top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Membantah Sriwijaya Fiktif

    Sriwijaya itu kerajaan fiktif. Begitu kata Ridwan Saidi, budayawan Betawi, dalam video yang diunggah di kanal YouTube “Macan Idealis”. Menurutnya, keberadaan Kerajaan Sriwijaya selama ini adalah produk historiografi Belanda. Informasi adanya Kerajaan Sriwijaya di Sumatra disebarkanpada masa Hindia Belanda. Menurutnya, kolonialisme dalam hal ini memiliki kepentingan merusak bangsa. “Kalau mau merusak suatu bangsa, rusaklah sejarahnya. Pada generasi pertama itu historiografi Belanda semua. Kebanyakan mereka bukan berlatar sejarawan tapi berlatar arkeolog. Kebanyakan dongeng tulisannya,” ujar Ridwan Saidi. Untuk mendukung pernyataannya, Ridwan Saidi menjelaskan keterangan yang menurutnya dicatat oleh I-Tsing. Menurutnya I-Tsing adalah seorang pengelana dari Tiongkok yang diminta Kaisar Tiongkok untuk mencari di mana letak Sriwijaya, karena waktu itu kapal dagang Tiongok terpendam di laut sekitar Teluk Benggala dan Selat Malaka. “Ini pada abad ke-7. I-Tsing lalu pergi mencari. Dia meluangkan waktu 25 tahun mencari lokasi Sriwijaya. Ke Bali segala macam dia pergi,” katanya . Menurut Ridwan Saidi, dalam laporan I-Tsing yang d ia baca, sang pengelana itu dalam perjalanannya mampir di Kedah. Di sana, d ia bertanya pada masyarakat Kedah perihal letak Sriwijaya. “Orang Kedah mengatakan ke I-Tsing, ‘Sriwijaya punya kerajaan itu tak ada lah di sini, itu ada di Koromandel, pantai timur India. Itu bukan kerajaan. Itu adalah bajak laut’,” kata Ridwan Saidi. I-Tsing pun pergi ke Koromandel. Menurut Ridwan, di sana I-Tsing berjumpa dengan suku bangsa bernama Wijayaraya. Mereka pun ditanyai I-Tsing, yang kemudian mengaku kalau memang mereka telah mengganggu kapal Tiongkok. “Karena nggak mau nyetor zaman sekarang itu ditenggelemin,” kata Ridwan Saidi. Namun, bangsa Wijayaraya itu rupanya diperintah oleh suku bangsa Shapur dari Persia. I-Tsing pun pergi ke Shapur. “Total 25 tahun (perjalanan I-Tsing, red. ). Jadi waktu kembali (ke Tiongkok, red. ) kaisar yang nyuruh udah mati,” ujar Ridwan Saidi. Siapakah I-Tsing? Di luar pendapatnya yang kini menjadi viral itu, I-Tsing atau Yi Jing memang pernah singgah di Nusantara pada abad ke-7. Dia juga pernah berkunjung ke Kedah. Namun, tujuannya bukan untuk mencari bajak laut Sriwijaya, tetapi singgah sementara untuk kemudian belajar agama di Nalanda, India. I-Tsing merupakan biksu asal Tiongkok dari masa Dinasti Tang yang melakukan perjalanan ziarah ke India. Dia menuliskan perjalanannya, di antaranya Kiriman Catatan Praktik Buddha-Dharma dari Lautan Selatan (Nanhai Jigui Neifa Zhuan), Riwayat Para Mahabiksu yang Mengunjungi IndiadanNegeri-Negeri Tetangga untuk Mencari Ajaran di Masa Dinasti Tang (Da Tang Xiyu Qiufa Gaoseng Zhuan), dan Mulasarvastivada-ekasatakarman .  Shinta Lee, penerjemah catatan I-Tsing dari Komunitas Sudimuja dan Jinabhumi, menjelaskan, sejak usia 18 tahun, I-Tsing sudah berangan-angan berziarah ke India, pusat pembelajaran Buddhadharma. I mpian itu baru terlaksana ketika d ia berumur 37 tahun. Pada 671, bertolak dari Guangzhou, I-Tsing berlayar selama 20 hari dan mendarat di Foshi. Di sana, dia menetap selama enam bulan dan belajar tata bahasa Sanskerta. Raja setempat membantunya mengantarkan ke Moluoyou (Melayu). Setelah tinggal selama dua bulan, I-Tsing menuju ke Jiecha (Kedah). Dari Kedah pada 671, I-Tsing mengunjungi daerah demi daerah. Dia kemudian tiba di Tamralipti, pelabuhan di pantai timur India pada 673. Secara bertahap, dia melanjutkan perjalanan ke India. “Melewati perjalanan yang penuh tantangan, akhirnya dia sampai di tempat-tempat yang dituju, tempat-tempat ziarah yang berhubungan dengan Buddha,” kata Shinta dalam diskusi di acara Borobudur Writers Cultural and Festival ke-7, tahun 2018, di Hotel Manohara, Magelang, Jawa Tengah. Selama sepuluh tahun, sejak 675-685, I-Tsing belajar dan tinggal di Nalanda. Dia mengumpulkan kitab-kitab ajaran Buddha. Pada 685, I-Tsing mulai memikirkan cara kembali ke negaranya. Setelah berlayar dari Tamralipti selama dua bulan, dia kembali singgah di Kedah. Dia tinggal di Kedah selama beberapa waktu untuk menunggu kapal dan arah angin yang mendukung. “Setelah satu bulan berlayar, d ia tiba kembali di Melayu untuk kedua kalinya, yang menurutnya sudah menjadi bagian dari Shili Foshi dan ada banyak daerah di bawah kekuasaannya,” kata Shinta. Di Shili Foshi, I-Tsing tinggal selama empat tahun (685-689). Selanjutnya,dia naik kapal, namun bukan untuk pulang. Dia hanya bermaksud menitip surat untuk meminta kertas dan tinta yang akan digunakannnya menyalin sutra. Dia juga meminta biaya mempekerjakan penyalin. Namun, I-Tsing malah terbawa kapal itu pulang ke Tiongkok. Dia hanya tinggal selama tiga bulan karena kitab yang dia bawa dari India sebanyak 500.000 sloka Tripitaka, tertinggal di Shili Foshi. Dia pun kembali ke sana. Selama lima tahun tinggal di Shili Foshi, I-Tsing bertemu biksu lainnya bernama Da Jin. Dia menitipkan sutra dan tulisannya kepada Da Jin untuk dibawa pulang ke Tiongkok. Tulisan itu di antaranya Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan (Nanhai Jigui Neifa Zhuan) empat jilid, Riwayat Para Mahabiksu yang Mengunjungi India dan Negeri-Negeri Tetangga untuk Mencari Ajaran di Masa Dinasti Tang (Da Tang Xiyu Qiufa Gaoseng Zhuan) dua jilid. I-Tsing berkelana di luar negeri selama 25 tahun. Pada 695,dia kembali ke Tiongkok dan disambut kaisar perempuan, Wu Zetian. Dia membawa pulang sekira 400 teks Buddhis, 500.000 sloka, dan peta lokasi Vajrasana Buddha. Shili Foshi adalah Sriwijaya Foshi atau Shili Foshi dalam catatan I-Tsing tak lain adalah Sriwijaya. Sejarawan Slamet Muljana dalam Sriwijaya menjelaskan bukan hanya I-Tsing yang menyebutnya begitu. Pada masa Dinasti T’ang, Shili Foshi adalah sebutan bagi Sriwijaya. “Nama Shili Foshi (Che-li-fo-che), baik yang tercatat dalam Sejarah Dinasti T’ang maupun dalam karya I-Tsing adalah transkripsi dari Sriwijaya. Transkripsi demikian mudah dipahami,” tulis Slamet Muljana. Penyamaan Shili Foshi dengan Sriwijaya cocok antara lokasi I-Tsing dan lokasi penemuan prasasti sezaman yang menyebut kata Śrīvijaya, yaitu Prasasti Kedukan Bukit yang ditemukan di dekat Palembang Berasal dari 683 dan Prasasti Kota Kapur yang ditemukan di Bangka dari 686. Sementara itu, pada 685-689 I-Tsing tengah menetap di Shili Foshi atau Sriwijaya. “Kelihatannya, ibu kota awalnya disebut Foshi, setelah kerajaan itu berkembang pesat dan meluas hingga Melayu, maka seluruh kawasan dan ibu kotanya menyandang istilah Shili Foshi,” kata Shinta. Mengenai lokasinya, I-Tsing sudah membahas dalam catatannya. Khususnya dalam buku Nanhai, dia mencatat ketika di Shili Foshi, “pada pertengahan bulan delapan dan pertengahan musim semi (bulan dua), lempeng jam tidak berbayang. Seseorang yang berdiri di tengah hari tidak berbayang. Matahari tepat di atas kepala dua kali dalam setahun.” Dari berita ini, Slamet Muljana, menyimpulkan Shili Foshi pasti terletak di garis khatulistiwa. I-Tsing juga bercerita, d ia berlayar ke utara menuju Tiongkok tanpa singgah di Foshi. Artinya, pelabuhan Melayu menjadi tempat persinggahan kapal dari Selat Malaka yang akan menuju Tiongkok sambil menunggu datangnya angin barat. Menurut Slamet Muljana, karena perjalanan I-Tsing dari Foshi ke India melalui pelabuhan Melayu, letak Foshi haruslah di sebelah tenggara pelabuhan Melayu. Tak mungkin di sebelah baratnya. Adapun Melayu letaknya di Sumatra. Menurut Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dulu nama Melayu dicatat oleh pelaut-pelaut asing untuk menyebut seluruh Pulau Sumatra. “Banyak yang belum tahu kalau Malayu itu dulu sebutan untuk Sumatra, selain sebutan Swarnadwipa atau Swarnabhumi ,” ujar Bambang dalam diskusi di acara pembukaan Festival Pamalayu di Museum Nasional, Jakarta, baru-baru ini. Dalam Prasasti Dharmasraya (Padang Roco), secara spesifik Malayu disebutkan ada di Swarnnabhumi. Prasasti ini tertulis di alas arca Amoghapasa. Arca ini menjadi hadiah dari Sri Maharajadhiraja Krtanagara Wikrama Dharmmottunggadewa di Kerajaan Singhasari kepada Sri Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauliwarmmadewa hampir delapan abad yang lalu. Sriwijaya Bukan Bajak Laut Jika Ridwan Saidi yakin kalau Sriwijaya lebih merupakan bajak laut setelah membaca catatan I-Tsing, namun biksu itu sendiri menulis hal yang berbeda tentang Sriwijaya. Dia bersaksi kalau Sriwijaya (Shili Foshi) merupakan pusat pembelajaran terkenal pada masa itu. Dalam catatan I-Tsing berjudul Mulasarvastivadaekasatakarman, biksu itu menulis Sriwijaya adalah kota yang berbenteng. Di sana terdapat ribuan biksu Buddhis yang menuntut ilmu. Mereka menganalisis dan mempelajari semua mata pelajaran persis seperti yang ada di Kerajaan Tengah (Madhyadesa, India). Pun tata cara dan upacaranya juga tak berbeda. “Jika seorang biksu dari Tiongkok ingin pergi ke India untuk mendapatkan ajaran dan melafalkan kitab asli, lebih baik dia tinggal di sini (Sriwijaya, red . ) selama satu atau dua tahun dan mempraktikkan tata cara yang benar, baru berlanjut ke India Tengah,” tulis I-Tsing. Sementara berita itu diperjelas lagi dengan penyataan dalam Prasasti Karang Brahi dan Kota Kapur, Srivijaya di sana tampil sebagai kadatuan yang menguasai daerah asal prasasti itu. “Keberhasilan!... Wahai sekalian dewata yang berkuasa, yang sedang berkumpul dan yang melindungi kadatuan Srivijaya ini…,” sebut prasasti Kota Kapur. Ninie Susanti, arkeolog Universitas Indonesia, menjelaskan dalam hal ini, Sriwijaya memang tak pernah menyebut dirinya kerajaan, tetapi kadatuan . “ Kadatuan berasal dari kata datu, artinya orang yang dituakan,” katanya. Menurut ahli epigrafi, Boechari, secara harfiah, kadatuan yang sepadan dengan karatwan (Jawa Kuno) berarti tempat datu, yaitu puri, istana, atau keraton. Sementara arkeolog dan sejarawan Prancis, George Coedes, mengartikan kadatuan sebagai wilayah yang dikuasai oleh datu atau kerajaan. Begitu pula sejarawan Jerman, Hermann Kulke, menafsirkan kadatuan sebagai tempat datu, dalam arti tempat tinggal atau keratonnya. Untuk lebih meyakinkan lagi akan keberadaan tempat bernama Sriwijaya, bisa juga membaca keterangan dalam prasasti wangsa Cola dari India. Dalam Prasasti Tanjore dari 1030, dikisahkan Rajendracola I yang naik takhta pada 1012, menyerang negeri-negeri di seberang lautan. Salah satunya bernama S rivijayam.

