Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Semesta Wiro Sableng Menyapa Dunia
AKSI pendekar konyol tapi sakti, Wiro Sableng, akhirnya turun gunung ke layar perak. Film garapan Lifelike Pictures berdurasi 123 menit ini diputar perdana pada Senin (27/8/2018) petang di Epicentrum XXI, Jakarta Selatan. Namun, film ini baru resmi tayang di seluruh biskop pada 30 Agustus 2018. Film Wiro Sableng diangkat dari novel karya Bastian Tito yang terbit pertama kali pada 1967 dan mencapai 185 judul. Cerita silat ini pernah difilimkan pada 1980-an dan sinetron pada 1990-an. Kali ini, Wiro Sableng diperankan oleh Vino G. Bastian, anak bungsu Bastian Tito. “Ini mungkin yang dimimpi-mimpikan keluarga saya. Bahwa Wiro Sableng bisa kembali dengan level sebesar ini. Mungkin tiap orang yang membaca buku Wiro Sableng punya bayangannya masing-masing tentang sosok Wiro yang sempurna. Tapi seperti yang Sinto (Gendeng, guru Wiro) bilang, enggak ada yang sempurna di dunia ini,” kata Vino dalam konferensi pers pasca press screening film berjudul Wiro Sableng, Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 . Vino berharap film Wiro Sableng bisa ikut menginspirasi perfilman Indonesia ke depannya untuk dikenal dunia. Suami aktris Marsha Timothy ini mendedikasikan filmnya untuk mendiang ayah yang meninggal pada 2 Januari 2006. Asa Vino itu bersandar pada distributor film ternama, 20th Century Fox, yang berhasil digandeng Lifelike Pictures demi bisa mengglobalkan Wiro Sableng. “Ini pengalaman yang luar biasa bisa bekerja sama dengan mereka (Lifelike Pictures). Kami merasa kualitas film ini sebagus film luar negeri (Hollywood),” kata Kurt Rieder, Wakil Presiden Eksekutif Asia Pasifik 20th Century Fox. Yang patut dibanggakan, semua detail film digarap anak-anak bangsa. Mulai dari ilustrasi dan tata suara, efek visual, CGI dan tentunya mengenalkan beladiri asli Indonesia, pencak silat. Koreografi silat ditangani Yayan Ruhian, yang juga memerankan tokoh antagonis, Mahesa Birawa, dengan dibantu Cecep Arif Rahman, pemeran karakter jahat lainnya, Bagaspati. “Ada banyak jurus yang kita hadirkan di film ini. Tapi kita tetap mengacu pada apa yang ada di buku. Kita tidak melihat jurus-jurusnya dari aliran-aliran tertentu, tapi kita melihat inilah Wiro Sableng, inilah pencak silat Indonesia dan kami mencoba membuat gerakan-gerakannya tidak hanya menarik tapi juga mudah diikuti anak-anak muda. Karena film ini kan juga bisa ditonton anak-anak umur 13 tahun ke atas,” terang Yayan. Kebanggan lain dari film ini seperti diakui produser Sheila “Lala” Timothy adalah keterlibatan desainer terkemuka dunia, Tex Saverio, yang bikin kostum Jennifer Lawrence di seri Hunger Games , kostum Lady Gaga, Kim Kardashian, dan banyak lagi. Sheila Timothy, produser Lifelike Pictures penggarap film "Wiro Sableng: Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212" (Foto: Randy Wirayudha/Historia) “Saya yang approach ke Tex dan dia menyambut dengan baik dan sangat antusias sekali,” kata Lala Timothy. “Tentu bangga banget dia bisa kerja sama untuk film Indonesia.” Tex Saverio mendesain kostum khusus untuk Bidadari Angin Timur, karakter yang diperankan Marsha Timothy. “Kalau di buku sosok Bidadari Angin Timur misterius. Kemudian Tex Saverio menerjemahkannya jadi fantasi,” kata Lala. Lala Timothy ingin menjadikan Wiro Sableng punya universe atau semestanya sendiri, ibarat Avengers (Marvel) atau Justice League (DC Comics). Di sinilah peran 20th Century Fox untuk membawa Wiro Sableng ke bioskop-bioskop mancanegara. “Saat saya mendekati Fox pada Februari 2016, yang kami tawarkan bukan hanya film, tapi universe yang turunannya banyak sekali. Bisa jadi sequels , komik, animasi, merchandise , action figure dan lain-lain. Bahkan Wiro Sableng juga sudah masuk mobile game. Wiro jadi pahlawan lokal pertama dunia di mobile game AoV (Arena of Valor). Itu visi yang awalnya saya tawarkan ke mereka,” pungkas Lala.
- Kala Soeharto Jadi Panglima (1)
SOEHARTO sumringah begitu mendengar dirinya akan ditugaskan ke medan tempur. Sebagai perwira lapangan, dia memang cukup berpengalaman dalam soal perang. Itu pula yang mengantarkannya menjadi Panglima Divisi Diponegoro di Jawa Tengah. Kali ini, Presiden Sukarno mendapuknya memimpin operasi militer pembebasan Irian Barat.
- Kala Nyonya Disangka Antek Belanda
SUATU malam, sekelompok orang bersenjata masuk secara paksa ke rumah Rohmah Soemohardjo Soebroto, janda Oerip Soemohardjo, di daerah Bausasran, Yogyakarta. Mereka menggasak harta benda Rohmah seperti emas dan uang perak Belanda. Kejadian itu membuat Rohmah dan anaknya trauma parah. Setelah Oerip yang meninggal karena serangan jantung, Rohmah menghadapi masa sulit. Revolusi membelah masyarakat jadi pro-republik atau pro-Belanda. Keberpihakan itu tak pandang ras, ada orang pribumi yang pilih membela Belanda, ada yang bersetia pada cita-cita kemerdekaan, ada pula Belanda yang mendukung kaum republik. Situasi jadi penuh kecurigaan. Rohmah, Dina Maranta Pantow (isrtri Mr. Sunario Sastrowardoyo, dan Saadah Alim (penulis asal Sumatera Barat) mengalami pahitnya jadi orang yang dicurigai. Kedekatan Rohmah dengan orang-orang Belanda membuatnya dicurigai para pemuda dan laskar-laskar sebagai pribumi pro-Belanda. Kecurigaan itu berangkat dari latarbelakang Oerip yang pernah jadi opsir KNIL dan keputusan Rohmah-Oerip mengadopsi anak perempuan berdarah Belanda bernama Abby. Kecurigaan makin bertambah karena Rohmah tidak menguasai bahasa Indonesia. Akibat kecurigaan itu, hampir tiap hari Rohmah dan Abby mendapat ancaman pembunuhan. Harta bendanya sering diminta paksa. Padahal, Rohmah punya banyak peran yang bisa membuktikan bahwa dirinya pro-republik. Ketika seorang istri prajurit republik datang meminta bantuan pengobatan suaminya yang terluka ke rumah Rohmah, misalnya, dIa langsung memberi bantuan. Rohmah juga acap membagikan obat khusus untuk anak-anak dan bayi. “Saya membantu sejauh kemampuan saya. Saya tidak membelot kepada penjajah,” kata Rohmah seperti dikutip Galuh Ambar Sasi dalam “Menjadi Manusia Indonesia: Pergulatan Identitas, Jejaring, dan Relasi Perempuan di Yogyakarta pada masa Revolusi” yang dimuat dalam Pluralisme dan Identitas. Namun, semua itu belum cukup membuktikan kalau Rohmah seorang pro-republik. Akibatnya, Rohmah terpaksa keluar dari rumah kontrakannya di Bausasran untuk menghindari berulangnya perampokan. Dia pindah ke Yap Boulevard, daerah permukiman tentara Belanda, yang membuatnya merasa jauh lebih aman dan dekat dengan teman-tamannya yang orang Belanda. Di Yap Boulevard, dia juga menerima secara cuma-cuma fasilitas seperti majalah, makanan, bahkan biskuit. Hal serupa juga dialami Dina Pantow ketika pindah ke Jakarta dari Ujung Pandang. Ketika anak-anak Dina hendak disekolahkan ke Perguruan Cikini yang terkenal sebagai sekolah “kaum republiken”, mereka tak diterima lantaran Dina berasal dari Sulawesi Utara dan dianggap tidak berjiwa republik. “Seakan-akan orang yang berasal dari Sulawesi Utara atau Indonesia Timur tidak ada yang berjiwa patriot,” kata Dina dalam kumpulan memoar perempuan Sumbangsihku Bagi Pertiwi. Padahal, semasa di Yogyakarta Dina menjadikan rumahnya sebagai tempat penampungan bahan makanan dan persembunyian para pejuang. Usaha ini membuat Dina nyaris ditembak Belanda. Sementara, Saadah mendapati keluarganya dicurigai pro-Belanda lantaran tak ikut mengungsi ke Yogyakarta semasa revolusi. Dari penuturan anaknya, Aida Hasnan Habib, Saadah dan keluarganya yang tetap tinggal di Jakarta mendukung anak-anaknya aktif menjadi relawan perjuangan kemerdekaan meski dicurigai pro-Belanda. Kakak-kakak Aida kala itu ikut menjadi sukarelawan medis, mengumpulkan bantuan logistik, bahkan ada yang menjadi prajurit. Kecurigaan pada Dina, Saadah, dan Rohmah muncul tanpa dasar yang kuat. Meski demikian, ketiganya tidak goyah. Mereka tetap setia pada republik meski harus mengalami diskriminasi sampai kekerasan. “Saya sadar saya harus tinggal demi suami saya. Nama suami saya harus tetap bersih tidak ternoda!” kata Rohmah menjelaskan besarnya godaan kala teman-temannya pindah ke Belanda.
