Hasil pencarian
9599 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Jabatan untuk yang Berjasa
Pada masa Jawa kuno, penguasa membagi-bagikan jatah kekuasaan adalah hal lumrah. Inilah cara mengganjar mereka yang berjasa mengantarkan dan mempertahankan singgasana kekuasaan. Ninie Sunsati, arkeolog Universitas Indonesia dalam Airlangga Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI menjelaskan, raja berada di puncak hierarki pelapisan sosial. Sebagai balas jasa, seorang raja berhak memberikan hak khusus atau istimewa kepada seseorang atau sekelompok orang. Data prasasti membuktikan daftar hak istimewa sudah ada sejak masa Mpu Sindok, penerus takhta Medang di wilayah Jawa Timur. Catatannya bahkan semakin panjang pada masa Kadiri dan Majapahit. Lumrahnya anugerah raja berupa hak-hak istimewa, seperti kepemilikan jenis budak tertentu, mendapat status sima, memiliki dayang, dan pengikut seperti raja. Pada perkembangan selanjutnya, hak istimewa dapat berupa gelar kehormatan, hak memakai atribut tertentu, dan hak untuk memiliki model bangunan tertentu. “Kebiasaan menganug e rahi hak-hak istimewa ini dianut dan menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh raja-raja Janggala, Kadiri, dan berlanjut hingga zaman Majapahit,” jelas Ninie. Hal itu nampak paling tidak sejak masa Airlangga, raja di Kahuripan. Tercatat dalam Prasasti Terep (1032), sang raja memberi anugerah kepada Rakai Pangkaja Dyah Tumambong, seorang bangsawan daerah yang berjasa membantu raja dalam peperangan melawan musuh. Dia terus berdoa kepada Bhatari memohon kemenangan bagi Airlangga. Raja pun memberinya hadiah gelar halu, gelar tertinggi dalam struktur pemerintahan di bawah putra mahkota. Dengan gelar itu, ia dianggap sebagai adik raja. Gelar Rakai Halu biasanya dijabat oleh putra kedua raja atau garis keturunan kedua yang berhak menerima takhta. “Ia mendapat segala hak sebagai adik raja. Namanya menjadi Rakai Halu Dyah Tumambong Mapanji Tumanggala,” jelas Ninie. Seorang lagi yang mendapat hak istimewa adalah Narottama, pengikut setia Airlangga sejak sebelum naik takhta. Ceritanya, saat usia 16 tahun, Airlangga dikirim dari Bali ke Jawa untuk menikah dengan putri Dharmmawangsa Tguh, penguasa Medang keempat setelah Mpu Sindok. Namun, sebagaimana berita dalam Prasasti Pucangan (1041), tak lama setelah pesta perkawinan, ibukota kerajaan diserbu raja bawahan bernama Wurawari. Istana pun hancur. Sang putri bersama Dharmawangsa Tguh gugur dalam peperangan itu. Airlangga berhasil melarikan diri dengan ditemani abdi setianya, Narottama. Dua tahun sejak kematian Dharmawangsa Tguh, yaitu pada 1019, berdasarkan prasasti yang sama Airlangga pun naik takhta. Sejak 1030, Narottama disebut dalam Prasasti Baru sebagai pejabat tinggi kerajaan yang melaksanakan perintah raja. Gelarnya Rakai Kanuruhan. Dua tahun kemudian , dalam Prasasti Terep, Narottama naik pangkat menjadi penerima perintah raja yang menggantikan kedudukan putra mahkota. Tiga tahun kemudian, dalam Prasasti Turunhyang A, Narottama kembali menerima kedudukan sebagai pejabat pelaksana perintah raja. Dari gelarnya, Rakai Kanuruhan, bisa diketahui kalau ia adalah penguasa wilayah Kanuruhan. “Tentu saja raja telah menghadiahkan watak Kanuruhan kepada Narottama,” kata Ninie. Balas budi juga dilakukan oleh Ken Angrok setelah ia berhasil duduk di takhta Tumapel (Singhasari). Pararaton berkisah, Ken Angrok membantu semua orang yang pernah menolongnyadulu ketika masih dirundung malang. Yang terpenting adalah Bango Samparan, ayah angkat yang mengurusnya. Lalu ada pendeta di Turyantapada, Mpu Palot yang membagi Ken Angrok keahlian pengrajin emas. Bahkan Ken Angrok membantu anak-anak Mpu Gandring, pandai besi di Lulumbang yang dia bunuh. “Seratus orang pandai besi di Lulumbang supaya dibebaskan dari saarik purih, satampaking waluku, dan wadung pacul, ” catat Pararaton. Suwardono, mantan pengajar sejarah di IKIP Budi Utomo Malang, dalam Sejarah Indonesia Masa Hindu-Buddha menafsirkan istilah -istilah itu sebagai pembebasan pajak. Mereka diberi hak istimewa dengan mendapat daerah perdikan ( sima ). Ada pula Kebo Hijo yang mati setelah difitnah membunuh Tunggul Ametung oleh Ken Angrok. Anak-anaknya disamakan haknya dengan anak-anak Mpu Gandring.“Ketika Ken Angrok menjadi raja, banyak orang yang pernah menolongnya dibalas jasanya oleh Ken Angrok. Mereka diberi kedudukan di dalam pemerintahannya,” tulis Suwardono. Imbal jasa yang paling nampak mungkin yang dilakukan oleh Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit. Para pengikut Sang Kertarajasa yang setia dan andil dalam mendirikan kerajaan diberikan kesempatan untuk menikmati hasil perjuangannya. Mereka diangkat menjadi pejabat tinggi dalam kerajaan. Sebagian nama pengikut Kertarajasa itu dijumpai dalam beberapa prasasti. Prasasti Kudadu (1294 M) menyebut Arya Wiraraja sebagai mantri mahawiradikara . Wiraraja menerima Wijaya dengan baik di Madura ketika ia melarikan diri dari istana Singhasari yang diserang pasukan Jayakatwang dari Glang Glang. Bupati Wiraraja pula, bersama masyarakat Madura, yang membantu Wijaya membuka hutan dan membangun permukiman di wilayah Trik. Desa itu kemudian berkembang menjadi Kerajaan Majapahit. Prasasti Sukamrta (1296 M) menyebut Mpu Tambi (Nambi) sebagai rakryan mapatih dan Mpu Sora sebagai rakryan apatih di Daha. Dalam hierarki Majapahit, Nambi memperoleh kedudukan yang tinggi sedangkan Sora mendapat tempat kedua. Teks Panji Wijayakrama menunjukkan betapa hubungan Mpu Sora atau Lembu Sora dan Wijaya tak terpisahkan. Terutama sejak pertempuran mereka melawan serbuan pasukan Jayakatwang ke Singhasari. Dalam berbagai kesempatan, Lembu Sora selalu memberikan nasihat bijak kepada Wijaya. Serangan balik malam hari terhadap tentara Glang Glang yang menduduki Singhasari juga atas saran Lembu Sora. Dalam serangan itu, Wijaya menewaskan banyak musuh dan menemukan kembali putri Kertanagara, Tribuwana. Lembu Sora juga yang menahan Wijaya ketika berkeras ingin membebaskan Gayatri, putri Kertanagara lainnya yang masih tertinggal dalam pura. Dia menasihati agar Wijaya dan Tribuwana menyelamatkan diri. Jumlah tentara musuh jauh lebih besar daripada sisa tentara Singhasari. Pun ketika mereka memutuskan mengungsi ke Madura Timur untuk minta bantuan Wiraraja. Menurut Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan, Lembu Sora selalu menunjukkan keperwiraan dan kebijaksanaan,baik dalam persiapan mendirikan Majapahit maupun dalam melawan Jayakatwang dan pasukan Mongol. “Berdasarkan hal-hal itu, sudah selayaknya Sora menjadi kekasih Raja Kertarajasa dan menduduki tempat terhormat dalam pemerintahan,” tulis Slamet Muljana. Sementara Nambi, baik Pararaton maupun Kidung Panji Wijayakrama mengisahkannya sebagai pengikut setia Wijaya yang ikut mengungsi ke Madura. Pararaton mencatat, ia dan Wijaya telah bersahabat sejak keduanya masih tinggal di Singhasari. Dalam berbagai medan perjuangan, Nambi diceritakan sebagai tokoh yang intelek dan memiliki kecerdikan administrasi. Sumber lain, Kidung Ranggalawe, menyebut Wenang atau Lawe, putra Wiraraja, sebagai amanca nagara di Tuban dan adhipati di Datara. Ia diangkat karena ikut membantu Wijaya membangun Majapahit. Ia gagah berani. Sebagai orang Madura, ia digambarkan jago siasat perang, lincah di pertempuran, dan piawai menggunakan senjata. Siasatnya terlihat pula sewaktu mengusir tentara Tartar (Mongol). Adapun tokoh yang pernah memimpin pasukan Singhasari ke Malayu dijadikan panglima perang. Ia mendapat nama Kebo Anabrang. Belakangan, para pengikut setia Wijaya itu,satu per satu memberontak kepada Majapahit. Alasannya macam-macam. Yang pertama memberontak adalah Ranggalawe. Ia tak terima hanya dianggap sebagai adipati Tuban. Dia merasa dirinya atau Lembu Sora lebih pantas menjadi patih amangkubhumi dibanding Nambi yang dipilih Wijaya. “Andaikata saya dan Sora tidak berani bertaruh jiwa saat menghadapi tentara Tartar, Majapahit pasti sudah hancur lebur,” kata Ranggalawe dalam Kidung Ranggalawe yang anonim. Kemudian Lembu Sora memberontak karena di fitnah Mahapati, menteri di pemerintahan Wilwatikta (Majapahit) . Namanya disebut dalam Kidung Sorandaka dan Serat Pararaton. Setelah Lembu Sora, Mahapati memfitnah Nambi. Pemberontakannya terjadi ketika Majapahit di bawah Raja Jayanagara, putra Wijaya. Dia mencurigai para pengikut ayahnya tak setia. Ditambah lagi fitnah Mahapati, maka pecahlah pemberontakan. Dari apa yang terjadi pada masa Wijaya terlihat bahwa ganjaran kursi jabatan bagi pendukung setia tak cukup membuat mereka tetap ajeg di samping penguasa. Pemberontakan bisa saja terjadi.
