Hasil pencarian
9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Cinta Mati Ainun-Habibie
BAGI BJ Habibie, Hasri Ainun Besari bukanlah orang asing. Keduanya saling kenal sejak kecil. Rumah mereka di Bandung berdekatan. Kakak Ainun bahkan teman main kelereng Habibie. Menghabiskan masa kecil di Bandung, Habibie dan Ainun masuk ke SMA yang sama (SLTA). Habibie yang merupakan kakak kelas Ainun, selalu jadi siswa paling kecil dan muda di kelasnya. Guru dan teman-teman sering meledek dan menjodoh-jodohkan mereka berdua. Ainun primadona di sekolah waktu itu. Banyak murid lelaki mengagumi Ainun. Habibie ternyata juga tertarik padanya sejak duduk di bangku SMA. Pada teman sekelasnya, Wiratman Wangsadinata, Habibie berkata, “Wah cakep itu anak, si item gula Jawa,” kata Habibie seperti dikisahkan A Makmur Makka dalam The True Life of Habibie: Cerita di Balik Kesuksesan . Hobi renang Ainun membuat kulitnya menggelap karena terbakar matahari. Pernah suatu ketika Habibie lewat depan Ainun bersama teman-teman lelakinya. “Eh, kamu sekarang kok hitam dan gemuk?” kata Habibie kepada Ainun. Sontak Ainun bingung dengan pertanyaan itu. “Kok begitu? Mau apa dia,” Ainun membatin. Kontak mereka terputus karena Habibie melanjutkan studi ke ITB lantas ke Jerman Barat sementara Ainun kuliah kedokteran di Jakarta. Habibie menghabiskan 7 tahun di Belanda tanpa pernah kembali ke Indonesia. Baru pada Januari 1962 ia mendapat cuti dua bulan yang dimanfaatkannya untuk pulang kampung. Ia mengunjungi makam ayahnya di Makassar. Diantar adiknya, Junus Effendy, Habibie berkunjung ke rumah keluarga Besari di Bandung. Dasar jodoh, kunjungan Habibie berbarengan dengan pulang kampungnya Ainun lantaran sakit. Ainun yang lulus dari Fakultas Kedokteran UI pada 1961 kala itu sudah bekerja di Jakarta. Ainun sudah jadi dokter dan dikagumi banyak lelaki. Saat pertama kali melihat Ainun kembali itu, Habibie langsung jatuh hati. Dia pun langsung bergerak cepat karena tidak punya banyak kesempatan. Cuti Habibie tidak berlangsung lama tetapi mereka mengusahakan untuk saling bertemu sampai akhirnya dia memutuskan untuk melamar Ainun di sebuah tanah lapang. “Ainun kamu mau menerbangkan pesawat ini bersama denganku, menjadi pendamping cita-citaku?” Jenazah B.J. Habibie saat tiba di Taman Makam Pahlawan Kalibata. (Fernando Randy/Historia). Lamaran Habibie diterima Ainun. Habibie pun rutin mengantar Ainun ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, tempat Ainun bekerja di bagian anak-anak. Habibie juga rutin menjemput Ainun dengan becak saat jam kerja usai. Pacaran mereka tak lama. Pada 12 Mei 1962, Habibie dan Ainun melangsungkan pernikahan. Setelah itu mereka pindah ke Jerman dan memulai hidup dari nol. Mereka tinggal di rumah susun di luar Aachen, Jerman. Penghasilan Habibie pas-pasan. Ia menerima setengah gaji Diploma Ingineur karena bekerja setengah hari sebagai asisten di Institute Konstruksi Ringan. Ia juga mendapat 600 Deutsche Mark dari DAAD, dinas beasiswa Jerman. Habibie yang tiap hari naik bus untuk sampai ke tempat kerjanya, seringkali harus berjalan kaki 15 kilometer kalau sedang kekurangan uang untuk membeli kartu langganan bulanan bus. Perjalanan jauh itu mengakibatkan sepatunya lekas jebol. Habibie baru akan menambalnya kalau sudah musim dingin karena untuk menghindari salju atau udara dingin menembus ke dalamnya. Jauhnya tempat tinggal mereka sedikit merepotkan Ainun yang kala itu sedang hamil. Untuk memeriksakan kandungannya, ia harus naik bus ke kota. Namun, bus itu hanya lewat dua jam sekali. Asuransi kesehatan untuk Ainun yang sedang hamil terbilang tinggi. Ia pun putar otak untuk menghemat pengeluaran dengan menjahit baju musim dingin, pakaian bayi, dan memperbaiki baju musim dinginnya sendiri. Untuk menambah pernghasilan, terlebih mempersiapkan persalinan istrinya, Habibie bekerja sebagai ahli konstruksi di pabrik kereta api Waggonfabrik Talbot. Tugasnya mendesain gerbong-gerbong kereta. Dalam keterbatasan finansial itu, anak pertama mereka lahir pada 1963. Empat tahun berselang, menyusul lahir anak kedua. Habibie-Ainun terus menjalani keseharian dengan bahagia bersama dua buah hati di Jerman hingga panggilan Soeharto untuk kembali ke Indonesia datang pada 1974. Di tanah air, Habibie berkarier sesuai minatnya. Alhasil, prestasi demi prestasi terus diraihnya. Dukungan penuh Ainunlah yang ikut membuat karier Habibie meroket hingga menempatkannya ke dalam jajaran tokoh terpenting negeri ini. Namun, kisah cinta Habibie-Ainun akhirnya berakhir pada 22 Mei 2010 karena kanker ovarium merenggut nyawa Ainun. Habibie yang sangat mencintai istrinya, November tahun itu juga meluncurkan buku Habibie & Ainun yang mengisahkan 48 tahun perjalanan cinta mereka. Romansa cinta keduanya bahkan difilmkan oleh MD Pictures pada 2012. Pengakuan Habibie dalam Mata Najwa Juni 2019, bahwa cintanya pada Ainun tak terpisahkan oleh maut. Tiap Jumat ia selalu ziarah ke makam Ainun dan mengiriminya doa tiap malam. Hari ini, 11 September 2019, Habibie menyusul sang kekasih ke alam kebadian. “Saya tak mau istri saya dimakamkan di Taman Makam Pahlawan kalau saya tidak di sebelahnya…. Saya tidak lagi takut mati karena saya tahu, siapa di sana yang akan menyambut saya pertama kali. Bukan hanya ibu saya, tapi juga Ainun. ‘Hei, kamu sekarang di sini juga, ya?’” kata Habibie menirukan mendiang istrinya.
