Hasil pencarian
9585 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Hamka dan Tongkatnya
DALAM karyanya Lembaga Budi , Hamka mengingatkan bahwa hobi bisa membuat kita “bodoh” atau tanpa berpikir panjang rela merogoh kocek besar demi memuaskan kegemaran. Namun Hamka sendiri punya hobi: mengoleksi tongkat. Hamka sudah membawa tongkat pada masa revolusi. Kala itu, sebagai ketua Front Persatuan Nasional (FPN) dan Badan Pembela Negara dan Kota (BPNK) di Sumatra Barat, dia bergerilya masuk-keluar hutan, mengelilingi hampir seluruh nagari di Sumatra Barat dan Riau, untuk mengobarkan semangat perjuangan. Dia ditemani muridnya, Ichsanuddin Ilyas, dan sesekali anaknya, Rusydi Hamka, yang baru berusia sebelas tahun. “Dalam perjalanan itu tongkat benar-benar sangat membantu,” tulis Rusydi Hamka dalam Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka . Hamka menggunakan tongkat untuk menopang langkah ketika mendaki, menahan keseimbangan bila turun, juga senjata untuk menghalau binatang berbisa. Barang bawaan, berupa bekal perjalanan atau buah tangan, juga bisa digantungkan pada tongkat. “Tongkat adalah salah satu hobby ayah sejak masih muda,” kata Rusydi. Kepada Rusydi, Hamka bercerita, di zaman mudanya banyak orang yang sepertinya, hobi mengumpulkan tongkat. “Jalan pakai tongkat kelihatan ganteng, sampai pernah diadakan pertandingan raja tongkat. Seperti yang kita kenal sekarang dengan pertandingan raja dan ratu kacamata, tapi ayah tidak ikut.” Beberapa mubalig muda Muhammadiyah dari Minangkabau membawa tongkat ketika menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta pada 1931. Hal yang sama dilakukan Hamka ketika jadi mubalig Muhammadiyah di Makassar pada 1931. Sebuah foto mengabadikan Hamka dalam usia menjelang 30 tahun, berkacamata dengan jas putih dan bersarung, dan di tangan kirinya tergantung sebuah tongkat. Orang-orang tahu Hamka mengoleksi tongkat. Setiap berkunjung ke berbagai daerah dia dihadiahi tongkat. Koleksi tongkatnya lumayan banyak. Namun dia suka menghadiahkannya lagi ke orang-orang tertentu sehingga hanya tersisa sebelas tongkat. Salah satunya, yang terbuat dari gading gajah, hadiah dari Rahmi Hatta ketika Hamka ta’ziah di hari ketiga wafatnya Mohammad Hatta. Hatta mendapatkan tongkat itu dari seorang teman yang memberikan kepadanya disertai harapan semoga lekas sembuh. “Tongkat sebaik itu menurut Ny. Rahmi harus diwarisi oleh teman terbaik Bung Hatta, dan jatuhlah pilihan itu pada Buya Hamka. Bung Hatta menyebut Buya sebagai ‘guru agama’ beliau,” demikian dikutip dari Bung Hatta Kita dalam Pandangan Masyarakat. Ketika pindah ke Jakarta pada 1950, Hamka tidak lagi menggunakan tongkat. “Pagi-pagi keluar rumah berebutan naik oplet atau trem, dia tidak membawa tongkat,” kata Rusydi. Begitu pula ketika melawat ke Amerika Serikat untuk memberikan ceramah di beberapa universitas pada 1952. Hamka kembali memakai tongkat setelah terjatuh di tangga Masjid Al-Azhar usai salat magrib pada 1960. Tulang di sekitar ruas tumitnya patah. Sejak itu, kalau berceramah atau berpidato, Hamka selalu minta disediakan kursi. “Tongkat pun tak pernah ketinggalan ke manapun dia pergi,” kata Rusydi. Suatu waktu Sukarno pernah menyuruh Hamka supaya tidak memakai tongkat. “Kelihatan lebih tua,” katanya. Sukarno sendiri memiliki dan membawa tongkat, tapi tongkat komando. Di usia senjanya, Hamka memakai tongkat dalam berbagai kegiatan, di dalam maupun di luar negeri. Bahkan sampai di pengujung usia, tongkat berada di sampingnya. “Ketika takdir kematiannya tiba, tongkat yang paling sering dibawanya, yaitu sejenis kayu dari Pakistan, tersandar di bagian kepala pembaringannya di ruangan ICU Rumah Sakit Pertamina,” kata Rusydi. Hamka wafat pada 24 Juli 1981.*
- Gencatan Senjata Natal
WILAYAH Ypres Belgia adalah medan pertempuran paling intens antara Jerman dan Sekutu yang dipimpin Inggris dan Prancis pada awal Perang Dunia I. Serangkaian pertempuran yang terjadi pada 19 Oktober–22 November 1914 memakan puluhan ribu korban tewas, diikuti perang parit yang statis. Peperangan berhenti pada malam Natal, 24 Desember. Prajurit Jerman dan Inggris mendekorasi parit masing-masing dengan pohon Natal dan menyanyikan lagu-lagu Natal. Suasana jadi bersahabat ketika mereka bertemu di wilayah tak bertuan ( no man’s land ), lahan kosong yang memisahkan antarparit. “Tidak ada rasa benci sedikit pun dari kedua belah pihak. Dari pihak kami, tidak pula muncul keinginan untuk bertempur. Gencatan senjata Natal ini seperti jeda ronde sebuah pertarungan tinju yang bersahabat,” tutur Letnan Dua Bruce Bairnsfather dari resimen Royal Warwickshire, dikutip dari Meetings in No-Man’s Land karya Marc Ferro dkk. Mereka bertegur sapa, bertukar hadiah dan kebahagiaan Natal. Hal serupa menyebar ke front pertempuran di wilayah lain. Momen ini didokumentasikan dalam surat dan catatan harian para prajurit di lapangan. “Kami saling bertukar rokok, tanda tangan, dan beberapa orang bahkan berfoto bersama. Saya tidak tahu sampai kapan hal tersebut berlangsung, tapi sampai esok harinya kami tidak mendengar letusan tembakan sedikit pun,” tulis Kapten A.D. Charter dari batalyon Gordon Highlanders dalam surat-suratnya yang dipublikasikan Royal Mail, jasa pos nasional Britania Raya, dikutip dari independent.co.uk (24/12). “Kami bahkan mengadakan gencatan senjata kembali untuk merayakan Tahun Baru, yang digunakan para prajurit Jerman untuk melihat hasil cetakan foto yang kami ambil sebelumnya!” tambah Charter. Bahkan di beberapa wilayah gencatan senjata digunakan para prajurit untuk bertanding sepakbola. No man’s land yang biasanya suram untuk sesaat jadi ajang rekreasi. Seperti disaksikan Letnan Kurt Zehmisch dari resimen Saxony ke-134. “Prajurit-prajurit Inggris membawa bola sepak dari parit mereka, dan tak lama pertandingan seru terjadi. Pemandangan ini sangat menakjubkan, juga aneh. Para opsir Inggris merasakan hal yang sama tentang ini. Natal, momen perayaan rasa cinta dan kasih sayang, mampu membuat musuh bebuyutan menjadi kawan untuk sementara,” akunya dalam catatan harian yang dipublikasikan pada 1999. Secara umum, momen gencatan senjata itu digunakan untuk menghentikan tembak-menembak, merawat prajurit terluka, mengevakuasi dan menguburkan mayat, sekaligus memperkuat pertahanan parit masing-masing. Pers di negara-negara yang terlibat perang memuat banyak berita tentang gencatan senjata ini berdasarkan surat para prajurit yang dikirim ke keluarga mereka. Banyak pihak berharap perang akan segera usai. Namun tidak semua prajurit dan opsir mendukung gencatan senjata Natal karena dianggap sebagai bentuk simpati terhadap musuh. Salah satu penentang ialah Adolf Hitler, yang saat itu berpangkat korporal di Divisi Ke-16 Bavarians. “Hal tersebut tidak seharusnya terjadi di masa perang. Apa kalian orang-orang Jerman sudah tidak punya rasa hormat sama sekali?” kata Hitler, seperti dikutip Jim Murphy dalam Truce: The Day the Soldiers Stopped Fighting . Gencatan senjata tidak lagi terjadi di Natal tahun berikutnya. Perang yang makin keras, seperti dimulainya penggunaan gas beracun (1915) dan brutalnya Pertempuran Somme dan Pertempuran Verdun (1916), menghilangkan rasa simpati antarprajurit. Sembilan juta prajurit dan tujuh juta rakyat sipil tewas di akhir perang; menjadikan Perang Dunia I sebagai salah satu konflik paling mematikan dalam sejarah manusia.