- Cerita dari Stadion Andi Mattalatta
SAMPAH berserakan di berbagai sudut pelataran Stadion Andi Mattalatta jelang laga Liga 1 antara PSM Makassar melawan Arema FC, Rabu, 16 Oktober 2019. Terlepas dari kultur pecinta bola tanah air yang masih jauh dari peduli kebersihan dan kerapian, Stadion yang kerap disebut Mattoanging itu memang kondisinya tidak terawat. Gerbang masuk utamanya kusam dan banyak dipenuhi lumut. Beberapa huruf di plang nama “Stadion Andi Mattalatta” sudah gompal dan nyaris terlepas. Sebelum masuk ke dalam stadion, penonton akan disambut coretan vandalisme di beberapa bidang tembok stadion. Sejak beberapa waktu belakangan ini, sebuah papan baru berdiri di halaman stadion. Tulisan di papan itu berbunyi: Tanah Milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Berdasarkan Sertifikat Hak Pakai Nomor 40 Tanggal 1 Oktober 1987. Rupanya, stadion ini tengah dibelit sengketa antara Pemprov Sulsel dengan YOSS sebagai pengelola. Begitulah kisah terbaru stadion yang selama puluhan tahun menjadi kandang PSM Makassar itu. Sebagai klub yang diakui tertua di Indonesia, PSM memang tak hanya masih eksis namun juga acap jadi unggulan juara di antara sedikit tim tradisional lain. Ia sejak lama mewakili wajah sepakbola Indonesia bagian timur. Ironisnya, PSM tak punya stadion berstandar internasional. Di bagian dalam stadion, sebelas-dua belas dengan bagian luarnya. Kursi VIP yang diduduki Historia tebal oleh debu. Pun bagian-bagian lain yang tak mungkin disebutkan satu per satu. Kolase kondisi seat VIP di Stadion Andi Mattalatta di laga PSM vs Arema (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Namun, ada hal menarik di dekat pintu utama. Manajemen menyiapkan ruang salat untuk para penonton. Seruan ‘Aaamiiin’ selepas imam membacakan Surah al-Fatihah di waktu Salat Maghrib terdengar kencang dari para jamaah sebelum laga dimulai sekitar pukul 19.30 Wita. Selain kemenangan telak 6-2 PSM atas Arema, mungkin hanya rumput lapangan dan empat menara lampu di tiap sudutnya yang bisa menyenangkan mata di Mattoanging malam itu. “Lapangan dan lampu itu manajemen klublah yang memasangnya, bukan pihak pengelola, Yayasan Olahraga Sulawesi Selatan (YOSS),” kata Sulaeman, mediaofficer PSM, kepada Historia . “Kalau di tempat lain, fasilitas sudah lengkap baru penyewa (klub) masuk. PSM tidak. Dia (klub) yang renovasi stadion, dia yang biayai stadion, baru setelah itu dia sewa (dari YOSS). Kan aneh,” kata Mustafa Amri, sekjen Macz Man (basis suporter terbesar PSM). Lahan Bekas Peternakan Stadion Andi Mattalatta di kompleks olahraga Mattoanging berdiri di atas lahan seluas tujuh hektar. Pada masa kolonial, lahan itu merupakan lahan peternakan sapi Boerderij & Melkerijk (Peternakan dan Pemerahan Susu) Frisian. Lahan 20 hektare milik pemerintah Hindia Belanda itu disewa orang Jerman berkewarganegaraan Belanda, Zwanziger, pemilik peternakan tadi. Tampak dalam Stadion Andi Mattalatta, di mana mulanya merupakan peternakan sapi milik Belanda (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Semasa pendudukan Jepang hingga era revolusi, lahan peternakan itu berturut-turut jadi tangsi Belanda, Jepang, hingga pejuang. Demikian menurut catatan Andi Mattalatta tertanggal 10 Juli 2004 dalam jurnal Asal-Usul Tanah Complex Sarana Olahraga Mattoanging dan Terbentuknya YOSS yang diarsipkan YOSS. Pada 1952, lahan itu sempat dikuasai kelompok Andi Azis yang memberontak kepada republik. Butuh waktu lima tahun bagi Letkol Andi Mattalatta, saat itu menjabat sebagai pangdam/ketua Penguasa Perang Daerah (Peperda) Sulawesi Selatan dan Tenggara, untuk membebaskan lahan itu. Mattalatta lalu memanfaatkan lahan itu untuk kawasan olahraga, demi melancarkan sistem uitholling. Sistem uitholling adalah sistem untuk menarik kembali para pemuda yang sebelumnya tergiur seragam hijau dan ikut gerombolan pemberontak, untuk kemudian menyalurkan darah muda mereka ke beragam kegiatan olahraga. Ruang salat sederhana di Stadion Andi Mattalatta (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Saat hendak merelokasi mereka, Mattalatta ditemani Walikota Mas Yunus Daeng Mile. “ Hei, lanubono’a ? (Hei, kamu mau bunuh saya?),” kata Mattalatta pada seorang eks tentara yang menguasai lahan dan mengacungkan senjata tajam (sajam) di depan gerombolannya. “Kenapa bapak begitu? Sedangkan bapak suruh kami pergi untuk kemungkinan mati menghadapi Belanda, saya tidak ragu, apalagi kalau mau disuruh saja pergi dari sini,” jawab si serdadu pembawa sajam. Mendengar jawaban itu, Mattalatta memaparkan bahwa kedatangannya bukan untuk mengusir, melainkan untuk merelokasi. Andi Mattalatta memberi kompensasi untuk mereka mencari tempat tinggal baru. Langkah persuasifnya itu pun berhasil. Pembangunan stadion pun dimulai pada April 1957. Menurut Ketua umum YOSS Andi Karim Beso Manggabarani, stadion itu dibangun menggunakan uang pribadi Andi Mattalatta tanpa sepeser pun bantuan dari pemerintah daerah. “Sejak 1952 di sini sudah ada lapangan dan kompleks olahraga. Yang mengelola itu Yayasan Stadion Makassar. Tapi kemudian sempat jadi barak-baraknya pasukan Andi Azis sampai Permesta. Lalu datanglah pasukan dari Jawa untuk menguasai Makassar, termasuk Pak Andi Mattalatta yang ikut dari Jawa kembali ke Sulawesi,” ujar Karim kepada Historia . Ketua YOSS Andi Karim Beso Manggabarani (kiri) & Andi Mattalatta, pendiri Stadion Andi Mattalatta-Mattoanging (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Setelah stadion jadi, PSM pun berkandang di sana. “Sebelum stadion dibangun, PSM mainnya di lapangan dekat sini juga. Itu yang sekarang jadi kantor TVRI Makassar (kini TVRI Sulsel),” ujar Karim sambil menunjuk sisi timur stadion. Lapangan itu, sambung Karim, ditukar-guling pada 1970-an oleh Intje Saleh Daeng Tompo, walikota harian Makassar cum ketua PSM kala itu. “Dia merasa perlu ada TVRI (di Sulsel) dan TVRI mau lokasinya di situ. Ditukar-guling. Jadi yang ditukar-guling berdasarkan dokumennya Pemda, ya lapangan yang jadi TVRI itu,” sambungnya. Proyek Gila Andi Mattalatta Sehubungan dengan uitholling, Mattalatta punya alasan yang lebih fenomenal terkait pembangun stadion Mattoanging. Mattalatta ingin menjadikan kawasan itu jadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) IV 1957 sebagai puncak pelaksanaan uitholling. Untuk itulah dia terbang ke Jakarta guna menemui ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Kepada Sultan, Mattalatta meminta restu agar tuan rumah PON 1957, yang sudah ditentukan KOI bertempat di Jakarta, dipindah ke Makassar. Interior lorong utama Stadion Andi Mattalatta (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) “Banyak di antara pengurus KOI menganggap permohonan saya menyelenggarakan PON di daerah yang masih berstatus dalam keadaan darurat perang, suatu rencana yang gila. Tetapi Bapak Sri Sultan HB IX sangat percaya kepada saya, sebagaimana beliau ketahui prestasi saya pada Perang Kemerdekaan,” kata Mattalatta mengenang. Berbekal restu Ketua KOI, Mattalatta lalu merogoh koceknya Rp250 juta untuk membangunkan stadion. Ia juga mengerahkan sekira 300 prajuritnya untuk membantu pekerjaan pembangunannya agar stadion rampung September tahun itu juga. Enam bulan sejak peletakan batu pertama, stadion itu pun selesai. Lantas, dinamai Stadion Mattoanging, diambil dari dua kata bahasa Makassar: Mattoa dan Anging. Artinya, menengok angin, lantaran lokasi lahan berada dekat pantai yang biasa dijadikan tempat pengamatan cuaca kapal-kapal yang hendak melaut atau berlabuh. Sementara, untuk venue-venue cabang olahraga lain, Mattalatta meminjam dana pembangunannya dari Presiden Soekarno via Kementerian P & K. Dana sejumlah 33 juta rupiah itu kemudian dilunasinya Desember 1957 usai penyelenggaraan PON. Stadion Andi Mattalatta saat jadi tuan rumah PSM menjamu Arema (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Hingga kini, bentuk stadion tiada yang berubah. Meski sudah mengalami beberapakali renovasi, diakui YOSS yang sejak 1982 memegang pengelolaannya serta mengganti nama stadion menjadi Stadion Andi Mattalatta, kondisinya tetap sama. “Makanya, untuk di tingkat AFC stadion kita tidak memungkinkan untuk main di kandang. Akhirnya harus main di luar (Makassar). Kami tentu punya cita-cita besar punya sebuah stadion berstandar internasional. Kami ingin atmosfer sepakbola Makassar diketahui dunia. Selama ini kami sebagai penyewa mendandani sendiri. Karena kalau tidak berbuat, standar Liga 1 saja mungkin tidak bisa kita laksanakan,” ujar CEO PSM Makassar Munafri Arifuddin.
