di restoran Bakmi Margonda. “Waktu kami makan di Bakmi Margonda, ibu bertanya kepada pelayan restoran; ini restoran kok pakai nama suami saya?” kata Jopiatini, “Seloroh ibu sambil tertawa. Pelayan itu bisa jadi menganggap itu hanya guyonan saja.” Sehabis dari restoran, sebelum kembali ke rumah, Abu Hanifah mengusulkan agar ibu mertuanya berpose di plang Jalan Margonda. Usul itu sebenarnya sering dilontarkan. Namun baru kali itu Maemunah bersedia. Beberapa waktu kemudian Maemunah berpulang menyusul Margonda. Dalam buku Yasin mengenang ibunya, Jopiatini menulis puisi berjudul “Bundaku.” Syairnya menggambarkan penantian ibunya yang penuh harap akan kedatangan Margonda dari medan juang: Teringat dan tersayat hatiku/Berpuluh tahun lalu ketika ku masih balita/Tertatih-tatih di pegang erat tanganku/Barisan tentara berbaju hijau/Melintas terus berlalu/Siapa tahu ada ayahku Lubuk hati bunda risau tak terjawab/Bayangpun tak tertinggal di situ/Ayahku tertembak penjajah ibu pertiwi/Terkubur di belantara Kalibata/Tak ketemu/Tak ada satupun nisan nama ayahku/Tapi bunda setia menunggu/Sampai maut menyapa.
- Malapetaka Politik Pertama
PENGULANGAN sejarah merupakan lelucon pada kali pertama dan akan menjadi tragedi pada pengulangan yang kedua. Demikian disampaikan oleh Dhaniel Dhakidae, mengutip Karl Marx, dalam sambutannya di acara mengenang 40 tahun peristiwa Malari pagi tadi (15/01) di Jakarta. Turut pula hadir dalam acara itu Rahman Tolleng, Adnan Buyung Nasution dan sahibul hajat Hariman Siregar. "Indonesia dijajah oleh Belanda, kemudian oleh Jepang. Dulu yang datang Jan Pieter Coen, kemudian datang Jan Pronk, seorang new left tapi datang sebagai Ketua IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia) untuk melihat pembangunan di Indonesia. Kemudian Tanaka seorang shogun , datang menemui Soeharto,” ujar Dhakidae. Kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka memicu demonstrasi mahasiswa karena dianggap sebagai penjajahan ulang Jepang terhadap Indonesia. Namun pada kenyataannya demonstrasi itu berakar jauh kepada beragam persoalan. Mulai dari kritik atas dominannya Aspri (Asisten Presiden) dalam pemerintahan sampai friksi rivalitas Jenderal Soemitro-Ali Moertopo untuk merebut pengaruh sebagai orang terdekat Soeharto. Kalangan cendekiawan dan mahasiswa menjadi corong penyalur rasa tidak puas tersebut. “Mahasiswa mulai tidak puas terhadap kebijaksanaan pejabat pemerintah. Berbagai masalah yang disorot mahasiswa waktu itu adalah Pertamina, Proyek TMII yang dianggap mirip proyek mercusuar, hingga peranan modal asing khususnya Jepang,” tulis Muhammad Umar Syadat Hasibuan dan Yohanes S. Widada dalam Revolusi Politik Kaum Muda. Puncak aksi protes itu akhirnya terjadi pada 15 Januari 1974. Kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka Kakuei, di Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma disambut dengan aksi demonstrasi yang berujung rusuh. Masa bulan madu antara mahasiswa dengan pemerintah, juga antara investor asing dengan masyarakat Indonesia umumnya, yang telah terjalin sejak jatuhnya Sukarno tahun 1966 pun berakhir. “Mahasiswa dan lainnya mengambil alih jalan selama masa kunjungan Perdana Menteri Tanaka, dan aksi protes mereka adalah antiasing, terutama Jepang; antibirokrasi, terutama ditujukan kepada teknokrat berpendidikan Barat yang mendorong pemerintah untuk lebih percaya pada investasi asing; dan antimiliter, terutama terhadap jenderal-jenderal yang dicurigai banyak diuntungkan dari perjanjian bisnis dengan orang-orang Tionghoa dan asing,” tulis Michael H. Anderson dalam Madison Avenue in Asia: Politics and Transnational Advertising. Jakarta berasap, penghancuran dan penjarahan terjadi di mana-mana. Tidak hanya menyasar produk-produk Jepang, massa juga melampiaskan kekesalannya kepada perusahaan-perusahaan Tionghoa. Salah satunya adalah Astra yang menjadi distributor barang-barang otomotif dari Jepang. “Mobil-mobil dan sepeda motor buatan Jepang dan buatan asing lainnya dibakar, diceburkan ke sungai, atau, jika pemiliknya beruntung, hanya dikempeskan rodanya,” tulis Kees van Dijk, “Ketertiban dan Kekacauan di dalam Kehidupan di Indonesia,” termuat dalam Orde Zonder Order; Kekerasan dan Demokrasi di Indonesia 1965-1998 . Pada Peristiwa Malari ini, setidaknya sebelas orang tewas dan 300 lainnya luka-luka. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 bangunan ikut rusak. Toko-toko perhiasan pun tidak ketinggalan dijarah, sekitar 160 kg emas raib. Sekitar 775 orang ditahan menyusul aksi pemerintah memadamkan kerusuhan tersebut, beberapa terdiri dari anak di bawah umur. “Komandan Kopkamtib ketika itu, Jenderal Sumitro, bahkan mengenang bagaimana para demonstran yang bertemu di dekan Monumen Nasional di pusat Jakarta adalah ′anak-anak′, pelajar-pelajar dari sekolah dasar dan menengah, paling tidak berasal dari sekolah menengah atas. Di antara 472 orang yang ditahan pada tanggal 15 dan 16 Januari, terdapat 250 buruh dan anak sekolah,” tulis Kees van Dijk. Sejumlah tokoh mahasiswa, seperti Hariman Siregar, Aini Chalid dan Judilhery Justam ditahan. Beberapa media massa besar dicabut izin terbitnya karena memuat pemberitaan yang dianggap mengganggu stabilitas negara, termasuk Nusantara , Abadi , Pedoman , dan Indonesia Raya . Soeharto juga melakukan perombakan di lingkaran kekuasaannya. Soemitro diberhentikan dari jabatan Panglima Kopkamtib. Jabatan Aspri dibubarkan. Aksi represi pemerintah terhadap masyarakat diperketat, juga lebih sistematis. “Dengan Peristiwa Malari, Soeharto tampaknya mengambil sikap tegas: Go to hell with civil society. Dia sepertinya mengingatkan para cendekiawan/mahasiswa who is the boss,” tulis Arief Budiman dalam Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-2005 . “Pada titik ini tampaknya ′perkawinan′ antara Soeharto dan masyarakat madani bubar jalan.”