- Nobel, Hadiah Atas Rasa Kemanusiaan
Dalam wasiatnya, Alfred Nobel, penemu dinamit dan pengembang bahan peledak asal Swedia, berpesan agar sebagian besar kekayaannya dikelola untuk acara penghargaan tahunan yang bermanfaat bagi kemajuan dan perdamaian manusia. “Harapan saya bahwa penghargaan diberikan dengan tidak mengindahkan kebangsaan para kandidat, tapi yang paling pantaslah yang berhak menerima penghargaan itu, terlepas dari apakah dia orang Skandinavia atau bukan,” tulis Nobel. Alfred Bernhard Nobel lahir di Stockholm, Swedia, 21 Oktober 1833. Empat tahun kemudian keluarganya pindah ke Rusia di mana ayahnya mengelola pabrik di bidang peledakan dan perangkat militer. Nobel merintis karier sebagai kimiawan dengan belajar di Rusia, Prancis, dan Amerika Serikat. Ketika aktivitas di pabrik ayahnya tersendat akibat Perang Krimea (1853-1856), dia kembali ke Swedia dan mengoperasikan laboratorium untuk eksperimen bahan peledak. Pada 1863, Nobel menemukan cara mengontrol daya ledak nitrogliserin, senyawa kimia untuk peledak yang saat itu belum dikembangkan para ilmuwan karena terlalu berbahaya. Meski begitu, nitrogliserin tetap berbahaya. Pada 1864, laboratorium Nobel meledak, melukai beberapa orang dan menewaskan lima orang termasuk adiknya, Emil Oskar Nobel. Meski terpukul atas insiden tersebut, Nobel tak kapok bereksperimen. Alhasil, pada 1867, dia menciptakan dinamit (bahasa Yunani: dynamis , berarti tenaga). Patennnya didaftarkan di Inggris dan Amerika Serikat. Dinamit pun digunakan luas dan Nobel mendapat pundi-pundi dari temuannya. “Rasa bersalah muncul seiring bertambahnya kekayaan Alfred. Peledak yang awalnya dia kembangkan untuk kepentingan konstruksi juga mentransformasi cara berperang, dan karenanya Alfred menemukan dirinya sebagai subjek yang kerap kali dibicarakan,” tulis J. Michael Bishop dalam How to Win the Nobel Prize: An Unexpected Life in Science . Pada 1888, sang kakak, Ludvig Nobel, wafat. Sebuah kesalahpahaman memicu beberapa koran menulis obituari yang justru ditujukan kepada Alfred. Sebuah koran Prancis menulis obituari berjudul “Le marchand de la mort est mort,” atau “Saudagar kematian akhirnya wafat.” Kesan dan perlakukan ironis itu menumbuhkan sikap pasifis dalam diri Nobel, meski dia sendiri selama hidupnya membuat 350 paten dan mengelola 90 pabrik senjata. Setelah kematiannya di San Remo, Italia, pada 10 Desember 1896, sebagian besar kekayaannya dialokasikan untuk perayaan penghargaan Hadiah Nobel. Pada 29 Juni 1900 Nobel Foundation didirikan untuk mengelola finansial dan administrasi Hadiah Nobel. Pada 10 Desember 1901, penyematan Hadiah Nobel pertama dilaksanakan. Wilhelm Conrad Rontgen meraih Hadiah Nobel bidang fisika atas penemuan sinar X-ray; Jacobus Henricus van’t Hoff di bidang kimia atas kontribusinya dalam kimia termodinamik; Emil Adolf von Behring di bidang medis atas temuannya dalam mengatasi penyakit difteria; Sully Prudhomme di bidang sastra atas karya puisi-puisinya; serta Henry Dunant dan Frederic Passy untuk bidang perdamaian atas jasanya menggalang persatuan manusia melalui gerakan palang merah (Red Cross) dan perserikatan antar-parlemen (Inter-Parliamentary Union). Hadiah Nobel merupakan penghargaan prestisius dalam bidang keilmuan. Seremoninya dilaksanakan setiap 10 Desember, bertepatan dengan hari wafatnya Nobel. Sejak 2006, setiap pemenang Nobel mendapatkan hadiah sebesar US$1,4 juta dan medali emas. “Hadiah Nobel adalah penghargaan tahunan pertama yang mengikutsertakan tidak hanya seni dan sains, namun juga politik dalam bentuk ‘perdamaian’. Hadiah Nobel adalah penghargaan internasional,” tulis Burton Feldman dalam The Nobel Prize: A History of Genius, Controversy, and Prestige. “Rasa internasionalisme Nobel mengizinkan untuk mengikutsertakan segala pencapaian yang ada; untuk menuai segala benih kemajuan dari semua negara di dunia.”
- Cut Nyak Dhien Berhijab?