- Dari Pengungsian ke Pengungsian
MENYUSUL bumi hangus yang dilakukan Tentara Republik Indonesia (TRI) terhadap kota Bandung, gelombang pengungsi pun berbondong-bondong keluar dari kota berhawa sejuk itu sejak 24 Maret 1946. Emma Poeradiredja, pegawai Djawatan Kereta Api yang menjadi anggota Palang Merah Indonesia (PMI) setelah Perang Kemerdekaan pecah, di dalam gelombang pengungsian itu. Begitulah keadaan masyarakat kota Bandung semenjak Perang Kemerdekaan. Kedatangan Inggris/Sekutu sebagai pemenang perang mengakibatkan Bandung secara politis terbagi dua. Bandung utara dikuasai pasukan Inggris dan Belanda. Bandung selatan dikuasai pemuda dan penduduk pro-republik yang mengungsi dari utara ke selatan. Meski ada pembagian itu, kaum republiken tak menggubrisnya. Serangan gerilya ke Bandung utara dan penghadangan terus mereka lacarkan. Pertempuran paling banyak terjadi di front Viaduct, di mana pasukan pejuang dan TRI berjaga di selatan rel dan pasukan Gurkha berjaga di sisi sebaliknya. Tak jauh dari sana, di Jalan Veteran (Bungsu) berdiri markas PMI. Di sanalah Emma, dr. Djundjunan Setiakusumah, dan anggota-anggota PMI lain bertugas. Selain mengurusi pejuang yang terluka, Emma juga ikut mengatur suplai makanan dan menjadikan rumahnya sebagai markas pemuda pejuang. Ketika Bandung menjadi lautan api, Emma ikut mengungsi. Dalam Saya Pilih Mengungsi karya Ratnayu Sitaresmi dan kawan-kawan, disebutkan mereka diperintahkan untuk mengungsi sejauh 11 km ke selatan Bandung. Emma memilih mengungsi di Ciamis. Di Ciamis, Emma tinggal bersama orang tua dan dua anaknya yang sudah lebih dulu diungsikan, Saraswati dan Amarawati Poeradiredja. Tak lama di Ciamis, Emma bergerak ke Cisurupan, Garut, membawa dua anaknya. Stasiun Cisurupan oleh Kepala Djawatan Kereta Api Republik Indonesia Ir. Djuanda Kartawidjaja dijadikan kantor untuk sementara menyusul didudukinya Bandung. Pegawai-pagawai kereta api di Bandung yang non-kooperatif dengan Belanda, berbondong-bondong mengungsi ke Cisurupan. Mereka mengadakan rapat konsolidasi dan menginventarisasi aset-aset perkeretaapian yang belum terdata. Emma Poeradiredja (kedua dari kiri) bersama Soekarno di sebuah stasiun kereta api. (Koleksi pribadi Amarawati Poeradiredja). “Bu Emma tidak mau bekerja untuk perusahaan kereta Belanda (Staatsspoorwegen) maunya ke (jawatan, red. ) kereta api yang dikuasai Indonesia. Di sana ada rekan Bu Emma, seperti Effendi Saleh, Toha Sumanagara, dan Pupela,” kata Amarawati kepada Historia . Amarawati ingat, saat berada di Cisurupan ia tinggal di bedeng-bedeng sekitar stasiun. Ketika Belanda melancarkan serangan, para pegawai kereta api pindah ke Yogyakarta. Amarawati yang kala itu masih berusia 6 tahun, tidak diajak karena terlalu berbahaya. Ia diungsikan ke Ciamis, sementara Emma dan Saraswati yang kala itu berusia sekira 10 tahun, ikut rombongan pegawai kereta api. Dari Cisurupan, Emma singgah di Gombong pada Juni 1947. Pada Agustus 1947, Emma dan Saraswati tiba di Yogyakarta. Di kota gudeg, mereka menginap di rumah Ir. Djuanda yang istrinya, Julia Wargadibrata, masih berkerabat dengan Emma. Mereka kemudian tinggal di tempat Sentot Iskandardinata. Dari situ Emma kemudian pindah ke rumah Mochtar Kusumaatmadja. Amarawati Poeradiredja Soesmono saat diwawancara oleh Historia di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Ketika tinggal di Yogyakarta, Emma tetap aktif berjuang bersama kaum republiken. Emma mengompori pegawai kereta api lain untuk menolak bekerja pada Belanda. Agitasinya itu berujung pada penangkapannya pada 10 Februari 1949. “Sudah sembunyi di kolong tempat tidur, tapi ditangkap. Lalu dibikin huisarrest (tahanan rumah, red. ) di Yogya,” kata Amarawati. Pada 18 Februari, Emma dipindahkan ke Jakarta. Saraswati yang ikut bersamanya berusaha pulang ke Ciamis dengan bantuan rekan-rekan sesama pegawai kereta api. “Kakak saya terlunta-lunta, tidur di stasiun, kurang makan. Waktu keretanya mulai masuk Jawa Barat, dilempari batu,” sambungnya. Saraswati akhirnya sampai rumah kakeknya dengan selamat, sementara Emma ditahan hingga Mei 1949. Emma kemudian kembali ke Bandung dan tinggal di Jalan Dago 133. Rumah tersebut milik adik Emma, Adil Poeradiredja, mantan perdana menteri Negara Pasundan yang mengundurkan diri pada 1948. Emma kembali bekerja pada Djawatan Kereta Api yang bermarkas di Jalan Gereja No. 1 Bandung. Sebagai Direktur Kematian Warga Kereta Api, Emma mengurusi kesejahteraan buruh kereta api dan jaminan sosial janda buruh kereta api yang suaminya gugur masa perjuangan kemerdekaan. “Saya kalau pulang sekolah seringnya ke situ, biar bisa bareng ke rumah jam 3 sore,” kata Amarawati.
- Perkawanan Dua Perwira AD, Yani dan Mitro
DENGAN kondisi punggung sakit, Kolonel Soemitro menghadap bosnya, Menteri Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani. Mitro dipanggil langsung ke rumah Yani di Jalan Lembang untuk membicarakan penugasannya ke Kalimantan. Sang kolonel yang berperut tambun itu sedang menderita slipped disc - tulang belakang keseleo yang mengenai urat - sehingga jalannya miring-miring untuk mengurangi rasa sakit. Melihat perut bawahannya yang besar, Yani nyeletuk dalam bahasa Jawa kepada istrinya, Yayuk. “Bu, Bu lihat Mitro, wetenge, weteng Panglima (perutnya perut Panglima),” kata Yani. Dia kemudian kemudian memberikan perintah kepada Mitro. “Mit, kamu pergi ke Balikpapan, gantikan Hario Kecik,” ujar Yani. “Ini perintah, atau masih tanya pendapat,” tanya Mitro. “Perintah,” jawab Yani tegas. Dijawab demikian, Mitro tidak dapat berkutik. Padahal, dirinya baru saja "menolak" rencana Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudra (Asisten III Menpangad bidang personel) dan Mayor Jenderal Soeprapto (Deputi II Menpangad bidang administrasi) yang akan memberinya posisi baru. Mitro memang selalu menolak dengan alasan ingin tetap bersama keluarga. Tapi kalau sudah berurusan dengan Yani – orang nomor satu di jajaran Angkatan Darat – lain cerita. “Namanya prajurit, ya, harus nurut perintah. Hidup prajurit itu ditentukan oleh perintah,” kenang Mitro dalam otobiografinya Soemitro: Dari Panglima Mulawarman sampai Pangkopkamtib yang disusun Ramadhan K.H. Perintah Yani disanggupi oleh Mitro. Bagi Mitro, Yani adalah seorang atasan sekaligus kawan sejak lama. Menurut Mitro, Yani bersedia mendengarkan pendapat yang berbeda dan siapa saja bebas berargumentasi. Tapi kalau Yani sudah ambil keputusan, semua orang mesti tunduk. Maka pada Februari 1965, berangkatlah Mitro ke Balikpapan, Kalimantan Timur. Mitro menggantikan Panglima Kodam Mulawarman Brigadir Jenderal Soehario Padmodiwirio yang biasa dipanggil Hario Kecil. Sementara Mitro, akrab disapa Mitro Gendut. Sebagai panglima yang baru, pangkat Mitro naik setingkat jadi brigadir jenderal. Di Balikpapan, Soemitro cukup ketat terhadap anak buahnya. Dia menahan tiga perwira menengah yang berafiliasi dengan PKI. Berita ini terdengar sampai ke Jakarta. Akibatnya, Mitro dipanggil menghadap Presiden Sukarno. Yani ikut serta mendampingi Mitro ke Istana Negara. Pagi sekali Yani dan Mitro diterima Bung Karno yang tengah berada di beranda belakang Istana Negara. Perbincangan terjadi di sela-sela waktu Bung Karno bersarapan. Selagi asyik makan, tiba-tiba Bung Karno bertanya kepada Mitro. “Saya dengar Generaal Mitro sering ngrasani (membicarakan kejelekan, red ) saya? tanya Sukarno. Mitro kaget dalam beberapa detik. Namun kemudian dia menjawab: “Oh tidak pernah, Pak. Saya bisa merasakan nggraga gitok (kekurangan) saya sendiri.” “Oh, bagus, bagus,” balas Bung Karno. Sejurus kemudian, dia kembali bertanya, “lalu ngrasani apa, Generaal Mitro?” “Saya tidak pernah ngrasani, Pak. Saya cuma belajar dari kesalahan-kesalahan Bapak,” ujar Mitro. Mendengar itu, Yani cemas karena menganggap jawaban Mitro agak lancang. Sontak saja Yani menginjak kaki Mitro. Mitro tertegun dan berbisik pada Yani dalam bahasa Jawa, apakah dia tetap lanjut melapor keadaan di Balikpapan kepada Bung Karno atau tidak sama sekali. “ Wis, menenga cengkemmu ! (Sudah, tutup saja mulutmu!),” kata Yani dengan nada jengkel. Yani dan Mitro beruntung karena Bung Karno menanggapi dengan santai. Mereka pun pulang dari Istana dengan hati lega karena terhindar dari “omelan” Presiden. Keakraban Yani dan Mitro pun ditangkap oleh Amelia Yani, salah seorang putri Yani. Amelia yang menulis biografi ayahnya, Profil Seorang Prajurit TNI dalam bab khusus “Apa dan Siapa, Teman-teman Bapak” memasukan Mitro sebagai salah satu di antaranya. Perkenalan mereka bermula di kereta api pada 1956. “Sewaktu bapak pindah ke Jakarta sedangkan Pak Mitro dalam perjalanan ke Surabaya,” tulis Amelia. Beberapa bulan sebelum peristiwa 30 September 1965, Yani bersama para asisten dan deputinya berkunjung ke Kalimantan. Turut pula dalam kunjungan itu Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo, Mayor Jenderal Suwondo Parman, Brigadir Jenderal Donald Pandjaitan, dan Brigadir Jenderal Soetoyo. Tidak ketinggalan, aktifitas main golf mengisi waktu luang sang panglima di sana. Sore hari, Yani main golf ditemani Taswin Natadiningrat. Panglima Mulawarman Brigadir Jenderal Soemitro datang ke lapangan untuk menyambut Yani dan melaporkan kiriman radiogram dari Jakarta. Yani menyapa Mitro. “Golf, Mit?” kata Yani. Karena Soemitro belum mahir main golf, dia menolak. “Golf itu untuk orang disabled (cacat)!,” ujar Mitro bercanda. Yani membalas, “Kurang ajar kowe (kau)!” Itulah pertcakapan terakhir Mitro dengan Yani. Sepeninggal Yani, Mitro menjadi perwira penting di masa peralihan menuju Orde Baru. Pada awal 1970-an, Mitro merupakan orang kedua di jajaran TNI AD dengan kedudukan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib). Karier militer Jenderal Mitro jatuh usai peristiwa kerusuhan Malari 1974. Dalam insiden itu, dia berseteru dengan mantan anak buah Yani yang lain: Ali Moertopo.
- Asal-Usul Gen Asia Selatan Riri Riza
Riri Riza, sineas beken Indonesia, menghabiskan masa kecilnya selama sembilan tahun di Ujung Pandang (kini Makassar). Setelah itu, dia ikut orangtuanya ke Jakarta. Dia mengalami masa-masa rendah diri di awal menjadi anak baru di sekolah dasar di Jakarta pada 1979. “Saya sendiri punya perasaan inferior tentang asal-usul saya,” kata Riri Riza. Riri merasa tidak nyaman bercerita kepada teman-temannya tentang daerah asalnya. “Saya merasa ada semacam superioritas dari orang Jawa dibandingkan dari kami yang berasal dari Indonesia Timur,” tuturnya. Riri berupaya mempelajari cara berbahasa teman-temannya, dialek Jakarta. “Usaha yang harus kita lakukan gitu untuk bisa nyaman bergaul dengan teman-teman,” kata Riri. Pergaulannya menjadi lebih akrab. Rasa rendah dirinya mulai terkikis. Tapi mempelajari bahasa orang lain bukan berarti menanggalkan identitasnya. Riri kemudian sering dipanggil “Makassar” oleh teman-temannya ketika duduk di sekolah menengah pertama dan atas. “Tapi saya tidak merasa itu sebagai bagian dari bully … Biasa kita lakukan untuk teman-teman yang seangkatan,” tambah Riri. Panggilan itu justru memperkuat identitasnya sebagai orang Makassar. Dia juga kian percaya diri dengan daerah asalnya. Riri memperoleh sebutan “Makassar” tersebab dirinya kelahiran Makassar. Tapi orangtuanya berasal dari dua daerah berbeda di Sulawesi Selatan. Ibunya kelahiran Gowa Sungguminasa, 10 kilometer sebelah tenggara kota Makassar. Masih termasuk daerah pesisir. Sedangkan ayahnya berasal dari Enrekang, pedalaman Sulawesi Selatan bagian tengah, dekat Gunung Latimojong. Dua daerah termaksud juga berbeda bahasa. Wilayah ibunya berbahasa Makassar, sedangkan ayahnya menggunakan rumpun bahasa Bugis. Meski Riri kelahiran Makassar dan orangtuanya sama-sama berasal dari Sulawesi Selatan, ternyata dalam tubuhnya mendekam gen dari luar Sulawesi Selatan. Hasil tes DNA menunjukkan besaran komposisi masing-masing gen: Asia Selatan (46,24%), Asia Timur (33,95%), Diaspora Asia (17,27%), dan Timur Tengah (2,53%). “Apa yang tertulis di sini bahwa gambaran moyangnyaditemukan di banyak sekali suku di India,” kata Herawati Supolo Sudoyo, ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, mengomentari hasil tes DNA Riri. Suku-suku di India antara lain Brahmin, Rajput, Naga, Karan, Khandayat, Nepali, Gope, dan Tamil. “Banyak sekali, berarti kita ambil saja memang India gitu, Asia Selatannya,” tambah Herawati. Dominasi Asia Selatan dalam komposisi DNA Riri membuka kembali kemungkinan adanya sejarah hubungan India dan Sulawesi Selatan pada masa kuno (masa Hindu-Buddha pada abad ke-5 sampai ke-16). Hindu-Budha di Sulawesi Selama ini, sejarah hubungan India dan Nusantara lebih sering berkaitan dengan Sumatra dan Jawa. Pengaruh kebudayaan dan peninggalan India cukup menonjol di dua pulau termaksud. Misalnya dalam bentuk kepercayaan, politik, bahasa, seni, dan artefak. Catatan musafir dan prasasti tentang jejaring dagang India-Sumatra-Jawa dan interaksi mereka juga tersedia melimpah. Para arkeolog berkesimpulan telah terjadi kontak intensif antara orang-orang India beragama Hindu dan Buddha dengan orang tempatan di dua pulau termaksud. Ini berbeda dari apa yang terjadi Sulawesi Selatan. Catatan tentang hubungan India dan Sulawesi Selatan hanya sedikit. Tapi ini bukan berarti menihilkan kontak antara India dan Sulawesi Selatan. Penemuan tiga arca Buddha di Bantaeng, 90 kilometer arah tenggara dari Makassar, menunjukkan kemungkinan adanya hubungan antara India dan Sulawesi Selatan sejak masa kuno. “Arca tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-6 M karena mempunyai kemiripan dengan arca Sriwijaya,” catat Budianto Hakim, arkeolog Balai Arkeologi Sulawesi Selatan, dalam “Pengaruh Hindu-Budha di Sulawesi: Kajian Pendahuluan Terhadap Data Arkeologis dan Historis” termuat di Amerta , berkala Arkeologi tahun 1993. Penyebaran agama Buddha di Sriwijaya melibatkan peran pedagang-pedagang India. Pedagang itu kemungkinan meneruskan perdagangan hingga ke Sulawesi Selatan. Atau sebaliknya, bahwa orang-orang dari Sulawesi berlayar hingga ke Sriwijaya, mempelajari agama Buddha, lalu kembali lagi ke Sulawesi ketika angin muson barat bertiup. Tradisi berlayar orang-orang di Sulawesi Selatan, utamanya Bugis dan Makassar, sangat kuat. “Sejak zaman prasejarah masyarakat Bugis dan Makassar terkenal sebagai pelaut-pelaut ulung yang dapat mengarungi samudera-samudera besar,” lanjut Budianto Hakim. Dari perdagangan dan tradisi berlayar inilah hubungan dengan India terbentuk. Dari situ pertukaran kebudayaan pun mengada. Tadjuddin Maknun, Ketua Jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin, Makassar, dalam “Fenomena-fenomena Budaya India/Hindu di Sulawesi Selatan dan Barat” menyebut adanya pengaruh India-Hindu dalam sejumlah aspek kehidupan orang Sulawesi Selatan. “Baik berupa aksara (bahasa), konsep Ketuhanan, tata cara pelaksanaan upacara ritual, penggolongan stratifikasi sosial, dan benda-benda budaya yang dapat diinterpretasi sebagai pengaruh agama dan budaya Hindu,” ungkap Tadjuddin. Tadjuddin menambahkan, masuknya pengaruh kebudayaan India di Sulawesi Selatan tak lepas dari migrasi sekelompok orang dari satu wilayah ke wilayah lainnya. “Kedatangan orang atau sekelompok orang di suatu tempat, sudah barang tentu secara eksplisit terbawa pula kebudayaannya,” sambung Tadjuddin. Dan pertukaran kebudayaan bakal lebih intensif dengan pernikahan campur antara pendatang dan orang-orang tempatan. Tapi Tadjuddin mengakui, sumber dan literatur sejarah untuk memperjelas hubungan India dan Sulawesi Selatan masih sangat lowong. Sebagai konsekuensi dari ketiadaan sumber yang dapat memberi informasi, maka sampai sekarang belum diketahui siapa yang menyebarkan dan kapan proses penyebarannya mulai terjadi. Kebangkitan Makassar Herawati berpendapat migrasi orang-orang India ke Nusantara mulai terang pada masa berkembangnya kota pelabuhan antara abad ke-8 sampai ke-14. Di sinilah periode Indianisasi dan Islamisasi Nusantara paling kental. Kota pelabuhan Makassar muncul pada abad ke-15. Ia tumbuh cepat menjadi pelabuhan singgah para pedagang dari Gujarat, Tiongkok, Malaka, Jawa, dan Eropa. “Siklus muson di wilayah Sulawesi menjadikan Makassar sebagai pusat jalur perdagangan, baik jalur perdagangan barat (Eropa, Gujarat, India Selatan, Semenanjung Malaka, Sumatra, Jawa, dan Kalimantan-Makassar-Maluku serta Papua) maupun jalur pelayaran utara (Cina, Filipina, dan Jepang-Makassar-Nusa Tenggara-Australia,” ungkap Edward L. Poelinggomang dalam Makassar Abad XIX . Selain itu, Edward juga