- Membebaskan Sultan Yogya
Setiap 4 Januari diperingati Yogyakarta Kota Republik untuk mengenang pemindahan ibu kota Republik Indonesia pada 4 Januari 1946 karena keadaan Jakarta tak aman dan keselamatan para pemimpin terancam oleh tentara NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda). Yogyakarta menjadi pusat pemerintahan sekaligus perjuangan. Namun, ancaman datang ketika Belanda melanggar gencatan senjata Perjanjian Renville dan melancarkan agresi militer kedua pada 19 Desember 1948. Belanda memulai serangan dengan pesawat-pesawat pengebom ke berbagai tempat terutama pangkalan militer, diikuti penerjunan 500 tentara, dan segera setelah itu pasukan Belanda memasuki kota. Selama seminggu berikutnya pasukan Belanda berhasil merebut kota-kota penting baik di Jawa mupun Sumatra. Menurut sejarawan George McTurnan Kahin dalam Nasionalisme dan Revolusi Indonesia , Belanda mengabarkan kepada dunia bahwa perlawanan Republik hanya sedikit dan penduduk menyambut mereka sebagai penyelamat. Banyak tentara Belanda juga menyebarkan kampanye ini karena yakin bahwa mereka sedang membebaskan penduduk dari penguasa yang tidak disukai. “Slogan dari mereka yang dibawa-bawa di Yogyakarta adalah ‘Ke Jogja untuk membebaskan Sultan’,” tulis Kahin. Karena itu, sementara para pemimpin Republik diasingkan, Sultan Hamengkubuwono IX tetap berada di Yogyakarta tetapi ruang geraknya dibatasi atau menjadi tahanan rumah. Kendati demikian, menurut Kustiniyati Mochtar dalam “Pak Sultan dari Masa ke Masa” termuat dalam Tahta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, Sultan tetap dapat berkomunikasi dengan rakyatnya dengan cara fluistercampagne (dari mulut ke mulut), sehingga berbagai instruksi bisa sampai kepada rakyat. Misalnya, instruksi agar rakyat tetap setia dan hanya patuh kepada Ngarsa Dalem (sebutan untuk Sultan), yang dipatuhi seluruh rakyat. Terkesan dengan wibawa Sultan, Belanda berusaha merangkul dan mengajaknya bekerja sama. Belanda meyakinkan Sultan bahwa tak ada gunanya mengandalkan nasibnya kepada suatu Republik yang masih demikian lemah. Belanda mengirim utusan, yaitu Residen E.M. Stok, Dr. Berkhuis, penguasa militer Belanda di Yogyakarta Kolonel van Langan, Husein Djajadiningrat, dan Sultan Hamid II, untuk mendekati Sultan. Setelah usaha mereka tak membuahkan hasil, berikutnya dikirim seorang direktur bank Belanda yang mengumbar janji akan memberikan dana tak terbatas untuk Keraton Yogyakarta, saham di Perusahaan Pelayaran Belanda (KPM) dan Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda. Jika mau bekerja sama, Belanda juga akan menjadikan Sultan sebagai penguasa seluruh Jawa dan Madura. Utusan-utusan itu tak pernah bertemu langsung dengan Sultan, yang mewakilkan kepada saudaranya seperti Pangeran Prabuningrat, Pangeran Murdaningrat, atau Pangeran Bintoro. Mereka melaporkan kapada Sultan tentang tawaran-tawaran itu. “Reaksi Hamengkubuwono IX hanya senyum sinis,” tulis Kustiniyati. “Pada waktu itu Hamengkubuwono IX tampaknya benar-benar sedang gandrung kemerdekaan dan keinginannya hanya satu: agar Belanda segera enyah dari bumi Indonesia.” Menurut Kahin dalam “Sultan dan Belanda” termuat dalam Tahta untuk Rakyat , dengan Sultan menolak semua tawaran itu, Belanda akhirnya terpaksa mengakui bahwa mereka telah salah menilai Sultan Hamengkubuwono IX. Dengan demikian, Belanda telah melakukan kekeliruan dalam usaha menguasai Republik Indonesia karena salah perhitungan yang fundamental mengenai watak Sultan Hemangkubuwono IX. "Para perwira dan tentara Belanda, yang mempercayai serangannya untuk membebaskan Sultan dari tiga tahun penahanan oleh para penguasa Republik, tak menyadari bahwa sejak permulaan revolusi Sultan sudah merupakan seorang pemimpin Republik yang terkemuka,” tulis Kahin.