  • Teknokrat Olahraga dalam Riwayat (Bagian II – Habis)

    DALAM film Susi Susanti: Love All yang akan beredar di bioskop-bioskop Tanah Air mulai 24 Oktober 2019 nanti, aktor Lukman Sardi akan memerankan Mangombar Ferdinand Siregar, teknokrat olahraga legendaris. Lukman mengaku tertantang memerankan tokoh yang mengarsiteki prestasi monumental medali emas Susy Susanti dan Alan Budikusuma di Olimpiade Barcelona 1992 itu. Untuk menyelami karakternya, Lukman membaca biografi Siregar, Matahari Olahraga Indonesia, serta mewawancara sejumlah eks-pebulutangkis nasional. “Menarik, soal bagaimana seorang teknokrat olahraga tapi dia juga menjadi keluarga dari pemain-pemain bulutangkis ini. Apalagi sebelumnya dia sempat di PRSI (Persatuan Renang Seluruh Indonesia) tapi kemudian dia harus bisa memahami banyak hal lain dalam dunia olahraga itu sendiri. Dia sangat concern dengan olahraga,” tutur Lukman Sardi kepada Historia di sela peluncuran poster resmi Susi Susanti: Love All , 20 Agustus 2019. MF Siregar memulai kiprahnya di bidang olahraga dari mengurusi cabang akuatik. Saat pergantian rezim dari Sukarno ke Soeharto, bintangnya kian terang hingga dia menduduki jabatan sekjen di Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat. Namun, Siregar merasa ada yang kurang. Walau sudah lama turut dalam Asian Games (sejak 1951) dan Olimpiade (sejak 1952), gaung Indonesia justru belum terdengar di Asia Tenggara. Kontingen Indonesia, dipimpin Siregar, baru turut serta dalam SEA Games pada 1977 di Kuala Lumpur, Malaysia. Kendati tiada sambutan terhadap kedatangan kontingen Indonesia yang berisi 313 atlet cum ofisial, Indonesia pulang dengan gelar juara umum. Sukses itu lantas membuat negara-negara tetangga belajar ke Indonesia. Dari Indonesia pula mereka baru mengenal metode pelatnas. “Ide untuk pelatnas di luar negeri itu datang dari Pak Suprajogi dan saya. Ternyata hasilnya luar biasa. Ini merupakan pengembangan dari sistem pelatnas yang sudah kami lakukan di cabang renang pada 1961 di Bandung sebagai persiapan ke Asian Games IV (1962),” tutur Siregar dalam biografinya. Firasat Olimpiade dan Air Mata Barcelona Percaya atau tidak, Siregar pernah melontarkan dua firasat soal prestasi Indonesia di olimpiade yang terbukti benar. Kedua firasat itudiungkapkannya dua tahun sebelum datangnya medali pertama dan enam tahun sebelum Susy dan Alan membawa pulang dua emas pertama. Firasat itu, kata Siregar dalam Guru-Guru Keluhuran: Rekaman Monumental Mimpi Anak Tiga Zaman , dikeluarkannya usai dianugerahi medali emas L’Ordre Olympique. Anugerah yang diserahkan langsung oleh Wakil Ketua IOC Alexandre Siperco di Gedung KONI, Jakarta, 29 Januari 1986. “Saya anggap pemberian ini kepada rakyat Indonesia, bukan saya pribadi. Saya bertekad agar bangsa Indonesia dapat disejajarkan dengan negara maju di olahraga. Saya ingin lihat bendera Merah Putih berkibar di Olimpiade 1988 dan mendengar lagu ‘Indonesia Raya’ dikumandangkan di Olimpiade 1992,” kata Siregar, yang menjadi orang Indonesia ketiga yang menerima anugerah dari IOC setelah Sri Sultan Hamengkubuwono IX (Silver Olympic Order, 1983) dan R. Maladi (Silver Olympic Order, 1984). Firasat Siregar benar. Trio atlet panahan Nurfitriyana Saiman, Kusuma Wardhani, dan Lilies Handayani mempersembahkan medali (perak) pertama buat Indonesia di Olimpiade Seoul 1988. Saat itubendera dwiwarna dikerek ke atas meski hanya di pucuk tertinggi kedua. Sedangkan bendera Merah Putih dikibarkan di tiang tertinggi diiringi “Indonesia Raya” terjadi di Barcelona 1992. Pencapaian yang sekaligus menjawab tuntutan penguasa rezim Orde Baru. Saat itu, Siregar yang dipercaya menjadi Kepala Bidang Pembinaan dan Prestasi PBSI dibebani tugas berat. Presiden Soeharto memintanya memimpin misi emas mengingat prestasi bulutangkis Indonesia di berbagai kompetisi internasional tengah di puncak. Mau tak mau, Siregar mengurusi hampir semua persiapan. Mulai soal asupan nutrisi hingga mental pemain, semua jadi hal yang terus dipikirkannya. “ Dia sangat sadar akan konsekuensi dan tanggungjawab tugasnya itu. Mungkin karena beban berat di pundaknya, dia sampai serangan jantung. Sebagai pribadi, yang saya pikirkan adalah berjuang untuk opa,” kenang Susy Susanti dalam testimoninya di biografi Siregar. “Opa” merupakan panggilan Siregar yang diberikan oleh anak-anak asuhnya saking intimnya pendekatan Siregar dengan para pemainnya. Selain Susy, Alan turut merasakannya. Suatu ketika, Alan tampil buruk di Thomas Cup 1992 dan jadi biang kekalahan di final. Padahal, ajang itu dijadikan PBSI sebagai pemanasan jelang olimpiade. Alhasil, Alan dimarahi habis-habisan oleh pelatihnya, Indra Gunawan dan Rudy Hartono. “Akibat kekalahan itu saya sempat frustrasi,” kata Alan kepada Historia . Di situlah Siregar datang sebagai penyelamat. Siregar menenangkan Alan dan mengimbaunya untuk lebih keras dalam latihan selepas Thomas Cup. Alan pun manut dan dengan suntikan motivasi lain dari tunangannya, Susy, Alan pun bangkit. “Sesudah pulang saya diberi motivasi lagi setelah sempat seminggu terpuruk, stress, depresi. Setelah diberi motivasi, saya melakukan program berbeda. Biasanya yang sehari enam jam, untuk olimpiade ditambah durasinya. Benar-benar habis fisik kita di lapangan. Kalau habis latihan biasanya badan susah dibikin bangun lagi,” sambungnya. Alan berhasil menjungkirkan prediksi yang lebih banyak mengunggulkan Ardy B. Wiranata, lawan Alan, dalam final tunggal putra bulutangkis olimpiade. Indonesia akhirnya membawa pulang dua emas, dua perak, dan satu perunggu di Olimpiade Barcelona 1992. Semuanya berasal dari cabang bulutangkis. Selain Alan dan Susy, dua perak lain disumbangkan Ardy Wiranata dan pasangan Eddy Hartono/Rudy Gunawan, serta perunggu dari Hermawan Susanto. Sayangnya Siregar tak bisa melihat anak-anak asuhnya meraih itu semua