menyebut beberapa faktor pendorong kemunculan Makassar sebagai kota pelabuhan atau dagang. “Pertama, letaknya strategis —posisinya berada di tengah-tengah dunia perdagangan. Kedua, munculnya intervensi bangsa Eropa sehingga pedagang di pusat niaga mengalihkan kegiatan mereka ke tempat lain, salah satunya ke Makassar. Ketiga, pedagang dan pelaut setempat melakukan pelayaran niaga ke daerah penghasil dan bandar niaga lain,” terang Edward. Anthony Reid, pakar sejarah Asia Tenggara, menjelaskan Makassar telah berkembang pesat menjadi kota kosmopolitan pada pertengahan abad ke-17. Beragam komunitas tumbuh dengan mantap di Makassar. “Setelah Melaka-Portugis jatuh ke tangan Belanda pada 1641, Makassar menjadi tempat berlabuh utama bagi orang-orang Portugis di Nusantara dengan lebih dari 3.000 orang Portugis menetap di kota ini. Inggris mendirikan loji di Makassar pada 1613, Denmark pada 1618, sementara para saudagar Spanyol dan Cina masing-masing mulai muncul pada 1615,” catat Anthony Reid dalam Sejarah Modern Awal Asia Tenggara . Penguasa tempatan begitu toleran dalam menerima kedatangan beragam bangsa. Keramahan itu tergambar dalam dialog antara penguasa Makassar dengan utusan VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) pada 10 Desember 1616. “Tuhan telah menjadikan bumi dan laut; bumi dibagi di antara umat manusia dan laut diberikan secara umum. Tidak pernah terdengar seseorang dilarang berlayar di laut. Jika anda melakukan itu berarti anda merampas makanan (roti) dari mulut. Saya seorang raja miskin,” kata penguasa setempat, sebagaimana dikutip oleh Edward. Keberterimaan penguasa tempatan itu turut dinikmati oleh pedagang-pedagang dari India Selatan. Mereka menjual tekstil secara bebas di sini dan menukarnya dengan komoditas lain seperti teripang, agar-agar, kerang, sirip ikan hiu, lilin, kayu cendana, kulit, tanduk, damar, kambing, sapi, kuda, dan beras. Sembari menunggu angin bertiup ke barat, pedagang India tersebut menetap sementara di Makassar. Sebagian di antaranya menikah dengan orang tempatan. Sampai akhirnya keturunannya menikah lagi dengan orang-orang dari pedalaman Sulawesi sehingga meninggalkan jejak DNA yang beragam. Ini menjadi penjelas dari mana DNA Asia Selatan milik Riri Riza. Riri mengaku senang mengetahui hasil DNA-nya. “ Saya merasa menjadi bagian dari sebuah keluarga global yang besar, ” kata Riri. Hasil tes juga membawanya ke pemahaman baru mengapa dia begitu nyaman dengan aroma, rasa, atau lingkungan yang banyak orang Indianya. “Saya Muhammad Rifai Riza dan saya merasa sangat nyaman,” tambahnya.
- Kemungkinan yang Terjadi: Prabowo Menteri Pertahanan
Di media sosial beredar video seorang santri yang ditanya Presiden Joko Widodo nama-nama menterinya. Santri itu menjawab Prabowo. Jokowi dan hadirin pun tertawa terbahak-bahak. Meski salah, santri itu tetapdapat sepeda. Apa yang dikatakan santri itu kemudian terjadi. Jokowi menunjuk Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan dalam Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024.
- Perjalanan Prabowo Menuju Menteri Pertahanan
PRESIDEN Joko Widodo telah mengumumkan jajaran menterinya untuk Kabinet Indonesia Maju. Sebanyak 34 menteri diperkenalkan Jokowi di Istana Negara. Ada satu nama anyar yang menduduki kursi Menteri Pertahanan: Prabowo Subianto. Meski telah santer diberitakan, penunjukan Prabowo terbilang mengejutkan. Joko Widodo dan Prabowo sempat bertarung dalam dua kali gelaran Pemilihan Presiden (Pilpres). Kini, keduanya akan bahu-membahu menjalankan roda pemerintahan.
- Di Balik Pidato Presiden Sukarno
GANIS HARSONO terperangah dalam rasa kaget yang bukan alang kepa la ng. Di tengah riuh rendah massa yang memenuhi Istora Senayan siang itu, ia tak habis pikir, bagaimana bisa isi pidato Presiden Sukarno di depan peserta peringatan Konfrensi Asia Afrika ke-10 itu berbeda dengan isi copy naskah pidato yang tengah ia pegang. “Kok bisa terjadi seperti ini?” pikir Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI tersebut. Dalam perasaan tak menentu itu, Ganis lantas menengok ke arah kumpulan para wartawan. Benar saja perkiraannya, sambil memegang kertas copy naskah pidato tersebut, para kuli tinta itu terlihat bergumam dalam ketidakmengertian. Sebagian dari mereka, terlihat memandangnya, seolah meminta penjelasan tentang “kekacauan” ini. “Yang anda berikan pada saya lain, dan saya sudah bagi-bagikan kepada semua anggota pers” tiba-tiba sekretarisnya yang bernama Alex Alatas (kelak menjadi Menteri Luar Negeri di erapemerintahan Presiden Soeharto) berbisik kepadanya. “Ini copy asli naskah pidato Presiden,” jawab Ganis sambil membolak-balik kembali lembaran kertas yang di awal tulisannya tertera judul Keep the Bandung Spirit High . Lantas naskah karya siapa yang tengah dipidatokan oleh Bung Karno di atas podium tersebut? ** MEMASUKI AWAL 1960-AN, kondisi kesehatan Presiden Sukarno mulai menurun. Situasi ini tentu saja berpengaruh kepada kemampuannya untuk melakukan aktifitas sehari-hari, termasuk ia tidak lagi sanggup menulis sendirian konsep pemikiran yang akan dipidatokan di depan khalayak mancanegara. Akhirnya diputuskan, setiap pidato Bung Karno akan ditulis oleh sebuah tim khusus. Julius Pour dalam G30S, Fakta atau Rekayasa , menyebut setidaknya ada dua tim penulis bayangan di sekitar Presiden Sukarno yang secara ketat “bersaing”. Tim pertama adalah tim-nya Soebandrio, yang tak lain adalah Menteri Luar Negeri sekaligus pimpinan Badan Pusat Intelejen (BPI ). Sedangkan tim kedua dipunyai Njoto, Menteri Negara dan juga Wakil Ketua II Central Commite Partai Komunis Indonesia (CC PKI). Banyak kalangan (termasuk Ketua CC PKI, D.N. Aidit) yang melihat Njoto tak lebih sebagai seorang sukarnois dibanding seorang komunis. Dalam kenyataanya, Nyoto dan Aidit memang berbeda kiblat. Nyoto lebih cenderung mengikuti Partai Komunis Uni Sovyet, sedangkan Aidit lebih condong kepada Partai Komunis Tiongkok. “Setelah memperhatikan pertentangan yang semakin memuncak di antara kedua tokoh komunis itu, Presiden Sukarno mulai mengambil pilihan dengan lebih memihak Nyoto,” ungkap Ganis Harsono dalam Cakrawala Politik Era Sukarno. Uniknya, Soebandrio dan Nyoto memiliki asisten yang masing-masing merupakan perempuan bule. Jika Soebandrio memiliki tandem bernama Molly Warner dari Australia, maka Njoto terlihat sangatkompak bermitra dengan Carmel Brickman dari Inggris. Berbeda dengan anggapan orang kebanyakan yang melihat kehadiran dua perempuan bule tersebut hanya sebagai penerjemah, sesungguhnya mereka berdua memiliki peran yang sangat strategis dalam menuangkan konsep-konsep yang bernas terkait kebijakan politik luar negeri yang dianut Bung Karno. Dunia internasional pastinya tak akan pernah melupakan pidato fenomenal Sukarno di depan Majelis Umum PBB pada 1960. Konon Molly memiliki peran signifikan dalam penyusunan pidato yang berjudul To Build the World Anew itu. Siapakah Molly sebenarnya? Molly tak lain adalah istri Muhammad Bondan,seorang aktivis pergerakan yang “diculik mengungsi” oleh pemerintah Hindia Belanda ke Australia saat tentara Jepang menyerbu Indonesia pada 1942. Perempuan kelahiran Selandia Baru dan kemudian menetap di Sydney tersebut kerap menyebut keterkaitan hari kelahirannya dengan tenggelamnya kapal Titanic. “Saya lahir persis tiga bulan sebelum tragedi tenggelamnya kapal pesiar Titanic di lautan dasar Atlantik,” ujarnya dalam In Love With a Nation, sebuah memoir yang ditulisnya langsung. Ya Molly memang lahir pada 9 Januari 1912. Begitu pemerintahan Indonesia menyingkir ke Yogyakarta pada 1947, Bondan memboyong sang istri bulenya itu ke tanah air. Ia lantas direkrut oleh Sukarno-Hatta sebagai pejabat diKementerian Perburuhan. Sedangkan Molly, bekerja di RRI Pemancar Yogyakartayang khusus mengasuh program The Voice of Free Indonesia . Sebagai penyiar RRI, Molly dikenal sebagaipenyiar asing yang sangat rajin mengenalkan perjuangan negara yang membuatnyajatuh simpati itu kepada masyarakat internasional. Melihat bakat luar biasa didalam diri Molly, Sukarno kemudian memindahkannya ke Kementerian Luar Negeri. Di sana,ia didapuk untuk mengajar bahasa Inggris kepada para diplomat Indonesia. Sekitar awal 1960, Sukarno memutuskan Molly untuk menjadi