- Habibie dan Sang Jenderal
ISTANA NEGARA, 22 Mei 1998. Pukul 3 sore, Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie menerima kedatangan Panglima Kostrad Letjen TNI Prabowo Subianto. Pagi harinya, Habibie telah menerima laporan dari Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto tentang pasukan Kostrad dari luar Jakarta yang bergerak di ibu kota. Sejumlah tanya menggelayut dalam benak Habibie jelang ketemu Prabowo,. “Apakah perlu saya bertemu? Apa gunanya bertemu? Letjen Prabowo adalah menantu Presiden Soeharto. Pak Harto baru 24 jam meletakkan jabatannya... Mengapa Prabowo tanpa sepengetahuan Pangab telah membuat kebijakan menggerakan Kostrad?” kenang Habibie dalam otobiografi Detik-detik yang Menentukan: Jalan Panjang Indonesia Menuju Demokrasi . Prabowo dan keluarganya bukan orang baru bagi Habibie. Prabowo mengaggumi sosok Habibie sebagai cendekiawan yang ahli teknologi. Pun sebaliknya, sejak SMA Habibie telah menganggumi ayah Prabowo, Soemitro Djojohadikusumo yang pernah jadi Menteri Keuangan era Sukarno serta Menteri Perdagangan di masa Soeharto dalam Kabinet Pembangunan I (1968 –19 73). Soemitro-lah yang merekomendasikan Habibie kepada Presiden Soeharto untuk mengelola proyek pembangunan teknologi. Pada 1978, Habibie menjabat Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) dalam Kabinet Pembangunan III. Jabatan itu diemban Habibie berturut-turut hingga berakhirnya masa Kabinet Pembangunan VI pada 1998. Di saat yang sama, Prabowo telah merintis karier militernya sebagai perwira tinggi TNI sekaligus menantu Presiden Soeharto. Habibie mengenal karakter Prabowo. Prabowo lahir dan dibesarkan di lingkungan intelektual dan rasional. Disiplin intelektual memungkinkannya untuk menganalisis, mempertanyakan, memperdebatkan tiap jejak seorang diri dengan lingkungannya, termasuk dengan atasannya. Berbeda halnya dengan disiplin militer yang hanya mengenal satu jawaban, “siap laksanakan”. Menurut Habibie, pembawaan Prabowo masih bernapaskan disiplin intelektual. Prabowo Subianto dan B.J. Habibie bertemu di desa Kakerbeck, Altmarkkreis Salzwedel, Jerman, 2013. (Facebook Prabowo Subianto). Dalam otobiografinya, Habibie mengatakan bahwa Prabowo dalam gerakan dan tindakannya sering terjadi konflik antara disiplin militer dan disiplin sipil. Ini tidak lain dikarenakan statusnya sebagai menantu Soeharto di mana budaya feodal masih subur. Makanya apapun yang dilakukan Prabowo akan ditoleransi dan tidak pernah mendapat teguran dari atasannya. Kebiasaan pemberian "eksklusivitas" kepada Prabowo mungkin salah satu penyebab terjadinya pengerahan pasukan Kostrad tanpa konsultasi, koordinasi, dan sepengetahuan Panglima ABRI. “Walaupun saya sangat akrab dan dekat dengan Prabowo, kebiasaan tersebut tidak boleh saya tolerir dan biarkan. Ini suatu pelajaran bagi semua bahwa dalam melaksanakan tugas, pemberian 'eksklusivitas' kepada siapa saja, termasuk kepada keluarga dan teman, tidak dapat dibenarkan,” ujar Habibie. Soal pengerahan pasukan Kostrad sebenarnya masih simpang siur. Menurut Letjen TNI (Purn.) Sintong Panjaitan, yang saat itu menjadi penasihat Habibie bidang Pertahanan dan Keamanan, kehadiran pasukan Kostrad dari luar Jakarta perlu dicek lebih dahulu. Tetapi, disebabkan kendala waktu –padatnya agenda Habibie dan keadaan negara yang genting–, maka kehadiran pasukan itu tidak perlu dicek lagi. “B.J. Habibie percaya kepada Wiranto yang dianggapnya sebagai orang jujur,” kata Sintong dalam biografinya, Perjalanan Seorang Prajurit: Para Komando . Ayah Prabowo, Soemitro juga mempertanyakan pengerahan pasukan itu. Berdasarkan keterangan yang diperolehnya dari Panglima Kodam Jaya Mayjen TNI Sjafrie Sjamsuddin, dapat dipastikan kalau pasukan itu bukan berasal dari Kostrad melainkan Kopassus. Ini didasarkan atas perintah Panglima ABRI di Markas Komando Garnisun pada 14 Mei 1998. Kostrad ditugaskan untuk mengamankan instalasi vital, Marinir bertugas mengamankan konsulat asing dan kedutaan asing, sedangkan Kopassus bertugas mengamankan RI-1 dan RI-2. “Jelas sudah, dalam soal ini satu dari dua orang itu: Habibie atau Wiranto, pasti berdusta,” tegas Soemitro dalam biografinya, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang . Ketika Prabowo memasuki ruang kerja Presiden Habibie, senjata yang melekat padanya ditanggalkan. Habibie menyaksikannya dengan lega. Hal ini berarti pemberian “eksklusivitas” kepada Prabowo tidak dilaksanakan lagi. Saat bersua, sudah jadi kebiasaan di antara keduanya bercengkerama dalam bahasa Inggris. Prabowo mengatakan pasukan yang dikerahkannya bertujuan untuk melindungi presiden. Habibie menyanggahnya, bahwa Pasukan Pengaman Presiden yang berwewenang untuk itu. Prabowo sempat tawar menawar agar tetap diberikan wewenang memegang kendali pasukannya. Habibie menolak. Hasil pertemuan itu memutuskan pencopotan jabatan Prabowo sebagai Panglima Kostrad. Sebelum berpisah, Habibie sempat memeluk Prabowo dan menitipkan salam kepada Soemitro dan ayah mertua Prabowo, Soeharto. “Saya percaya bahwa iktikad dan niat Prabowo untuk melindungi saya adalah tulus, jujur, dan tepat,” kenang Habibie. Hari itu, sebelum matahari terbenam, Prabowo menyerahkan pasukannya kepada Panglima Kostrad yang baru Johny Lumintang. Prabowo legowo. Posisi baru sebagai komandan Sesko ABRI, sekolah staf dan komando gabungan lintas matra, menantinya.*
- Ridwan Saidi dan Bahasa Armenia
Prasasti yang dikeluarkan Kadatuan Sriwijaya dituliskan dalam bahasa Armenia, bukan Senskerta. Selama ini, banyak arkeolog salah mengira tulisan dalam prasasti-prasasti itu berbahasa Sanskerta, karenanya menimbulkan banyak salah arti. Hal itu diucapkan budayawan Betawi, Ridwan Saidi, dalam video yang diunggah di kanal YouTube "Macan Idealis". “Banyak sekali bahasa Melayu menyerap dari bahasa Armenia. Jadi ketika dibaca, oh, ini bahasa Melayu padahal bahasa Armenia,” katanya. Kenyataannya, semua prasasti peninggalan Kadatuan Sriwijaya ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Melayu Kuno. “Jelas kok itu Melayu Kuno. Masa nggak percaya bahasa sendiri,” kata Titi Surti Nastiti, ahli epigrafi Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, ketika ditemui di kantornya di Pejaten, Jakarta. Titi menjelaskan, beberapa prasasti Sriwijaya berisi kutukan sebagai ancaman bagi warga yang akan berkhianat atau membantu para pengkhianat. Logikanya, karena kutukan itu diperuntukkan untuk mengancam masyarakat setempat, masyarakat pun harus mengerti isi kutukan itu. “Ya, mereka pakailah bahasa setempat nggak mungkin pakai bahasa Armenia. Jelas mereka pakai Melayu supaya mereka (masyarakat, red. ) takut,” ujar Titi. Soal prasasti berbahasa Armenia, sejauh ini belum ditemukan di Nusantara. Kalau bukan Melayu Kuno, prasasti yang ditemukan di Nusantara pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, biasanya berbahasa Sanskerta, Jawa Kuno, Sunda Kuno, atau Bali Kuno. Titi menjelaskan, ketika mengidentifikasi sebuah prasasti biasanya seorang epigraf akan mencari perbandingan. “Misalnya, ketika menelusuri prasasti beraksara Pallawa di sini, sebelumnya para ahli harus cari tahu ternyata sama dengan yang di India abad ke-4, ke-5. Berarti ini huruf Pallawa. Nah, Ridwan Saidi begitu nggak waktu identifikasi itu bahasa Armenia?” kata Titi. Hal itu juga dilakukan para ahli ketika mengidentifikasi bahasa dalam prasasti. Salah satunya, menurut arkeolog Prancis, George Cœdès dalam Kedatuan Sriwijaya, adalah ahli epigrafi asal Belanda, Ph. S. van Ronkel yang kemudian mengenali adanya bahasa Melayu sejati dalam prasasti di Palembang. Van Ronkel lewat tulisannya, “A Preliminary Note Concerning Two Old Inscriptions in Palembang” dalam Acta Orientalia mengidentifikasi dua prasasti Palembang, yaitu Kedukan Bukit (683) dan Talang Tuwo (684). Menurutnya, ada kesamaan yanghampir sempurna antara bentuk kata kerja yang terbukti ada pada abad ke-7 dengan yang ada pada abad ke-16, dan yang sebagian besar masih ada dewasa ini. “Sungguh-sungguh suatu contoh yang istimewa tentang betapa bahasa itu tak gampang berubah,” kata Van Ronkel dikutip Cœdès. Menurut Van Ronkel tak ada perbedaan fonetik, morfologi, atau sintaksis antara bahasa Prasasti Kota Kapur dan Prasasti Palembang. Catatan Van Ronkel membuktikan kalau ada kemantapan Bahasa Melayu sejak abad ke-7. Adapun menurut ahli epigrafi Belanda, H. Kern yang menerbitkan Prasasti Kota Kapur pada 1913, baik dari segi tata bahasa maupun kosakata, bahasa dalam Prasasti Kota Kapur sangat berbeda dengan Bahasa Melayu Kuno dan dengan Bahasa Minangkabau sehari-hari. Karenanya, pengetahuan tentang dua bahasa itu pun tak membantu usaha penafsiran prasasti. Namun, di sisi lain Kern juga mencatat dari 73 kata dalam Prasasti Kota Kapur, 50 kata bisa langsung diartikan melalui Bahasa Melayu atau diturunkan dari akar kata Melayu. “Hemat saya, wajarlah kalau prasasti-prasasti itu dikatakan berbahasa Melayu Kuno,” kata Cœdès. Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, mengatakan pemakaian Bahasa Melayu Kuno oleh orang-orang Sriwijaya berangkat dari sifat agama Buddha yang egaliter. Dilihat dari tinggalannya dan keterangan dalam prasasti serta kesaksian biksu Tiongkok I-Tsing sangat beralasan untuk menunjuk Buddha sebagai ajaran mayoritas yang dianut Sriwijaya. Mereka tak mengenal sistem kasta. “Makanya dipakai bahasa lokal, karena itu egaliter,” kata Agus. Sementara itu, prasasti-prasasti awal Kerajaan Mataram Kuno dan Kanjuruhan di Jawa memilih memakai Sanskerta, bahasa elite kerajaan dan keagamaan. Sanskerta hanya dikenal oleh kalangan terbatas, seperti kaum Brahmana Hindu agar ajarannya tak bocor. Penguasa dan rakyat Sriwijaya nampaknya percaya diri membuat prasastinya dalam bahasa lokal. Fenomena ini menandai adanya revolusi status bahasa daerah yang dianggap setara dengan bahasa Sanskerta. Bisa dikatakan penggunaan bahasa Melayu Kuno di Kedatuan Sriwijaya terkait dengan munculnya nasionalisme dari penguasa dan rakyat Sriwijaya. “Semangat menggunakan apa yang menjadi milik sendiri terlihat dari penggunaan Bahasa Melayu Kuno,” kata Agus.