dengan mata kepalanya sendiri. Ia dilarang dokter menyaksikan langsung karena kondisi jantungnya masih dalam tahap pemulihan. Pun begitu, ia tetap bisa merasakan haru Susy Susanti dan Alan yang berlinang air mata kala mendengar “Indonesia Raya” di podium utama. “Kapan lagi bendera kita bisa berkibar di podium olimpiade – tiga sekaligus lho. Belum tentu bisa ditandingi oleh negara lain,” papar Siregar. Kiprah Siregar lantas tutup buku mulai 2007 akibat kondisi kesehatannya yang kian menurun selepas menjabat anggota Dewan Kehormatan KONI Pusat. Tiga tahun berselang, 3 Oktober 2010, ia mengembuskan nafas terakhir. Sebelum tiada, ia sempat prihatin dengan anjloknya prestasi olahraga Indonesia di SEA Games 2005. Baginya, itu adalah hasil dari pembinaan olahraga yang amburadul, di mana sistemnya telah melenceng dari yang pernah ia tanamkan. Ia juga sempat mengkritik Pekan Olahraga Nasional (PON) yang tak menelurkan atlet-atlet binaan bermutu untuk dibawa ke pentas internasional. “Yang terjadi di PON adalah jual-beli atlet yang semakin marak. Semua daerah ingin menjadi juara umum tetapi tidak mau bersusah payah melakukan pembinaan,” katanya.

  • KPK Melawan DI/TII

    Idham Chalid dari NU membantu pemerintah melawan DI/TII dengen membentuk Kia Pembantu Keamanan.

  • KPK Melawan DI/TII

    SEPULANG dari Bandung menuju Jakarta, Idham Chalid, Ketua I PBNU, menginap di Puncak. Tiba-tiba gerombolan DI/TII menembakinya dari arah perbukitan. Dia tiarap di kolong ranjang. Untungnya, segera datang bantuan tentara dari Cipanas. Kontak senjata berlangsung berjam-jam. Malam menjadi bising karena desingan peluru. Mereka lari menjelang subuh dengan menderita banyak korban jiwa dan luka-luka. Di pihak tentara juga ada yang terluka. Pengalaman lain yang dialami Idham ketika naik kereta api menuju Jawa Timur. Dia ditembaki gerombolan DI/TII antara Gambir dan Pegangsaan. Beruntung peluru hanya mengenai ujung kopiah ajudannya, H. Djumaksum. “Sasaran tembakan pastilah saya, menteri yang mengurusi keamanan,” kata Idham dalam biografinya, Tanggungjawab Politik NU dalam Sejarah. Dari 24 Maret 1956 hingga 9 April 1957, Idham menjabat Wakil Perdana Menteri merangkap Kepala Badan Keamanan. Salah satu perhatian utama Kabinet Ali Sastroamidjojo II itu adalah pemulihan keamanan dari DI/TII di Jawa Barat, Jawa Tengah, Aceh, dan Sulawesi Selatan. “Tugas saya yang paling berat adalah menghadapi gerombolan yang membawa dalil-dalil agama Islam, yaitu Darul Islam Kartosuwiryo di Jawa Barat, Ibnu Hadjar di Kalimantan Selatan, Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, dan Tengku Daud Beureueh di Aceh,” kata Idham . Menurut Idham, DI/TII merugikan Islam. Banyak umat Islam yang menjadi korban kekejaman mereka. Mungkin di Aceh tidak terjadi perbuatan seperti di Jawa Barat dan Sulawesi Selatan di mana gerombolan DI/TII membakar madrasah dan masjid yang tidak sependapat dengan mereka. “NU yang dianggap sebagai pengkhianat Islam karena keluar dari Masjumi juga dianggap musuh utama DI/TII. Mereka menganggap NU membantu Republik Indonesia Kafir (RIK). Apalagi salah seorang ketuanya menjadi wakil perdana menteri yang memegang urusan keamanan. Beberapa orang pimpinan cabang NU di Jawa Barat dibakar rumahnya oleh DI/TII, bahkan ada yang ditembak mati. Suatu rapat NU pernah diserang mereka,” kata Idham. Sejarawan Cornelis van Dijk mengungkapkan bahwa pada Juli 1953 DI/TII melancarkan aksi serentak. Komandan DI/TII di Ciamis Selatan, Uchjan Effendi, memerintahkan pasukannya meningkatkan aksi untuk mengacaukan musuh. Mereka melakukan tindakan apa pun untuk membuat kekacauan. “Angkatan Kepolisian Negara Islam, misalnya, ditugaskan untuk menghukum warga yang tidak sepakat dengan Darul Islam. Uchjan juga memberikan perintah kepada masing-masing satuan Angkatan Kepolisian yang beroperasi pada tingkat kecamatan. Mereka ditugaskan untuk membunuh paling sedikit satu orang warga dan membakar paling sedikit lima bangunan yang didirikan pemerintah Republik dalam waktu dua minggu. Ancamannya, bila ada anggota yang gagal melakukan aksi ini akan dituntut secara hukum,” tulis Van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Dalam menghadapi DI/TII, Idham melibatkan para kiai. Dia membentuk KPK (Kiai-Kiai Pembantu Keamanan) yang diketuai KH Muslich dari Jakarta. Anggotanya ditunjuk satu orang dari masing-masing wilayah di mana terdapat DI/TII. Khusus untuk Jawa Barat sebagai daerah yang paling luas dikuasai DI/TII, KPK menunjuk dua orang wakil yaitu KH Dimyati (Ciparai) dan Moh. Marsid. Anggota KPK lainnya antara lain KH Baidowi Tafsir (Jakarta), KH Malik (Jawa Tengah), KH As’ad Syamsul Arifin (Jawa Timur), KH Ahmad Sanusi (Kalimantan), KH Zahri (Lampung), KH Jusuf Umar (Sumatra Selatan), KH Kahar Ma’ruf (Sumatra Tengah), Tengku Mohammad Ali Panglima Pulen (Aceh dan Sumatra Utara), dan KH Abdullah Joesoef (Sulawesi). “Mereka dengan sungguh-sungguh melaksanakan panggilan kewajibannya sebagai seorang Islam dan warga negara untuk berbicara dengan rakyat tentang kesadaran mematuhi ajaran agama dan hidup bernegara,” kata Idham. Mereka menghubungi para kiai di daerah masing-masing untuk menyampaikan kesadaran itu karena gangguan keamanan yang berlarut-larut merugikan negara dan rakyat. Mereka melakukan kegiatannya melalui pengajian atau kegiatan lainnya. Panglima-panglima militer di daerah gembira dengan adanya KPK. Dalam setiap peninjauan maupun operasi militer mereka selalu mengikutsertakan KPK. Di daerah yang berhasil dikuasai, sang kiai memberikan ceramah kepada rakyat. Mereka juga memberikan penyadaran kepada anggota gerombolan DI/TII yang menyerah. “Mereka sama sekali tidak diganjar dengan nilai penghasilan tertentu, tetapi hanya mendapat sekadar uang jalan dan uang saku,” kata Idham. “Jasa kiai-kiai pembantu keamanan tidak bisa saya lupakan.”*