Di internet dan media sosial beredar foto yang diklaim sebagai foto asli Cut Nyak Dhien (1850-1908). Di bawah foto tercantum keterangan: “Foto Asli Cut Nyak Din, lengkap dengan hijab dari Kerajaan Islam Aceh Darus Salam. Bedakan dengan gambar di buku sejarah sekolah!” Sebuah akun facebook Seuramoe Mekkah menganggap lukisan Cut Nyak Dhien, dan pejuang perempuan Aceh lainnya seperti Cut Meutia dan Laksamana Malahayati yang digambarkan bersanggul, sebagai skenario penjajah dan pemerintahan sekuler. Foto yang diklaim sebagai Cut Nyak Dhien berhijab tersebut jelas salah. Foto yang diambil tahun 1903 tersebut, sebagaimana dikoleksi KITLV Belanda, adalah foto istri Panglima Polim . Pada foto lain, berpose bersama adik dan ibu mertuanya (Potjoet Awan), istri Panglima Polim tidak berhijab. Lihat foto di bawah ini. Agar lebih yakin silakan cek sendiri ke digitalcollections.universiteitleiden.nl. Panglima Polim dan Muhammad Daud Syah, sultan kerajaan Aceh Darussalam, memimpin pertempuran melawan pasukan Belanda di bawah Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler pada perang Aceh pertama (1873-1874). Istri dan anak Sultan ditangkap Belanda pada 26 November 1902. Sedangkan Panglima Polim dengan istrinya ditangkap Belanda pada 6 September 1903. Sultan pun menyerah dan menandatangani perjanjian damai pada 10 Januari 1903. Cut Nyak Dhien sendiri melanjutkan perjuangan setelah suami keduanya, Teuku Umar, gugur. Suami pertamanya, Teungku Ibrahim Lam Nga, juga wafat ketika melawan Belanda. Cut Nyak Dhien, yang telah tua, rabun, dan berpenyakit encok akhirnya ditangkap Belanda. Inilah foto Cut Nyak Dhien (duduk di tengah) yang diambil tahun 1905 setelah ditangkap. Foto koleksi KITLV. Cut Nyak Dhien dibawa ke Kutaraja (sekarang Banda Aceh). Dia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh. Namun keberadaannya menambah semangat perlawanan rakyat Aceh. Dia juga masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap. Akibatnya, dia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat, dan meninggal pada 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.
- Nurtanio, Patriot Udara Indonesia
PADA 1 Agustus 1959, FAR Eastern Aero Technical Institute (FEATI), Manila, Filipina, memberi penghargaan kepada alumninya asal Indonesia, Kolonel Nurtanio Pringgoadisurjo, berupa Distinguish Achievement Medal. Penghargaan disematkan Wakil Presiden FEATI G.Y. Zara. “Keahlian dan prestasi yang ditunjukkan oleh Kolonel Nurtanio telah membangkitkan rasa bangga, bukan saja bagi rakyat Indonesia, bahkan juga bagi rakyat-rakyat Asia umumnya serta mengangkat tinggi martabat dan gengsi bangsa Indonesia khususnya,” ujar Zara, diberitakan majalah Varia , Januari 1965. Nurtanio lahir di Kandangan, Kalimantan Selatan, pada 3 Desember 1923. Sejak kecil, dia tertarik dunia teknik. Dia memilih keluar saat duduk kelas dua Algemeene Middlebare School (AMS) atau sekolah menengah atas di Semarang pada 1940 untuk masuk Sekolah Teknik (Instituut voor Electrotechnisch Vak Onderwijs/IVEVO). Dia lulus pada 1945. Nurtanio bergabung dengan AURI pada Desember 1945. Dengan pangkat Opsir Muda Udara setara Letnan Udara II, dia ditempatkan pada bagian Rentjana/Konstruksi di Maospati, Madiun. Bersama Wiweko Soepeno –kelak menjadi pionir pencipta pesawat berkokpit tiga awak– dan J. Sumarsono, dia mengubah gudang kapuk di Magetan menjadi bengkel. Di tempat inilah mereka menghasilkan pesawat layang Zogling dengan kode NWG-1 (Nurtanio-Wiweko Glider). Nurtanio sukses mengujicoba pesawat tersebut. Melihat bakat dan tekad Nurtanio, AURI mengirimnya ke Filipina pada Juli 1948. Dua tahun kemudian, setelah menggondol Bachelor in Aeronotical Science dari FEATI, dia kembali ke tanah air dan pindah tugas ke Djawatan Tehnik Udara di lanud Husein Sastranegara dengan pangkat letnan I. Pada 1954, Nurtanio berhasil membuat Si Kumbang, pesawat dalam negeri pertama yang bahannya seratus persen logam. Pesawat tempur antigerilya itu diproduksi tiga buah. Tes terbang perdananya pada 1 Agustus 1954. “Si Kumbang diterbangkan untuk pertama kalinya oleh seorang ‘test pilot’ profesional berkebangsaan Amerika,” tulis Chappy Hakim dalam Awas Ketabrak Pesawat. Nurtanio menciptakan pesawat latih Belalang pada 1958 untuk pendidikan penerbangan. Dia menguji terbang pada 26 April 1958. Dia memperbaiki kekurangan-kekurangannya sehingga kecepatannya mencapai 144 km per jam. Setelah itu, tiga Belalang diproduksi dan dikirim ke sekolah penerbangan AU di Yogyakarta dan Curug, Tangerang, dan sekolah penerbangan AD di Semarang. PAda tahun yang sama, Nurtanio juga menciptakan pesawat Si Kunang untuk olahraga. Pesawat berbadan kayu ini menggunakan mesin Volkswagen 25HP berkapasitas 1190cc. Eksperimen Nurtanio berlanjut dengan beberapa pesawat ciptaannya seperti Gelatik, Benson ( gyrocopter ), dan helikopter Kepik. Pencapaian itu berbanding lurus dengan kariernya. Setahun setelah pulang dari Filipina, dia memegang berbagai jabatan: mulai dari kepala Djawatan Tehnik Udara sampai anggota Dewan Perancang Nasional. Bersama beberapa perwira AURI lain, seperti Wiweko Soepono dan Halim Perdanakusuma serta dibantu Prof. Rooseno, dia membenahi tata kepangkatan AURI. Atas pencapaian-pencapaian itu, Kementerian Pertahanan memberinya penghargaan pada 17 Februari 1959. Sewaktu Menteri/KSAU Suryadi Suryadarma membentuk Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (Lapip) pada 1 Agustus 1960, Nurtanio menjadi salah satu pendirinya. Bersama perwira-perwira lain dari berbagai angkatan, dia juga dipercaya membesarkan Panitia Industri Angkatan Perang yang didirikan KASAB Nasution. Nurtanio merintis kerjasama dengan berbagai pihak, yang terpenting dengan CEKOP, pabrik pesawat terbang Polandia. Kontrak kerjasama itu berjalan setelah pemerintah membentuk Komando Pelaksana Proyek Industri Pesawat Terbang (Kopelapip) –terdiri dari Lapip dan PN Industri Pesawat Terbang Berdikari– pada 1965. Kesepakatan dalam kontrak kerjasama itu meliputi pembangunan pabrik, pelatihan karyawan, dan lisensi produksi pesawat PZL-104 Wilga. Selain dengan CEKOP, Kopelapip juga bekerjasama dengan Fokker, perusahaan pesawat terbang Belanda. Kopelapip memproduksi pesawat Gelatik, nama Indonesia PZL-104 Wilga yang diberikan Presiden Sukarno, sebanyak 44 unit. Meski mengotaki beberapa pesawat buatan dalam negeri, Nurtanio tetap rajin menerbangkan pesawat. Bahkan, dia bercita-cita terbang nonstop Sabang-Merauke. Pada 21 Maret 1966, dia dan kopilot Soepadio mengudara dengan Super Aero-45, berkeliling kota Bandung. Namun baru tiga menit di udara, satu mesin tiba-tiba mati sehingga pesawat kehilangan tenaga. Pesawat menghantam bangunan dan pecah berkeping-keping. Nurtanio dan Soepadio tewas seketika. Dunia penerbangan kehilangan dua pionir penerbangannya. B.J. Habibie, yang kemudian dipercaya pemerintahan Soeharto mengembangkan industri penerbangan, mengabadikan nama Nurtanio untuk lembaga yang dipimpinnya: Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (LIPNUR).