- Gajah Sultan Banten
FRANCOIS VALENTIJN (1666-1727), misionaris dan naturalis Belanda, yang berkunjung ke Kesultanan Banten pada 1694 menyaksikan gajah sebagai salah satu hewan peliharaan sultan. Dia menggambar pemandangan Banten yang menunjukkan bahwa pada pertengahan pertama abad ke-17 terdapat seekor gajah di lapangan di bawah sebuah bangunan beratap. Sajarah Banten (pupuh 44) menyebutkan bahwa gajah itu bernama Rara Kawi yang diikat pada sebuah tonggak di panyurugan (galangan kapal kerajaan) di tepi sungai. Jean Baptiste Tavernier, pedagang dan penjelajah Prancis, berkunjung ke Banten pada Juli 1648. Dia menghitung ada 16 ekor gajah di bagian dalam istana Kesultanan Banten. Dia juga menyebut bahwa raja memiliki jauh lebih banyak gajah. “Mengingat bahwa keraton-keraton Jawa Tengah tetap meneruskan tradisi memiliki gajah sampai abad ke-20, kita memperkirakan bahwa tradisi ini tidak ditinggalkan di Banten meskipun sultan lebih percaya kepada persenjataan modern,” tulis Claude Guillot dalam Banten: Sejarah dan Peradaban Adad X-XVII. Hal itu terlihat ketika Cornelis Speelman diangkat menjadi gubernur jenderal pada November 1681. Sultan Banten menghadiakan seekor gajah kepadanya dalam upacara yang dianggap sama pentingnya dengan penobatan raja. Pada Januari 1681, datanglah rombongan kedutaan pertama Kerajaan Siam untuk Prancis ke Banten. Rombongan ini, yang kemudian mengalami kecelakaan di tengah laut dalam perjalanannya menuju Prancis, singgah di Banten untuk alasan teknis dan tinggal selama delapan bulan. Di dalam kapal tersebut terdapat dua ekor gajah yang ditujukkan untuk Raja Prancis, Louis XIV. Raja Siam itu, menurut Heriyanti Ongkodharma Untoro dalam Kapitalisme Pribumi Awal: Kesultanan Banten 1522-1684 Kajian Arkeologi-Ekonomi , menghadiahkan seekor gajah kepada sultan Banten. Hadiah ini bersifat politik dan dapat diartikan sebagai persahabatan antara dua kerajaan yang saling menghormati dengan kedudukan yang setara.
- Menghubungkan Titik Demi Titik
GUNA memahami kenapa pemerintah Belanda akhirnya memutuskan untuk mendanai sebuah investigasi/riset berskala besar tentang Perang Kemerdekaan Indonesia (1945-1950), kita perlu mengakui adanya akibat politik dari kasus-kasus pengadilan yang menggugat negeri Belanda. (Salah satunya kasus pengadilan Rawagede, diadvokasi K.U.K.B, yang memaksa pemerintah Belanda akhirnya membayar kompensasi kepada para janda yang suaminya dieksekusi secara massal pada masa Perang Kemerdekaan). Terlalu naif jika kedua hal tersebut dipisahkan. Investigasi/riset ini kelihatan seperti usaha tulus dan tegas dari Belanda yang pada akhirnya bertanggungjawab penuh pada kekejaman penjajahan. Meskipun begitu, pemerintah Belanda kerap mengutarakan keinginannya untuk melupakan masa lalu dan beranjak menatap masa depan. Tanpa tekanan dari kasus pengadilan yang sedang berjalan sekarang ini, pemerintah Belanda seperinya tak akan mau mendanai investigasi kasus itu lebih lanjut. Namun, bukannya mengakui rintisan dari ketua K.U.K.B. (Komite Utang Kehormatan Belanda), Jeffry Pondaag, para pimpinan proyek investigasi/riset tersebut justru menyingkirkan dan mengabaikannya. Kenapa bisa begitu? Saya pikir penelitian ini adalah strategi untuk meyakinkan dunia internasional bahwa pihak Belanda sedang melakukan hal luar biasa. Katakanlah seperti laporan pemerintah tahun 2004 berjudul “Melupakan masa lalu untuk janji masa depan” yang fokus pada perjanjian keuangan tahun 1966. Setahun setelah Soeharto naik tahta, Belanda mengatur kesepakatan yang membuat Indonesia membayar kerugian perusahaannya di Indonesia. Soeharto dikenal lebih pro-Barat dibanding Sukarno. Hingga kini, pandangan umum di Belanda yang menyebut sang presiden RI pertama itu berlaku bengis dengan menasionalisasi seluruh perusahaan Belanda pada 1957, masih hidup. Dalam narasi ini, sepertinya tak ada orang yang peduli apakah “properti-properti” kolonial ini sejak awal didapatkan secara legal. Lihatlah laporan tahun 2004 itu, kesimpulannya menyatakan bahwa wajar bagi Indonesia untuk membayar sejumlah besar uang kepada Belanda, seperti juga para bekas koloni Inggris yang melakukan hal sama. Dalam laporan Belanda ini, pertanyaan kritis terkait dengan pembayaran ini direkduksi dalam "logika sederhana hitam dan putih" yang tidak benar. Lebih lanjut, tahun 2008, pemerintah Belanda menolak klaim kasus Rawagede dengan alasan bahwa perjanjian tahun 1966 sudah mengakhiri segala kewajiban keuangan. Nampaknya, Belanda memasukkan perjanjian ini (yang hanya menguntungkannya) yang tak bisa dibatalkan sebagai bantahan. Oleh karena itu, mereka menganggap kompensasi pada para korban perang Indonesia adalah mustahil –menakjubkan, bahwa perjanjian 1966 dimaksudkan untuk menjamin pembayaran Indonesia kepada Belanda namun bukan untuk sebaliknya. Pengalaman pribadi saya membuktikan sikap pengabaian yang disengaja ini. Pada Juni 2016, Saya datang ke seminar di The Hague yang menghadirkan sepuluh profesional Indonesia dan Belanda secara bersamaan. Sebagai sebuah kelompok, kami diundang oleh Kementrian Luar Negeri Belanda untuk lebih mempelajari tentang hubungan bilateral kedua negara. Selama presentasi tersebut, pejabat pemerintah Hanjo de Kuiper tak henti-hentinya berbicara tentang masa depan. Menurutnya, inilah saatnya untuk beranjak; Belanda dan Indonesia pada akhirnya menjadi rekan yang setara. Dia juga mengucapkan terima kasih pada seluruh bantuan pembangunagn yang (diantara negara-negara lain) telah dilunasi Belanda, Indonesia bukan lagi negara berkembang. Namun De Kuiper juga memperingatkan bahwa Belanda (dengan bayangan standart moral yang lebih tinggi) akan tetap kritis terhadap kasus pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia yang sedang berjalan. Hanya ada satu slide presentasi power point yang merujuk pada topik hangat kejahatan perang Belanda di Indonesia. Slide itu menunjukkan gambar Bert Koenders, menteri luar negeri sebelumnya, yang mengunjungi para janda Rawagede. Gambar tersebut secara jelas melukiskan sebuah pertanggungjawaban. Tentu pada bagian ini tak menerangkan bahwa awalnya negara Belanda telah menolak klaim. Secara keseluruhan, rahasia umum – tentang berabad-abad pelanggaran hak asasi manusia Belanda terhadap Indonesia dan pembayaran hutang ke Belanda – diabaikan. Pertanyaannya sekarang, apa maksudnya ketika seorang pejabat Belanda menyajikan propaganda tentang kunjungan ke orang Indonesia itu hanya 4 bulan sebelum riset Rémy Limpach membuatnya merevisi pernyataan resminya? Dengan mantra tentang masa depan, De