  • Teknokrat Olahraga dalam Riwayat (Bagian I)

    NAMANYA tak dikenal luas. Padahal, perannya begitu besar di balik sejumlah prestasi monumental olahraga Indonesia. Maklum, Mangombar Ferdinand Siregar bukan pelatih apalagi atlet. Namun di antara para stakeholder olahraga nasional, ia salah satu teknokrat olahraga paling dihormati. Hingga kini namanya tenggelam lantaran terbilang langka media-media nasional yang mengulas. Sayup-sayup terdengar lagi namanya saat media-media ramai memberitakannya wafat, 3 Oktober 2010. Pun begitu, generasi milenial setidaknya akan “berkenalan” dengannya lewat film bertema biopik olahraga, Susi Susanti: Love All garapan sineas Sim F. Di film yang akan tayang 24 Oktober 2019 itu, sosok Siregar diperankan Lukman Sardi. Siregar merupakan sosok besar di balik sukses Susy Susanti dan Alan Budikusuma mempersembahkan dua medali emas pertama buat Indonesia di olimpiade (Barcelona, 1992). Sebelumnya sang teknokrat juga turut terlibat dalam sukses negeri di Asian Games 1962. Dalam bergulirnya zaman, ia juga tokoh di balik viralnya panji olahraga dan seruan: “Memasyarakatkan Olahraga dan Mengolahragakan Masyarakat”. Di Garis Belakang Tujuh belas hari sebelum Persija berdiri, Siregar dilahirkan di Kwitang, Jakarta pada 11 November 1928. Sebagai anak pegawai Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM), perusahaan pelayaran Belanda, Siregar kecil menikmati pendidikan bermutu di Christelijke Idenburgh School. Semasa bocah, Siregar menyenangi banyak olahraga. Sofbol, sepakbola, dan renang paling digandrunginya. Namun, kepada olahraga air itulah hati Siregar akhirnya berlabuh. Dia sering bolos sekolah Minggu hanya untuk memuaskan diri berenang bersama teman-temannya di Kanal Banjir Barat maupun di Pantai Zandvoort (kini Sampur, Cilincing). Suatu ketika, ia nyaris kena petaka di lepas pantai itu. “Saya berenang agak ke tengah. Tiba-tiba sudah terbawa gelombang. Sebetulnya sudah tenggelam. Namun saya tidak panik. Saya injak-injak tanah saja, terus kan muncul. Lalu melambaikan tangan sampai ada yang menolong,” kenang Siregar, dikutip Brigitta Isworo Laksmi dan Primastuti Handayani, dua jurnalis senior yang merangkai biografi Siregar, Matahari Olahraga Indonesia. Sebagaimana para tokoh di masanya, pendidikan Siregar sempat terganggu di masa peralihan dari kolonialis Belanda ke pemerintahan militer Jepang. Pendidikannya di Van Lith School selepas lulus dari Christelijke Idenburgh terhenti. Namun, statusnya sebagai “anak negeri” membuatnya bisa meneruskan pendidikan ke sekolah Jepang Dai Ichi/Dai Ni. Namun, ia tak bisa sering beraktivitas olahraga lantaran sebagai pelajar ia acap dikenakan kinrohoshi alias kerja bakti. Pasca-Perang Dunia II, kawan-kawannya semasa di sekolah Belanda memilih ikut NICA (Nederlands Indisch Civil Administratie), sedangkan Siregar pilih pro-republik dengan jadi sukarelawan Palang Merah Indonesia (PMI). Pun begitu, Siregar tetap berhubungan baik dan turut mengambil faedahnya. “Di usia sekitar 15 tahun saya dan banyak pemuda lain, di antaranya Chairil Anwar, bergabung dengan PMI. Kami pernah bertugas mengirim, secara ilegal, senjata dan obat-obatan ke Yogyakarta dari Jakarta dengan keretaapi. Bekerjasama dengan orang Ambon anggota NICA menyuplai senjata untuk pihak pribumi,” terang Siregar dalam Guru-Guru Keluhuran: Rekaman Monumental Mimpi Anak Tiga Zaman . Siregar dan kawan-kawannya mendapatkan suplai obat-obatan dan persenjataan itu dari teman-teman lamanya yang memilih ikut NICA, terutama para serdadu Ambon di Batalyon X NICA di Pejambon. Barang-barang selundupan itu lazimnya mereka sembunyikan di sela-sela dinding gerbong. Cara itu kerapkali sukses mengelabui pemeriksaan Belanda di Stasiun Kranji. Selain terus melanjutkan sekolahnya di SMA Adam Bachtiar, Siregar juga aktif di Ikatan Pemoeda Peladjar Indonesia (IPPI) Jakarta. Selain itu, dia aktif di Perkoempoelan Renang Tirta Kencana. Di perkumpulan renang itu selain kembali bisa menumpahkan hobi renangnya, Siregar dari rekan-rekannya bisa membuka pintu ke dunia militer. Siregar pun mendaftar mobilisasi pelajar di Bandung. Setelah dilatih militer selama tiga bulan di Sumedang, Siregar lalu dijadikan komandan Corps Polisi Militer (CPM) Pelajar Batalyon III Divisi Siliwangi, di bawah Mayor Ruslan Rusli Soetama. MF Siregar saat bertugas di CPM Pelajar Batalyon III Divisi Siliwangi (Foto: Repro "Matahari Olahraga Indonesia"/Dok. Pribadi MF Siregar) Namun sebagaimana kala jadi anggota PMI, Siregar hampir tak pernah terlibat baku tembak di front terdepan. Tugasnya lebih banyak di garis belakang. Pasukan Siliwangi di Jawa Barat jarang mengirim tentara pelajarnya ke palagan. Siregar lebih sering ditugaskan berpatroli ke wilayah-wilayah seperti Tangerang, Serang, dan Pandeglang. Seusai revolusi, rampung pula pendidikan menengah atasnya. Saat demobilisasi tentara pelajar, Siregar memilih meneruskan sekolah ketimbang melanjutlan karier militer. Di Balik Gelanggang Sebagai “orang olahraga”, sayangnya Siregar tak punya rekam jejak istimewa sebagai atlet. Paling banter, ia mewakili kampusnya Akademi Pendidikan Djasmani (APD) Bandung di Pekan Olahraga Mahasiswa (POM) I di Yogyakarta, 1951. Siregar tampil di dua cabang olahraga. Di sepakbola, ia bermain sebagai gelandang. Di atletik, ia berlaga di kategori lari 1.500 meter, 5.000 meter, dan 10.000 meter, serta 3.000 meter halang rintang. Selepas lulus, ia memilih jalur di belakang gelanggang sebagai ofisial cabang renang dan polo air untuk Asian Games 1954 di Manila, Filipina. Siregar dipilih lantaran sudah malang-melintang mengajar pendidikan jasmani di beberapa kampus dan di Djawatan Angkatan Udara (TNI AU). Meski gagal memetik medali di renang, Siregar bisa berbangga timnya meraih perunggu. Di antara salah satu anggota timnya pun turut serta adiknya, Othman Siregar.  Menjelang Asian Games 1962 Jakarta, Siregar “naik kelas” menjadi pelatih kepala cabang renang, polo air, dan loncat indah. Pada persiapan pesta olahraga se-Asia itu pula ia berkesempatan bertatapmuka pertamkali dengan Presiden Sukarno. “Menjelang Asian Games saya ditugasi jadi komandan upacara pengukuhan pelatnas kontingen Indonesia di Bandung. Itulah pertamakali berkesempatan bicara dengan Sukarno. Ketika masih di APD pada eksebisi senam akrobatik, hanya bisa menatap Bung Karno,” tutur Siregar. MF Siregar saat menemani rombongan Presiden Sukarno & istrinya Hartini ke Pelatnas Asian Games 1962 di Bandung (Foto: Repro "Matahari Olahraga Indonesia"/Dok. Pribadi MF Siregar) Siregar sukses mengepalai cabang-cabang olahraga akuatik. Indonesia mendapat satu emas, empat perak, dan enam perunggu. Sukses itu mengantarkannya mendapat kesempatan tawaran pendidikan tinggi lanjutan di Springfield College, Massachusetts, Amerika Serikat berkat kerjasama RI-Amerika. Siregar mengambil program master jurusan Physical Education dan lulus pada 1964. “Proses pengajaran di sana mengutamakan kepentingan dan kebutuhan manusia. Itu sangat cocok dengan visi Bung Karno yang berambisi menjadikan manusia Indonesia sebagai manusia yang unggul yang diharapkan bangsa ini,” imbuhnya. Sekembalinya ke Tanah Air, Siregar balik mengurusi Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PRSI) sebagai kabid pembinaan. Ia juga dipercaya Menteri Olahraga R. Maladi menjadi direktur Pembibitan dan Pembinaan Prestasi Direktorat Jenderal Olahraga. Semasa Orde Baru, Siregar sudah menjabat Sekjen Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Pusat. Dia jadi salah satu sosok paling dicari wartawan sehubungan dengan batalnya kontingen Indonesia berangkat ke Olimpiade Moskow 1980. Oleh Menlu Mochtar Kusumaatmadja, Siregar hanya diperkenankan memberi alasan bahwa atlet-atlet Indonesia batal ke Negeri Tirai Besi lantaran persiapan PON 1981. “Selain pernyataan tersebut, saya hanya boleh menjawab ‘no comment’ untuk pertanyaan lain, apalagi yang menyangkut pemboikotan. Saya sampai keringat dingin,” ujar Siregar. (Bersambung)