pendamping Soebandrio dalam membuat naskah-naskah pidato yang khusus ditujukan bagi kepentingan luar negeriIndonesia.Sebagai perancang naskah-naskah pidato sang presiden, Molly sangat mengenal pemikiran-pemikiran dan kebiasaan-kebiasaan Sukarno saat berpidato. “….Ia gemarmelakukan pengulangan kata sebagai upaya untuk lebih menjelaskan apa yang diamaksud…”katanya. Molly mengakui jika kemampuan pidato Sukarno samabagusnya dengan kemampuan ia menulis teks pidato. Molly sendiri sebagai penerjemah sering kehabisan kosa-kata untuk menerjemahkan teks pidato BK lengkap dengan ekspresi dan bumbu-bumbunya. “Terus terang, saya seringmengabaikan akurasi demi mencapai nuansa terjemahan yang pas. Tapi tentu sajasaya lakukan dengan tidak mengubah substansi,” ujar Molly. Nasib Carmel, tak jauh berbeda dengan Molly. Bertemu sebagai sesama aktivis kiri dengan Soewondo Budiardjo di Praha, Chekoslovakia pada 1950. Ia kemudian dinikahi oleh pegiat Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) tersebut, organisasi yang sangat dekat dengan PKI. Lewat PKI inilah, Carmel kemudian terhubung dengan Njoto.Melihat kemampuan Carmel yang sangat baik dalam segi analisa politik dan pemikiran, tokoh PKI saingan Aidit itu (Aidit pernah menyindirnya sebagai kaum revisionis modern pro Moskwa),menunjuknya untuk menjadi tandem penulisan pidato-pidato Bung Karno. Posisi Carmel tetap eksis sebagai penulis bayangan, hingga Insiden 1965 meletus. Ia kemudian ditangkap tentara dan kemudian ikut dibuang ke Pulau Buru bersama suaminya, sebelum Pemerintah Inggris (ia masih memegang paspor Inggris rupanya) turun tangan dan meminta Presiden Soeharto mendevortasi perempuan pakar ekonomi lulusan Universitas London itu ke negeri leluhurnya pada 1971. Begitu sampai di Inggris, dua tahun kemudian Carmel Budiardjo mendirikan TAPOL, sebuah lembaga hak asasi manusia yang menyoroti kehidupanpara tahanan politik di Indonesia. “Saya tak bisa melupakan begitu saja nasib kawan-kawan yang masih berada di penjara Soeharto,”tulisnya dalam Surviving Indonesia's Gulag , sebuah buku yang mengisahkan pengalaman dia menjadi tahanan politik selama di Indonesia . *** 18 APRIL 1965. Teriakan “hidup Bung Karno!” yang bergemuruh di seantero Istora Senayan tiba-tiba menyeret benak Garnis Harsono ke kejadian 9 hari sebelumnya. Suatu siang, ketika akan menghadap Bung Karno guna membahas isi naskah pidato memperingati satu dasawarsa Konfrensi Asia Afrika, ia berpapasan dengan Njoto yang baru saja keluar dari ruang kerja BungKarno. Mereka lantas bertegur sapa dan saling bertukar senyum. Senyum masih tertinggal di wajah Garnis, ketika di mulut ruang kerja Sukarno, diplomat kelahiran Jombang itu mendengar kata-kata keras: “Garnis! Saya sudah bosan dengan gaya pidato tulisan Soebandrio. Saya ingin sebuah pernyataan politik!. Oratory, I mind you, not a speech! Your minister has got into the habit of falling into philosopichal reveriesthese days (Pidato, bukan ceramah!, Menterimu itu akhir-akhir ini mulai keranjingan fantasi filsafat! Tentu saja segera Garnis mengiyakan keinginan sang presiden itu. Seminggu kemudian, ia berdiskusi dengan Soebandrio dan Molly Bondan untuk merevisi isi pidato tersebut. Setelahdiperbaiki, 17 April 1965, seorang anggota Resimen Tjakrabirawa lantas mengambil naskah pidato hasilrevisi itu. Ganis sendiri langsung memperbanyaknya guna disebar ke para wartawan. Tak dinyana olehnya, ternyata naskah pidato yang dibuat Pak Ban dan Molly tetap tak berkenan di hati Presiden Sukarno. Buktinya, dia lebih suka“meneriakan” hasil tulisan Njoto dan Carmel di Istora Senayan. Dan Garnis, hari itu hanya bisa terperangah dalam rasa kaget yang bukan alang kepalang. “Dari kejadian-kejadian tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Presiden Sukarno bersedia mengorbankan wakil perdana menteri pertama-nya demi naskah pidato yang kaku dan liar buatan Nyoto-Carmel Budiardjo itu,” tulis Ganis dalam catatan harian-nya bertanggal 24 April 1965.
- Susi Susanti yang Tak Sedramatis Kisah Asli
GEGARA kakaknya di- bully lawannya, Susi Susanti kecil (diperankan Moira Tabina Zayn) menantang balik sang jawara bulutangkis Tasikmalaya. Susi menang. Dari kemenangan itu, Susi mendapat tawaran berlatih di PB Jaya Raya medio 1985. Dari sinilah perjalanan sang “Ratu Bulutangkis” Indonesia itu bermula. Secuplik kisah masa kecil Susi itu jadi pembuka biopik bertajuk Susi Susanti: Love All garapan sineas Sim F. Scene lalu beralih, ke dalam sebuah bus yang ditumpangi Susi menuju menuju Jakarta. Susi duduk terdiam dekat jendela lalu dikagetkan oleh hinaan seorang pedagang asongan yang tak terima Susy menolak membeli dagangannya. “Dasar sipit, pelit!” Di masa Orde Baru berkuasa itu, masyarakat etnis Tionghoa acapkali jadi mangsa perundungan diskriminasi rasial. Susi mencoba tegar. Ia juga harus menahan rindu lantaran lama meninggalkan keluarganya demi menebus utang ayahnya, Rishad Haditono (Iszur Muchtar), mantan pebulutangkis level PON, terkait prestasi emas olimpiade. Beruntung, Susi mendapat tambahan motivasi dari idolanya, Rudy Hartono (Irwan Chandra), yang melihat bakat hebat dalam diri Susi. “Tetapi bakat saja tidak cukup. Butuh kerja keras dan kedisiplinan,” cetus Rudy kala menasihati Susi yang tengah jenuh dengan rutinitas latihan PB Jaya Raya. Alur cerita lantas bergulir cepat. Setahun kemudian (1986), Susi (diperankan Laura Basuki) sudah menginjakkan kaki di Pelatnas PBSI Cipayung. Ia langsung ditangani pelatih bertangan besi Liang Tjiu Sia (Jenny Zhang Wiradinata). Sia dan Tong Sinfu (Chew Kin Wah), digambarkan bekas eksil di Cina, didatangkan Ketum PBSI Try Sutrisno (Farhan) untuk mendongkrak prestasi bulutangkis Indonesia yang tengah menukik. Target pertama adalah Sudirman Cup perdana di Jakarta, 1989. Sebelum ke Indonesia, Sia dan Sinfu sempat mempertanyakan status kewarganegaraan mereka. Namun Try Sutrisno dan Sekjen PBSI Mangombar Ferdinand Siregar (Lukman Sardi) ingin lebih dulu mendapatkan bukti prestasi dari keduanya. Sudirman Cup 1989 juga jadi satu dari sekian ujian berat Susy, yang dibebani harus mencetak poin lantaran dua laga sebelumnya dimenangkan wakil Korea Selatan. Meski tertekan, Susi mampu keluar sebagai pemenang. Moira Tabina Zayn sebagai Susi Susanti kecil (Foto: Instagram @sim_f) Sementara, berada di Pelatnas dalam waktu lama membuat Susi mendapatkan “pelabuhan” hati dari sesama penghuni pelatnas asal PB Djarum, Alan Budikusuma (Dion Wiyoko). Acapkali keduanya melanggar jam malam demi berkencan, terpapar kenakalan remaja laiknya pebulutangkis lain yang juga menjalin kasih, Sarwendah Kusumawardhani (Kelly Tandiono) dan Hermawan Susanto (Rafael Tan). Drama-drama itu jadi bumbu tersendiri dalam film berdurasi 96 menit ini. Agar bisa merasakan sendiri bagaimana rasanya kasmaran yang bergonta-ganti dengan kesedihan, ketegangan, maupun tangis kebahagiaan Susi setelah memetik emas Olimpiade Barcelona 1992, jauh lebih baik Anda saksikan sendiri film yang tayang di bioskop-bioskop mulai 24 Oktober 2019 ini. Yang Tercecer dan Melenceng dari Fakta C oloring dan music scoring film ini ditata dengan sangat apik. Beberapa adegan menegangkan terbukti terasa menegangkan lantaran diiringi efek suara menggebu. Tata warna dalam film ini juga diracik dengan ciamik oleh Sim F yang sebelumnya sudah malang melintang menyutradarai iklan dan video klip. Pokoknya feel dan suasana 1980-an hingga 1990-an sangat terasa. Sayangnya, karakter dua sosok utama yang diperankan Laura dan Dion dibawakan kurang maksimal. Emosi penonton yang mulai dibangun lewat scene persiapan dan pertandingan, termasuk saat Susy pontang-panting menghadapi lawannya di final tunggal putri bulutangkis Olimpiade Barcelona 1992, sekonyong-konyong buyar. Adegan Susi menangis di puncak podium arena Pavelló de la Mar Bella gagal jadi klimaks yang memuaskan. Mungkin publik akan lebih terpuaskan jika memutar lagi footage aslinya yang bertebaran di YouTube . Bisa jadi karena beberapa faktor teknis yang menggerogotinya, seperti lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ yang dipotong. Atau, venue -nya tak menyerupai venue asli di Barcelona. Dilihat dari ciri-ciri bangunannya, syuting adegan itu diambil di BritAma Arena, Kelapa Gading untuk adegan indoor