Kuiper tampaknya tak berpikir bahwa meneliti kekejaman penjajahan adalah kewajiban moral bagi Belanda untuk bisa beranjak. Menariknya, ketika proyek riset/investigasi itu akhirnya diluncurkan pada September 2017, saya melihat De Kuiper lagi. Dia duduk diantara penonton, tepat di belakang para pemimpin proyek. Saya heran bagaimana kebijakan pemerintah untuk mendanai penelitian baru tentang masa lalu itu bisa langsung mempengaruhi pandangannya. Sulit membayangkan bahwa slide, mantra menuju masa depan, dalam presentasi power point nya berubah secara drastis. Kemudian, pada Oktober 2017, bersama yayasan saya Histori Bersama, kami menyelenggarakan diskusi di Universitas Leiden. Diskusi ini tak hanya memberikan dasar bagi inisiasi Surat Terbuka ( OpenLetters ), tetapi juga memberikan kesempatan pada ketua K.U.K.B. Pondaag untuk menjelaskan motivasinya selama bertahun-tahun mendampingi para korban perang Indonesia, namun tak dianggap penting bagi para pemimpin proyek riset itu. Pondaag, yang berjuang bertahun-tahun untuk membangun kesadaran lebih besar tentang kasus korban perang Indonesia di Belanda ini, tidak diakui peran pentingnya, yang justru adalah pemicu sebenarnya adanya investigasi baru ini. Sekali lagi, De Kuiper ada diantara penonton, Duta Besar Indonesia Gusti Agung Wesaka juga berusaha datang. Dari kehadiran mereka saja, saya menggambarkan betapa sangat politisnya proyek riset ini. Baru-baru ini, The Jakarta Post memuat tulisan-tulisan tentang Surat Terbuka yang ditujukan pada pemerintahan Belanda akhir November lalu, “Mempertanyakan Investigasi”. Kebanyakan artikel tersebut secara optimis mengarahkan pada keuntungan yang mungkin didapatkan dari proyek riset itu, sementara mengabaikan hal spesifik dari Surat Terbuka tersebut. Sejak awal publikasi tulisan di Jakarta Post itu akan membuat orang berpikir bahwa Surat Terbuka itu mengkritik bahwa para peneliti harus menandatangani kontrak, mengikat mereka untuk memproduksi hasil tertentu untuk kepentingan pemerintah Belanda. Namun mereka yang benar-benar membaca Surat Terbuka itu akan tahu bahwa itu tak benar. Konflik kepentingan bukanlah soal perjanjian/kontrak tertulis. Saya pikir bahwa tak mungkin juga para peneliti yang terlibat akan mau menandatangani kontrak itu. Biarpun begitu, ketiadaan kontrak tertulis tersebut tak berarti tak ada yang perlu dikhawatirkan. Surat Terbuka secara jelas menerangkan hubungan politis apa yang mesti dipertimbangkan untuk memahami konstruksi besar proyek itu. Jadi, percuma Kedutaan Besar Belanda mengatakan kepada Jakarta Post bahwa “pemerintah tak punya perjanjian/kontrak (dengan para peneliti),” karena Surat Terbuka itu sejak awal tak menyisipkan soal keberadaan kontrak itu. Hal sederhana lain adalah pernyataan sejarawan Belanda Maarten Manse (“Memeriksa dekoloniasasi untu pemahaman lebih baik”, The Post , Jan. 23) bahwa: belum ada indikasi bahwa para peneliti yang bekerja sama dalam proyek ini beralih dari disiplin akademik mereka demi keuntungan politik.” Saya jadi heran apakah ia benar-benar membaca Surat Terbuka itu, yang tertera daftar semua faktor di balik titik berangkat riset yang problematis. Niat baik dan kompetensi akademik bukanlah masalah utama. Politiklah masalahnya. Tulisan ini sebelumnya dimuat di The Jakarta Post, 8 Februari 2018.
- Di Balik Lagu dan Bendera Pemersatu
DI tiga cabang olahraga Asian Games XVIII Jakarta-Palembang 2018 ini, Korea tampil bersama dalam satu tim. Mereka tampil di bawah bendera Unifikasi serta lagu kebangsaan “Arirang” , bukan bendera Korut-Korsel dan lagu kebangsaan masing-masing. Bendera Unifikasi, bendera putih bermotif Semenanjung Korea berwarna biru itu disepakati delegasi Korut dan Korsel pada 1989 dalam pembicaraan bilateral jelang Asian Games 1990. Bendera ini bakal dikibarkan dengan iringan lagu “Arirang” seandainya para atlet tim Korea Bersatu mendapat medali emas di cabang basket putri, dayung putra dan putri, serta kano/kayak putra dan putri. “Kalau lagu ‘Arirang’ itu dari lagu tradisional sejak zaman kerajaan (Dinasti Joseon). Tidak diketahui asalnya (penciptanya). Tapi karena lagu ini sudah banyak diketahui masyarakat di (Korea) selatan dan utara, maka lagu ini yang dipakai untuk tim bersama Korea,” ujar Bae Dong-sun, penulis dan peneliti sejarah modern Korean Cultural Center, kepada Historia . Para Suporter Tim Unifikasi Korea (Foto: INASGOC) Menurut Keith Howard dalam Perspectives on Korean Music , “Arirang” merupakan lagu rakyat yang pertamakali tercatat dalam manuskrip kuno pada 1756. Lagunya menceritakan legenda penguasa Semenanjung Korea 2000 tahun lampau. Rekaman pertama “Arirang” baru dibuat pada 1896 oleh antropolog Amerika Serikat Alice Cunningham Fletcher. Semasa pendudukan Jepang (1910-1945), “Arirang” dijadikan lagu pemberontakan terhadap penjajah. Hingga kini, lagu “Arirang” memiliki 60 versi. Baik Korsel maupun Korut sama-sama mendaftarkannya sebagai warisan budaya dunia UNESCO pada 2012. Ramainya Pendukung Tim Korea Bersatu Menyemangati Tim Basket Putri Unifikasi Korea yang Berasal dari Korea Utara dan Korea Selatan (Foto: INASGOC) Adapun soal bendera Unifikasi berwarna putih bermotif siluet Semenanjung Korea tanpa garis perbatasan, gagasannya sudah muncul sejak 1989. “Jadi awalnya perwakilan kedua pihak juga ingin turunkan tim bersama untuk Asian Games 1990, namun dibatalkan,” sambung Bae. Baru pada 1991 di Kejuaraan Dunia Tenis Meja ke-41 di Chiba, Jepang dan Piala Dunia Yunior kedelapan di Lisbon, Portugal bendera ini menaungi para atlet dari dua Korea. Bendera ini kembali mengiringi Kontingen Korea Utara dan Korea Selatan di upacara pembukaan Olimpiade Musim Panas 2000 di Sydney meski tak disertai turunnya tim bersama di cabang-cabang olahraganya. Pertamakali Tim Korea Selatan dan Korea Utara Berdefile sebagai Satu Kontingen pada Olimpiade Sydney 2000 Hal serupa kembali dipertontonkan pada pembukaan Asian Games 2002 di Busan, Korea Selatan, Olimpiade Musim Panas 2004 Athena, Olimpiade Musim Dingin 2006 Turin, Asian Games 2006 Doha, dan Olimpiade Musim Dingin 2018 Pyeonchang di mana tim Korea Bersatu turun di cabang hoki putri. Bendera Unifikasi ini sudah beberapakali mengalami perubahan. Kala bendera ini pertamakali muncul tahun 1991, desainnya mengikutsertakan Pulau Jeju di bawah motif siluet Semenanjung Korea. Pada tahun 2006, benderanya ditambahkan siluet Pulau Ulleungdo di kanan siluet semenanjung. Pada 2009, motifnya ditambahi Karang Liancourt atau Dokdo, rangkaian karang yang masih jadi sengketa antara Korea Selatan dan Jepang.