- Sarinah Toko Murah, Bukan Toko Mewah
17 Agustus 1962. Ada keramaian di Jalan Thamrin Jakarta Pusat. Presiden Sukarno meletakkan batu pertama pembangunan department store pertama di Indonesia: Sarinah –diambil dari nama pengasuh Sukarno ketika kecil. Dalam Sidang Paripurna Kabinet Dwikora di Bogor pada 15 Januari 1966, Sukarno menegaskan bahwa Sarinah mutlak perlu untuk sosialistische economie (ekonomi sosialis). “Tidak ada satu negara sosialis tidak mempunyai satu distrubusi legal, tidak mempunyai department store . Datanglah ke Hanoi, ada. Datanglah ke Peking, ada. Datanglah ke Nanking, ada. Datanglah ke Shanghai, ada. Datanglah ke Moskow, ada. Datanglah ke Budapest, ada. Datanglah ke Praha, ada,” tandas Sukarno. Selain sebagai alat distribusi legal, sebagaimana dijelaskan Sukarno, fungsi dari department store untuk menurunkan dan menekan harga. Sebagai “ prijs stabilisator, ” katanya . Sehingga orang di luar departemen store tersebut tidak berani menjual harga lebih tinggi. “Kalau di department store harganya cuma lima puluh rupiah, di luar departement store , orang tidak berani menjual seratus rupiah.” Sukarno juga mengingatkan bahwa barang yang dijual department store tersebut harus barang berdikari. Barang bikinan Indonesia. “Yang boleh impor hanya 40%. Tidak boleh lebih. 60% mesti barang kita sendiri. Jual-lah di situ kerupuk udang bikinan sendiri. Jual-lah di situ potlot kita sendiri,” kata dia mewanti-wanti. Sukarno menugaskan R. Soeharto, Menteri Muda Perindustrian Rakyat sekaligus dokter pribadinya mewujudkan pembangunan Sarinah. Soeharto menjadi presiden direktur PT Department Store Sarinah. Menurut Soeharto dalam memoarnya, Saksi Sejarah, pembangunan Sarinah tidak luput dari tentangan karena dianggap sebagai proyek mercusuar. “Jangan terlalu menghiraukan kecaman itu,” kata Sukarno. “Sarinah harus merupakan pusat sales promotion barang-barang produksi dalam negeri, terutama hasil pertanian dan perindustrian rakyat. Pembangunan department store itu perlu dikaitkan dengan pendidikan tenaga trampil dan ahli konstruksi gedung bertingkat tinggi. Mengenai bidang manajemennya sejalan dengan apa yang kita lakukan mengenai pembangunan Hotel Indonesia. Bangunannya dirancang dengan bantuan arsitek Abel Sorensen dari Denmark, dibangun oleh kontraktor Jepang, dan pembiayaannya dari pampasan perang Jepang.” “Kalau Sarinah di Thamrin itu sukses, untuk Jakarta saya perintahkan buat tiga lagi. Jakarta Utara, Jakarta Selatan, Jakarta Timur. Another there, my dear friends, another three. Department Store Sarinah itu,” kata Sukarno. Pada 15 Agustus 1966, Sukarno meresmikan Sarinah yang berlantai 14, sekaligus menandai lahirnya toko serba ada pertama di Asia Tenggara. “Ketika Singapura belum dibangun dan Kuala Lumpur masih rawa-rawa, Jakarta mulai berbenah membangun department store pertama: Sarinah,” tulis Eka Budianta dalam biografi Cakrawala Roosseno . Roosseno adalah arsitek yang terlibat dalam pembangunan Sarinah. Kini, Sarinah telah membuka cabang di Pejaten Village Jakarta Selatan, Basuki Rachmat Malang, dan Kraton di Yogyakarta. Unit bisnis BUMN ini juga merambah bisnis ekspor (furnitur, singkong), impor (beras, minuman beralkohol, cengkeh, saccharine ataupemanis buatan), serta menjadi distributor terigu dan gula. Pasca lengsernya Sukarno menyusul huru-hara 1965, strategi pembangunan ekonomi Indonesia bergeser dari sosialisme ke kapitalisme. Dan ini, bisa dilihat dari perkembangan Sarinah. Asa Sukarno tinggal kenangan. Jangan berharap berbelanja murah di Sarinah.