dan Museum Bank Indonesia untuk adegan outdoor . Namun yang lebih fundamental, soal muatan isu rasial. Dari setengah durasi ke belakang, isu diskriminasi yang pernah jadi luka bagi etnis Tionghoa itu begitu dominan. Film ini kembali membongkar luka yang telah lama “diperban”. Dominasi pesan ini menjadikan film ini terlena menampilkan perjuangan Susi, baik sejak di klub maupun di pelatnas. Porsi-porsi latihan berat Susi di bawah asuhan Tjiu Sia dan Alan di bawah besutan Tong Sinfu dan Rudy Hartono tak digambarkan sebagaimana mestinya. “Dulu kita latihan sampai jam 10 malam biasanya. Kalau sudah latihan, kita sudah sampai enggak bisa bangun dari tempat tidur,” kata Alan mengenang, kepada Historia. Alan juga menguraikan, dia dan Susi sampai tak sempat memikirkan waktu berpacaran, terlebih saat persiapan olimpiade. “Kalaupun ada waktu libur, biasanya kalau pergi pun bareng-bareng dengan kawan-kawan pelatnas lainnya, enggak berduaan,” tambahnya. Dion Wiyoko dan Laura Basuki sebagai Alan Budikusuma dan Susy Susanti (Foto: Instagram @filmsusisusanti) Maka aneh jika di film Alan dan Susi acap digambarkan jalan-jalan berduaan, bahkan sampai berkencan di kawasan Melawai. Bayangkan betapa jauhnya mereka mencuri waktu berpacaran dari Cipayung di ujung Jakarta Timur ke Melawai di Jakarta Selatan. Peran Tjiu Sia dan Tong Sinfu dalam beberapa adegan juga “menggantung”, terlepas dari akting Jenny sebagai Tjiu Sia dan Chew Kin Wah sebagai Tong Sinfu patut diacungi jempol ketimbang Laura dan Dion. Problem status warga negara Sia dan Sinfu sekadar dijadikan pelengkap isu rasial yang menerpa Susi hingga kerusuhan Mei 1998. Padahal tanpa tokoh Susi dan Alan pun, kisah asli kedua tokoh tersebut tak kalah mengharukan. Lebih runyam lagi, beberapa adegan melenceng jauh dari aslinya. Kendati lumrah dalam hal-hal yang dialihwahanakan ada bumbu-bumbu tambahan, alangkah baiknya tak menyerong jauh dari fakta. Celakanya, itu terjadi bahkan sedari awal, di adegan yang menggambarkan klub pertama Susi adalah PB Jaya Raya. Padahal, sebelum itu Susi sudah “memoles” bakatnya di PB Tunas Tasikmalaya. Lalu, soal sosok Rudy Hartono yang diperankan Irwan Chandra. Pada masa Susi masuk PB Jaya Raya, 1985, hampir semua anak didik berebut ingin bisa latihan dengan Rudy. Well , kurun 1981-1985 sejatinya Rudy masih disibukkan tugas sebagai Kabid Pembinaan PBSI di Senayan. Yang juga aneh karena anakronisme, saat Susi pertamakali masuk pelatnas, ia langsung berlatih di Cipayung. Faktanya, gedung Pelatnas PBSI itu baru dibangun pada 1992. Semasa angkatan Susi, Pelatnas masih di GOR Asia Afrika, Senayan. Chew Kin Wah dan Jenny Zhang Wiradinata sebagai Tong Sinfu dan Liang Tjiu Sia (Foto: Instagram @chewkinwah) Pelatih Alan juga digambarkan hanya Tong Sinfu. Padahal dalam biografinya, MF Siregar menguraikan para pebulutangkis putra, termasuk Alan, juga dipegang Rudy (selepas menjabat Kabid) dan Indra Gunawan. “Indonesia kalah di Thomas Cup Mei 1992 jelang olimpiade. Pelatih Alan ketika itu, Rudy Hartono dan Indra Gunawan, marah besar. Menimpakan penyebab kekalahan kepada pundak pemain kelahiran Surabaya itu,” kata Siregar dalam biografinya yang ditulis oleh jurnalis olahraga Brigitta Isworo Laksmi dan Primastuti Handayani, Matahari Olahraga Indonesia . Adegan kehadiran Siregar di final Olimpiade Barcelona 1992, yang menyaksikan pertandingan dari tribun kehormatan bersama Try Sutrisno, dalam film juga menunjukkan lemahnya riset film ini. Faktanya, Siregar tak sempat menyaksikan Susi berlaga di momen besar itu lantaran sedang pemulihan kondisi pasca-operasi jantung. Lukman Sardi (kanan) sebagai teknokrat olahraga Mangombar Ferdinand Siregar (Foto: Instagram @lukmansrd) Dalam biografinya, Siregar dituliskan hanya memantau laga final Susi sembari menemani para penghuni pelatnas lain yang tak ikut ke Barcelona, di Gedung Bulutangkis PBSI DKI Jakarta. Ia hanya menerima informasi jalannya pertandingan dari asistennya, Richard Mainaky. Jika menyaksikan langsung, dikhawatirkan jantung Siregar belum kuat. “Saat Richard keluar dengan kedua jempol ke atas dan bersorak kegirangan, Siregar tak bisa menahan luapan emosi. Namun Siregar berusaha tetap kalem menerima sukses besar yang sesuai prediksinya itu,” sebut Brigitta dan Primastuti. Terlepas dari banyaknya kekurangan itu, biopik ini patut diapresiasi. Ia hadir di tengah dahaga penonton Indonesia akan film yang membangkitkan nasionalisme lewat nostalgia prestasi Susi Susanti. Ia juga berani berbeda di tengah persaingan ketat antar- genre yang didominasi action , horor, dan komedi; dan banjir film Hollywood.
- Buah Kengototan Maria Ullfah dalam Rapat BPUPKI
MARIA Ullfah menjadi satu-satunya perempuan yang duduk dalam Panitia Pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ketika membahas Undang-Undang Dasar, 29 Mei 1945 di Gedung Departemen Luar Negeri, Pejambon, Jakarta. “Karena saya ahli hukum, saya dimasukkan ke sana. Ketua aktif adalah Prof. dr. Supomo. Dialah yang banyak menyusun UUD 1945,” kata Maria Ullfah pada Dewi Fortuna Anwar dalam rekaman suara yang dikeluarkan Arsip Nasional. Namun, Maria bukan satu-satunya perempuan dalam rapat BPUPKI dari 28 Mei-1 Juni 1945 itu. Di luar Panitia Pertama, ada Siti Sukaptinah (ketua Fujinkai) di Panitia Ketiga yang membahas tentang pembinaan tanah air. Terlepas dari hanya ada dua perempuan dalam kongres tersebut, BPUPKI berhasil merumuskan banyak hal terkait bentuk negara dan luas wilayah. Dalam hal bentuk negara, sempat muncul dua pilihan dalam rapat tersebut, yakni republik atau kerajaan. Mayoritas peserta rapat yang datang dari Jawa Tengah menghendaki bentuk kerajaan. Mereka ingin mengikuti ramalan Joyoboyo. Namun, mayoritas peserta rapat menginginkan republik. “Kalau tidak salah yang mau kerajaan cuma 9 orang,” sambung Maria. Mengenai luas wilayah, rapat juga berjalan alot. Mohammad Yamin, salah satu anggota BPUPKI, mengusulkan untuk memperluas wilayah Indonesia sampai mencakup Malaya, Kalimantan bagian Inggris, Irian Timur, Timor jajahan Portugis, dan Pulau Madagaskar. “Yamin bilang Brunei, Malaysia dimasukkan. Yamin selalu begitu, semuanya mau dimasukkan,” kata Maria diiringi tawa kecil. Pada akhirnya diputuskan, luas wilayah Republik Indonesia hanya bekas Hindia Belanda. Dalam Maria Ullfah Pembela Kaumnya, Gadis Rasyid menyebutdefinisi warga negara juga masuk dalam pembahasan. Rapat memutuskan bahwa orang-orang keturunan pun boleh jadi warga negara Indonesia, seperti keturunan Tionghoa, keturunan Arab, dan keturunan Belanda. Sementara, dalam rapat Panitia Pertama yang membahas UUD, Maria mengusulkan tentang pemberian hak dasar yang sama bagi warga negara baik perempuan maupun lelaki. Usul Maria ini dianggap penting dalam gerakan perempuan sebagai upaya secara legal menyetarakan hak dasar perempuan dan lelaki. Namun, baru selesai Maria mengutarakan usulnya, Sukarno yang menghadiri rapat itu langsung menolak ide itu. “Nggak perlu. Itu sudah cukup,” kata Sukarno. Mendengar penolakan Sukarno, Maria mencoba menjelaskan maksudnya ialah hak dasar yang berlaku di tiap negara, bukan hak asasi yang berlaku universal sehingga perlu ditetapkan dalam UUD. Lebih jauh, ia ingin mencegah adanya diskriminasi pada perempuan dalam penegakan hukum sehingga ide tentang ‘semua orang sama di mata hukum’ harus dicantumkan. “Saya tidak bilang hak asasi tapi hak dasar. Bung Karno memang selalu keras terhadap saya, tapi waktu itu Pak Supomo yang menyusun,” sambungnya. Maria juga menyampaikan impresinya terhadap ketua panitia pertama, Prof. dr. Supomo. Menurut Maria Ullfah, Supomo berpihak pada gerakan perempuan sehingga ide pemberian hak dasar sama bagi perempuan dan lelaki didukung oleh Supomo. “Supomo baik sama (gerakan) perempuan. Dia yang menyusun sebagian besar UUD dan usulan saya dimasukkan. Untung saya ada di situ sebagai perempuan,” kata Maria. Usaha ngeyel Maria terbayar. Idenya disepakati dan tercatat dalam pasal 27 yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” “Pasal 27 itu harus selalu kita pegang sebagai warga negara, pegawai negeri, dan sebagai tenaga kerja wanita,” kata Maria. Atas jasanya itu, Komnas HAM memberikan penghargaan Anugerah HAM kepada Maria Ullfah pada 2014 bersama Munir Said Thalib.