- Bela Negara dari Belantara Minangkabau
MESKIPUN menuai pro dan kontra, Kementerian Pertahanan tetap menyelenggarakan program bela negara. Padahal, pada 2006 pemerintah sendiri telah menetapkan 19 Desember sebagai Hari Bela Negara. Tanggal itu terkait sejarah PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) di Sumatera yang berdiri pada 19 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949. Kala PDRI menyambung nyawa Republik Indonesia, masyarakat Minangkabau telah membela negara dengan menjadi penopang PDRI. Pada 22 Desember 1948, PDRI diumumkan di Halaban, termasuk menyebutkan susunan kabinet. Namun, PDRI memilih nomaden untuk menghindar kejaran Belanda sembari menyuarakan Republik masih ada lewat radio transmitter dan mobiele x-mitter yang dioperasikan oleh AURI. Selama tujuh bulan, PDRI menjaga eksistensi Republik, dengan berpindah dari satu nagari ke nagari lainnya. Sepanjang itu pula, masyarakat di nagari-nagari yang didaulat menjadi ibukota menunjukan semangat kebangsaan dan cinta tanah air. Tercatat ada delapan nagari yang pernah menjadi ibukota PDRI. Di semua nagari, masyarakat menyambut dengan hangat dan bersahabat, menyediakan rumah-rumah untuk ditempati, surau sebagai ruang silaturahmi, rumah yang didaulat menjadi ‘istana’ untuk rapat kabinet, dan penyediaan makan yang cukup. Salah satu nagari paling lama dihuni Sjafruddin Prawiranegara dan rombongan PDRI adalah Bidar Alam di Solok Selatan. Selama lebih kurang 3,5 bulan, mereka mendapati loyalitas dan totalitas yang tak terbatas. “Di Bidar Alam kami mengadakan hubungan dengan luar. Membuat instruksi-instruksi, mengkoordinir perjuangan. Mengirimkan utusan-utusan, kurir-kurir, mengadakan kontak-kontak dengan pembesar-pembesar. Kami juga membentuk Komisariat Pemerintah di Jawa,” ujar Sjafruddin seperti tercatat dalam PDRI Dalam Khasanah Kearsipan . Selama di Bidar Alam, pejabat PDRI mendapat pengamanan dari anggota Badan Pengawal Nagari dan Kota (BPNK). BPNK yang digagas Mohammad Hatta mengatur dan mengerahkan sumber daya yang ada sebagai pengaman dan mata-mata untuk melihat kedatangan Belanda. “Semasa PDRI, pengembala ikut menasbihkan diri mengamankan nagari Bidar Alam. Mereka diminta melapor kepada BPNK jika masuknya orang-orang yang mencurigakan,” jelas Ibnu Abbas, mantan komandan BPNK Bidar Alam, beberapa waktu silam. Selain itu, masyarakat juga memastikan logistik untuk pejabat PDRI. “Di sini tidak ada dapur umun. Tiap rumah disuruh membuat nasi bungkus tiap pagi dan sore hari. Kita berpesan kepada warga untuk menyediakan nasi bungkus paling telat 15 menit sebelum jam makan,” cerita Ibnu. Selain penyediaan nasi bungkus di tiap rumah, beberapa pemuda juga ditunjuk untuk berburu kijang dan rusa. Ibnu mengatakan, Alimin dan Afan sering ditunjuk menjadi pemburu. Punggawa PDRI seperti Supono dan Dick Tamini juga sering ikut berburu. Spontanitas pelayanan maksimal untuk PDRI juga ditunjukan oleh nagari-nagari lain yang pernah disinggahi dan dijadikan pusat pemerintahan. Intan Sari Datuak Magek Karajan, Ketua Perbekalan saat PDRI beribukota di Silantai, Kabupaten Sijunjung, diberi wewenang untuk menunjuk warga memasak. Nursani ditunjuk sebagai ketua masak. “Makanan kesukaan Pak Sjaf adalah gulai ikan,” timpalnya. Bahkan, ada di antaranya warga memberi hewan ternak seperti kambing karena bernazar atau berzakat. Dan warga yang panen padi, menyisihkan beras untuk kebutuhan dapur umum. Di masa PDRI, ada juga masyarakat yang memainkan peran sebagai tukang pijat dan tukang gendong para pemimpin PDRI. Pola-pola ini hampir terjadi di tiap nagari yang mendapat kesempatan menjadi ibukota. “Para pejuang di medan laga tidak mungkin memiliki tenaga untuk berperang tanpa dibekali nasi bungkus oleh kaum ibu dari dapur umum,” ujar Mestika Zed, sejarawan Universitas Negeri Padang. Mestika mengatakan, PDRI menjadi sebuah periode dimana panggung sejarah perjuangan kemerdekaan beralih dari kota ke pedesaan, ketika pemimpin mengungsi ke pedalaman, ketika perjuangan melibatkan partisipasi rakyat.
- Bastian Tito, Pendekar Cerita Silat
LARUT malam di rumah keluarga Bastian Tito. Anak-anak terlelap di kamarnya, sedangkan Bastian masih terjaga di depan mesin tik ruang kerjanya. Dia mengambil kertas dan memasukkannya ke mesin tik. Jarinya lincah menekan tuts huruf. “Suara ketikan beliau terdengar sampai ke kamar kami. Beliau mengetik kayak pakai 11 jari. Cepat sekali,” kata Vino Giovani Bastian, aktor sohor sekaligus anak bungsu Bastian Tito, bercerita tentang proses kreatif cerita silat (cersil) Wiro Sableng kepada Historia . Vino mengungkapkan dirinya saat itu masih berusia anak sekolah dasar. “Tahun 80-an ya, saya ingat Bapak saya itu menulis Wiro Sableng ketika anak-anaknya mulai tidur,” lanjut Vino. Bastian Tito lahir pada 23 Agustus 1945. Dia berdarah Minang dan merantau ke Jakarta sejak muda. Dia pindah untuk bersekolah dan mencari uang. Bakatnya berada di dunia aksara dan tumbuh sedari kelas 3 sekolah dasar. Bastian Tito menjajak pendidikan tinggi di Jakarta. Penampilannya setiap mau ke kampus atau tempat kerja selalu enak dilihat. Kemeja panjang, celana cutbray, dan sepatu bot mengilap lekat pada dirinya. Dia menyambi sebagai jurnalis di majalah hiburan Vista pada 1960-an untuk membiayai kuliah. Dan pada dekade yang sama pula, cersil pertamanya terbit. “ Wiro Sableng kali pertama terbit pada 1967,” kata Vino. Wiro Sableng bercerita tentang petualangan seorang lelaki muda bernama Wira Saksana untuk mencari makna hidup. Dia lihai bersilat, hasil tempaan bertahun-tahun dari Sinto Gendeng, gurunya. Sikapnya riang sehingga punya banyak teman, laki atau perempuan. Dia menggunakan kelihaiannya bersilat untuk menolong orang lemah dan menegakkan keadilan. Tapi di sebalik itu, Wira Saksana punya perilaku serampangan: asal bertindak dan sering bercanda dalam situasi genting, bahkan dengan musuh. Kadang dia labil, lain