- Sitor Situmorang Kembali ke Tanah Kelahiran
Tiba di Indonesia Senen lalu (29/12), jenazah penyair Sitor Situmorang disemayamkan di Galeri Nasional, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, sebelum dibawa ke tanah kelahirannya. Kerabat, rekan seniman, dan menteri menyambut jenazahnya. Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan mengatakan Sitor Situmorang adalah salah satu tokoh yang terimbas pertarungan ideologi di Indonesia pada 1960-an. Meski demikian, kepulangan jenazahnya ke Indonesia menjadi penyatu dari perbedaan. “Pikiran boleh beda, ideologi boleh beda. Dan kita di sini untuk menghormati Sitor. Atas nama pemerintah Indonesia, kami menyampaikan duka mendalam,” ujar Anies. Setelah sambutan Anies, sahabat dan rekan bergantian mengucap kata perpisahan. Sukmawati Sukarnoputri, putri Sukarno, membacakan puisi Sitor yang ditujukan kepada ibunya Fatmawati berjudul "Jakarta Dinihari 17 Agustus 45": … Lama didambakan/menjadi kenyataan/wajar, bebas/seperti embun/seperti sinar matahari/menerangi bumi/di hari pagi/Kemanusiaan/Indonesia Merdeka/17 Agustus 1945 . Sitor lahir pada 2 Oktober 1923 di Harianboho, Tapanuli Utara, Sumatra Utara. Pendidikannya sekolah dasar pribumi (Hollands Inlandse School) di Sibolga, sekolah menengah pertama (Meer Uitgebreid Lager Ondewijs) di Tarutung, dan sekolah menengah atas (Algemeene Middelbare School) di Jakarta. Pada awal kemerdekaan, Sitor memulai karier sebagai wartawan. Pada 1947, dia menjadi pemimpin redaksi harian Waspada di Medan. Saat bekerja di Waspada , dia bertugas sebagai koresponden untuk mengikuti perundingan Indonesia-Belanda di Yogyakarta pada 1948. Dia terseret dalam revolusi kemerdekaan ketika agresi Belanda II. Dia ditangkap Belanda dan dibui di penjara Wirogunan, Yogyakarta. Pada 1950, Sitor pergi ke Belanda dan tinggal di Amsterdam selama setahun. Lalu dia bekerja di kedutaan Indonesia di Paris. Sekembalinya ke Indonesia pada 1953, dia melahirkan banyak puisi. Dia menerbitkan antologi puisi Surat Kertas Hidjau (1953) dan setahun kemudian antologi puisi Dalam Sadjak dan Wadjah Tak Bernama . Puisi “Lagu Gadis Itali” dalam Surat Kertas Hidjau , melukiskan keindahan teluk Napoli. Penyair Taufik Ismail membuktikan sendiri keindahan teluk itu saat berkesempatan ke Amerika Serikat, sekira September 1956. “Kelas 3 SMA dapat beasiswa ke Amerika. Ke sana naik kapal laut, kemudian bertukar kapal di Napoli. Begitu masuk Napoli, buku Sitor saya pegang, dan saya baca. Indah sekali,” kenang Taufik kepada Historia . Taufik, yang pernah berseberangan ideologi, merasa kehilangan Sitor. Menurut Maman S. Mahayana dalam Akar Melayu , ciri khas puisi-puisi Sitor adalah tema-tema yang menggambarkan keterasingan dirinya dalam memasuki kembali dunia masa lalunya. “Sitor merasa keasingan dan kesepian yang mendalam, seperti bunga di atas batu/dibakar sepi (“Bunga”) atau sunyi terbagi/jadi percakapan seorang diri/antara mata (“Kawan”). Beberapa puisi pendeknya juga mengisyaratkan hal demikian,” tulis Maman. Tidak hanya puisi, Sitor juga menulis drama berjudul Jalan Mutiara (1954). Cerpennya Pertempuran dan Salju di Paris (1956) memperoleh penghargaan Hadiah Sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional pada 1955-1956. Sitor kemudian berpolitik praktis. Dia menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), dan pada 1959 membentuk dan memimpin Lembaga Kebudayaan Nasional, underbouw PNI. Hal ini, menurut Ajip Rosidi, mempengaruhi karya-karyanya. "Kelincahan dan kemerduan yang tadinya terdapat dalam sajak-sajaknya diganti dengan bahasa bombastis dan slogan-slogan murah. Hal mana nampak sekali dalam sajak-sajaknya yang terkumpul dalam kumpulan yang berjudul Zaman Baru (1962)," tulis Ajip dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia . Pasca Gerakan 30 September 1965, Sitor yang Sukarnois dipenjara selama delapan tahun (1967-1975) oleh rezim Orde Baru tanpa pengadilan. “Bapak mertua saya selalu menceritakan sosok Sitor Situmorang. Kalau tidak salah dia juga mendorong pembebasan Sitor dari penjara,” kenang Nano Riantiarno, pendiri teater Koma yang juga menantu tokoh nasionalis Abdul Madjid. Usai dibebaskan, Sitor kembali berkarya. Kumpulan puisinya Dinding Waktu terbit pada 1976. Kumpulan sajaknya Peta Perjalanan (1977) mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta (1976-1977). Sejak 1984 Sitor bermukim di Belanda bersama istri keduanya, Barbara Brouwer. Sesekali kembali ke Indonesia. Dia masih terus menulis hingga usia 80-an. Dia meninggal dunia pada 21 Desember lalu dan akan dimakamkan sesuai wasiatnya dalam sajak "Tatanan Pesan Bunda": Bila nanti ajalku tiba/ Kubur abuku di tanah Toba/ Di tanah danau perkasa/ Terbujur di samping Bunda.