- Riwayat Tan Sing Hwat
Tiga film Indonesia akan mengikuti Busan International Film Festival (BIFF) ke-24 pada 3-12 Oktober 2019 mendatang. Tiga film tersebut yaitu The Science of Fictions (2019), Tak Ada yang Gila di Kota Ini (2019), dan Aladin (1953). The Science of Fiction karya Yosep Anggi Noen akan tayang perdana dalam program A Window on Asian Cinema. Sedangkan film Tak Ada yang Gila di Kota Ini garapan Wregas Bhanuteja akan berkompetisi dalam program Wide Angle: Asian Short Film Competition. Yang terakhir, film Aladin masuk dalam program Busan Classics. Dalam laman resmi BIFF, ditulis, “Film ini memberi tahu kita bahwa film-film Indonesia pada 1950-an memiliki tingkat teknologi yang fantastis. Meskipun tidak cocok untuk Aladdin Disney, film ini menunjukkan tingkat film Indonesia pada saat itu dalam menggunakan efek khusus.” Film buatan tahun 1953 ini disutradarai oleh Tan Sing Hwat. Sutradara yang jarang diperbincangkan ini bernama alias Tandu Honggonegoro. Menurut arsip Sinematek, Tan Sing Hwat lahir di Pasuruan, 5 Januari 1918 dari pasangan Tan Thwan Kie dan Dewata. Sejak muda, Tan mengikuti kursus mengetik, Bahasa Indonesia, Administrasi, Boekhoeding , serta Bahasa Inggris, Belanda, hingga Jerman. Tan pernah bersekolah di sekolah Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) selama kurang dari dua tahun. Sejak 1935, Tan menulis cerita pendek dan cerita bersambung di beberapa majalah dan harian di antaranya Liberty , Sadar , Star Weekly , Aneka , dan harian Republik . Potret Tan Sing Hwat tahun 1980. (Sinematek). Leo Suryadinata, sinolog Tionghoa Indonesia dalam Prominent Indonesian Chinese: Biographical Sketches 4th Edition menyebut Tan pernah bekerja sebagai penjaga toko di sebuah perusahaan dan terlibat konflik antara pekerja dan pemerintah Belanda hingga membuatnya ditangkap. Kemudian pada 1940, Tan dijatuhi hukuman dua tahun penjara karena menulis artikel yang dianggap menghina Belanda. Pada 1942, pasca invasi Jepang, Tan bergabung dengan gerakan gerilya Indonesia. Sempat ditangkap Jepang, namun dibebaskan. Pada perang kemerdekaan, tepatnya pada 1948, dia ditahan Belanda karena terlibat dalam gerakan revolusioner. Tan dibebaskan pada 1950. Sebelum menggeluti dunia film, Tan merupakan wartawan harian Keng Po di Jakarta. Selain itu, dia juga membantu harian Malang Post dan Pewarta Surabaya . Karier filmnya bermula dari membantu sandiwara keliling Bintang Surabaya pimpinan Fred Young dan Nyoo Cheong Seng. Tan juga mulai belajar menulis skenario film dari Fred dan Nyoo. Pada 1950, Tan mulai pindah ke dunia film dan kemudian bekerja sebagai sutradara tetap di Golden Arraw. Dia juga pernah bekerja sama dengan Wim Umboh dan Lie Ik Sien (Iksan Lahardi). Film pertamanya, Siapa Dia? rilis tahun 1952. Sejak itu, dia mulai aktif menyutradarai berbagai film di antaranya, Bawang Merah Bawang Putih , Gadis Tiga Zaman hingga Sri Asih, film superhero pertama Indonesia. Sinematek mencatat, dia menyutradarai 13 judul film. Pada Festival Film Indonesia (FFI) 1960, Tan mendapat penghargaan sebagai penulis skenario terbaik lewat filmnya Kunanti di Jogja. Selain sebagai sutradara, Tan juga aktif di grup teater Lekture dan Manunggal Film Surabaya. Dia tergabung dalam Yayasan Film & Teater Liberty Surabaya. Pernah menjadi Wakil Ketua Komisi Film dan Televisi Dewan Kesenian Surabaya serta melatih teater untuk disiarkan TVRI stasiun Surabaya. Pada 1962, Tan bekerja sebagai sutradara lepas dan menyutradarai film untuk Perusahaan Gema Masa. Krishna Sen dalam Chinese Indonesians in National Cinema menyebut Tan Sing Hwat bersama Fred Young, adalah dua penulis-sutradara Indonesia Tionghoa paling produktif. “Tan Sing Hwat menggunakan nama Jawa, Tandu Honggonegoro (yang dia gunakan sesekali sejak awal 1950-an) menyutradarai dua film pada tahun 1961 ( In the Valley of Gunung Kawi [ Dilereng Gunung Kawi ], dan A Song and a Book [ Lagu dan Buku ]),” sebut Krishna Sen. Bachtiar Siagian, sutradara yang juga anggota Lekra dalam Catatan Mengenai Hubunganku dengan Teater yang dipublikasikan Indoprogress.com , menyebut bahwa Tan Sing Hwat merupakan salah satu pengurus Sarikat Buruh Film dan Seni Drama (Sarbufis). Sedangkan Leo menyebut bahwa mungkin karena hubungannya dengan Lekra, dia tidak bisa menulis lagi setelah tahun 1965. “Menurut akunya sendiri, dia bekerja sebagai pengemudi bemo (kendaraan bermotor roda tiga) selama sembilan tahun. Namun, selama tahun 1970-an dia mulai menulis lagi dan menghasilkan sejumlah drama TV,” tulis Leo. Tan Sing Hwat berganti nama menjadi Agoes Soemanto sejak terbitnya Keputusan Presedium Kabinet No. 127/U/KEP/12/1966, yang mengatur ganti nama bagi warga negara Indonesia yang menggunakan nama Tionghoa. Tan Sing Hwat alias Tandu Honggonegoro alias Agoes Soemanto, sang sutradara itu meninggal dunia pada akhir 1980-an.
- Agen CIA Merampok Bank Indonesia
PADA 4 Desember 1964, seorang Belanda, Werner Verrips, yang mengendarai mobil sport barunya, Mercedes, tewas dalam kecelakaan di jalan bawah dekat Sassenheim, Belanda. Dia dimakamkan di Zeist Nieuwe Begraafplaats, Utrecht, Belanda. Kematian Verrips mencurigakan. Siapakah dia?