  • Kutai di Era Hindia Belanda

    RENCANA pemindahan ibu kota akhirnya disiarkan.Dalam keterangan pers di Istana Negara (26/8), Presiden Joko Widodo menyebut jika serangkaian kajian telah dilakukan untuk menetapkan Kalimantan Timur sebagai ibu kota baru Republik Indonesia. “Hasil kajian-kajian tersebut menyimpulkan bahwa lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur,” ungkap Jokowi. Sebenarnya wilayah Kutai telah lama menjadi sorotan. Sejak masa pemerintahan Hindia Belanda, salah satu daerah di Kalimantan Timur ini menjadi bagian penting dari rencana menguasai Nusantara yang diusung pemerintah kolonial. Kutai tak pernah luput dari perhatian. Usaha Kolonisasi Kontak pertama orang-orang Belanda dengan Kutai terjadi pada 1635. Saat itu Kerajaan Belanda mengirim 5 kapal pimpinan Gerrit Thomassen Pool ke Kutai. Mereka berhasil menjelajahi Sungai Mahakam sebelum kemudian bertemu Raja Kutai. Pada 8 November 1635, pedagang Belanda Pieter Pietersz diutus untuk menghadap Raja Kutai Aji Pangeran Dipati Agung Ing Martapura. Sebagai perwakilan negeri Belanda ia diminta melakukan perjanjian dagang dengan Kerajaan Kutai. “Arti penting diadakannya perjanjian itu untuk Belanda ialah, Kutai yang tadinya tidak begitu dikenal sekarang menjadi relasi dalam dunia perdagangan,” terang Amir Hasan Kiai Bondan dalam Suluh Sedjarah Kalimantan . Hubungan antara Kalimantan dengan Belanda sempat terputus sangat lama pada 1638 ketika Banjarmasin menyerang benteng Belanda dan membunuh ratusan tentaranya. Pemerintah Belanda pun memutuskan untuk melupakan niat menguasai Kutai. Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada1673, sebuah ekspedisi dari Belanda kembali dikirim ke Kutai. Para pejabat kolonial berencana kembali menjalin hubungan baik dengan Raja Kutai. Namun mereka disambut dengan dingin. Tidak ada satupun penguasa yang berencana menerima kedatangan Belanda di negerinya. Ekspedisi-ekspedisi selanjutnya juga masih mengalami kegagalan. Namun bukan Belanda namanya jika menyerah begitu saja. Berdasarkan laporan ekspedisi pejabat van Heys tahun 1675, yang dikutip Anwar Soetoen dkk dalam Dari Swapraja ke Kabupaten Kutai , diketahui bahwa kerajaan Kutai tengah berkonflik dengan kerajaan-kerajaan di sekitarnya. “Keadaan itu akan mempermudah Belanda untuk mengadakan politik adu domba antara satu kerajaan dengan kerajaan yang lain di Kalimantan Timur,” tulis Anwar. Benar saja, pada 1756 Kutai mengadakan perjanjian dengan pejabat kolonial. Saat itu Sultan Kutai direpotkan dengan serangan Kerajaan Berau. Belanda pun menawarkan perlindungan dan berjanji akan membantu meredam serangan Berau. Namun perjanjian itu tidak serta merta membuat Belanda mudah menguasai Kutai. Rakyat masih belum membuka akses untuk Belanda. Upaya menaklukan Kutai pun terpaksa ditunda. Kesempatan yang dinanti para pejabat Belanda akhirnya tiba. Perselisihan di Kesultanan Banjar tahun 1787, antara Pangeran Tamjidillah II dengan Pangeran Amir, memberi jalan untuk Belanda turut campur di dalamnya. Tamjidillah II yang hampir mengalmi kekalahan akhirnya meminta bantuan militer kepada Belanda. Alhasil perjanjian yang mengikat pun harus diterima sebagai konsekuesinya. Di dalam perjanjian tersebut, Kutai ikut digadaikan bersama wilayah lain yang menjadi bagian dari Banjarmasin. Kutai sendiri kekuasaannya telah direbut oleh Banjar sejak abad ke-17. Dalam bukunya, Anwar Soetoen juga disebutkan Belanda bukanlah satu-satunya bangsa Eropa yang menginginkan daerah Kutai. Pihak Inggris juga berlomba menanamkan pengaruhnya di sana. “Daerah Kutai hanya secara de jure saja dikuasai oleh Banjarmasin, Belanda, dan Inggris. Nyatanya waktu perjanjian-perjanjian itu diadakan, tidak ada petugas-petugas yang secara langsung ditempatkan di Kerajaan Kutai. Sehingga dapat dikatakan bahwa Kerajaan Kutai berkembang sendiri, dan tidak mengakui pengaruh Banjarmasin,” jelas Anwar. Belanda baru secara resmi berkuasa atas Kutai pada 1825. Dalam catatan seorang peneliti Leiden, C.A. Mees,  De Kroniek van Koetai  dijelaskan bahwa saat itu Sultan Muhamad Salehudin (1780--1850) membuat kontrak dengan pemerintah kolonial. Isinya antara lain mengakui pemerintahan Belanda sebagai yang dipertuan di negeri Kutai. Selain itu, Belanda juga diberi kebebasan di dalam urusan pengadilan, bea cukai segala jenis perdagangan, pajak orang-orang Tiongkok, dan aturan pajak pertambangan. "Sejak saat itu diangkatlah seorang  civiel gezag hebber  bernama H. van Dewall," tulisnya Membangun Potensi Kehadiran pemerintah Hindia Belanda di Kutai tidak melulu soal kerugian. Kedatangan mereka membuka peluang bagi Kutai untuk menaikkan pendapatan ekonominya. Hasil alam yang begitu melimpah di tanah Kalimantan belum dimanfaatkan dengan maksimal oleh rakyat Kutai. Sehingga ketika Belanda datang kesempatan mengeksplorasi wilayah potensial di Kutai mulai terbuka. Melalui perjanjian yang ditandatangani pada 9 Desember 1882, pemerintah kolonial berhak membuka area pertambangan dan minyak tanah di beberapa titik di wilayah Kutai. Durasi perjanjian itu cukup panjang, yakni 75 tahun, dengan berbagai syarat yang disetujui oleh kedua pihak. Sebagai gantinya, penguasa Kutai Sultan Muhammad Sulaiman menerima uang sewa tanah dan cukai dari setiap liter minyak yang diambil pemerintah Belanda. Perusahaan pertambangan batu bara milik Belanda mulai berjalan pada 1888. Sementara perusahan minyak tanah yang dikepalai J.H. Menten beroperasi setahun kemudian. “Penghasilan berlimpah yang diterima oleh kerajaan dipergunakan sebaik-baiknya untuk memperkaya Kerajaan Kutai. Boleh dikatakan barang-barang milik kerajaan sekarang dihasilkan pada masa itu. Seperti mahkota raja yang terbuat dari 3 kilogram emas murni,” tulis Amir. Selain membuka area pertambangan, pemerintah Belanda juga membeli hasil-hasil hutan kepada raja. Harga pembeliannya pun terbilang tinggi, hampir sama dengan pedagang pada umumnya. Menurut data milik pemerintah Belanda di Kutai yang dimuat Kudungga vol IV , barang-barang dari Kutai itu nantinya akan dijual ke luar negeri, salah satunya Singapura. “Keadaan ini menimbulkan kegairahan bekerja yang tiada taranya di kalangan rakyat, yang dengan giat mengumpulkan hasil-hasil hutan dan memajukan pertanian karena mereka mendapat dorongan dari sultannya sendiri. Usaha mana sedikit banyaknya dapat memberikan kemakumaran bagi rakyatnya,” ungkap Anwar.