- AU di Tengah AD
PAGI, 2 Oktober 1965. Pilot Komodor Udara Ignatius Dewanto dan kopilot Kapten Udara Willy Kundimang mendaratkan Cessna L-180 tanpa pemandu di Pangkalan Angkatan Udara Halim Perdanakusuma. Setelah memarkir pesawat, keduanya turun. Tiga anggota Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) –kini Komando pasukan Khusus atau Kopassus– menghampiri sembari menodongkan senjata AK-47. Begitu tahu mereka berhadapan dengan seorang perwira tinggi, mereka segera memberi hormat. Setelah menjelaskan tujuannya, mereka minta izin melucuti senjata –kecuali Dewanto. Toto, sapaan akrab Dewanto, dan Kundimang tak melawan sesuai perintah Laksda Sri Moelyono Herlambang, petinggi AU yang menjadi menteri negara tanpa portofolio dalam Kabinet Dwikora I, agar sedapat mungkin menghindari kontak senjata. Kelima orang tersebut lalu menuju hangar dan bergabung dengan prajurit Yon-1/RPKAD lainnya. Tuan rumah menjamu dengan ramah. Maklum, banyak di antara mereka saling kenal dan pernah menjalani operasi militer bersama dari Trikora hingga konfrontasi Indonesia-Malaysia. Di tengah obrolan santai, terdengar rentetan senjata. Baku tembak terjadi antara pasukan Batalyon 454 Banteng Raiders dan RPKAD. Wakil komandan Yon 454 Kapten Inf. Koentjoro mendapat perintah dari atasannya, Mayor Sukirno, untuk mempertahankan Halim dan tak boleh ada pasukan manapun masuk kecuali AU. Di sisi lain, RPKAD di bawah Kolonel Inf. Sarwo Edhie Wibowo diperintahkan Pangkostrad Mayjen Soeharto untuk menduduki Halim. Perintah itu keluar menyusul kekhawatiran Soeharto akan terjadinya serangan AU terhadap Makostrad. Dalam pandangan Soeharto, AU mendukung G30S pimpinan Letkol Untung. “Kalau pertempuran itu kita biarkan, habis Halim. Kamu tahu Willy, di Halim ada aset negara yang sangat berharga, yaitu pesawat. Selain itu banyak keluarga AURI,” kata Toto kepada Kundimang, sebagaimana dimuat dalam Menyingkap Kabut Halim 1965 yang disunting Aristides Katoppo. Toto dan Kundimang berinisiatif melerai. Dengan jip Nissan Patrol, mereka menembus hujan peluru menuju posisi pasukan Raiders. Kundimang menemui Koentjoro dan memintanya menghadap Toto. Koentjoro sempat marah. Setelah dijelaskan Dewanto ingin bertemu untuk menyelesaikan pertempuran, Koentjoro mengajak dua anak buahnya. Di depan Dewanto, Koentjoro menjelaskan alasan penempatan pasukannya di Halim. Toto mengapresiasi profesionalitasnya, tapi memerintahkan Koentjoro agar menahan tembakan. Pertempuran mereda. Kundimang, dikawal seorang prajurit Pasukan Gerak Tjepat (PGT), lalu ditugaskan menyerahkan surat yang ditujukan untuk Sarwo Edhie. Berbekal kain putih sebagai lambang perdamaian dan pita merah-hijau di bahu kiri –tanda pengenal dari Raiders– Kundimang dan prajurit PGT berjalan ke tempat pasukan RPKAD. Sesampai di sana, karena Sarwo Edhie masih dalam perjalanan ke Halim, mereka ditemui Mayor Inf. Goenawan Wibisono. Setelah menyerahkan surat, mereka kembali. Pita pengenal dari RPKAD tersemat di bahu kanan. Di tengah penantian kedatangan Sarwo Edhie yang hampir sejam, dua dentuman keras tiba-tiba terdengar dan diikuti rentetan senjata. Pasukan Raiders bahkan melepaskan bazoka begitu melihat kedatangan panser Ferret Mk-1/1 dari arah RPKAD. Padahal panser itu berbendera putih dan dikirim untuk menindaklanjuti upaya perundingan. Koentjoro, atas perintah Toto, akhitnya memerintahkan pasukannya menahan tembakan. Kundimang kembali ke posisi RPKAD. Goenawan mengatakan Sarwo Edhie minta Toto yang datang. Setelah mendapatkan pinjaman mobil, Kundimang menjemput Toto. “Sebagai yang empunya Halim, saya akan menjemput tamu saya,” kata Toto. Ketegangan sempat terjadi antara Toto dan Koentjoro yang bersikeras menjaga Halim. “Saya mengerti sikap Kapten, tapi untuk apa Kapten melaksanakan perintah dengan harus menutup pintu rumah saya?” kata Toto. Toto dan Kundimang bertemu Sarwo Edhie yang setuju mengakhiri pertempuran. Maka, jip Kundimang dan Toto kembali ke posisi Raiders. Goenawan ikut bersama mereka. Sesampai di tujuan Koentjoro memberi hormat kepada Toto dan berpelukan dengan Goenawan. Koentjoro mengatakan kepada Toto bahwa dia akan menarik pasukan Raiders ke arah timur menuju Bekasi. Pertempuran yang menewaskan seorang prajurit RPKAD itu berhenti. Mission accomplished.
- Cerita Panji di Candi Miri Gambar
SEMULA penduduk desa Miri Gambar, kecamatan Kali Dawir, Tulungagung selatan, meyakini relief pada panel Candi Miri Gambar menceritakan Anglingdharma , kisah seorang raja yang mengerti bahasa hewan. Hal itu disandarkan dari relief pada dinding teras II yang memuat adegan cerita binatang. Keyakinan itu diperteguh hasil identifikasi Maria J. Klokke, arkeolog Belanda, pada 1990, terhadap tiga panel relief dinding II yang menggambarkan adegan hewan: burung bangau, ikan, dan kepiting. Menurutnya dalam The Tantri Relief on Ancient Javanese Candi , adegan itu mungkin berasal dari cerita Tantri Kamandaka . Pada dasarnya Tantri Kamandaka , yang berisi ajaran moral dalam bentuk cerita binatang, merupakan salah satu naskah Jawa berbentuk prosa yang menggunakan bahasa Jawa Tengahan. Naskah ini kemudian diterjemahkan C. Hooykaas ke dalam bahasa Belanda dan diterbitkan dalam Bibliotheca Javanica 2 tahun 1931. Selain Tantri Kamandaka , Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, mengatakan terdapat pula cerita Panji yang dipahatkan pada relief di dinding teras I sisi utara bagian depan candi itu. Terdapat empat figur: dua perempuan di tengah saling berhadapan dan dua sosok pria masing-masing berada di belakangnya. Salah satu figur pria yang berada pada bingkai bagian kanan memiliki gambaran khas dengan penutup kepala tekes (mirip blangkon tapi tanpa tonjolan di belakang). Relief itu menggambarkan salah satu episode cerita Panji. Simpulan itu didapatkan setelah membandingkan figur pria dengan penutup kepala tekes dan adegan-adegan sejenis di Candi Gajah Mungkur dan Candi Kendalisada di Mojokerto, Jawa Timur. “Hanya saja belum dapat diidentifikasi secara khusus kisah Panji mana yang menjadi acuannya, mengingat cukup banyak versi cerita Panji yang ada,” tulis Agus Munandar, “Tinjaun Ringkas Candi Miri Gambar,” termuat dalam