- Menteri Pertahanan yang Hilang
Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, urusan pemerintahan mulai ditata. Kabinet pertama pun dibentuk pada 19 Agustus 1945 bernama Kabinet Presidentil. Kabinet Presidentil terdiri atas 12 Menteri Departemen ditambah lima Menteri Negara yang tidak mengepalai suatu Departemen tertentu. Kabinet ini kemudian dilantik oleh Presiden Sukarno pada 2 September 1945. Salah satu menteri dalam kabinet ini adalah Supriyadi, tokoh pemberontakan Peta (Pembela Tanah Air) di Blitar pada Februari 1945. Supriyadi diangkat sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Kementerian ini kemudian berubah menjadi Kementerian Pertahanan. Namun, Supriyadi tak pernah kelihatan bahkan dinyatakan hilang. “Menteri Keamanan Rakyat Supriyadi tidak pernah datang ke Jakarta dan tidak memberi jawaban yang pasti kesediannya diangkat menjadi Menteri. Maka tanggal 20 Oktober 1945 Presiden mengangkat Sulyadikusumo sebagai Menteri Keamanan Rakyat ad interim yaitu menteri sementara sebelum menteri yang asli ditemukan,” tulis Bibit Suprapto dalam Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan Indonesia. Saat itu, Indonesia baru memiliki Barisan Keamanan Rakyat yang menghimpun bekas anggota Peta, Heiho, dan sebagainya, belum memiliki tentara. Maka, pada 5 Oktober 1945 dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Meski tak ada kabarnya, pada 20 Oktober 1945, berbarengan dengan digantinya Menteri Keamanan Rakyat, Supriyadi ditunjuk sebagai Pemimpin Tertinggi TKR. Namun, Kabinet Presidentil jatuh pada 14 November 1945, hanya bertahan selama dua bulan 12 hari.Kabinet ini kemudian digantikan dengan kabinet parlementer dengan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri Hilangnya Supriyadi masih menjadi misteri hingga kini. Ratnawati Anhar dalam Pahlawan Nasional Supriyadi menyebut beberapa informasi tentang Supriyadi sempat muncul setelah dia menghilang. Ronomejo, seorang kamituwo desa Ngliman, Kabupaten Nganjuk mengaku pernah mengantar Supriyadi ke persembunyiannya di sebuah gua dekat air terjun Sedudo. Namun, ketika didatangi ayahnya, Darmadi, ia sudah tidak ada. Menurut Ronomejo, kemungkinan Supriyadi lari ke arah barat menuju Jawa Tengah. Informasi lainnya muncul dari M. Nakajima, Direktur Taisei Internatonal Coporation di Singapura. Ia menerangkan bahwa sekitar bulan Februari-Maret 1945, Supriyadi bersama dua orang kawannya datang ke rumahnya di Jalan Jangkongan, Salatiga. Di rumah Nakajima, mereka menginap semalam lalu harus pergi lagi karena didatangi Kempetai Jepang dari Semarang. Sementara itu, pada 2008, masyarakat dihebohkan dengan seseorang bernama Andaryoko Wisnuprabu yang mengaku sebagai Supriyadi. Sejarawan Baskara T. Wardaya dalam Mencari Supriyadi , mewawancarai Andaryoko yang saat itu Ketua Umum Perkumpulan Kesenian Sobokartti Semarang. Dalam kesaksiannya, Andaryoko tidak berharap diakui sebagai Supriyadi, ia hanya ingin menyampaikan narasi sejarah yang ia ketahui sepanjang hidupnya. Dalam wawancara itu, Andaryoko mengaku masih berada di sekitaran Sukarno dan terkadang bolak-balik Jakarta-Semarang. Ia juga mengetahui dirinya diangkat menjadi Menteri Keamanan Rakyat. “Waktu saya ditunjuk jadi menteri itu saya tidak diberi kantor, wong memang tidak ada tempat. Bung Karno saja masih belum tinggal di Istana,” katanya. Pada 12 Oktober 1945, Andaryoko pamit kepada Sukarno ke Semarang. Setelah ikut dalamPertempuran Lima Hari di Semarangpada 14 Oktober 1945, ia kembali ke Jakarta. Pada 20 Oktober 1945, Sukarno mengangkat Supriyadi menjadi Pemimpin Tertinggi TKR. Andaryoko membenarkan hal ini. “Organisasi BKR ditingkatkan menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan saya diangkat menjadi Panglima Tertinggi TKR itu,” sebutnya. Andaryoko mengaku mengundurkan diri sebagai Menteri Keamanan Rakyat dan Panglima Tertinggi TKR serta memilih menyepi untuk bersemadi. Namun, ia tetap diminta menjadi pembantu Sukarno.Selama menjadi pembantu Sukarno, ia sering bolak-balik Jakarta-Semarang. Ia ditugasi untuk mencari informasi apapun terkait situasi politik saat itu. Sejarawan Asvi Warman Adam meragukan pengakuan Andaryoko. Ia lebih meyakini Andaryoko sebagai anggota Peta yang kemudian bekerja di bidang pemerintahan di Semarang. “Sebagai seorang anggota Peta yang ada di Blitar, dia tahu segala kegiatan Peta di Blitar. Tapi mungkin bukan Supriyadi, karena anggota Peta yang ada waktu itu ratusan,” kata Asvi dalam wawancara dengan kompas.com . Menurut Asvi, waktu ada orang di Yogyakarta mengaku Supriyadi, Wakil Presiden Try Soetrisnomeminta Utomo Darmadi, adik tiri Supriyadi untuk mengeceknya.Utomo mengajak bicara dalam Bahasa Belanda,orang itu tidak mengerti.Ia juga menanyakan sesuatu dalam bahasa populer Jepang, orang itu juga tidak bisa menangkap. Supriyadi, kata Asvi, sekolah MULO dan Stovia pasti bisa Bahasa Belanda. Juga latihan Jepang, pasti menguasai istilah-istilah Jepang. Namun, dalam percakapan dengan Baskara, Andaryoko sama sekali tidak mengucapkan satu pun istilah Bahasa Belanda. Padahal, berbicara dengan orang-orang yang berusia 70-80 tahun dan pernah sekolah Belanda, pasti keluar istilah-istilah Belanda. Sementara Andaryoko cuma Bahasa Jawa. Selain itu, Asvi menambahkan, Andaryoko menyampaikan banyak keterangan yang tidak sesuai fakta sejarah. Misalnya,dia mengaku hadir pada Proklamasi 17 Agustus 1945 bahkan ikut mengerek bendera merah putih. Padahal secara historis, pengerek bendera merah putih adalah Latief Hendraningrat. Andaryoko juga menyebut sidang-sidang untuk menetapkan UUD 1945 diadakan di Gedung Joang 45. Padahal sidang-sidang itu di Gedung Pantjasila yang sekarang berada di dalam kompleks Kementerian Luar Negeri. Dia juga mengaku hadir ketika Supersemar diserahkan di Istana Bogor. “Yang menurut saya sangat aneh, tahun 1945 dia menolak ikut dalam pemerintahan karena meramalkan 20 tahun lagi akan ada huru-hara dan orang yang dukung Bung Karno akan tersingkir. Dia memilih di luar pemerintahan. Menurut saya itu klenik, mistis. Jadi, pengakuan Andaryoko dipertanyakan karena dia hadir di mana-mana. Dia tokoh mistis yang bisa meramal kejadian 20 tahun yang akan datang,” kata Asvi. Andaryoko Wisnuprabu,salah satu dari beberapa orang yang mengaku sebagai Supriyadi, meninggal dunia di Semarang pada 3 Juni 2009.






