  • Alunan Gamelan Memikat Komponis Amerika

    Dalam suatu kunjungan di Jawa, seorang komponis Amerika Serikat, Henry Eichheim menghadiri perayaan ulang tahun Pakubuwana X pada 29 November 1927. Perayaan itu dimeriahkan oleh tari srimpi dan pertunjukan gamelan selama tujuh jam. Pertunjukan itu membuat Eichheim takjub dan menyebutnya sebagai, “pengalaman musikal paling memikat yang pernah saya miliki.” Henry Eichheim adalah komponis, konduktor dan violinis Amerika Serikat yang lahir di Chicago pada 1870. Eichheim memulai karir musiknya sebagai violinis di Boston Symphony Orchestra dan sebagai pianis dalam The Eichheim Trio. Ia melakukan lima kali perjalanan ke Asia antara tahun 1915 hingga 1937. Karya pertamanya berdasar musik Asia ialah Oriental Impressions (1918-1922). Yang dibuat untuk istri yang sekaligus merupakan pianisnya ketika tur. Karya tersebut merupakan komposisi melodi Korea, China, Jepang dan Thailand yang ia kumpulkan dalam perjalanan ke Asia pada 1915 sampai 1916 dan 1919. Eichheim pertama kali mengunjungi Jawa ketika melakukan tur tujuh bulan di Asia pada 1922. Di Jawa, sebagian besar waktunya ia habiskan di Yogyakarta, di mana ia dan istrinya menonton wayang wong atau wayang orang, mendengarkan gamelan, dan menghadiri pernikahan kerajaan di keraton. Dalam perjalanan itu, Eichheim membuat Malay Mosaic yang ditulis pada 1924 dan dipertunjukan perdana pada International Composer’s Guild di New York tahun 1925. Kata ‘Malay’ digunakannya sebagai semacam steno untuk Asia Tenggara. Karya ini menggabungkan tema Jawa dan Burma (Myanmar). “Eichheim merupakan komposer pertama Amerika yang mengkombinasikan instrumen musik Barat dengan gamelan,” kata Matthew Isaac Cohen dalam Gamelanesque effects: musical impressions of Java and Bali interwar America. Eichheim kemudian menghabiskan waktu selama tiga bulan di Jawa dalam perjalanannya ke Asia tahun 1927 hingga 1928. Kala itu, dia berencana untuk membuat ‘trilogi orkestra’ berjudul Java , Angkor , dan Bali . Dia juga ingin membeli gong Jawa besar untuk ini. Akhirnya, ia membeli gamelan slendro di Solo, lengkap dengan tiga gong. Ia juga membeli sejumlah instrumen dari daerah lain di Nusantara. Saat itu, Eichman ditemani Leopold Stokowski, konduktor Philadelphia Orchestra. Stokowski memang sedang berlibur di Asia Tenggara dan sama seperti Eichheim, ia ingin membawa pulang beberapa instrumen sebagai suvenir. Eichheim juga menghabiskan waktu bersama etnomusikolog Belanda, Jaap Kunst dan J. S. Brandst-Buys. Brandst-Buys membawa Stokowski dan Eichheim untuk menyaksikan pertunjukan lesung yang langka, di mana enam perempuan petani menumbuk padi di dalam lesung yang panjangnya enam atau tujuh meter dengan alu yang berat untuk memisahkan sekam dari beras. Hentakan mereka yang saling terkait menciptakan pola ritme yang berbeda (gejog). Dalam beberapa pertunjukan, para wanita akan bernyanyi dan menari ketika mereka memukul lesung. “Peristiwa folkloristik sederhana ini diperkuat ke dalam pola ostinato (irama yang diulang-ulang) yang ditekankan dan saling bertautan, yang dimainkan fortissimo (suara yang dihasilkan sangat nyaring) oleh orkestra simfoni penuh, dalam pengenalan puisi nada Eichheim, Java ,” kata Cohen. Stokowski dan Eichheim juga menghabiskan beberapa minggu di Bali pada 1928. Kala itu, Bali belum penuh oleh wisatawan. Hanya sekitar 250 turis per bulan datang ke Bali hingga 1930. Tetapi ketenaran dari para pengunjung seperti Charlie Chaplin, Noël Coward, H. G. Wells, Barbara Huton serta ambisi kreatif dan intelektual yang tinggal lebih lama seperti Walter Spies, Margaret Mead, Gregory Bateson dan Beryl de Zoete Miguel Covarrubiad, berkontribusi pada daya tarik pulau itu. “Eichheim tidak menyelesaikan Angkor, tetapi bagian-bagian dari 'trilogi orkestranya' yang ia tulis, Java (1929) dan Bali (1933), adalah dua dari meditasi internasional paling penting dari musik tradisional Indonesia yang digubah hingga saat itu,” sebut Cohen. Kedua karya gamelan itu ditayangkan perdana oleh Philadelphia Orchestra di bawah arahan Stokowski. Cohen menambahkan, “keduanya mendapat skor karena perpaduan orkestra dan instrumen gamelan yang penuh keberanian (dipinjam oleh Stokowski dari koleksi Eichheim), menciptakan palet yang kaya akan suara dan warna.” David Shavit, penulis Bali and the Tourist Industry: A History, 1906-1942 , menyebut karya itu sering di mainkan dan direkam pada 1934 di RCA Victor label. “Stokowski menikmati suara metalik indah yang dihasilkan gamelan, dan memperoleh gong Bali yang ia bawa kembali ke Philadelphia. Eichheim menghafal pengalaman mereka dengan mengarang serangkaian puisi nada pendek, menggunakan sejumlah instrumen gamelan di bagian perkusi orkestra,” kata David. Sementara itu, kritikus musik Olin Downes dalam pertunjukan perdana karya Eichheim menyebut bahwa Eichheim berhasil menghadirkan ‘semangat dan cita rasa yang ada’ dari musik Bali. “Penambahan gong besar dan instrumen perkusi lainnya menghasilkan senoritas dan nada warna yang luar biasa, serta aksen dan ritme. Juga tidak boleh dilupakan, orkestra penuh, bergetar -memamerkan- di depan seluruh komposisi. Penonton menerima musik yang indah dan atmosfer ini dengan persetujuan yang jelas,” ungkap Downes.