Catusphata Arkeologi Majapahit . Dari tinggalan arkeologis secara jelas dibuktikan bahwa kisah Panji telah dikenal pada zaman Majapahit. Data itu tersua pada relief cerita pada candi-candi era Majapahit. Belum ditemukan data arkeologis yang lebih tua dari zaman itu. “Relief cerita Panji tertua yang dapat diketahui dipahatkan di Candi Miri Gambar, Tulungagung,” tulis Agus Munandar. Candi Miri Gambar diperkirakan dikenal sejak awal berdirinya Majapahit, dan terus digunakan melampaui zaman kegemilangan, hingga periode awal kemerosotan Majapahit di bawah kekuasaan Wikramawarddhana (1389-1429 M), menantu Hayam Wuruk. N.J. Krom, ahli Jawa Kuno berkebangsaan Belanda, dalam Inleiding tot de Hindoe-Javaansche Kunst , menyatakan pernah ditemukan prasasti tembaga di sekitar Candi Miri Gambar yang menyebut nama raja Wikramawarddhana dari Majapahit, namun prasasti itu tidak pernah diketahui lagi keberadaanya. “Kisah panji yang paling awal sangat mungkin dituliskan dalam zaman keemasan Majapahit atau segera sesudahnya, penyebarannya ke luar Jawa bagian timur sangat mungkin berlangsung di akhir zaman Majapahit dan zaman-zaman sesudahnya,” tulis Poerbatjaraka dalam Tjerita Pandji Dalam Perbandingan . Agaknya sejak zaman keemasan Majapahit terdapat suatu genre susatra baru yang bukan saduran dari epos Ramayana dan Mahabharata India, bukan pula menguraikan kisah para ksatria India, “melainkan kisah tentang para ksatrya Jawa Kuno sendiri, di alam geografi Jawa dan uraian peristiwanya tentang putra-putri raja-raja Jawa, itulah cerita Panji,” tulis Agus Munandar dalam “Makna Kisah Panji” dikutip dari Prosiding Cerita Panji Sebagai Warisan Dunia . Tokoh utama dalam cerita Panji adalah Panji (Inu Kertapati), seorang pangeran dari Jenggala, dan Sekartaji atau Candrakirana, putri kedaton Kadhiri, dengan latar tempat Jenggala, Kadhiri, Urawan, Singasari, dan Gagelang. Nama Panji berasal dari kata panji atau apanji atau mapanji , yang dalam bahasa Jawa Kuna merupakan gelar bangsawan tertinggi. Beberapa tokoh historis yang menggunakan gelar itu ialah Panji Tohjaya, putra Ken Arok dengan Ken Umang, serta Sang Mapanji Angragani, patih Singhasari yang memimpin Pamalayu pada zaman Kretanagara, raja terakhir Singhasari.
- Sarengat yang Melesat
INDONESIA pernah mengalami “zaman perunggu” ketika hanya berhasil meraih medali perunggu dalam ajang Asian Games. Namun semuanya berubah pada 1962. Salah satunya berkat medali emas yang disumbangkan Mohammad Sarengat. Sorip Harahap, penulis buku Asian Games I-X (KONI Pusat, 1987), menyebut “zaman perunggu” untuk merujuk tiga Asian Games yang diikuti Indonesia sebelum 1962. Zaman itu berubah ketika Asian Games IV tahun 1962 di Jakarta. Peringkat Indonesia melonjak dari 14 pada Asian Games III di Tokyo menjadi runner up dengan 11 emas, 12 perak, dan 28 perunggu. Ini melampaui target yang dipatok; hanya lima besar. Sprinter Mohammad Sarengat menyumbangkan dua medali emas dalam cabang lari 100 meter dan lari gawang 110 meter serta perunggu di nomor 200 meter. Selain menjadi pelari tercepat di Asia, dia memecahkan rekor Asia untuk lari gawang 110 meter dengan waktu 14,4 detik dan lari 100 meter dengan 10,5 detik, mematahkan rekor sprinter Pakistan, Abdul Khalik, dengan 10,6 detik pada Asian Games II di Manila, Filipina. “Bertahun-tahun nama Sarengat melegendaris di dunia atletik, dan selalu dikenang oleh bangsa Indonesia,” tulis buku Olahraga Indonesia dalam Perspektif Sejarah 1945-1965. Sarengat lahir di Banyumas, 28 Oktober 1940. Dia menyelesaikan sekolah dasar dan menengah pertama di Pekalongan, lalu melanjutkan sekolah menengah atas di Jakarta. Sejak SD hingga SMA, dia menjadi kiper kesebelasan sepakbola di sekolahnya. Karena jenuh kerap menghuni bangku cadangan di klub Indonesia Muda Surabaya, dia iseng terjun ke atletik. Ternyata di cabang ini bakatnya. Kegigihannya berlatih, apalagi ketika ikut pelatnas untuk Olimpiade 1960, membuatnya tidak lulus SMA pada 1959. Dia baru lulus SMA pada 1961. Menurut Ensiklopedi Jakarta , Sarengat bingung melanjutkan pendidikannya karena masalah biaya. Letnan Jenderal GPH Djatikusumo, mantan kepala staf Angkatan Darat (AD) pertama, menyarankan Sarengat masuk dinas AD. Sarengat pun mendapatkan beasiswa masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Di tahun pertama tidak naik tingkat karena ikut Asian Games IV. Dia baru menyelesaikan pendidikan dokter pada 1971. Sarengat adalah contoh atlet yang baik. Dia berpretasi dalam bidangnya dan menyelesaikan pendidikan dokter. Sarengat mundur dari gelanggang atletik sejak Ganefo (Games of the New Emerging Forces) pada 1963 di Jakarta. Dia kemudian menjadi dokter tentara AD dengan pangkat terakhir kolonel CKM (Corps Kesehatan Militer). Ketua tim dokter kepresidenan, Brigjen dr. Rubyono Kertapati, mengusulkan tiga dokter, salah satunya Sarengat, sebagai dokter pribadi Wakil Presiden Sultan Hamengkubuwono IX (1973-1978) dan kemudian Wakil Presiden Adam Malik (1978-1983). Selepas itu, Sarengat kembali berkiprah dalam dunia keolahragaan. Kali ini, dia sebagai ketua bidang pembinaan prestasi PB PASI (Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia) dan sekretaris jenderal KONI Pusat (1986-1990). Di juga pernah menduduki kursi anggota MPR RI tahun 1987. Sarengat mendirikan Sports Campus Wijaya Kusuma (SCWK), klinik rehabilitasi pengguna narkoba. Klinik ini dia bangun setelah anak lelakinya terjerat narkoba dan berhasil disembuhkan. “Sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan Yang Mahaesa karena telah menyelamatkan anak saya, saya akan mendedikasikan hidup untuk membantu dan mencegah orang lain menjadi korban penyalahgunaan narkoba,” kata Sarengat, dikutip The Jakarta Post , 19 Oktober 2001. SCWK menekankan pentingnya olahraga sebagai bagian penting dari proses rehabilitasi. Penghuni klinik dapat memilih olahraga basket, sepakbola, bolavoli, tenis, dan beladiri. “Kami sangat percaya pada filsafat mensana in copore sano (jiwa yang sehat berada dalam badan yang sehat),” kata Sarengat. Pada 2009, Sarengat terserang stroke dan komplikasi penyakit. Dia, yang pernah menjadi manusia tercepat di Asia, wafat pada 13 Oktober 2014.