waktu malah kekanak-kanakan. Tingkahnya lebih mirip seorang tak waras atau sableng. “Karakter jenaka Wiro ini mirip Bapak. Kadang serius, kadang jenaka. Tapi ini bukan berarti bahwa Wiro itu Bapak saya,” kata Vino. Begitulah cara Bastian menampilkan jagoan utamanya. Seorang pahlawan dengan sifat-sifat urakan. Hati dan pikirannya berupaya condong pada kebenaran meski dengan cara tak lazim. Sebagai petualang, Wira Saksana menjelajah banyak negeri. Tidak hanya Jawa, melainkan juga Sumatera, Jepang, dan Tiongkok. Penggambaran Bastian terhadap tempat, budaya, dan masyarakat di tempat-tempat tersebut sangat detail. “Ya karena Bapak saya itu sebelum menulis, pasti riset. Tempat-tempatnya, sejarahnya, dan budayanya. Macam-macamlah. Mungkin ini terbentuk dari latar belakangnya yang seorang jurnalis,” ungkap Vino. Bastian tak secara khusus menyediakan waktu untuk riset lapangan. “Pokoknya setiap kali dia mengajak keluarga jalan-jalan, itulah juga waktu risetnya,” lanjut Vino. Selain riset lapangan, Bastian membaca buku tentang sejarah dan kebudayaan Jawa. “Bapak juga punya banyak kamus,” kata Vino. Ini menambah daya pikat cersil Wiro Sableng . Kelebihan lain Bastian ialah bahasa plastis dan kreatif. Misalnya Bastian mengambil nama-nama unik untuk tokohnya seperti Pangeran Matahari, Dewa Tuak, Bujang Gila Tapak Sakti, Tua Gila, dan Kakek Segala Tahu. Lebih menghibur lagi nama-nama jurus seperti Kunyuk Melempar Buah, Pukulan Matahari, dan Membuka Jendela Memanah Rembulan. Kekuatan cerita silat Semua ciri-ciri tadi mengingatkan orang pada cersil-cersil sebelum Wiro Sableng . Menurut sastrawan Ajip Rosidi cersil mempunyai sejumlah ciri antara lain ketegangan, realitas, dan bahasa yang hidup. Ketegangan terbentuk dari konflik fisik antar tokoh di cersil. Untuk membangkitkan ketegangan, detail perkelahian menjadi unsur penting. Penulis cersil harus mampu memainkan imajinasi pembaca pada seputar bunyi dan gerakan golok, tombak, dan pukulan. “Tapi tidak semua cerita silat itu hanya terdiri dari ketegangan melulu,” tulis Ajip dalam “Cersil yang Tegang, Plastis, dan Hidup Bahasanya Hendaknya Diperhatikan Ahli Sastra Indonesia”, termuat dalam Star Weekly , 8 Februari 1958. Hal menarik lainnya dari cersil terletak pada realitas cerita. “Semua kepandaian jago-jago adalah hasil latihan sekian puluh tahun dan bukan semata-mata keajaiban suatu ajimat,” lanjut Ajip. Segi realitas lainnya tergambar pula pada karakter para tokoh cersil. Pahlawan tak selalu sempurna. Ada juga yang kurang ajar. “Manusia-manusia dengan suka duka, percintaan, kekurangajaran, kepatriotan, tak ubahnya dengan suatu roman biasa,” catat Ajip. Segi menarik terakhir cersil berada pada kekuatan bahasa. Ajip menyebut satu nama beken: Oey Kim Tiang. Dia keturunan Tionghoa dan penyadur mumpuni cersil negeri Tiongkok. “Para sastrawan tertarik pada cerita-cerita silat buah tangannya, terutama karena bahasanya yang plastis,” tulis Ajip. Bisa dibilang bahasanya bukan bahasa sekolahan. Sederhana tanpa banyak bunga, tapi mampu menghidupkan dialog, deskripsi tokoh, dan pertempuran. Sementara itu, menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 2 , cersil mempunyai kekuatan pada tema pencarian makna hidup para tokohnya. “Dengan menerima kehidupan sebagai pengembara dengan segala gangguan yang diakibatkannya (jangan bicara tentang berumah tangga tetap), manusia melepaskan dirinya dari beban ruang dan mendaki jaringan yang lebih tinggi itu yang memungkinkannya melakukan kebajikan, sampai akhirnya menemukan rahasianya,” tulis Lombard. Apa yang diungkap oleh Ajip Rosidi dan Denys Lombard termuat dalam karya Bastian Tito. Seperti karya-karya cersil sebelumnya yang memuat unsur-unsur terbaik cersil, Wiro Sableng cepat memperoleh tempat di banyak orang. Ia bertahan lama sekali di memori pembaca. B. Rahmanto, seorang pengajar Sastra Indonesia di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, bahkan menyarankan Wiro Sableng agar masuk ke sekolah sebagai jembatan antara pengajaran dan pembelajaran sastra pada 1996. Menurutnya pengajaran berbeda dari pembelajaran. Pengajaran selalu berupa instruksi satu arah dari guru ke murid berdasarkan kurikulum, sedangkan pembelajaran turut melibatkan kreativitas siswa. Untuk menjembatani pengajaran dan pembelajaran itu, karya seperti WiroSableng perlu digunakan di sekolah. “Karya itu ada dan banyak diminati orang. Mengapa tidak digunakan untuk menjembataninya,” kata B. Rahmanto dalam Pertemuan Ilmiah Nasional VII Himpunan Sarjana Kesusasteraan Indonesia (HIKSI) pada September 1996, termuat di Kompas , 5 September 1996. Saat bersamaan, Wiro Sableng mengalami ekranisasi atau pemindahan cerita bacaan ke dalam bentuk film. Wiro Sableng mulai tampil di layar kaca setiap hari Minggu pada 1996. Ini sebenarnya bukan kali pertama. Wiro Sableng pernah pula hadir di layar bioskop pada 1988, tapi kurang berhasil. Sementara sinetronnya di layar kaca berhasil menawan perhatian penonton. Ratingnya, menurut Kompas , termasuk tiga besar dalam acara Minggu. Vino bilang ayahnya merasa terhormat dengan segala alih-media karyanya. “Bapak tidak pernah mengatur harus begini, harus begitu. Karya seni tak bisa dibatasi. Beliau memberi kebebasan pada setiap orang untuk menafsir karyanya sepanjang tidak meninggalkan karakter dan ceritanya,” kata Vino. Meski Bastian telah meninggal dunia pada 2006, para pembaca Wiro Sableng berupaya tetap hidup bersama dengan cerita Wiro Sableng . Dan pada 30 Agustus nanti, Wiro Sableng akan menyapa para pembacanya dalam bentuk film bioskop. Vino, sebagai aktor pemeran tokoh Wiro sekaligus anak mendiang Bastian Tito, berharap bapaknya bisa menyaksikan dari jauh di alam sana. “Saya berharap Bapak senang dan bangga ada anak-anak muda yang melestarikan kembali karyanya. Inilah wujud penghormatan kami. Terimakasih atas karya besarnya, terimakasih Bapak Bastian Tito,” tutup Vino.