  • "Sama-Sama Manusia", Partai Politik Orang Papua

    ANGGOTA TNI yang melakukan perundungan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya akhirnya kena skors . Sebanyak lima orang dibebastugaskan dan menjalani pemeriksaan atas dugaan ujaran rasis. Salah satu aksi perundungan yang sempat viral adalah kelakuan seorang oknum TNI yang meneriaki mahasiswa Papua dengan sebutan "monyet". Mereka akan menjalani penyidikan oleh Polisi Militer Kodam V/Brawijaya untuk kemudian dihadapkan ke Pengadilan Militer. Belajar lagi dari sejarah, kelima anggota TNI tersebut ataupun siapa saja yang menghina orang Papua tiada ubahnya dengan kelakuan orang Belanda di zaman kolonial. Praktik diskriminasi telah berlangsung ketika Belanda menguasai Papua. Sebagai bentuk perlawanan, orang-orang Papua kemudian mendirikan partai politik bernama Sama-Sama Manusia. Partai Sama-Sama Manusia (selanjutnya disingkat SSM) didirikan pada 5 November 1960 di Sorong. Ketua SSM adalah Husein Warwey, wakilnya Luis Rumaropen asal Biak, M. Ongge asal Sentani dan Z. Abaa sebagai sekretaris. Misi SSM adalah kesetaraan bagi orang-orang Papua. SSM berbeda dengan kebanyakan partai politik di Papua saat itu yang lebih berkonsentrasi pada urusan politik. SSM lebih fokus pada urusan ekonomi yang berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat lokal. Di antaranya seperti persamaan hak dalam pekerjaan, ketentuan  cuti yang memadai, dan pemenuhan kebutuhan yang berkeadilan. Menurut sejarawan Universitas Cenderawasih, Bernarda Meteray, ketika Belanda berkuasa terdapat kebijakan pemerintah yang kurang memihak orang Papua. Pegawai Belanda di Papua mempunyai kesempatan lebih banyak hak daripada pegawai lokal Papua. “Hal ini bukan saja terjadi di Sorong tetapi juga di seluruh NNG (Papua, red). Kebijakan ini tidak hanya terjadi pada orang Papua tetapi juga orang Indonesia,” tulis Bernarda dalam disertasinya yang dibukukan  Nasionalisme Ganda Orang Papua . SSM juga memperjuangkan masalah kesejahteraan hidup. Ini khususnya menyangkut kebutuhan beras dan gula yang sulit didapatkan di toko-toko saat itu. Justus van der Kroeft dalam jurnalnya “Recent Developments in West New Guinea” termuat di Pacific Affairs , Vol. 34 No. 3, 1961 menerangkan kecurangan yang terjadi. SSM menuntut agar pembagian beras dan gula diukur dengan benar di toko-toko. Bukan dengan kaleng melainkan dengan perhitungan bobot. Dalam gerakan kepartaiannya, SSM juga menjadi prototipe simbol kerukunan umat beragama di Papua. Sebagaimana dicatat sejarawan Belanda Pieter Drogglever dalam Tindakan Pilihan Bebas: Orang Papua dan Penyatuan Nasib Sendiri SSM bersama Persatuan Christen Islam Radja Ampat (Perchisra) menjadi partai di mana mereka yang beragama Islam dan Kristen dapat bekerja sama. Memasuki tahun 1961, SSM mulai terlibat lebih jauh dalam politik. Ketika Belanda menyetujui pendirian partai-partai politik, SSM merupakan satu dari delapan partai yang diakui pemerintah. Dalam jurnalnya Kroeft mengatakan, SSM kadangkala bertindak sebagai juru bicara parta-partai lain melalui manifestonya. Seperti partai orang Papua lainnya, SSM mendeklarasikan bahwa penduduk Papua tidak mempunyai kaitan apapun dengan Indonesia. SSM juga mengharapkan penduduk Papua tetap berada di bawah kekuasaan Belanda hingga memperoleh kemerdekaan sendiri. SSM pun berganti nama menjadi Partai Rakyat. Partai ini kehilangan gaungnya ketika Papua masuk ke dalam Republik Indonesia. Pemerintah Indonesia mencap separatis siapa saja orang Papua yang hendak memerdekakan diri. Sama-Sama Manusia tinggal dalam catatan sejarah. Kendati demikian, diskriminasi masih saja melanda orang-orang Papua.

  • Saat Heli Trengginas Diganti Heli Bekas

    KENDATI usianya sudah lebih dari 80 tahun, lelaki berambut putih itu masih kuat ingatannya. Kata-kata yang keluar dari mulutnya masih jelas, kalimat-kalimatnya lugas. Mengenakan kaos putih dengan tulisan “Air Force” di dada kiri, perawakannya masih tegap. Kolonel Penerbang (Purn.) Pramono Adam, lelaki itu, masih ingat betul suatu hari saat dia bertugas sebagai komandan Squardron 8 Wings Ops 004. Pimpinan TNI AU memerintahkannya berangkat ke Udorn, Thailand untuk mengambil helikopter Sikorsky UH-34 D Sea Horse buatan Amerika Serikat (AS). “Belum pernah terbangin pesawat itu, belum tau pesawatnya seperti apa, belum pernah latihan, saya disuruh ambil 14 di situ, diangkut ke sini sendiri. Aku mikir, bingung,” ujarnya kepada Historia . Empat belas UH-34 D yang harus diambil Pram, sapaan akrab Pramono, merupakan helikopter yang dihibahkan pemerintah AS kepada pemerintah Indonesia. Hibah itu terjadi menyusul keluarnya permintaan AS kepada Indonesia agar mempensiunkan persenjataan buatan Uni Soviet, rival utama AS di Perang Dingin, pasca-Peristiwa 1965. Sebagai gantinya, AS menghibahkan persenjataan buatannya. Helikopter-helikopter trengginas Mi-4 dan Mi-6 yang jadi pegangan Pram sejak Dwikora (1963-1965) termasuk ke dalam daftar persenjataan yang mesti dipensiunkan itu. Kedua jenis heli digantikan UH-34 D. Mau-tak mau, Pram mesti mempelajarinya terlebih dulu sebelum memegang “capung besi” baru itu. Celakanya, saat itu di Indonesia tak tersedia UH-34. Pram pun mencari cara. Maka, kata Pram, “(Heli bekas, red .) punyanya Bung Karno, S-51, itu sangat VIP sekali, ditarik ke situ. Modelnya sama dengan Sikorsky ini cuma lebih sophisticated lagi.” Saat dibawa ke Lanud Atang, kondisi S-51 sudah parah lantaran lama teronggok. Seorang teknisi asal AS yang ditugaskan di Lanud Atang pun mengajak Pram membetulkannya. Namun, S-51 baru bisa kembali hidup setelah ditangani seorang teknisi AS yang dikirim dari Thailand. Melalui heli itulah Pram belajar tentang heli buatan AS. “Jadi saya tiap hari belajar dari seorang techrep . Dia bukan pilot. Kalau pagi saya latihan sama dia, kalau sore ngajar grupnya dia,” sambung Pram. Pada hari-H, Pram pun berangkat ke Lanud Halim Perdanakusuma. “Paspor dibagi-bagi, (saya) nunggu di Halim,” sambungnya. Dalam perjalanannya, perintah tugas Pram berubah-ubah. Dia tak jadi ditugaskan ke Udorn, melainkan diperintahkan menunggu di Tanjung Pandan, dan akhirnya menunggu di Halim. “Jadi rasanya plong nggak jadi ngambil sendiri di sana (Udorn).” Namun, Pram sempat berangkat ke Tanjung Pandan. Di sana, kejadian tak mengenakkan sempat dialaminya. “Di Tanjung Pandan (sewaktu) mau take off ke sana (Udorn), (ketika) di- start , (helikopter itu, red .) ngebul. Kaya mau kebakaran gitu. Aku udah ketar-ketir. Nyebrang laut kalau begini gimana,” kata Pram. Di Halim, Pram akhirnya menerima kedatangan heli-heli AS yang dipiloti langsung oleh pilot-pilot AS. Tugas Pram hanyalah membawa heli-heli itu ke Lanud Atang. Namun karena heli-heli dari AS yang akan menggantikan heli-heli trengginas buatan Soviet itu semuanya barang bekas, Pram pun mengecek dengan teliti heli-heli itu. “Dibuka tutup mesinnya, mesinnya itu diikat-ikat sama kawat jemuran. Sudah goyang semua. Diikat-iket sama kawat begitu supaya nggak goyang-goyang. Bayangin kalau saya membawa dari Udorn ke sini sekian belas pesawat, gimana itu rasanya? Jadi sudah keadaan bobrok,” sambungnya sambil tertawa. “Wong bekas dipakai di Vietnam. Masih ada bekas luka-luka bolong kena tembak.”