- Riwayat Nama Ruang dan Gedung Parlemen
SEJAK era reformasi, nama-nama gedung di kompleks DPR/MPR bernama Nusantara I sampai V. Pada masa pemerintahan Soeharto, yang kental dengan nuansa Jawa, nama-nama gedung dan ruangan itu berasal dari Sanskerta. Gedung DPR/MPR dibangun atas perintah Sukarno. Semula ditujukan untuk penyelenggaraan Conference of the New Emerging Forces (Conefo). Proyeknya digarap pemenang sayembara, yaitu tim dari Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik yang dipimpin Sujudi Wirjoatmodjo, arsitek jebolan Technische Universitat Berlin Barat. Pemancangan tiang pertama pada 19 April 1965. Pembangunan terhenti karena meletus peristiwa Gerakan 30 September 1965. Pada 9 November 1966, Soeharto, sebagai ketua Presidium Kabinet Ampera, menginstruksikan untuk melanjutkan proyek gedung Conefo, namun peruntukkannya akan menjadi gedung parlemen. Keputusan ini diambil setelah proyek peremajaan gedung DPR GR di Lapangan Banteng, terhenti. Menteri Pekerjaan Umum menerjemahkan instruksi Soeharto dengan membubarkan Komando Proyek New Emerging Force dan membentuk badan pelaksana bernama Proyek Pembangunan Gedung DPR/MPR RI. Secara bertahap, pembangunan gedung selesai dan diserahkan kepada Sekretariat Jenderal DPR: Main Conference Building pada Maret 1968, Secretariat Building dan Gedung Balai Kesehatan (Maret 1978), Auditorium Building (September 1982), dan Banquet Building (Februari 1983). Pemberian nama gedung yang semua pakai bahasa Inggris kemudian diubah menggunakan bahasa Sansekerta: Grahatama, Lokawirabasha Tama, Pustakaloka, Grahakarana, dan Samania Sasanagraha. “Yang jelas semua menggunakan bahasa Sanskerta yang amat sulit bahkan untuk orang Jawa, apalagi mereka yang datang dari seberang,” tulis Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi . Tak jarang, nama-nama ruangan ini salah diucapkan oleh anggota parlemen. Salim Said mencontohkan Ismail Hassan Metareum, ketua Partai Persatuan Pembangunan yang juga wakil ketua DPR/MPR, dalam sebuah sidang salah menyebut ruang utama paripurna sebagai ruang Kartasasmita , yang disambut tawa anggota parlemen. Maklum, Kartasasmita adalah nama keluarga Ginandjar, tokoh politik terkemuka saat itu. Pada 1998, gedung DPR/MPR diduduki mahasiswa, Orde Baru pun tumbang. Semua hal yang berbau Orde Baru mulai digugat. Termasuk dominasi bahasa Jawa. Beberapa waktu berselang, muncul usulan dari anggota DPR/MPR untuk mengubah nama-nama gedung dan ruangan tersebut. “Saya mengusulkan perubahan dan penyederhanaan nama ruang rapat di gedung DPR,” tulis Salim Said, yang di awal reformasi menjadi anggota Badan Pekerja MPR. Salim Said lalu membuat dan mengedarkan petisi mengenai perubahan nama. Setelah berhasil menghimpun hampir 300 tanda tangan anggota parlemen, dia menyerahkan petisi itu kepada Afif Ma’roef, sekretaris jenderal DPR/MPR, pada September 1998. Menurut Afif Ma’roef, usulan perubahan nama itu sudah tercetus sejak keanggotaan DPR/MPR periode 1992/1997. “Sudah diusulkan, cuma tidak terlalu direspons, jadi dibiarkan saja,” ujar Afif kepada Panji Masyarakat terbitan tahun 1999. Rapat pimpinan DPR pada 18 November 1998 memutuskan membentuk Tim Penggantian Nama-nama Gedung MPR/DPR RI yang dipimpin Wakli Ketua DPR Korkesra Fatimah Achmad. Tim segera bekerja. Rapat terakhir pada 14 Desember 1998 memutuskan menyetujui penggantian nama gedung-gedung DPR/MPR. Maka, gedung-gedung yang menggunakan bahasa Sansekerta pun berubah: Grahatama menjadi Gedung Nusantara, Lokawirasabha Tama (Gedung Nusantara I), Ganagraha (Gedung Nusantara II), Lokawirasabha (Gedung Nusantara III), Pustakaloka (Gedung Nusantara IV), Grahakarana (Gedung Nusantara V), Samania Sasanagraha (Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI), dan Mekanik Graha (Gedung Mekanik). Perubahan juga terjadi pada nama ruangan, yang cukup menyebut ruang sidang atau ruang fraksi, komisi, dan paripurna.