- Margonda Sang Legenda Revolusi
FOTO hitam putih itu nyaris luntur. Terpampang lusuh di lantai dua Museum Perjoangan Bogor, Jalan Merdeka No. 56 Kota Bogor. Di bawah foto tertulis nama yang kini lebih dikenal sebagai jalan besar di kota Depok: Margonda. Foto Margonda dipajang berdampingan dengan foto Kapten Tb. Muslihat dan Letnan Jenderal Ibrahim Adjie. “Semasa hidupnya Margonda berkawan dekat dengan Ibrahim Adjie dan Tb. Muslihat,” kata Mahruf, juru rawat museum, kepada Historia . “Di sini (Museum Perjoangan Bogor) sering berkumpul para veteran pejuang. Saya dapat cerita tentang persahabatan Margonda, Ibrahim Adjie dan Kapten Muslihat dari kawan-kawannya yang masih hidup.” Ibrahim Adjie pernah menjadi komandan Batalion Ujung Tombak Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Jawa Barat, yang bermarkas di Depok. Belakangan dia menjabat Pangdam Siliwangi. Sedangkan Tb. Muslihat adalah pimpinan TKR Bogor yang gugur sewaktu perang mempertahankan kemerdekaan di Bogor. Untuk mengenangnya, pemerintah daerah Bogor membangun patung Kapten Muslihat di Taman Topi, sekitar stasiun Bogor. Dibanding Muslihat dan Ibrahim Adjie, sepak terjang Margonda tidak banyak diketahui. Padahal dia pimpinan Angkatan Muda Republik Indonesia (AMRI). “AMRI pimpinan Margonda lebih dahulu berdiri dibanding BKR (Badan Keamanan Rakyat),” tulis buku Sejarah Perjuangan Bogor . Buku yang terbit pada 1986 ini disusun oleh orang-orang yang terlibat dalam perang kemerdekaan di Bogor beserta beberapa wartawan. AMRI bermarkas di Jalan Merdeka, Bogor. Umur kelompok ini relatif singkat. Mereka pecah dan anggotanya bergabung dengan BKR, Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), KRIS (Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi), dan lain-lain. Pada 11 Oktober 1945, Margonda dan pasukan AMRI beserta para pejuang berbagai laskar dari Bogor dan sekitarnya menyerbu Depok karena kota itu tidak mau bergabung dengan Republik Indonesia. Dilepas istrinya, Maemunah, Margonda berangkat naik kereta dari stasiun Bogor. Ribuan pemuda mengepung dan berhasil menguasai Depok. Namun, tidak lama kemudian, Sekutu datang dan merebut Depok. Para pejuang mundur untuk menyusun kekuatan. Mereka melakukan serangan balik pada 16 November 1945 dengan sandi perang Serangan Kilat. “Itulah pertempuran yang paling benar-benar sengit. Dari jam lima pagi sampai jam lima pagi besoknya lagi. Perang sehari semalam itu sandinya Serangan Kilat, kalau di Jogja ada Serangan Fajar. Saya ikut bertempur,” tandas Adung Sakam kepada Historia . Meski tak ingat pasti berapa umurnya sekarang, Adung masih mengingat kisah Serangan Kilat itu. “Serangan Kilat itu untuk merebut Depok yang telah dikuasai NICA, namun gagal. Banyak sekali pejuang yang gugur dalam peristiwa itu,” ungkap Adung. Dalam Serangan Kilat itu, Margonda gugur di Kalibata Depok dalam usia muda, 27 tahun –lahir di Baros Cimahi Bandung pada 1918. Namanya bersama para pejuang lainnya yang gugur dalam berbagai pertempuran terpampang di dinding Museum Perjoangan Bogor. Maemunah kerap ke stasiun Bogor untuk mencari Margonda. Anaknya, Jopiatini yang baru bisa berjalan dibawa serta. Margonda tak kunjung datang, bahkan sampai penghujung perang pada 1949. Suatu waktu, para sekondan Margonda menyambangi Maemunah. Mereka menceritakan bahwa Margonda bertempur gagah berani dan tertembak. Namun, Maemunah tak pernah mempercayai cerita itu. Dia tetap sabar menanti. Beredar sasus di kalangan para pejuang di Bogor bahwa Margonda dikubur dalam satu liang lahat dengan pejuang lainnya di Kalibata, Depok. Makam itu kemudian dibongkar dan jasad Margonda dimakamkan ulang di samping stasiun Bogor –kini jadi Taman Ade Irma Suryani, dekat Taman Topi– namun, tidak diketahui pusaranya.