- Akhir Hayat Sang Teknokrat
IBU Pertiwi berduka. Salah satu putra terbaik, seorang teknokrat dan negarawan Bacharuddin Jusuf Habibie berpulang ke Rahmatullah. Sang “Bapak Pesawat” menutup hayatnya di usia 83 tahun pada Rabu (11/9/2019) sekira pukul 18.05 WIB di RPSAD Gatot Subroto, Jakarta. Sang Presiden RI ketiga itu bakal selalu dikenang kiprah dan baktinya sepanjang hidupnya. Habibie lahir di Parepare, 25 Juni 1936 dari pasutri blasteran Gorontalo-Jawa, Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA Tuti Marini Puspowardojo. Sejak kecil ia sudah tergolong kutubuku. Saking sukanya membaca, tulis A. Makmur Makka dalam True Life of Habibie: Cerita di Balik Kesuksesan , Sri Sulaksmi, kakak pertama Habibie, mesti memaksanya untuk mau bermain dengan anak-anak sebayanya. Selain pandai mengaji, Habibie tergolong introvert. Ia baru 14 tahun alias masih ABG ketika ditinggal wafat ayahnya. Habibie lah yang diandalkan sang ibu untuk merantau ke Jawa mengejar pendidikan setinggi mungkin guna mewujudkan impian ayahnya. “BJ Habibie mendengar sendiri di malam ketika ayahnya meninggal, ibunya berteriak-teriak dan bersumpah di depan jasad suaminya, bahwa cita-cita suaminya terhadap pendidikan anak-anaknya akan diteruskannya,” sebut Makmur. Sampailah Habibie ke Bandung dengan masuk SMAK Dago, di mana ia menggemari pelajaran-pelajaran eksakta, utamanya Fisika. Setelah melanjutkan ke Institut Teknologi Bandung (ITB) pada 1954, Habibie mulai gandrung terhadap pesawat berangkat dari kegemarannya terhadap aeromodelling . “Ia punya model pesawat terbang yang dibuat sendiri dan selalu diperagakan. Tetapi model tersebut tak pernah sempat disempurnakan. Ia pernah masuk Aeromodelling Club, tapi tak punya waktu banyak untuk itu,” sambungnya. BJ Habibie (berjaket kulit) di masa SMA di Bandung (Foto: Repro "True Life of Habibie") Namun pendidikannya di ITB hanya sampai enam bulan lantaran Habibie kepincut kuliah di luar negeri sebagaimana kawannya, Kenkie Laheru. Dari kawannya itu dia mengajukan visa pelajar ke Kementerian Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan di Jakarta. “Habibie berangkat ke Jakarta dan menemui petugas yang berwenang. Dia ditanya mau pilih jurusan apa? Habibie memilih Ilmu Fisika. Dijawab oleh petugas, bahwa tidak ada jurusan Fisika, hanya ada jurusan lain, termasuk Ilmu Aeronautika,” imbuh Makmur. Jurusan terakhir itulah yang diambil Habibie lantaran di Ilmu Aeronautika paling banyak bersinggungan dengan Fisika. Habibie pun masuk ke Technische Hochschule Aachen (kini RWTH Aachen University). Ia berangkat dengan jalur membeli devisa pemerintah. Semua biayanya dikucurkan dari peninggalan mendiang ayahnya lewat perkenan sang ibu. “Habibie memilih jurusan itu juga dengan dasar pertimbangan pesan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Moh. Yamin. ‘Kamu inilah harapan bangsa,’ ucap Yamin sambil mengelus-elus kepalanya,” tutur Makmur. Alasan lain Habibie menggeluti ilmu tentang pesawat terbang, lantaran ia juga ingin mendalami teknologi pesawat Jerman yang dikaguminya. Sejak belia, Habibie terkagum-kagum pada pesawat tempur Jerman era Perang Dunia II, Messerschmitt 109, bikinan teknokrat Willy Messerschmitt. Kebetulan, kampus yang dipilih Habibie merupakan tempat Messerschmitt kuliah. Berturut-turut pada 1960 dan 1962, Habibie senantiasa cemerlang melahap ilmu-ilmu yang digalinya dan berbuah gelar Diplom-Ingenieur hingga Ingenieur . Ia satu-satunya mahasiswa Indonesia yang kuliah dengan ongkos sendiri, bukan beasiswa negara sebagaimana sejumlah kompatriotnya kala itu. Sembari menyelesaikan studi doktoralnya, ia menyibukkan diri jadi tangan kanan Hans Ebner, teknokrat di Lehrstuhl und Institut für Leichtbau, dan bekerja paruh waktu dengan menjadi penasihat di manufaktur keretaapi Waggonfabrik Talbot. Gelar Doktoringenieur akhirnya diperoleh Habibie pada 1965. Pulang ke Tanah Air Selagi ia meneruskan karier di pabrik pesawat Messerschmitt-Bölkow-Blohm (MBB) di Hamburg, pada 1973 sebuah panggilan pulang mendatangi Habibie. Kakak ipar Habibie, Brigjen Subono Mantofani, menyampaikan kabar yang datangnya dari Presiden Soeharto itu. Soeharto yang mendengar kecemerlangan Habibie di Jerman sampai menduduki posisi Wakil Presiden Direktur Teknik MBB, ingin memanfaatkan pikirannya untuk ikut membangun negeri. Dua malam setelah tiba di Indonesia pada 26 Januari 1974, Habibie menghadap Soeharto di Jalan Cendana. Soeharto memintanya membantu pembangunan industri. Habibie menyanggupinya. Habibie pun bertanggungjawab membangun industri pesawat di Industri Pesawat Terbang Nusantara/IPTN (kini PT Dirgantara Indonesia/PT DI). Ia memulainya dengan membuat sebuah rancangan pesawat, meski harus mencari mitra asing. “Habibie akhirnya mendapat mitra yang diinginkannya, yaitu CASA Spanyol yang setuju bekerjasama dalam pembuatan NC 212 Aviocar Twin-turboprop,” kata Makmur. Puncak kiprah Habibie adalah produksi pesawat N-250, yang lahir saat Habibie memimpin IPTN merangkap sebagai menteri riset dan teknologi. Habibie menamainya “Gatotkoco”. Ia memperlihatkan “mahakaryanya” itu ke hadapan Presiden Soeharto pada 10 Agustus 1995. Pesawat itu lepas landas dengan sempurna dari Lanud Husein Sastranegara, Bandung, berputar di udara Jawa Barat, Laut Jawa, dan kembali ke Lanud Husein. Rombongan, termasuk Soeharto, menampakkan wajah haru dan kagum. “Saya menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada IPTN. Mudah-mudahan akan jadi kebanggaan Indonesia dan juga negara-negara berkembang lainnya yang senasib dengan Indonesia,” tutur Soeharto dikutip Media Indonesia , 11 Agustus 1995. Lingkaran Politik Hingga 1998, Habibie dipercaya Soeharto sebagai wakilnya di Kabinet Pembangunan VII. Namun di tahun itu prahara politik pecah dan melengserkan Soeharto. Otomatis Habibie menggantikan posisi Soeharto, memimpin Indonesia ke era baru: Reformasi. Habibie harus menakhodai negeri dalam kondisi sulit di masa transisi itu. Tuntutan kemerdekaan Timor Timur merupakan salah satu yang terpelik. Habibie akhirnya membuat sejarah dengan mengeluarkan opsi referendum yang berbuah kemerdekaan Timor Timur. Baca juga: Timor Timur Membangun Solidaritas Internasional Belum lagi kritik soal Timor Timur reda, konfik internal Partai Golkar pada 1999 menambah berat jalan yang harus dilalui Habibie. Mengutip Rully Chairul Azwar dalam Politik Komunikasi Partai Golkar di Tiga Era , muncul perpecahan Golkar kubu Habibie dan Akbar Tandjung. Hasilnya, laporan pertanggungjawaban Habibie di Sidang Umum MPR ditolak dan membuat Habibie harus mundur dari pencalonan presiden kendati sebelumnya sudah resmi dicalonkan. Akbar Tandjung menyanggah perpecahan itu. “Formalnya kita mendukung. Cuma di intern kita banyak aspirasi yang tidak mendukung. Terutama aspirasi anggota Fraksi ABRI di DPR. Mahadi cs. juga enggak mau. Waktu itu kan banyak kasus sekitar Pak Habibie, seperti kasus Bank Bali. Pokoknya dilihat Pak Habibie masih Orde Baru-lah. Konsekuensinya kita tak bisa kontrol orang kita. Bangsa Agu n cs. itu, termasuk Agus Gumiwang Ginandjar,” kata Akbar dikutip Rully. Baca juga: Membidani Industri Strategis Dalam Negeri Tepat 20 Oktober 1999, Habibie melepaskan jabatannya dan digantikan KH Abdurrahman Wahid. Selepas itu, ia lebih banyak berkiprah lagi di Jerman. Kendati sempat ditawari status warga negara kehormatan oleh negeri maju itu, Habibie menolaknya lantaran kecintaannya pada Indonesia yang tak mengenal dwi-kewarganegaraan. Di masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Habibie baru sering muncul ke publik setelah dipercaya menjadi salah satu penasihat presiden. Ia juga kembali aktif mengasuh Habibie Center, LSM independen dengan tujuan mempromosikan modernisasi dan mengawal demokrasi di Indonesia lewat nilai-nilai budaya dan norma-norma agama, yang berdiri sejak 10 November 1999.