- Kerajaan Misterius di Pulau Sumatra
SRIWIJAYA tak lagi disebut dalam sumber luar negeri maupun prasasti lokal pada abad ke-14. Kerajaan itu telah bergeser ke pedalaman di hulu Sungai Batang Hari di mana raja Adityawarman meninggalkan arca dan prasasti dari tahun 1347. Setidaknya ada tiga kerajaan semenjak nama San-fo-tsi itu tak lagi kondang, yaitu Kerajaan Dharmaçraya, Palembang, dan Minangkabau. Menurut sejarawan Slamet Muljana dalam , Kerajaan Minangkabau didirikan oleh Adityawarman setelah berangkat ke Sumatra pada 1339. Sebelumnya, sebagaimana disebut Prasasti Manjusri (1341 M) di Candi Jago, dia menaklukkan Bali bersama Gajah Mada. Sebenarnya, Adityawarman adalah putra Majapahit, keturunan Melayu. Dia keturunan Mahamantri Adwayawarman. Darah Melayu dari Dara Jingga, putri Kerajaan Dharmaçraya. Namun, Adityawarman tidak berhasil menjadi raja di Dharmaçraya, tempat kakeknya memerintah. Di sana sudah ada raja keturunan Tribuwanaraja Mauliwarmadewa. “Adityawarman lalu mendirikan kerajaan baru di Pagaruyung,” tulis Slamet. Dari prasasti yang banyak ditemukan di daerah Minangkabau, dapat diketahui pada pertengahan abad ke-14 ada raja yang memerintah di Kanakamedinindra (raja pulau emas). Namanya Adityawarman. Pada 1347, setelah meluaskan kekuasaannya sampai Pagaruyung, Minangkabau, Adityawarman mengangkat dirinya menjadi maharajadhiraja bergelar Udayadityawarman atau Adityawarmodaya Pratapaparakramarajendra Maulimaliwarmadewa. Sebelum Adityawarman datang, telah ada dua kerajaan yaitu Dharmaçraya dan Palembang sebagai pelanjut kerajaan Melayu dan Sriwijaya. Keberadaan kerajaan itu diperkuat catatan dari Dinasti Ming. Kronik ini membedakan kerajaan Melayu dan San-fo-tsi. “Yang dimaksud dengan Kerajaan Melayu adalah kerajaan di daerah Jambi. Pusatnya di Dharmaçraya. San-fo-tsi ada di Palembang bekas Sriwijaya,” jelas Slamet. Sejarawan Anthony Reid dalam berpendapat, kemungkinan kerajaan Budha Raja Adityawarman memberi jalan bagi munculnya tradisi kekuasaan raja di Sumatra Barat bagian tengah. “Tradisi itu hidup berdampingan tetapi kurang harmonis dengan masyarakat Minangkabau yang matrilineal dan pluralistik,” tulis Reid. Sekira tiga abad setelah masa Adityawarman, raja-raja Minangkabau di Pagaruyung dikenal punya kharisma kuat bagi masyarakat pesisir, hampir di seluruh Pulau Sumatra. Sejak tahun 1660-an perwakilan Belanda di pantai barat Sumatra mulai berurusan dengan raja-raja itu, di sebuah tempat yang disebut “Negeri”. “Sementara Belanda yang menguasai Melaka untuk VOC setelah 1641 mengetahui, meski samar tentang penguasa Minangkabau di tempat yang mereka sebut Pagaruyung,” kata Reid. Thomas Diaz, salah satunya. Dia yang bekerja pada VOC, diutus Gubernur Belanda untuk Melaka, Cornelis van Quelbergh, pada 1683 pergi ke hulu Sungai Siak untuk menjalin hubungan dengan Raja Minangkabau. Peneliti masa kini, kata Reid, menyatakan kalau deskripsi Diaz tentang Pagaruyung tak sesuai dengan lokasi Pagaruyung modern di Sungai Selo, Tanah Datar. Sementara Pagaruyung yang dideskripsikan Diaz terletak jauh ke timur di Sungai Sinaman, antara Buo dan Kumanis. “Kemungkinan nama Pagaruyung dipindahkan ke lokasi sekarang, sekira akhir abad ke-17, sebagai persaingan kekuasaan yang dulu terjadi antara beberapa cabang kerajaan,” jelas Reid. Dalam perjalanannya itu, Diaz menempuh banyak bahaya. Menurut catatannya, dia harus melewati hutan belantara, gunung terjal, rawa-rawa, dan tumbuhan berduri untuk sampai di istana raja. Catatan Marco Polo Pada masa yang lebih tua, keberadaan kerajaan-kerajaan selain Sriwijaya dicatat pula oleh Marco Polo. Catatannya dia buat berdasarkan perjalanannya bersama ayah dan pamannya yang merupakan pedagang Venesia. Kata Reid, sebenarnya Marco Polo memberikan deskripsi yang relatif akurat kepada Eropa tentang pesisir utara Sumatra, meski banyak yang tak percaya pada kisahnya. Pulau Sumatra atau yang disebut Marco Polo dengan “Jawa Kecil” adalah daerah di Asia Tenggara yang dia tinggali cukup lama pada 1290-an. Kunjungan keluarga Marco Polo kala itu bertepatan dengan pembentukan negara pelabuhan Islam pertama di sepanjang pantai utara Pulau Sumatra. Di awal catatannya, dia menyebut ada delapan kerajaan di Pulau Sumatra yang memiliki bahasa masing-masing. Namun, dia hanya menjelaskan empat kerajaan. Pertama, Kerajaan Ferlec atau Perlak. Penduduknya menyembah berhala. Karena sering berhubungan dengan pedagang Saracen yang berlabuh di sana, para penduduk kota menganut ajaran Muhammad. Sementara penduduk desa masih hidup seperti binatang. Kedua, Kerajaan Basman atau Peusangan. Warga Peusangan mengaku setia pada Kubilai Khan. Namun, mereka tak mengirim upeti kepada kaisar Mongol itu. Lokasi mereka yang terpencil sulit terjangkau oleh utusan Mongol. Mereka hidup tanpa hukum dan menganut hukum binatang buas dan kejam. “Tak ada satu pun tempat di seluruh Hindia atau pun di wilayah lain yang lebih liar pernah ditemukan manusia yang begitu kecil sebagaimana yang ada di sini,” catat Marco Polo. Ketiga, Kerajaan Sumatra atau Samudera, yang kemudian dikenal sebagai Pasai. Marco Polo dan keluarganya lima bulan di sana, menunggu cuaca yang mendukung untuk melanjutkan perjalanan. Penduduk di sana memuja berhala dan orang-orangnya liar. Mereka punya raja yang kaya dan sangat berkuasa. Sang raja pun menyatakan dukungan pada Khan Yang Agung. Keempat, Kerajaan Dragoian atau Pidie. Kerajaan ini punya raja dan bahasa sendiri. Masyarakatnya juga menyatakan dukungan pada Khan Yang Agung. Mereka menyembah berhala. Keadaan Pulau Sumatra sudah berubah ketika Ibn Batuta sampai ke Kerajaan Samudera Pasai pada 1345. Kota yang dia catat dengan nama Sumutra itu, sudah diperintah seorang sultan. Mereka punya kadi dan ahli hukum. Sang sultan juga rajin sembahyang Jumat. “Sebuah kota yang besar dan indah, yang dikelilingi dinding dan menara-menara kayu,” ujar Batuta dalam catatannya yang disusun sepuluh tahun kemudian dalam perjalanan kembali ke Maroko.
- Operasi Jayawijaya, Kisah Invasi yang Tak Terjadi
Mayor Jenderal Soeharto menjadi rombongan terakhir pasukan ABRI yang bergerak dari Ambon menuju Teluk Peling, tempat pertemuan satuan amfibi. Dia menumpang kapal patroli Angkatan Kepolisian diiringi kapal penyapu ranjau dan kapal anti kapal selam milik ALRI. Di gugusan pulau lepas pantai Sulawesi Tengah itu, Soeharto tiba pada 5 Agustus 1962. Reputasi sang jenderal selaku Panglima Komando Mandala dalam pertaruhan. Rakyat Indonesia akan memperingati hari kemerdekaan, sementara Irian Barat masih dikuasai Belanda. “Sesuai dengan tugas yang telah ditentukan, selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 1962 bendera Merah Putih harus sudah berkibar di Irian,” kata Soeharto kepada Ramadhan K.H dalam Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Di Teluk Peling, semua unit armada laut yang tergabung dalam Angkatan Tugas Amfibi (ATA) 17 sudah siap siaga. Penyerbuan tinggal menunggu perintah Panglima Tertinggi. Soeharto harap-harap cemas. Jakarta masih belum memberikan keputusan. Perang terbuka di depan mata sementara jaminan menang belum pasti. “Kita ini hanya mampu menyusun satu kali kekuatan pukul yang terdiri atas darat, laut, dan udara. Lebih dari itu tidak bisa. Kita tidak punya cadangan” kata Soeharto kepada seluruh pasukannya. “Ibarat pertandingan tinju: sekali pukul dengan semua tenaga yang ada dan musuh harus