- Cita Rasa Kuliner Nusantara
KHAZANAH kuliner Nusantara memiliki rentang waktu dan proses yang panjang. Ia berkenaan dengan sentuh budaya (asimilasi dan akulturasi). Ragam bahan, piranti masak, teknik pengolahan, dan cita rasa memberi kekayaan tersendiri terhadap kuliner Nusantara. Aji Bromokusumo, peneliti kuliner peranakan Tionghoa, mengutarakan bahwa kuliner Nusantara banyak dipengaruhi unsur-unsur dari ragam budaya dan tradisi yang hadir di Nusantara. “Seperti teknik memasak, peralatan memasak, dan proses pengawetan dengan teknik tertentu diperkenalkan para perantau Tiongkok yang datang ke Nusantara,” kata Aji dalam diskusi “Kuliner Nusantara di Masa Lampau,” hasil kerja bareng majalah Historia , Historia Advertising, Birdcage Cafe, dan ACMI, pada 14 Desember 2013 di Jakarta. Teknik atau cara pengolahan masakan yang ada di Nusantara dapat ditelusur melalui catatan perjalanan orang asing atau dari sumber tertulis seperti manuskrip. Catatan Rijklof van Goens, seorang duta VOC, sebagaimana dimuat Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid I: Tanah di Bawah Angin , memberi informasi bahwa teknik mengolah makanan, terutama daging (domba, kambing, dan kerbau), pada suatu perayaan besar di Jawa dengan cara dipanggang, dirempahi, dan digoreng, tetapi hanya menggunakan minyak sebagai pengganti mentega. Informasi mengenai teknik memasak pun terekam dalam beberapa manuskrip kuna. Dalam kitab Ramayana , pada saat Trijata menawarkan beberapa makanan (pupuhXVII.101), tertera makanan enak yang dimasak dengan minyak (landuga tatla-tila) dan makanan yang dibubu i gula (modakanda sagula). Sementara informasi mengenai teknik merebus diproleh dari data arkeologis pada Prasasti Panggumulan A dan B (824 çaka ) di Desa Kembang Arum, Sleman, Yogyakarta. Prasasti Kembang Arum, sebutan lain Prasasti Panggumulan, menerangkan bahwa pada upacara penetapan sima pada tanggal 10 Krsnapaksa (paro gelap), bulan Posya , tahun 824 sebagai anugrah Desa Panggumulan, disajikan berbagai hidangan, beberapa di antaranya sayuran berupa rumwarumwah (lalap), kuluban (lalap yang direbus), dudutan (lalap mentah), dan tetis . Di sisi lain, salah satu teknik memasak yang dibawa oleh perantau dari Tiongkok adalah teknik menumis. Cara memasak dengan memberi sedikit minyak tetapi dengan api besar, memasukan bahan beserta bumbu yang diaduk cepat (berulang-ulang), dan diangkat, tidak pernah dikenal sebelumnya di Nusantara. Menurut chef dan ahli kuliner Nusantara, William Wongso, menelusuri kuliner sebagai sebuah tradisi dan warisan yang orisinal sukar dilakukan karena pengaruh dan sentuh budaya dari luar. Mengenai cara atau teknik pengolahan makanan, setiap daerah memiliki kekhasan yang pada akhirnya memunculkan “cita rasa”. “Cara mengolah masakan di berbagai daerah diajarkan melalui praktik langsung, tidak didokumentasikan melalui resep yang ditulis dan terpola,” kata William Wongso. “Kelemahannya ada pada sulitnya mencari ‘cita rasa’ yang otentik.”
- Sejarah Tahu, Tahu Sejarah
Orang-orang Tionghoa datang ke Nusantara dengan membawa keterampilan kulinernya. Salah satu makanan yang paling awal diperkenalkan adalah tahu. Sejarawan JJ Rizal mengungkapkan bahwa pada abad ke-10 orang-orang Tionghoa telah menyajikan tahu di Nusantara, meskipun terbatas di kalangan elite. “Jadi tahu lebih tua daripada tempe dilihat dari masa mulai produksinya,” kata Rizal. Menurut Suryatini N. Ganie dalam Dapur Naga di Indonesia , tahu mempunyai sejarah panjang di Tiongkok, tempat asalnya sejak 3.000 tahun lalu. Teknologi pembuatan tahu secara cepat menyebar ke Jepang, Korea, dan Asia Tenggara. Tetapi, kapan tahu mulai hadir di Nusantara tidak dapat ditentukan waktunya dengan tepat. Namun, orang Kediri mengklaim sebagai kota pertama di Nusantara yang mengenal tahu, yang dibawa tentara Kubilai Khan pada tahun 1292. “Saat mengunjungi Kediri,” tulis Suryatini , “kami mendapati tempat berlabuhnya jung-jung Mongol di kota itu sampai hari ini masih disebut dengan Jung Biru. Armada ini mempunyai jung-jung khusus untuk mengurus makanan tentara, termasuk satu yang khusus untuk menyimpan kacang kedelai dan membuat tahu.” Kata tahu sendiri, menurut Hieronymus Budi Santoso, berasal dari bahasa Tionghoa, yakni: tao-hu atau teu-hu . Suku kata tao/teu berarti kacang kedelai, sedangkan hu berarti hancur menjadi bubur. “Dengan demikian secara harfiah, tahu adalah makanan yang bahan bakunya kedelai yang dihancurkan menjadi bubur,” tulis Hieronymus dalam Teknologi Tepat Guna Pembuatan Tempe dan Tahu Kedelai . Pada abad ke-19, orang-orang Jawa dilanda krisis gizi yang luar biasa akibat penerapan sistem cultuurstelsel (Tanam Paksa). Hasil bumi dikuras untuk kepentingan kolonial sampai mereka sendiri kesulitan untuk makan. Saat itulah tahu muncul sebagai pangan alternatif. “Menurut sejarawan Onghokham,” ungkap Rizal, “tahu bersama tempe, menjadi penyelamat orang-orang Jawa dari masa krisis asupan gizi.” Sampai sekarang, tahu menjadi makanan penting bagi orang Indonesia. Cara penyajiannya di tiap wilayah pun bervariasi. Meski begitu, ia tetap menjadi pangan yang populer dan dapat dinikmati kapan saja.