- Pasang Surut Hubungan Islam-Hindu di Bali
AJARAN Islam telah menyentuh Bali sejak abad ke-16. Keberadaannya sempat dihalang-halangi oleh para penguasa Bali yang tidak ingin ajaran Hindu di negerinya tergantikan oleh agama pendatang itu. Namun seiring waktu, keduanya bisa saling bekerjasama dan menjalin hubungan baik. Melalui penelitiannya Muslim Bali: Mencari Kembali Harmoni yang Hilang , Dhurorudin menyebut jika kegiatan keagamaan Islam dan Hindu di Bali saling menyesuaikan satu sama lain. Seperti saat beberapa pura di Bali tidak memakai daging babi sebagai sesaji karena dekat dengan lingkungan komunitas Muslim yang mengharamkan hewan itu. Atau saat orang-orang Muslim memberi ketupat saat upacara Galungan. “Secara makro hubungan Muslim dengan penduduk Hindu tidak ada perbedaan yang spesifik. Semua sama dalam corak hubungan, yakni terbangun apa yang disebut sebagai nyame slam : saudara Islam,” kata Dhurorudin. Namun yang paling unik, orang-orang Islam dan Hindu pernah terlibat dalam proses mempertahankan wilayah Bali dari penyerangan tentara Belanda. Meski akhirnya mereka terlibat dalam konflik yang sempat memecah persaudaraan dua agama tersebut. Menghalau Pengaruh Belanda Upaya kolonialisasi di wilayah Kepulauan Nusantara memasuki babak baru. Pertengahan abad ke-19 hampir tiap daerah telah berada di bawah kuasa penjajahan. Namun tidak semua. Karena hingga 1840, Bali masih memiliki kerajaan yang memerintah secara mandiri dan sama sekali tidak ada dalam kontrol pihak mana pun termasuk pemerintah Hindia Belanda. Kekhawatiran para penguasa Bali muncul saat kekuasaan mereka di Blambangan berhasil dilumpuhkan oleh tentara Belanda. Dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Bali disebutkan bahwa Blambangan menjadi benteng penting bagi Bali. Sebagai daerah paling timur di pulau Jawa, yang bersebelahan langsung dengan Bali, Blambangan dapat menghalau serangan yang datang dari arah Barat. Setelah memastikan pemerintahannya di Blambangan, para pejabat Hindia Belanda mulai mengalihkan perhatiannya kepada Bali. Pada 8 Juni 1848, Belanda mengerahkan pasukannya untuk menyerang Buleleng. Mengetahui hal itu, penguasa Jembrana segera mengirim bala bantuan. Sebagai negeri vasal (yang ditaklukan) kerajaan Buleleng, Jembrana berkewajiban ikut menghalau serangan tersebut. “Sikap raja Buleleng yang menolak menyerahkan daerahnya kepada Belanda dan juga menandatangani suatu perjanjian merupakan sikap ksatria yang tidak mau bertuankan Belanda, karena perjanjian-perjanjian yang diminta oleh Belanda itu hanya berarti kehilangan kemerdekaan raja-raja saja,” tulis Made Sutaba, dkk. dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialsime dan Kolonialisme di Daerah Bali . Jembrana yang kala itu dipimpin Anak Agung Putu Ngurah memberangkatkan pasukan terbaiknya di bawah komando Pan Kelap. Menurut Dhurorudin tidak hanya rakyat Bali yang memang mayoritas Hindu saja yang terusik dengan kehadiran Belanda di negerinya, tetapi umat Muslim juga. Dalam Sejarah Keberadaan Umat Islam di Bali, Salah Saidi dan Yahya Anshori mengatakan kalau sejak awal orang-orang Islam di Bali anti terhadap kolonialisme. Sehingga mereka pun ikut berjuang dengan mengirim pasukannya ke Buleleng. Pejuang Muslim yang dikirim ke medan pertempuran jumlahnya sangat besar. Mereka merupakan gabungan dari komunitas Islam yang sejak abad ke-16 telah menetap di Bali dan para pendatang yang datang pada akhir abad ke-17. Para pendatang itu umumnya pelarian dari Sulawesi yang tidak menerima kekuasaan Hindia Belanda di daerahnya. Mereka menolak mengakui kejatuhan Kesultanan Gowa oleh pemerintah kolonial Belanda. Akhirnya komunitas Muslim dari Gowa itu pergi berlayar mencari tempat baru untuk ditinggali. “Kedatangan para serdadu Islam asal Sulawesi Selatan dan Pontianak ini disambut positif oleh raja Bali, di manapun mereka mendarat. Alasan utamanya, mereka dapat dimanfaatkan untuk menjadi benteng pertahanan,” tulis Dhurorudin. Peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu juga menyebut orang-orang Islam ini bukan penduduk biasa, mayoritas adalah mantan prajurit kesultanan dan pelaut. Pengalaman militer mereka mampu diterapkan dengan baik. Sehingga dengan adanya bantuan dari komunitas Muslim ini diharapkan angin kemenangan berpihak kepada Bali. “Dengan bersatunya kekuatan beberapa kerajaan yang didukung kekuatan-kekuatan Islam, pasukan Belanda akhirnya dapat dipukul mundur dan sisa-sisa pasukannya kembali ke kapal,” tulis Dhurorudin. Namun kemenangan itu tidak berlangsung lama. Pada April 1849, Belanda kembali melakukan serangan ke wilayah Bali dengan membawa pasukan yang lebih besar. Wilayah Buleleng-Jembrana pun berhasil ditaklukan. Hindia Belanda akhirnya mendirikan pemerintahannya di sana. Bukan Konflik Agama Konflik besar antara masyarakat Hindu dan Islam pernah terjadi pasca pemerintah Hindia Belanda membangun kekuasaannya di Bali. Pertikaian ini melibatkan sebagian elit Hindu di Jembrana dengan komunitas Muslim. “Tetapi jika dicermati hal itu terjadi bukan murni akibat sentiment keagamaan, tetapi lebih disebabkan oleh kebijakan politik raja yang kurang aspiratif pada masyarakat. Terbukti, sebagian elit Kerajaan Jembrana justru bekerjasama dengan umat Islam dalam kemelut ini,” kata Dhurorudin. Konflik bermula saat pemerintah Hindia Belanda menjadikan Kerajaan Jembrana sebagai regenschap (kabupaten) di bawah residensi Banyuwangi. Sejak itu, banyak masyarakat Muslim Jawa yang datang ke Bali. Mereka segera menyebar, menempati beberapa daerah yang sebelumnya telah ada komunitas Muslim di dalamnya. Mayoritas umat Muslim dari Jawa membawa kemampuan mengobati. Sehingga dalam kesehariannya para ulama ini membuka praktek pengobatan di sekitar tempat mereka tinggal. “Mungkin karena banyaknya warga yang berhasil disembuhkan secara gratis, banyak kaum Hindu yang tertarik masuk Islam,” ucap Dhurorudin. Mengetahui hal itu, Raja Jembrana tidak tinggal diam. Ia segera memberlakukan larangan untuk warga Hindu masuk Islam. Raja pun meminta bantuan para pendeta untuk mempertahankan rakyatnya tersebut. Namun bukan perkara mudah bagi raja menjaga posisinya. Di dalam istana sendiri saat itu sedang terjadi konflik. Banyak pejabat yang kecewa terhadap pemerintahan Jembrana yang otoriter dan sewenang-wenang dalam membuat peraturan. Akhirnya terbentuklah dua kekuatan yang saling berhadapan. Kubu pertama dipimpin oleh Ida Anak Agung Putu Raka dan I Gusti Agung Made Rai yang loyal terhadap pemerintahan raja. Sementara kubu penentang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Made Pasekan, dibantu pasukan Muslim, serta masyarakat Hindu yang tidak senang dengan tabiat buruk raja. Pemerintahan buruk raja Jembrana sebenarnya telah dilaporkan kepada para