KO.” Sandi Operasi: Jayawijaya Memasuki tahun 1962, pemerintah Belanda menolak berunding soal Irian Barat dengan Indonesia. Untuk memukul Belanda, sebuah operasi militer gabungan skala besar dipersiapkan. Operasi ini direncanakan di Markas Komando Caduad (kini Kostrad) di Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat pada Februari 1962. Di Markas Caduad terjadi perdebatan. Sebagian menghendaki kota industri minyak Sorong sebagai target penyerbuan. Sebagian lagi mengehendaki pulau Biak. Alasannya, Biak merupakan jantung pertahanan Belanda di Irian Barat. Pemilihan Biak memang sangat riskan. Di sana, militer Belanda memusatkan kekuatan Angkatan Laut sekaligus basis Angkatan Udara-nya. Menurut Julius Pour dalam Konspirasi Di Balik Tenggelamnya Matjan Tutul , markas operasional pasukan Belanda sengaja ditempatkan di Biak, berhadapan langsung dengan wilayah Republik Indonesia. Untuk menentukan target operasi diadakan rembug bersama Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI), Mayor Jenderal Ahmad Yani. KOTI memutuskan Biak sebagai sasaran operasi besar-besaran (B-1). Sedangkan hari-H operasi ditetapkan bulan Agustus 1962. Kode operasi diberi sandi: Jayawijaya. Menurut Amir Machmud, Kepala Staf Gabungan II (bidang operasi) Komando Mandala, Soeharto sendiri yang menamai sandi Jayawijaya merujuk puncak tertinggi di Irian Barat. Selanjutnya, diadakan pembagian tugas masing-masing pimpinan komponen Mandala. Komodor (AL) Soedomo memimpin operasi amfibi; Brigadir Jenderal (AD) Rukman memimpin operasi pendaratan; Kolonel (AU) Leo Wattimena memimpin serangan udara. Sementara Panglima Mandala Mayjen Soeharto akan memimpin langsung operasi penerjunan ( airborne ). Skema Operasi Jayawijaya. Pulau Biak menjadi target invasi. Foto: Pusat Sejarah TNI Dalam buku SejarahOperasi-operasi Pembebasan Irian Barat karya M. Cholil, Operasi Jayawijaya akan diawali dengan serangan sporadis dari satuan lintas udara. AU Mandala mengincar basis militer vital di Biak lewat serangkaian pemboman dan penembakan. Selanjutnya, pasukan-pasukan komando melakukan penyerbuan serta pemburuan bebas oleh AL Mandala. Setelah Biak dikuasai, maka pusat pemerintahan di Kotabaru (Jayapura) harus direbut. Menurut rencana, hari-H jatuh pada tanggal 12 Agustus 1962. Namun karena perhitungan cuaca, mundur menjadi 14 Agustus. “Pokoknya sebelum Hari ulang tahun ke-17 Proklamasi Kemerdekaan, Irian Barat sudah harus di tangan Republik Indonesia,” ujar Amir Machmud dalam Otobiografi H. Amir Machmud: Prajurit Pejuang. Operasi Jayawijaya mengerahkan hampir seluruh kekuatan inti TNI. Dari AD, sebanyak dua puluh ribu pasukan dari berbagai divisi diturunkan. AL menyumbang 126 kapal meliputi: buru torpedo, kapal selam, kapal fregat, buru selam, kapal cepat torpedo, penyapu ranjau, tangker, kapal rumah sakit, termasuk 33 kapal pengangkut, dan tiga batalion (sepuluh ribu) pasukan elite marinir Korps Komando. Sedangkan AU mempersiapkan pesawat tempur tercanggih yang dibeli dari Uni Soviet antara lain: 38 unit bomber TU-16, 18 unit MIG-17, 6 unit P-51/Mustang, 1 Skuadron Gannet, dan 6 unit Albatros. “Operasi ini melibatkan personil pasukan sebanyak 70.000 orang,” tulis Saleh Djamhari dan tim pusat sejarah ABRI dalam Tri Komando Rakyat Pembebasan Irian Barat. Batal Seketika Di saat Soeharto hendak melaksanakan misinya, tetiba keluar perintah untuk menunda operasi. Di belahan bumi yang lain para negosiator Indonesia beraksi. Atas tekanan Amerika Serikat (AS), Belanda bersedia berunding dengan Indonesia. Pada hari-H Operasi Jayawijaya, 14 Agustus yang jatuhnya sama dengan 15 Agustus waktu New York, berita menyerahnya Belanda di meja diplomasi terdengar di Ujungpandang, Markas Komando Mandala. Perundingan yang dimediasi pemerintah AS dan PBB itu berbuah Perjanjian New York yang mengakhiri sengketa Irian Barat. Hasilnya, wilayah Irian Barat akan berada di bawah pemerintah Indonesia sedangkan Belanda harus angkat kaki. Pemerintahan transisi berlaku hingga pertengahan 1963. Kendati urung dieksekusi, persiapan Operasi Jayawijaya turut menentukan posisi tawar Indonesia. Menteri Luar Negeri Soebandrio, delegasi Indonesia dalam Perjanjian New York setidaknya mengakui hal ini. Dalam Meluruskan Sejarah Perjuangan Irian Barat , Soebandrio menuturkan, pesawat U-17 milik AS melintas dua kali ketika aktivitas militer TNI kian meningkat di Irian Barat. Pengintaian itu sengaja dilakukan. Potret dari udara memberikan gambaran betapa perang siap pecah. “Hasil pemotretan itu yang benar-benar memperlihatkan bagaimana Irian Barat sudah dikepung oleh armada Angkatan Laut Indonesia yang siap menyerang,” kata Soebandrio. Kesepakatan damai antara Indonesia dan Belanda ditindaklanjuti dengan genjatan senjata. Presiden Sukarno memerintahkan pengehentian permusuhan yang berlaku sejak 18 Agustus pukul 19.31 waktu Irian Barat. Seminggu kemudian, Mayor Jenderal Soeharto secara resmi membatalkan Operasi Jayawijaya.
- Peran Ulama dalam Kerajaan Islam di Nusantara
PADA masa jaya kerajaan-kerajaan Islam, peran ulama menonjol sebagai bagian dari pejabat elite. Fungsinya memperkokoh kedudukan pemimpin yang duduk di singgasana. Di Asia Tenggara, apalagi Nusantara, hubungan erat raja dan ulama bukan hal yang aneh. Contohnya di Kerajaan Samudera Pasai. Ayang Utriza Yakin dalam Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX M menulis, di Samudera Pasai, pemerintah Islam menunjuk ulama yang punya kemampuan mumpuni sebagai mufti resmi. Itu berdasarkan keterangan Ibnu Batutah yang pernah tinggal selama 15 hari di Samudera Pasai pada 1345. Dalam catatannya, al-Rihlat, Batutah menyebut fungsi mufti sangat penting dalam kesultanan. Sang mufti biasanya duduk dalam ruang pertemuan bersama dengan sekretaris, para pemimpin tentara, komandan, dan pembesar kerajaan. Sistem itu, kata Ayang, agaknya dibawa dari kebiasaan di Kesultanan Perlak (Peureulak). Kerajaan Islam di Aceh itu punya majelis fatwa yang dipimpin seorang mufti. Ia menangani persoalan hukum agama. Jabatannya itu di atas kementerian kehakiman. “Sistem itu berlanjut hingga ke masa pembentukan Kesultanan Samudera Pasai,” kata dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta itu. Gambaran jelas keberadaan ulama di tengah politik kerajaan muncul pada abad 16. Salah satunya Hamzah Fansuri, ulama Melayu Nusantara yang peninggalannya relatif lengkap mencakup biografi dan karya keislaman. Selain itu, ulama terkemuka yang meninggalkan karya monumental antara lain Shamsuddin al-Sumaterani (1693), Nuruddin ar-Raniri (1658), Abdul Rau’f al-Sinkili (1693), dan Yusuf al-Makassari. Pada abad 18 muncul Abd. Samad al-Falimbani dan Syekh Daud al-Fatani. Dosen sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Jajat Burhanudin menjelaskan, kehadiran ulama Melayu Nusantara sebagai bagian dari elite kerajaan lebih memperlihatkan gejala kota. “Mereka menjadi satu kelompok sosial yang termasuk elite kota dengan sejumlah keistimewaan karena pengetahuannya di bidang ilmu keislaman,” kata Jajat. Dalam bukunya, Islam dalam Arus Sejarah Indonesia, Jajat menulis, para ulama senantiasa di samping raja untuk memberi nasihat spiritual sekaligus memberi legitimasi politik di tengah rakyatnya yang beralih menjadi muslim. Kadi Dalam bidang hukum, ulama memegang peran sentral dalam membuat regulasi dan menentukan kehidupan keagamaan umat Islam. Mereka sebagai kadi atau