- Tentang Arsip dan Laporan untuk Tuan
SALAH satu tujuan utama kedatangan saya ke Den Haag adalah mencari arsip-arsip yang berkaitan dengan Boedi Oetomo. Organisasi yang digagas oleh dr. Wahidin Soedirohoesodo dan didirikan oleh dr. Soetomo itu berdiri pada 20 Mei 1908. Hari berdirinya Boedi Oetomo lantas diberlakukan sebagai hari kebangkitan nasional, karena dianggap sebagai awal tersemainya benih-benih nasionalisme Indonesia sekaligus dianggap sebagai organisasi modern pertama di Indonesia. Banyak terjadi perdebatan ihwal penetapan tersebut. Ide awal berdirinya organisasi ini lebih kepada untuk membantu pendanaan mahasiswa kedokteran yang sekolah di Stovia. Namun pada kenyataannya organisasi ini bergerak lebih jauh. Sebagian anggotanya, yang datang dari generasi muda, mulai mendiskusikan ke arah mana nasib bangsa Hindia. Ada perdebatan di dalam, tentang akan kemana nasionalisme akan dituju: Nasionalisme Hindia atau Jawa. Hanya selang setahun setelah berdirinya, organisasi ini mengalami kemunduran. Pangkal perkaranya karena organisasi ini dikuasai oleh para kaum feodal. Ketua Boedi Oetomo, Raden Adipati Tirtokoesoemo, mantan Bupati Karanganyar, lebih terlihat sebagai seorang yang tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda. Dia bukan seseorang yang datang dengan gagasan kemerdekaan di kepalanya. Tak lama kemudian kedudukan Tirtokoesomo digantikan oleh Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman. Boedi Oetomo semakin terlihat sebagai perkumpulan kaum ningrat ketimbang organisasi pembebasan yang progresif. Perpecahan pun mulai terjadi di dalam. Sebagian anggota muda menyatakan keluar dari organisasi. Tjipto Mangoenkosoemo salah satu yang memprotes keras arah kebijakan organisasi yang semakin konservatif. Feodalisme memang tumbuh subur di bawah kolonialisme Belanda. Pemerintah kolonial merawat feodalisme untuk bisa kuat berkuasa mencengkeram Hindia Belanda. Persis apa kata Multatuli dalam roman Max Havelaar bahwa untuk menguasai orang Jawa, cukuplah dengan menguasai para kepalanya. Sehingga rakyat jajahan akan lebih mudah dikuasai dengan menggunakan perantara para kepalanya. Tak aneh jika zaman Belanda, hanya kaum priayi yang bisa dapat akses ke pendidikan terbaik, di Hindia Belanda maupun di Negeri Belanda. Salah satu orang yang mendapatkan sedikit dari keberuntungan itu adalah Hussein Djajadiningrat. Lulus dari HBS, Hussein melanjutkan kuliah di Universiteit Leiden. Pada 1913, dia lulus doktor dengan predikat cumlaude setelah berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul De Critische Bewchouwing van De Sedjarah Banten (Tinjauan Kritis atas Sejarah Banten). Disertasi itu ditulis di bawah bimbingan Snouck Hurgronje, pakar Islam yang disebut-sebut banyak memainkan peran penting dalam penaklukan Aceh. Sebagai orang Indonesia pertama yang meraih doktor di Leiden, Hussein banyak mendapat banyak sanjungan dari kolega Belandanya. Untuk mengenangnya, akhir Maret lalu Universiteit Leiden membuatkan patung sosok Hussein yang disimpan di ruang pamer kampus. Sejumlah barang pribadi milik Hussein juga dipamerkan di ruangan yang terletak di lantai dasar Academiegebouw itu. Wakil Presiden Boediono secara resmi membuka selubung patung Hussein sekaligus meresmikan patung tersebut di kampus Universiteit Leiden, akhir Maret lalu. Selain meresmikan patung Hussein, Wapres Boediono juga didaulat untuk menyampaikan pidatonya di hadapan para civitas akademika Universiteit Leiden. Setelah lulus dari Leiden, Hussein bekerja di Kantor Urusan Bumiputera (Kantoor voor Inlandsche Zaken). Salah satu kegiatan dia adalah membuat laporan tentang aktivitas orang-orang bumiputera. Salah satu dokumen yang saya temukan di kantor Arsip Nasional Belanda adalah laporan yang ditulis oleh Hussein mengenai jalannya sidang Boedi Oetomo di Surakarta, 24–26 Desember 1921. Laporan tersebut ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Dalam laporan disebutkan secara mendetail tentang bagaimana jalannya pertemuan tersebut. Hussein melaporkan tentang seorang pembicara yang mengemukakan pentingnya memiliki alasan politik dalam menjalankan aksi-aksi Boedi Oetomo. Dia juga mencatat apa-apa saja yang akan dilakukan oleh Boedi Oetomo, mulai dalam bidang sosial sampai dengan urusan pendidikan. Dari laporan yang dia buat, dan bukan hanya satu laporan saja, Hussein lebih tampak sebagai seorang mata-mata ketimbang ilmuwan kesohor lulusan Leiden. Ini jelas menimbulkan pertanyaan. Apakah laporan-laporan itu ditujukan untuk karya ilmiah? Apakah memang laporan tersebut sebagai bagian dari kewajiban pekerjaannya di Kantor Urusan Bumiputera? Untuk kepentingan apa dia mencatat dan melaporkan itu ke pemerintah kolonial Belanda? Karena penasaran, saya pun pergi mengunjungi kampus Universitas Leiden. Ditemani dua orang mahasiswa asal Indonesia, Jajang Nurjaman dan Ravando, kami ingin “menengok” di mana patung Hussein berada. Tapi ternyata, patung yang akhir Maret lalu diresmikan Wapres Boediono tak ada di ruang pamer. Kami mencoba untuk mencari ke seantero gedung, tapi tak jua menemukan di mana patung tersebut berada. Lantas kami berandai-andai, “jangan-jangan Hussein tak sedang menyamar jadi patung hari itu.” Ya mungkin. Atau, dia sedang membuat laporan tentang soal lainnya. Semoga patungnya bukan hilang diculik Tim Mawar.