pejabat Hindia Belanda di Banyuwangi, melalui Surat Gugatan Komisaris Hindia Belanda No. 85 tahun 1855. Namun karena tidak kunjung mendapat tanggapan, pasukan penentang raja akhirnya melancarkan serangan. Perang antara dua kubu itu meletus pada 2 Desember 1855. Pertempuran berlangsung sengit. Kubu Made Pasekan melancarkan serangan dari wilayah Loloan menggunakan meriam bekas pertempuran dengan Belanda. Sementara pihak kerajaan memakai persediaan senjata mereka yang besar, ditambah meriam-meriam bekas penyerahan kapal-kapal pasukan Muslim dari Sulawesi. Meski pasukan Made Pasekan kalah jumlah dengan pasukan kerajaan, tetapi mereka mampu menguasai jalannya pertempuran. Tentara muslim dianggap memberikan efek besar, sama seperti saat melawan pasukan Belanda dahulu. Merasa tertekan, Raja Anak Agung Putu Raka dan para pejabat yang mendukungnya memilih mundur dari Jembrana. Pemimpin pasukan Muslim, Syarif Abdullah bin Yahya Al-Qodry, yang melihat kemenangan pasukannya kemudian memberi ultimatum kepada Raja Jembrana. Ia berkata: “Maaf tuanku yang mulia, anda telah diambang pintu keruntuhan. Sesungguhnya kami terlarang membunuh orang yang menyerah. Kami mengangkat senjata bukan hendak merebut kekuasaan, tetapi kami menyebarkan agama sambil berniaga dan menolak sekeras-kerasnya perbuatan dzalim yang menghambat agama kami.” Catatan milik pemerintah Hindia Belanda di Banyuwangi, dalam Raad van Bestuur Oost Indische Gouverment , menyebut kalau Raja Jembrana pergi ke Buleleng setelah meninggalkan kekuasaannya. Takhta Jembrana pun diserahkan kepada Made Pasekan (1855-1866). Masa pemerintahan Made Pasekan disebut-sebut sebagai era keemasan perkembangan Islam di Bali dan perniagaan di sekitar bandar Loloan. Wilayah komunitas Islam juga meluas ke beberapa daerah, seperti Rening, Pabuahan, dan Tegal Badeng. Hubungan Muslim-Hindu pun kembali berlangsung secara harmonis.
- Mencari Sriwijaya di Palembang
Letak pusat Kadatuan Sriwijaya masih menjadi perdebatan. Sejarawan India, Ramesh Chandra Majumdar, berpendapat kalau Sriwijaya harus dicari di Jawa. Sarjana Belanda, J.L. Moens menduga Sriwijaya berpusat di Kedah (Malaysia) dan pindah ke Muara Takus (Riau). Sementara sejarawan George Coedes, Slamet Muljana, dan O.W. Wolters, lebih memilih Palembang. Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, salah satu yang meyakini pusat Sriwijaya ada di Palembang. Alasannya, prasasti Sriwijaya banyak ditemukan di sana. Ada Prasasti Kedukan Bukit (683) yang menandai dibangunnya sebuah perkampungan. Prasasti Talang Tuo (684) yang menandai dibangunnya Taman Sri Ksetra. Dan Prasasti Telaga Batu yang menandai pejabat-pejabat disumpah. “Semuanya ditemukan di Palembang, merupakan suatu bukti bahwa Palembang merupakan Kota Sriwijaya,” kata Bambang dalam acara Borobudur Writers and Cultural Festival, di Hotel Manohara, Magelang. Prasasti Kedukan Bukit berisi tentang perjalanan Dapunta Hyang untuk menemukan tempat baru sampai membangun wanua atau permukiman. “Ada sisa bangunan keagamaan berupa fondasi bata ditemukan di dekat Rumah Sakit Caritas, Bukit Siguntang,” kata Bambang dalam diskusi buku Kebangkitan dan Kejayaan Sriwijaya Abad III-VII di Museum Nasional, Jakarta. Prasasti Telaga Batumenguatkan argumen bahwa Palembang merupakan ibu kota Sriwijaya. Prasasti ini berisi sumpah seluruh penduduk kota agar tak berkhianat. “Mulai dari putra mahkota hingga tukang cuci disumpah,” kata Bambang. “Merekalah orang-orang paling dekat dengan raja.” Bambang menjelaskan, berdasarkan catatan I-Tsing yang kemudian dihitung secara astronomis, lokasi Shili Foshi diduga berada tak jauh dari Palembang. Menurut I-Tsing, di Shili Foshi, pada pertengahan bulan delapan dan pertengahan musim semi (bulan dua), lempeng jam (bayangan tiang) tidak berbayang. Seseorang yang berdiri di tengah hari tidak berbayang. Matahari tepat di atas kepala dua kali dalam setahun. “Bila diukur berdasarkan soltice, yang dapat dikatakan akurat, Shili Foshi tidak terletak di Kota Palembang sekarang atau di sekitar Upang-Sungsang di muara Sungai Musi,” kata Bambang. Namun, Bambang melanjutkan, jika diukur berdasarkan musim, kemungkinan letak Shili Foshi yang terdekat dengan Palembang berada di sekitar Kuala Tungkal Jabung. Hal ini sesuai dengan pendapat pakar epigrafi, Boechari, kalau I-Tsing menulis catatannya tentang gnomon (bayangan tiang) saat dia berada di suatu wilayah Shili Foshi, bukan di ibukota Shili Foshi . Lalu mengapa b anyak yang yakin kalau Sriwijaya tak berpusat di Palembang? Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam Kaladesa: Awal Sejarah Nusantara menerangkan, di Palembang tak banyak peninggalan arkeologis berwujud monumen. Adanya temuan struktur bangunan, arca-arca batu, dan perunggu, prasasti batu, dan beberapa temuan lepas lainnya. “ Tak ada kompleks percandian Buddha yang luas sebagaimana dijumpai di Muarojambi atau di wilayah Jawa pada masanya. Struktur bangunan yang ditemukan di Palembang merupakan sisa candi Hindu yang dinamakan Candi Angsoka,” kata Agus. Menurut Agus, prasasti kutukan yang ditemukan di Palembang, yaitu Telaga Batu, dan Boom Baru, lebih mungkin dikeluarkan seorang pemimpin yang baru menguasai daerah itu. Sama seperti Telaga Batu, Boom Baru yang didaftarkan sebagai cagar budaya akhir tahun 2018, berisi ancaman bagi siapa pun yang berkhianat terhadap penguasa. Prasasti itu sama seperti prasasti kutukan lain yang ditemukan di Bangka yaitu Prasasti Kota Kapur (686), Prasasti Karang Berahi di Merangin Jambi, dan Prasasti Palas Pasemah (sekira abad ke-7) di Lampung. “Artinya, prasasti itu dikeluarkan sebagai tanda kemenangan atas daerah yang ditaklukkannya, yang tentunya bukan suatu ibu kota,” kata Agus. Adanya prasasti-prasasti yang berisi perjalanan jaya juga menambah keraguan itu. Prasasti Kedukan Bukit menyatakan Dapunta Hyang dengan membawa bala tentara sukses membangun wanua. Prasasti Boom Baru dan prasasti-prasasti pendek dari daerah Telaga Batu juga menyatakan adanya perjalanan berjaya. Semua itu, kata Agus, menunjukkan adanya perjalanan ziarah mendatangi wilayah Palembang masa silam. “Tafsir atas prasasti itu, Palembang bukan ibu kota, sebab didatangi untuk keperluan ritual keagamaan. Sangat mungkin wilayah itu dianggap memiliki kekuatan yang kuat,” kata Agus. Agus juga memaknai berbeda berita I-Tsing soal letak Sriwijaya berdasarkan bayangan matahari. “Di Palembang, pada tengah hari bulan September jika seseorang berdiri masih mempunyai bayangan. Berarti jika Palembang merupakan lokasi Sriwijaya tidak sesuai dengan berita biksu I-Tsing,” kata Agus. Karenanya, menurut Agus, berdasarkan beberapa kelemahan itu, lokasi Sriwijaya perlu dicari di tempat lain. Dan itu bukan di tepi Sungai Musi dan Kota Palembang sekarang.