- Petani Gulingkan Dinasti
PADA 209 SM, Chen Sheng, petani asal Yangcheng, memimpin 900 orang untuk melakukan kerja paksa pembangunan megaproyek Kaisar Qin. Tujuan mereka, kota Yuyang, masih jauh. Mereka harus bergegas. Sebab, menurut hukum Dinasti Qin/Chin (221-206 SM), siapapun yang telat akan dihukum mati. Nahas, baru sampai di desa Dazexiang, hujan deras turun selama beberapa hari. Banjir memaksa mereka berkemah dan menghentikan perjalanan. Mereka gelisah. Dalam kegelisahan itu, Chen Seng bertemu dengan Wu Guang, yang juga mengawasi dan memimpin 900 orang untuk kerjapaksa. Kesamaan nasib membuat mereka menjadi akrab. “Kita masih beribu-ribu li jauhnya dari Yuyang. Apakah kita akan membiarkan diri kita dibunuh?” ujar Chen, dikutip Lin Handa dan Cao Yuzhang dalam Kisah-Kisah dari 5000 Tahun Sejarah China, Jilid 1 . Wu mengajak Chen kabur, namun Chen tak menyetujuinya. Ketimbang kabur, Chen memilih memberontak terhadap penguasa lalim. Memberontak baginya lebih terhormat, meski risikonya juga hukuman mati. Wu setuju. Kaisar Qin berupaya mewujudkan mimpinya membangun banyak bangunan, seperti Istana Efang dan Tembok Raksasa. Untuk itu, kaisar merekrut para petani, termasuk dari enam kerajaan terakhir yang ditaklukkan, melalui sistem perpajakan terpusat yang dia buat. “Jumlah petani yang diambil Qin Shi Huangdi untuk membangun Istana Efang dan Tembok Raksasa dan yang direkrut sebagai tentara untuk pertahanan perbatasan melebihi dua juta jiwa,” tulis Xiaobing Li dalam China At War: An Encyclopedia . Kesewenang-wenangan kaisar menimbulkan kebencian di hati petani dan rakyat kebanyakan, termasuk Chen. Chen dan Wu segera menyusun siasat. Yang paling awal, dia memanfaatkan takhayul. Di atas sehelai sutra putih, Chen menuliskan “Chen Sheng adalah raja.” Kain itu lalu dimasukkan ke perut ikan yang selanjutnya dijual. Kebetulan, pembelinya adalah beberapa prajurit di kesatuan yang dipimpinnya. Mereka terheran-heran. Siasat kedua, dalam kegelapan malam, Wu mengendap ke kuil di sekitar perkemahan. Sembari menirukan lolongan serigala, Wu berteriak mengatakan: Chu Raya bangkit dan Chen Sheng adalah raja. Keesokan harinya, Chen menjadi buah bibir di antara rombongan. Namun, siasat itu masih belum cukup menginformasikan mayoritas akan rencana gerakan Chen. Setelah membunuh pejabat pengawas, Chen berorasi di hadapan rombongannya mengenai rencana pemberontakan. “Orang-orang bersumpah kepada para dewa bahwa mereka akan berperang bersama untuk menggulingkan Dinasti Qin. Mereka juga bersumpah setia kepada Chen Sheng dan Wu Guang,” tulis Lin Handa dan Cao Yuzhang. Setelah menguasai desa Dazexiang dan Chenxian (Huaiyang) di Provinsi Henan, Chen dan Wu mengumumkan berdirinya sebuah rezim baru bernama Zhangchu di mana Chen menjadi raja dan Wu panglima militernya. Keduanya mengatasnamakan Pangeran Fusu –pewaris sah Dinasti Qin yang bunuh diri akibat tipudaya– dan Jenderal Xiang Yan yang dicintai rakyat. Selanjutnya, mereka menguasai desa Qi, Zhi, Cus, Ku, Zhe, dan Qiao. Ketika merebut desa Chen, kekuatan mereka menjadi berlipat; mencakup puluhan ribu infantri, seribu kavaleri, dan 600-700 kereta kuda. Di sinilah para kepala desa mendaulat Chen menjadi raja dengan gelar “Pembesar Chu.” Chen dan Wu terus menyerukan kepada petani di berbagai tempat untuk memberontak terhadap Dinasti Qin. Mereka juga mengirim balabantuan pasukan dan peralatan. Dalam sekejap, semua wilayah yang menderita di bawah Dinasti Qin memberontak. Namun, pengkhianatan menewaskan Chen dan Wu. Perlawanan petani tetap berlanjut. “Setelah kematian Chen dan Wu,” tulis Xiaobing Li, “Liu Bang, salah seorang pemimpin petani, akhirnya menggulingkan Qin dan mendirikan Dinasti Han.”
- Menggagas Aksara Kesatuan
PERINGATAN hari kemerdekaan tiba. Puluhan ribu orang berkumpul di sekitar Istana Negara pada 17 Agustus 1959. Mereka mendengar pidato Sukarno berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita.” Salahsatu pokok pidatonya ajakan menggali kembali kepribadian nasional di pelbagai bidang. Misalnya kebudayaan. “Pemerintah akan melindungi Kebudayaan Nasional, dan akan membantu berkembangnya Kebudayaan Nasional, tetapi engkau pemuda-pemudi pun harus aktif ikut menentang imperialisme kebudayaan, dan melindungi serta memperkembangkan Kebudayaan Nasional,” kata Sukarno. Menjawab pidato Sukarno, Achmad Narod mengajukan gagasan menarik untuk bidang kebudayaan. Tak banyak keterangan tentang latarbelakang Achmad Narod.Yang terang, dia mencanangkan pembentukan aksara dan angka kesatuan nasional Indonesia pada 1962. Dia menilai Indonesia bangsa besar; punya warisan adiluhung berupa ragam aksara dari nenek moyang. Tapi tak ada usaha dari pemerintah dan individumengarah ke pembentukan aksara kesatuan. Kekayaan aksara Indonesia tak kalah oleh Thailand, Burma (Myanmar), Laos, Kamboja, Korea, Jepang, atau Srilanka. Mereka semua punya aksara nasional, sedangkan Indonesia tidak.Indonesia sudah punya negara kesatuan dan satu bahasa kesatuan, tapi belum kesampaian memiliki aksara kesatuan. Menurut Achmad Narod, ini kekurangan besar bangsa Indonesia. Jika tak ada usaha pembentukan aksara nasional, bahasa nasional bakal melemah. “Bahasa dan aksara adalah seperti ruh dan jasad. Bahasa akan menjadi sangat miskin dengan tiada ada aksara. Bahasa yang tidak beraksara, pada hakikatnya adalah seperti dialek,” tulis Achmad Naroddalam majalah Penelitian Sedjarah, Juni 1962. Achmad Narod lantas menjalin beberapa aksara Nusantara untuk menjadi aksara kesatuan. Antara lain aksara Batak, Lampung, Sumatra, Bali, Sulawesi, dan Nusa Tenggara.Tambahan lain berasal dari aksara Caka (Sunda, Jawa, dan Madura) dan Latin.Dari penjalinan itu, dia mendapat 19 aksara. Dia mengklaim aksara-aksara itu mudah dibaca. Bahkan untuk orang paling buta huruf latin sekalipun.Tapi dia tetap mempertahankan nilai seni aksara itu. Susunan dan bunyi aksara kesatuan meliputi “DJA-GA-PA-DA-WA-NG-SA-A-TJA-RA-NJA-TA-MA-NA-KA-LA-BA-HA-JA”. Aksara Makassar, “Dja” mengawali abjad kesatuan ini. Pengakhirnya berasal dari aksara Batak, “Ja”. Ini penting sebagai simbol pengikat seluruh wilayah Indonesia. “Inilah satu lambang dari Bhinneka Tunggal Ika, terjalin dalam huruf kesatuan Indonesia,” tulis Achmad Narod. Soal penerapannya, Achmad Narod menjamin aksara kesatuan mampu menulis kata-kata bahasa asing. Ia juga sangat aplikatif untuk menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan. Demi kemudahan dan kelancaran menulis, dia sengaja menghilangkan tanda-tanda diakritik, yakni tanda tambahan pada huruf yang sedikit banyak mengubah nilai fonetis huruf itu, misalnya tanda pada . “Dalam huruf Indonesia baru hanya mengenal tanda-tanda yang berada di akhir huruf ( suffix ).” Achmad Narod berharap gagasannya beroleh tempat di kalangan generasi muda. Tujuannya, “agar generasi yang akan datang mempunyai satu potensi nasional yang kukuh.” Dia mengambil bangsa Tiongkok sebagai contoh bangsa besar yang mempunyai satu aksara nasional. Tapi gagasan Achmad Narod menghilang tanpa jejak. Dalam nomor-nomor penerbitan berikutnya, majalah Penelitian Sedjarah tak memuat tanggapan tentang gagasannya. Hingga sekarang, orang lebih mengedepankan pelestarian dan penggunaan aksara daerah ketimbang menggagas aksara nasional.





