  • Gubernur Jawa Barat Menolak Beras Belanda

    IKATAN Mahasiswa Papua di Bandung menggelar aksi solidaritas menyusul aksi polisi menangkap rekan mereka di Surabaya. Di tengah aksi, oknum anggota polisi menawarkan dua dus minuman kepada mereka. Polisi berdalih pemberian itu merupakan minuman penyegar. Setelah dibuka ternyata isinya minuman keras jenis wiski. Kontan saja mahasiswa Papua menolaknya. Selain dianggap merendahkan , bisa jadi minuman keras itu bermotif  jebakan. Modus serupa juga pernah dialami Gubernur Jawa Barat pertama, Soetardjo Kartohadikoesumo. Saat itu, iming-imingnya adalah beras. Pada September 1945, ketika tentara Sekutu menduduki Jawa Barat, krisis pangan tengah melanda. Keadaan rakyat yang kesulitan mendapat bahan makanan terpantau oleh Sekutu dan Belanda. “Waktu itu di negeri kita terjadi kekurangan beras. Belanda dengan perantaraan pimpinan tentara Sekutu menawarkan pemberian beras dengan gratis dalam jumlah yang agak besar,” kenang Soetardjo dalam memoarnya Soetardjo: “Petisi Soetardjo” dan Perjuangannya . Kendati demikian, Sekutu tidak memiliki otoritas berhubungan langsung dengan rakyat. Untuk itu, mereka membutuhkan perantaraan pemerintah Indonesia. Sebuah kesepakatan lantas ditawarkan kepada pejabat tinggi Republik. Pembicaraan segitiga antara pemerintah Indonesia, Sekutu, dan Belanda digelar. Pertemuan berlangsung di Gedung Merdeka Selatan (sekarang menjadi kantor Pertamina). Pemerintah Indonesia diwakili Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Walikota Jakarta Suwirjo, Ir. Surachman dari Departemen Perekonomian, Mr. Latuharhary dari Departemen Dalam Negeri, dan Soetardjo selaku Gubernur Jawa Barat sekaligus bertindak sebagai juru bicara pemerintah RI. Belanda melalui juru bicara Sekutu menawarkan pemberian beras secara cuma-cuma. Jumlah itu diperkirakan dapat mencukupi kebutuhan pangan rakyat. Soetardjo menilai tawaran itu sebagai jebakan politis. Ia menandaskan bahwa bangsa Indonesia sudah merdeka. Maka pemerintah RI-lah yang bertanggung jawab atas nasib rakyat di Jawa Barat. Soetardjo memutuskan untuk menolak pemberian beras Belanda. Meski tegas, tidak lupa sang gubernur mengucapkan terimakasih atas tawaran niat baik tersebut. Seingat Soetardjo, seorang perwira tinggi Inggris berpangkat mayor jenderal mencoba melobi dirinya. Si Jenderal mempertanyakan apakah Gubernur Soetardjo tidak takut bahaya kelaparan menimpa rakyatnya. Diperkirakan perwira tinggi tersebut adalah Mayor Jenderal Douglas Cyril Hawtorn. Dia merupakan komandan tentara Sekutu dari Divisi ke-23 British India Army. Sejarawan Frank Palmos dalam  Surabaya 1945: Sakral Tanahku mencatat, Hawtorn ditunjuk oleh Panglima Sekutu untuk Indonesia Letnan Jenderal Sir Philip Christison membawahkan wilayah operasi meliputi  Jawa, Madura, Bali, dan Lombok. Soetardjo tidak kalah cerdik. Sambil bergurau dia menimpali, “Bukankah dahulu pemerintah Belanda sendiri mengatakan bahwa rakyat kami, de inlanders , bisa hidup segobang sehari?” Mendengar jawaban Soetardjo, Sri Sultan Hamengkubuwono IX malah tertawa terpingkal-pingkal. Siapa nyana, di tahun berikutnya situasi berbalik. Pada April 1946, ketika terjadi kelaparan di India, pemerintah Indonesia justru mampu menyumbang 500 ribu ton beras.

  • Mabuk Pisang Kiriman

    Mia Bustam, pelukis yang tergabung dalam Seniman Indonesia Muda (SIM), senang bukan kepalang. Romo Verlaan, pastur yang bersama Suster Van Vliet rutin membina misa tiap minggu di Kamp Plantungan, memberinya kabar baik. “Ada paket dari Atik,” kata Romo Verlaan kepada Mia, menjelaskan Nasti (anak Mia yang tinggal di Yogyakarta) menitipkan kepadanya kiriman makanan. Bagi tahanan politik (tapol) di Kamp Plantungan seperti Mia, kiriman makanan merupakan sebuah kemewahan. Maklum, jatah makan mereka amat minim dan tak manusiawi. Untuk mendukung kebutuhan hidup para tapol di kamp, keluarga dan orang sekitar tak jarang memberikan bingkisan. “Tahanan politik diperbolehkan menerima surat dan kiriman dari keluarga, tapi sebelumnya harus melewati sensor dari penjaga kamp,” kata Amurwani Dwi Lestariningsing dalam buku Gerwani Kisah Tapol Wanita di Kamp Plantungan. Sayangnya, sensor tersebut semena-mena. Kiriman dari keluarga sering berhenti di penjaga kamp dan tidak pernah sampai ke tapol. Kebiasaan itu, kata Mia dalam memoarnya Dari Kamp ke Kamp , sebagai korupsi kecil-kecilan dan tidak hanya terjadi di Plantungan, tapi juga Wirogunan. Petugas memeriksa kiriman dari keluarga tapol sambil mencomoti barang yang terlihat menarik. Hal itu dialami Sri Kayati, tapol lain di Kamp Wirogunan. Beras yang dikirimi keluarganya berhenti di petugas. Sri tak pernah menerimanya. Tapi ketika keluarganya mengirim nasi aking, kiriman itu sampai dalam kondisi utuh. Maka, begitu Mia mendapat kabar dari Romo Verlaan, dia amat senang dan tak sabar untuk segera mendapat panggilan dari petugas kamp sekaligus khawatir kiriman dari Nasti tak akan sampai. Pasalnya, Nasti sebelumnya pernah menitipkan surat sepanjang 9 halaman ke Romo Verlaan. Surat itu tak langsung sampai ke Mia. Komandan kamp membaca surat itu bolak-balik di rumahnya sebelum menyerahkan ke Mia. Panggilan yang Mia tunggu tak kunjung datang. Takut hal serupa terulang, Mia menghampiri petugas. Benar saja. Paket sudah habis dibagikan, kata petugas. Mia pun mengejar Romo Verlaan dan Suster van Vliet yang hendak pulang diantar komandan kamp. “Romo, tadi katanya ada kiriman tapi kok kata petugas tidak ada,” kata Mia. Seketika Romo Verlaan dan Suster berpandangan. Benar saja, Suster van Vliet yang dipasrahi membawa kiriman ternyata lupa. “Oh, pasti ketinggalan di kamar lain (di susteran, red. ),” kata Suster van Vliet sambil memegang kepala. “Sudahlah, Suster. Kirim saja paket itu ke rumah saya di Ambarawa. Dua minggu lagi saya akan pulang, jadi paket itu bisa saya bawa kemari,” kata komandan kamp. Dua puluh hari kemudian paket itu datang. Untung isinya bahan-bahan kering seperti teh, gula pasir, susu, dan lauk kering. Tapi 10 buah pisang rebus dalam plastik kadung berenang dalam air. Mia tetap membukanya. Eman , pikirnya. Ia cicipi sedikit dan ternyata rasanya manis sekali. Ketika airnya ia seruput sedikit demi sedikit sampai habis, seketika Mia kliyengan . “Air pisang itu telah beralkohol rupanya, seperti liquor pisang,” kata Mia.

bottom of page