- Mula Profesi Keperawatan
BRENDA Lind, perawat di Amsterdam Wilhelmina Gasthuis (rumahsakit), terpaksa resign dari tempat kerjanya lantaran mendapat tugas baru di Rumahsakit Militer Aceh di bawah instruksi palang merah Belanda. Bersama rekan sejawatnya, Brenda pun berangkat ke Hindia Belanda pada akhir abad ke-19. Setibanya di tujuan, Brenda dan temannya terkejut melihat kondisi rumahsakit di negeri jajahan yang jauh dari rumahsakit di negerinya. Kondisi rumahsakit di negeri jajahan pada awal 1900-an amat sederhana. Dinding kamar rawat inap terbuat dari bambu, ruangannya tanpa lampu, dipan terbuat dari kayu, dan lantainya kotor oleh bercak merah bekas ludah pasien pribumi –yang beruntung mendapat perawatan kesehatan cuma-cuma oleh pemerintah kolonial di rumahsakit– menyirih. Tidak semua perawat Eropa bisa beradaptasi dengan iklim tropis. Beberapa di antaranya jatuh sakit. Ada juga yang kembali ke negerinya. Brenda dan perawat-perawat lain itu merupakan perawat yang didatangkan ke Hindia Belanda. Pada peralihan abad XIX ke XX pemerintah Hindia Belanda gencar melancarkan proyek kesehatan. Kondisi berbagai rumahsakit yang ada diperbaiki. Selain itu, pemerintah juga mengadakan pelatihan dokter, dokter gigi, perawat, dan bidan. Dari sinilah profesi perawat dimunculkan pemerintah kolonial, untuk membantu kerja dokter dan merawat pasien di klinik. Banyak dokter Eropa mengeluhkan ketersediaan perawat yang tidak memadai kendati perawat berpengalaman sudah didatangkan dari Belanda. Mereka ditempatkan di kota besar seperti Batavia, Semarang, Surabaya, dan Yogyakarta. Salah satu dari rombongan perawat yang hijrah ke negeri jajahan ialah ibu dari penulis Frances Gouda. Dalam Dutch Culture Overseas , Gouda menceritakan ibunya yang ditempatkan di Rumah Sakit Tjikini, Batavia. Di sana, ibunya bekerja sebagai perawat kebidanan dengan jam kerja cukup panjang hingga tak punya waktu luang. Selain ibu Gouda, istri dokter Sutomo juga merupakan perawat Belanda yang pindah ke Jawa. Para perawat Eropa yang bertahan tak melulu bekerja di rumah sakit, melainkan merawat pasien di rumah-rumah keluarga kaya. Namun, jumlah mereka tidak cukup memenuhi kebutuhan di negeri jajahan. Alhasil, para dokter Eropa berinisiatif melatih perempuan Indo-Eropa untuk dijadikan perawat sekitar tahun 1900-an. Kendati kursus perawat telah dibuka di Batavia pada 1897 oleh Perkumpulan Perawat di Hindia-Belanda (The Society for Sick-Nursing in the Dutch East Indies), tapi sepi pendaftar. Liesbeth Heeselink dalam “The Early Years of Nursing in the Dutch East Indies” menyebut, kursus pertamanya baru dimulai pada 1900. Sepinya peminat membuat standar kursus diturunkan, tidak harus perempuan Indo-Eropa. Para dokter dan perawat Eropa mulai melatih orang pribumi untuk menjadi asisten mereka. Siapa saja direkrut jadi murid pelatihan keperawatan, asalkan mau dan bisa diajar (tidak terlalu bodoh). Mulanya tugas keperawatan dilakukan orang yang tidak terlatih, seringkali buta huruf. Kepala Layanan Kesehatan J Haga menyebut, beberapa perawat laki-laki sebelumnya bekerja sebagai kuli atau babu. Mereka menjadi perawat setelah diajari oleh dokter yang akan mereka layani. Dokter dan perawat Eropa di berbagai daerah pun membuka pelatihan-pelatihan keperawatan, baik untuk dikirim ke rumahsakit atau menjadi asistennya sendiri. Di Mojowarno, pelatihan dilakukan oleh perawat senior L L Bervoets-van Ewijk, istri dokter missionaris Bervoerts. Di Yogyakarta, pendidikan kilat keperawatan diberikan oleh Jacqueline Rutgers and Johanna Kuyper, dua orang perawat Eropa yang datang ke koloni. Kadang bila tidak ada murid yang bisa diajar, mereka merekrut pembantu rumah tangga, tukang kebon, dan pekerja tak terlatih lain. Di Semarang, pelatihan dilakukan oleh dokter perempuan Nel Stokvis-Cohen Stuart yang mengajar para gadis. Sementara rekannya, NF Lim dokter kedua di tingkat kota, membuka pelatihan untuk perawat lelaki. Dari temuan Stokvis, kebanyakan orangtua muridnya lebih suka anak mereka dilatih menjadi bidan karena lebih menjanjikan dibanding perawat. Selain itu, profesi perawat masih asing bagi orang pribumi. Usaha pertama Stokvis gagal hingga ia sempat meniggalkan rencananya. Suatu ketika perempuan Jawa di desa dekat rumahnya datang dengan tergopoh-gopoh diantar keluarga dan kepala desa. Perempuan itu mengalami kesulitan melahirkan dan butuh bantuan ahli medis. Bantuan Stokvis kemudian membuat namanya dikenal warga desa hingga kepala desa menitipkan Soetarmidjah, anaknya yang berumur 14 tahun, untuk dilatih jadi perawat. Sejak itulah profesi perawat mulai dianggap umum di negeri jajahan. Setelah mendapat pelatihan keperawatan, perempuan muda juga bisa memilih melanjutkan pendidikannya menjadi bidan.