- Saat Islam dan Komunis Harmonis
ISLAM dan Marxisme merupakan dua hal berbeda, bahkan bertentangan. Islam adalah agama yang ajaranya dapat diterima dan ditolak berdasarkan iman atau kepercayaan, sedangkan Marxisme sebagai suatu teori ilmiah yang diterima atau ditolak berdasarkan penalaran rasional dan obyektif. Kebenaran agama bersifat absolut, sedangkan kebenaran teori ilmiah bersifat relatif yang bersifat hipotesis. Demikian M. Dawam Rahardjo, Rektor Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta, menyampaikan makalahnya pada diskusi “Islam dan Marxisme” di Serambi Salihara, 11 Desember 2013. Menurut sejarawan dan pemimpin redaksi majalah Historia , Bonnie Triyana, pertanyaan yang mencuat dalam menelaah kaitan Islam dan komunisme di Indonesia sering kali berada di seputar: mengapa di daerah Banten dan Silungkang Sumatera Barat, dua daerah yang mayoritas penduduknya muslim fanatik, bisa sekaligus menerima kehadiran Partai Komunis Indonesia (PKI)? Paham Marxisme dibawa Henk Sneevliet, seorang sosialis Belanda yang datang pada Februari 1913. Dia dipecat oleh Partai Buruh Sosial Demokrat (SDAP) karena bergabung dengan Partai Sosial Demokrat (SDP) yang kelak menjadi Partai Komunis Belanda (CPN). Dia mendirikan Perkumpulan Sosial-Demokrat Hindia Belanda (ISDV) yang diakui sebagai partai Marxis pertama di Asia Tenggara. Dialah aktor intelektual di balik radikalisme Sarekat Islam (SI) Semarang di bawah Semaoen. Sementara itu, SI sebagai organisasi muslim dengan jumlah anggota terbesar, di bawah pimpinan Tjokroaminoto menjadi organisasi moderat dan berhubungan baik dengan pemerintah kolonial. “Sikap demikian ternyata menimbulkan ketidakpuasan sekelompok kecil anggotanya,” kata Bonnie. “Konflik internal mulai terjadi di dalam kepengurusan SI. Pembentukan cabang SI yang otonom memperuncing konflik internal.” Dawam menyebutkan, ketidakpuasan terhadap kepemimpinan Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim yang memilih kooperatif terhadap pemerintahan penjajah membuat Haji Misbach bergabung dengan SI Merah yang dibentuk oleh Semaoen yang setelah mengalami radikalisasi sejak 1919 dan memisahkan diri dari SI, menjadi PKI pada 1923. “Tjokro-Salim memilih menempuh politik moderat karena ingin menjaga persatuan perjuangan sebagai politik kebangsaan,” kata Dawam. Menurut Bonnie, perpecahan di tubuh SI semakin memuncak ketika terjadi insiden Afdeling B pada 1919, yaitu perlawanan Haji Hasan di Leles Garut yang menentang pembayaran pajak padi. Peristiwa ini berakibat penangkapan para pemimpin SI termasuk Tjokroaminoto. Agus Salim mengambil-alih kepemimpinan SI dan melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh Tjokroaminoto: pembersihan SI dari unsur-unsur komunisme. Bagaimana Haji Misbach, seorang mubalig, fasih bahasa Arab dan suka mengutip ayat-ayat Alquran dan hadis Rasulullah dalam tulisan-tulisannya yang bernah nan kritis, dapat menerima komunisme? Haji Misbach yang taat beragama, kata Bonnie, menerima komunisme sebagai ideologi pembebasan tanpa harus khawatir kehilangan akidahnya. “Pandangan Haji Misbach bersandar pada nilai-nilai ajaran Islam yang berpihak kepada kaum tertindas. Inilah titik temunya dengan ajaran Marxisme yang diperkenalkan oleh Henk Sneevliet,” ujar Bonnie. Misbach, Dawam menambahkan, menangkap Islam sebagai agama yang revolusioner yang dalam sejarah Nusantara telah menimbulkan pemberontakan-pemberontakan lokal yang bertema pembebasan. “Dari situlah pikiran Misbach bertemu dengan ideologi komunisme,” kata Dawam. Seperti halnya Misbach, kata Bonnie, komunisme diterima kalangan ulama di Banten pertama-tama karena kekecewaan mereka terhadap kepemimpinan Tjokroaminoto. Terlebih SI Banten dipimpin oleh tokoh moderat, Hasan Djajadiningrat. Tokoh SI yang memainkan peran penting dalam perkembangan komunisme di Banten adalah Kiai Haji Achmad Chatib, menantu kiai terkemuka Haji Asnawi Caringin. Tokoh penting lain adalah seorang Arab, Ahmad Basaif, yang pandai bahasa Arab dan khusyuk beribadah. Dia bersama Puradisastra dan Tubagus Alipan, menjadi pionir gerakan yang mengkombinasikan Islam dan komunisme di Banten. Kelak, tokoh-tokoh ulama bersama jawara memainkan peranan penting dalam pemberontakan PKI pada 1926. Pemberontakan serupa terjadi di Silungkang pada awal 1927, juga digerakkan oleh guru agama dan saudagar. Terlepas pemberontakan tersebut dapat dipatahkan, peristiwa ini menunjukkan bahwa Islam dan komunis pernah harmonis. Islam dan komunisme dalam pertemuannya bukan perkara ideologi, tetapi semangat perlawanan dalam menghadapi penindasan kolonial. “Mereka bertemu di jalan dan bubar di jalan,” pungkas Dawam, “karena bukan persatuan organik antara agama dan ideologi.”*