penghulu di Jawa. Lembaga Kadi makin mapan pada abad 17 di Kerajaan Aceh. Tak hanya memberi legitimasi dan nasihat kepada raja seperti di Kerajaan Malaka, para kadi juga menjalankan hukum Islam di kerajaan. Kadi di Aceh mulai berdiri pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Kerajaan Aceh juga memiliki lembaga Syaikhul Islam yang berada langsung di bawah raja. Lembaga ini mempengaruhi kebijakan raja dalam masalah sosial dan politik. “Orang-orang yang bertanggung jawab di lembaga ini adalah ulama Aceh terkemuka,” kata Jajat. Informasi soal lembaga itu, salah satunya, didapatkan lewat catatan perjalanan perwakilan khusus Inggris ke Aceh pada 1602. Sir James Lancaster, menggambarkan Hamzah Fansuri, Syaikhul Islam waktu itu, sebagai uskup agung. Dia diangkat raja untuk memimpin perundingan damai dan persahabatan antara Aceh dan Inggris. Jajat mencatat, Nuruddin ar-Raniri sempat pula mengepalai Syaikhul Islam. Dia pernah menengahi protes keras Belanda atas regulasi perdagangan kerajaan yang menguntungkan pedagang Gujarat. Dengan otoritasnya itu, dia berhasil meyakinkan raja, Safiyyatuddin (1641-1675), untuk menarik regulasi itu. “Aceh merupakan satu-satunya kerajaan di Nusantara yang memiliki lembaga resmi ulama. Raja-rajanya memberi ulama kesempatan untuk terlibat dalam wilayah yang melampaui urusan keagamaan,” tulis Jajat. Di Jawa, lembaga itu bisa ditemui di Kerajaan Demak. Dalam menjalankan pemerintahannya, sultan-sultan Demak dibantu para ulama. Mereka bertindak sebagai ahlulhalli walaqdi. Lembaga itu menjadi wadah permusyawaratan kerajaan yang punya hak ikut memutuskan masalah agama, kenegaraan, dan segala urusan kaum muslimin. Sunan Giri pernah menduduki ahlulhalli walaqdi. Di ia berwenang mengesahkan dan memberi gelar sultan pada penguasa kerajaan Islam di Jawa. Dia juga menentukan garis besar politik pemerintahan dan bertanggung jawab di bidang keamanan muslim dan kerajaan Islam. Dia juga berhak mencabut kedudukan sultan bila menyimpang dari kebijakan para wali. Legitimasi Kekuasaan Tak hanya sebagai penasihat raja, para ulama juga menjadi penerjemah Islam ke dalam sistem budaya Indonesia. “Dalam tugas itu, ulama berkontribusi dalam memberi legitimasi pada budaya politik Melayu berorientasi kerajaan,” jelas Jajat. Karya intelektual para ulama menjadi sumber legitimasi bagi kerajaan. Salah satunya Ar-Raniri yang memiliki pandangan lebih rinci tentang hubungan ulama-raja. Lewat karyanya, Bustan us-Salatin yang ditulis sekira 1630-an dan didedikasikan kepada Iskandar Thani, dia menjabarkan cara seorang ulama neo-sufi berhadapan dengan isu politik kerajaan. Ar-Raniri menekankan untuk mematuhi raja sebagai sebuah kewajiban agama. Kepatuhan pada raja sama saja dengan mengikuti perintah Tuhan. “Dengan cara ini, para raja diberikan otoritas politik yang sah, yang harus diakui oleh umat Islam,” tulis Jajat. Karenanya, kata jajat, Islam telah memberi sumbangan bagi pembentukan kerajaan absolut di dunia Melayu-Indonesia prakolonial. Semakin mapan ulama dalam elite kerajaan, makin mantap Islam sebagai ideologi politik kerajaan. Pada periode itu, tercatat raja-raja absolut seperti Sultan Iskandar Muda dan Iskandar Thani di Aceh, Sultan Agung di Mataram, dan Sultan Hasanuddin di Makassar. “Bisa diasumsikan sejumlah ulama juga tampil mendukung politik kerajaan absolut,” tegas Jajat.
- Korea Merajut Persatuan Lewat Olahraga
STADION Utama Gelora Bung Karno menjadi saksi bisu momen bersejarah Sabtu, 18 Agustus 2018, lalu. Bukan hanya soal upacara pembukaan Asian Games XVIII nan mengagumkan, namun juga momen bersatunya dua bangsa Korea –Korea Selatan (Korsel) dan Korea Utara (Korut). Dalam defile kontingen, para atlet kedua negara berjalan bersama sambil menyapa puluhan ribu hadirin. Mereka mengenakan busana santai bercorak putih-biru plus bendera unifikasi berwarna dasar putih bermotif Semenanjung Korea berwarna biru. Saat kontingen istimewa itu berlalu di tengah arena, seketika Wakil Perdana Menteri (PM) Korut Ri Yong-nam dan PM Korsel Lee Nak-yeon bangun dari kursi lantas bergandengan tangan sambil melambaikan tangan ke arah kontingen. Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi ikut berdiri turut memberi hormat. Tak ketinggalan Presiden Joko Widodo ikut memberi tepuk tangan dan lambaian tangan. PM Korut Ri Yong-nam dan PM Korsel Lee Nak-yeon Bergandengan Tangan Menyapa Kontingen Unifikasi Korea “Ya seperti kita tahu, Indonesia sendiri turut mendukung unifikasi Korea,” tutur Rostineu, dosen Program Studi Bahasa dan Kebudayaan Korea Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, kepada Historia. Presiden Olympic Council of Asia (OCA) atau Dewan Olimpiade Asia Sheikh Ahmad al-Fahad al-Sabah, mengapresiasi persatuan Korea di di Asian Games 2018. “Kita membuat sejarah hari ini…karena Korea Selatan dan Korea Utara bersatu dalam satu tim untuk bertanding di Asian Games 2018,” ujarnya dalam pidato di upacara pembukaan. Menyambung Tali Persaudaraan di Arena Dalam ranah politik, unifikasi lahir sejak 1969 dengan berdirinya Badan Unifikasi (kini Kementerian Unifikasi). Namun, upaya untuk bersatu yang lebih riil datang lebih dulu lewat olahraga. Momen itu terjadi saat perwakilan Korut dan Korsel bertemu di Hong Kong, 17 Mei 1963. Brian Bridges dalam Playing the Game? Sport and the Two Koreas memaparkan, kedua delegasi mencanangkan pembentukan sebuah tim bersama untuk tampil di Olimpiade Musim Panas 1964 di Tokyo. Sayang, rencana itu tak mendapat lampu hijau dari Komite Olimpiade Internasional (IOC). Korea Bersatu Turunkan Tim di Cabang Basket Putri Asian Games 2018 (Foto: INASGOC) Titik masalahnya ada pada Korut. Enam atlet cabang atletik Korut masih dalam sanksi larangan ikut olimpiade gara-gara berpartisipasi di GANEFO (Games of the New Emerging Forces) I, event olahraga multicabang yang dibuat Presiden Indonesia Sukarno untuk melawan IOC, pada 10-22 November 1963. Dalam beberapa episode olimpiade maupun beberapa ajang lain, usulan serupa datang lagi. Hasilnya, setali tiga uang alias gagal di tengah jalan. Sedikit kemajuan baru datang di Asian Games XI Beijing 1990. Walau kembali gagal menurunkan tim bersama, persatuan Korea hadir dengan eksisnya bendera unifikasi. “Setelah di Asian Games (1990) itu, barulah ada tim bersama. Dimulai dari tenis meja tahun 1991 (World Table Tennis Championships 1991 di Jepang). Lalu ada sepakbola di Portugal (Piala Dunia Yunior 1991). Karena kalau bicara unifikasi, lebih mudah dengan olahraga ketimbang politik,” ujar Bae Dong-sun, penulis dan peneliti sejarah modern Korean Cultural Center, kepada Historia. Selain Basket dan Perahu Naga, Kontingen Korea Bersatu juga Menurunkan Timnya di Cabang Dayung (Foto: INASGOC) Di Kejuaraan Dunia Tenis Meja 1991, tim Korea Bersatu menghasilkan tiga medali: sekeping perak yang diraih Ri Pun-hui (tunggal putri) dan dua perunggu yang dikantongi Kim Taek-soo (tunggal putra) dan Kim Song-hui/Ri Pun-hui (ganda campuran). Sedangkan di Piala Dunia Yunior 1991, tim Korea menembus perempatfinal meski akhirnya dihentikan Brasil 1-5. Kendati sempat lama berhenti akibat ketegangan politik, momen persatuan kembali muncul di Olimpiade Musim Dingin Pyeongchang 2018. Tim Korea Bersatu hadir lagi di cabang hoki putri. Kini, di Asian Games, tim Korea Bersatu turun di cabang basket putri, dayung dan perahu naga putra dan putri.





