- Eksploitasi Anak di Kebun Tembakau Deli
DI DELI, para pekerja kebun punya tugas masing-masing. Kuli laki-laki membuka lahan untuk ditanami tembakau. Kuli perempuan memetik dan menyortir tembakau di bangsal. Sementara anak-anak kuli diajarkan mengeruk kerikil di sungai dan mengosongkan tong-tong tinja di rumah tuan-tuan kebun. “Para tuan kebun senang sebab anak-anak membantu pekerjaan cepat selesai dan mereka tidak perlu di bayar,” tulis Emile Aulia dalam romannya Berjuta-juta dari Deli: Satu Hikajat Koeli Kontrak . Cerita tentang eksploitasi anak di perkebunan tembakau Deli bukan hanya tersua dalam roman belaka. Sejarah mencatatnya sebagai noda kelam di balik gemerlapnya Deli yang berjuluk “ Tanah Dolar ” pada akhir abad 19. Anak-anak di Deli sudah harus menanggung derita bahkan sejak mereka dilahirkan. Dalam risalahnya Uit Onze Kolonien ( Dari Koloni Kita ) yang terbit pada 1903, H.H. van Kol, anggota parlemen Belanda dari Partai Sosialis mengatakan betapa banyak anak-anak di Deli yang hidup terlantar. Anak-anak malang ini kebanyakan lahir dari hasil prostitusi atau hubungan gelap sesama kuli. Karena tidak sanggup membesarkan, kuli wanita yang melahirkan terpaksa menjual bayinya. “Dan dalam keadaan sedemikian setiap ibu dari anak-anak haram zadahnya bersedia saja menjual anak tersebut kepada siapa yang bersedia membeli dengan harga teratas,” kata Kol sebagaima dikutip Mohammad Said dalam Koeli Kontrak Tempo Doeloe: Dengan Derita dan Kemarahannya . Demikianlah cikal bakal perdagangan anak di Deli. Orang-orang Tionghoa kayalah yang biasanya menjadi orang tua adopsi "anak-anak kebon" yang terpaksa dijual ibunya. Inilah dampak tidak langsung kebijakan "kuli kontrak" para tuan kebun dalam memperkerjakan para kuli. Selain perdagangan anak, pekerja anak turut mewarnai eksploitasi anak di bawah umur. Sekira tahun 1900, sebagaimana dicatat sejarawan Jan Breman, generasi pertama kuli Jawa yang lahir di perkebunan mulai tampil dalam proses bekerja. Anak-anak mulai terlibat dalam budi daya tembakau. “Bukan hal yang luar biasa kalau ada anak-anak yang mulai bekerja pada usia tujuh tahun,” tulis Breman dalam Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20 . Sejak belia, anak-anak kuli Deli telah dikaryakan sebagai pekerja kebun. Mereka membantu kuli perempuan menyiram tanaman dan memetik daun tembakau. Keahlian mereka yang paling utama adalah mencari serangga yang menjadi hama tanaman. Dengan mata yang awas dan jari yang cekatan mereka dapat menangkap banyak ulat dan serangga. Dari pekerjaan tersebut, anak-anak memperoleh upah tidak seberapa. Tapi itupun cukup membantu mereka memenuhi kebutuhan sendiri di tengah kehidupan kebun yang keras dan serba terbatas. Pekerja anak merupakan pemandangan lazim di kebun tembakau Deli. Para tuan kebun sangat senang dengan kemampuan anak-anak Deli yang terampil tersebut. Menurut mereka pekerjaan yang dilakoni anak-anak itu wajar karena tidak merusak kesehatan. Anak-anak tidak perlu bekerja merunduk-runduk di kebun sebagaimana kuli dewasa. Dalih demikian biasanya menjadi tameng tuan kebun melepas diri dari sangkaan mengeksploitasi anak-anak. Kenyataannya, memang eksplotasilah yang terjadi. Anak-anak bukan hanya jadi korban eksploitasi dari tuan kebun. Mereka juga jadi sasaran objek seksual dari sesama buruh. Para kuli Tionghoa yang pedofil, kerap melampiaskan birahinya terhadap bocah tanggung dari kalangan buruh Jawa. Anak-anak itu mereka namakan "anak jawi", dan para pengawas punya hak pertama atas diri mereka. Mengingat posisinya yang rentan, derita anak-anak di kebun Deli sampai juga ke ranah publik. Perhatian ini tidak luput dari menguatnya gerakan anti-kolonialisme di negeri Hindia. Perlahan, upaya untuk melindungi anak-anak dari eksploitasi mulai mendapat tempat. Pada 1918, Mohammad Samin, komisaris Sarekat Islam Sumatra Timur mengajukan resolusi mengutuk Poenale Sanctie . Dari sepuluh tuntutan, salah satunya menghendaki “Anak-anak kuli harus dididik di sekolah-sekolah”. Putusan itu diterima dan disetujui dalam kongres Sarekat Islam yang dihelat pada tanggal 11 Mei di Surabaya. Begitu pula dengan tokoh-tokoh politik etis Belanda yang memperjuangkan agenda yang kurang lebih serupa. Memasuki tahun 1920, pekerja anak di kebun Deli dibatasi. Langkah ini diikuti dengan membangun sekolah-sekolah dalam perkebunan. Anak-anak kuli akhirnya memperoleh akses mengecap pendidikan dasar. Itu menandai berbuahnya usaha untuk melindungi anak-anak di perkebunan tembakau Deli dari eksploitasi.
- Panggabean Dua Kali Kerampokan Saat Perang Kemerdekaan
MAYOR Maraden Panggabean, komandan Sektor IV Sub Teritorium VII Sumatera, kesal. Usulnya kepada Komandan Sub Komandemen Tapanuli Kol. (Tit.) Mr. A. Abbas tidak didengar. Nahas yang telah diprediksinya pada awal September 1948 justru mendatanginya lewat perantaraan Abbas. Sial! Panggabean memang kerap tertimpa sial semasa Perang Kemerdekaan. Sebelum itu dia juga sial ketika diminta menemani dr. Luhut Lumbantobing, komandan resimen. Perkaranya bermula dari ditemuinya dr. Luhut oleh seorang bermarga Hutapea. Orang itu mengatakan kepada Luhut bahwa ada sepasukan bekas anak buah Liberty Malau di Divisi Banteng Negara hendak keluar dari kemiliteran menyusul akan diadakannya Re-Ra. Komandan pasukan itu menyatakan mereka akan menyerahkan persenjataan kepada pemerintah namun dengan imbalan sejumlah uang. Mendengar pemaparan itu, Luhut langsung menyanggupi. Setelah mendapatkan Rp.10 juta dari gubernur militer, dia langsung mengajak Panggabean, orang bermarga Hutapea tadi, dan Gamal Lumbantobing ke tempat yang telah ditentukan, semak-semak sekitar Rumah Sakit Tarutung. “Sampai di tempat tersebut, tiba-tiba sekeliling kami terdengar bunyi grendel senapan yang dikokang (mendorong peluru ke dalam kamarnya sehingga siap untuk ditembak) diikuti oleh suatu peringatan komando supaya jangan bergerak. Uang diambil, soal senjata yang mau diserahkan tidak disinggung, betul-betul merupakan suatu perampokan,” kata Panggabean dalam otobiografinya, Berjuang dan Mengabdi . Toh, Panggabean akhirnya bisa selamat. Namun, kesialan yang menimpanya tidak berhenti sampai di situ. Pada awal September 1948, dia diminta Mr. A. Abbas menemaninya ke Markas Komando Sumatera di Bukittinggi untuk mengajukan tambahan dana bagi pasukan-pasukan di Tapanuli. Alih-alih menjalankan perintah, Panggabean malah memberi usul. “Saya mengatakan kepadanya, bahwa lebih banyak manfaatnya jika saya tidak ikut, melihat suasana yang sangat tegang di Tapanuli pada waktu itu. Saya katakan bahwa saya pernah bertugas di Front Medan Area dan mengenal praktik laskar-laskar dalam soal lucut-melucuti,” kata Panggabean. Namun, Abbas menolak usul itu dan menyatakan dengan yakin bahwa keadaan akan baik-baik saja selama Panggabean ikut dengannya ke Bukittinggi. Dengan terpaksa, Panggabean menuruti perintah Abbas. Hingga sekembalinya mereka berdua ke Padangsidempuan, bentrok antar-laskar bersenjata memang tidak terjadi. Namun, sekira subuh tanggal 10 September, Panggabean dibangunkan dari tidurnya oleh suara rentetan tembakan. “Suara tembakan itu datang dari asrama Batalion I TNI (di bawah Kapten Koima Hasibuan) yang jika ditarik garis lurus hanya berada 500-600 meter dari rumah saya,” kata Panggabean. Dia yang gagal mengadakan hubungan dengan batalyonnya karena saluran telepon telah diputus, langsung berlari ke rumah Abbas yang terletak di sebelah rumahnya. “Saya melaporkan bahwa praduga dan keprihatinan saya sewaktu kami mau berangkat ke Bukittinggi, nyatanya benar. ‘Kita akan hancur,’ saya serukan dengan kesal,” kata Panggabean. Abbas hanya terdiam mendengarnya. Sejurus kemudian, sebuah truk mendatangi rumah Abbas. Tuan rumah dan Panggabean pun langsung digelandang beberapa personil Polisi Militer di bawah pimpinan Kapten Payung Bangun itu ke dalam truk untuk dibawa ke Sipogu, sekitar 25 kilometer dari Sipirok. Bersama 37 orang lain, Abbas dan Panggabean ditawan di bangunan bekas sekolah Gereja Advent. Mereka menerima perlakuan buruk di sana. “Makanan yang diberikan sekadar cukup untuk tidak mati dan disodorkan begitu saja ke dalam kamar,” kenang Panggabean. Siksaan verbal maupun fisik kerap mereka terima. Lebih dari itu, kata Panggabean, “Para penjaga kami betul-betul perampok yang mengambil apa saja yang berharga yang ada pada kami. Saya sudah menduga bahwa hal demikian akan terjadi, maka sejak ditangkap, cincin tanda pertunangan yang biasa saya pakai di jari manis tangan kiri, lekas-lekas saya copot dan saya masukkan di lipatan pinggang celana saya. Yang lain, jam tangan, pulpen, gigi mas (untung tidak ada pada saya), boleh saja diambil dan memang diambil.”





