- Eddie van Halen dan Teknik Tapping yang Manjakan Kuping
Bagi Anda pecinta musik, terutama pop era 80-an dan 90-an, hampir pasti kenal lagu “Beat It” Michael Jackson. Single ketiga dalam album Thriller itu bukan hanya memberi sederet prestasi kepada Jackson dan ikut mengerek penjualan albumnya sehingga jadi salah satu album terlaris sepanjang masa, tapi juga memberi warna musik baru bagi Jackson: rock. Gitaris rock Eddie van Halen, yang diminta produser Quincy Jones, berperan penting bagi kesuksesan “Beat It”. Sentuhan tangan dinginnya, dengan permainan gitar apik, menghadirkan nuansa rock kental pada lagu itu meski tetap easy listening bagi siapa pun. Di bagian solo gitarnya, Eddie tak ketinggalan menggunakan teknik tapping (totokan), yang menjadi trade mark -nya. Ngomong-ngomong soal tapping , teknik memetik gitar ini memiliki ciri khas dibanding teknik permainan gitar lainnya. Gitaris harus menekan senar di fingerboard (papan nada), bukan memetiknya di atas sound hole atau pick up yang terletak di badan gitar. Suara yang ditimbulkannya tidak melengking atau noise , tapi blur (terkadang seperti lebah). “ Tapping itu kan sebenarnya hammer on dan pull off ,” ujar Edo Widiz, gitaris band rock Voodoo, kepada Historia.id di kediamannya. Hammer on adalah teknik untuk mendapatkan nada lebih tinggi dengan cara memetik nada pertama (nada asal) lalu menekan senar nada kedua (nada lebih tinggi) tanpa petikan. Sedangkan pull off, kebalikan dari hammer on , yaitu untuk mendapatkan nada lebih rendah. Khalayak percaya penemu tapping adalah Eddie Van Halen. Teknik ini mulai populer setelah album Van Halen muncul pada 1978. Eddie menyuguhkan permainan solo gitar menarik penuh tapping pada single pembuka “Eruption”. Bagi Edo, kepercayaan itu berangkat dari sifat eksploratif Eddie. Eddie bukan cuma memperkenalkan beragam teknik permainan gitar, tapi juga menciptakan berbagai perangkat (hardware) pendukung gitar seperti tremolo up and down –yang dipatenkan Floyd Rose karena Eddie tak mematenkannya– ataupun EVH D Tuner. Eksplorasinya juga menjelajah hingga perangkat sound . Namun sejumlah gitaris dunia menganggap tapping sudah ada jauh sebelum Eddie muncul. Steve Hackett, gitaris band Genesis, bahkan mengklaim diri sebagai orang pertama yang menggunakannya dalam rekaman. Hackett menggunakan tapping sejak 1971. Gitaris pentolan Deep Purple, Ritchie Blackmore, juga menyanggah keras. Menurutnya, suatu waktu pada 1960-an dia pernah menonton seorang gitaris country memainkan gitar dengan teknik tapping . Hanya, Blackmore tak tahu siapa orang itu dan tak menanyakan karena dia mabuk berat malam itu. Yang pasti, gitaris jazz Emmett Chapman sudah memainkan tapping pada 1969, disusul oleh Stanley Jordan. Pada tahun yang sama, Randy Rresnick memainkannya dalam musik blues. Di belantika rock, gitaris Led Zeppelin Jimmy Page sudah ber- tapping -ria pada 1969 melalui single “Heartbreaker”. Menyusul Steve Hackett, Frank Zappa, dan Brian May (Queen), dan Randy Rhoads (Ozzy Osbourne & Quiet Riot). Di luar gitar, tapping –meski belum dinamakan demikian– sudah ada sejak beberapa abad silam. Komponis Nicollo Paganini memainkannya pada biola. Di abad ke-20, Roy Smeck memainkan teknik serupa pada ukulelenya. Menurut Edo, ayah Eddie, Jan van Halen, juga sudah memainkan teknik serupa pada ukulele. Lalu apa pendapat Eddie soal teknik yang identik dengan dirinya itu? Eddie tak pernah menyebut dirinya penemu tapping . Menurutnya, dia memainkan tapping karena terinspirasi Jimmy Page di single “Heartbreaker”. Tentu, penggalian lebih jauh Eddie menghasilkan tapping yang berbeda dari para pendahulunya. Hackett tak menyangkal fakta itu. Menurut Edo, Eddie dan gitaris-gitaris penerusnya mempopulerkan dan mengembangkan finger tapping . “Gua sih nggak pernah bilang bahwa Eddie menciptakan tapping , tapi bagi gua, dia mempopulerkan tapping . Dan setiap gitaris pasti mengacu pada Eddie, memandang Eddie,” ujar Edo. Eddie van Halen, gitaris rock legendaris, meninggal dunia pada 6 Oktober 2020.





















