Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Penyamaran dan Integritas J.B. Sumarlin
JOHANNES Baptista (J.B.) Sumarlin, mantan Menteri Penertiban Aparatur Negara (PAN) dan Menteri Keuangan di Kabinet Pembangunan Orde Baru, wafat pada 6 Februari 2020. Jenazahnya dimakamkan di San Diego Hill, Karawang, Jawa Barat, pada 10 Februari 2020. Sepanjang hayatnya, Sumarlin dikenal sebagai sosok bersih, berintegritas, dan berani.
- Gaya Hidup Orang Aceh Abad ke-17
Aceh menjadi salah satu persinggahan para pelaut dunia yang datang ke Nusantara. Sejak era pelayaran, wilayah itu telah membuka diri dengan dunia luar. Posisinya yang strategis (ada di sekitar Malaka dan penghubung dataran Asia), menjadi sebab banyak bangsa singgah ke negeri paling ujung di pulau Sumatera tersebut. Terbukanya pelayaran mengantarkan bangsa-bangsa dalam interaksi yang lebih dalam dengan penduduk Aceh. Aktifitasnya tidak hanya tercatat oleh bangsa pendahulu (Tiongkok dan Arab) saja, tetapi juga oleh masyarakat Eropa yang datang belakangan. Para pelaut Barat menggambarkan kehidupan penduduk lokal dalam catatannya, termasuk cara hidup yang terasa asing di mata mereka. Cara Berpakaian Catatan yang menyebutkan nama Aceh muncul pada pertengahan abad ke-16. Tome Pires, penjelajah Portugis, menyebutnya sebagai Achin . Pires menjadi penjelajah Eropa pertama yang menulis daerah itu pada catatan penjelajahannya, Suma Oriental . Berdasarkan peta bertahun 1540, wilayah kuasa Aceh membentang hingga ke pedalaman. Aceh, kata Pires, adalah negeri pertama yang dapat ditemukan setelah menelusuri terusan Pulau Sumatera. Gambaran lebih jelas tentang penduduk Aceh datang dari penjelajah Prancis Francois de Vitre. Ia tiba di Aceh pada 26 Juli 1602 ketika kekuasaan dipegang oleh Sultan Ali Riayat Syah. Berdasar penggambaran Vitre diketahui bahwa kebanyakan orang Aceh pada waktu itu hanya mengenakan pakaian berupa ikat pinggang yang dililitkan pada tubuh untuk menutupi bagian kemaluan. Sedang bagian lain dibiarkan terbuka. Pakaian yang digunakan penduduk biasanya dari belacu biru, bahan paling bagus yang bisa ditemui di sana, dengan warna merah lembayung. Menurutnya, kebiasaan orang Aceh yang suka memakai sorban juga sungguh aneh. Sorban itu diikat seperti gulungan sedemikian rupa hingga ujung kepalanya tak tertutup. Sementara seorang pedagang Inggris bernama Peter Mundy menyebut jika semua laki-laki mencukur rambut di bibir atas dan dagungnya. Semua orang Aceh berjalan tanpa alas kaki, baik raja maupun penduduk biasa. Menjelang akhir abad ke-17, cara berpakaian sebagian besar penduduk Aceh mulai berubah. Dikisahkan Guillaume Dampier, dikutip Denys Lombard dalam Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda (1607-1636) , di Aceh sudah banyak perempuan yang mulai menggunakan perhiasan di telinganya. “Yang paling terkemuka dari mereka memakai kupiah yang pas di kepala, terbuat dari kain wol yang diwarnai merah atau warna lain dan yang bentuknya seperti topi tanpa tepi … mereka memakai celana pendek dan orang bangsawan memakai sepotong kain sutera yang longgar di atas pundak … mereka tetap telanjang kaki, hanyalah yang kaya-kaya yang memakai semacam sandal,” tulis Dampier. Perihal Makan Penduduk Aceh digambarkan tidak terlalu banyak makan. Para pelaut Barat menganggap kebiasaan itu aneh. Karena mereka dapat menghabiskan banyak makanan dalam satu waktu. Sehingga orang Aceh disebut terlalu sederhana soal makanan. Penduduk di negeri itu hampir selalu makan nasi dengan sedikit ikan dan sedikit sayur. Hanya orang kaya dan terpandang yang makan dengan ayam yang dibakar atau direbus untuk persediaan satu hari penuh. “Seandainya ada dua ribu orang Kristen di negeri mereka, maka segera mereka akan kehabisan sapi dan unggas,” ungkap Dampier. Namun Lombard sendiri menyebut pandangan para penjelajah terhadap kebiasaan makan orang-orang Aceh terlalu dangkal. Mereka tidak memperhitungkan adanya “waktu makan”, yang berlaku di kalangan masyarakat Aceh. Karena para penduduk biasanya menyiapkan makanan untuk sehari penuh, sehingga tidak dihabiskan dalam satu waktu. Sistem Pernikahan Mengenai sistem perkawinan di Aceh, peneliti Belanda Snouck Hurgronje telah membahasnya lengkap dalam Orang Aceh: Budaya, Masyarakat, dan Politik Kolonial . Namun penelitiannya itu baru dilakukan pada abad ke-19. Kajian terdahulu tentang permasalahan tersebut datang dari penjelajah Prancis Augustin de Beaulieu abad ke-17. Dalam De Rampspoedige Scheepvaart der Franschen naar Oostindien, onder’t beleit van de Heer Generaal Augustyn van Beaulieu, met drie Schepen uit Normandyen , Beaulieu mengungkapkan sejumlah kebiasaan di dalam praktek pernikahan orang Aceh yang tidak ia pahami. Malah orang Prancis ini menyebutnya sebagai hal yang menarik. Ia mengatakan bahwa sistem itu dijalankan sesuai hukum agama yang berlaku di negeri itu. “Mereka memperistri perempuan sebanyak yang mereka inginkan atau dapat mereka hidupi, tetapi salah satu di antara perempuan itu adalah istri utama dan anak-anaknyalah yang menjadi pewaris sah. Mereka tidak memperlihatkan istri mereka atau mengizinkannya ke luar rumah. Si suami biasanya memperoleh dara muda dan ia harus membayar untuk memperolehnya dari orang tuanya, dan harus memberinya sebagian dari harta bendanya sebagai warisan,” ucap Beaulieu seperti dikutip Lombard. Mengenai harta dalam keluarga, perempuan harus memberikan seluruhnya kepada sang suami. Namun ia tetap menerima sebuah surat yang dapat digunakan untuk mengklaim hartanya itu jika suatu saat mereka bercerai. Sementara jika perpisahan terjadi karena si suami meninggal, istri menerima harta bawaan di luar mas kawin ketika suami menyuntingnya, dan harta itu tidak dapat diklaim oleh pihak manapun. Sedangkan perihal perceraian, Lombard mengatakan jika di Aceh perempuan mendapat beberapa keuntungan yang tidak dikenal di daerah-daerah Islam lain yang lebih ke barat. Suami tidak bisa mencampakkan istrinya begitu saja. Perceraian dapat terjadi apabila keduanya menginginkan hal tersebut. “Jika si suami mempunyai keinginan sedemikian dan si istri tidak, si suami mempunyai piutang berupa maharnya dan harus membayar bunga baru. Demikian juga si istri tidak dapat kawin lagi. Dan mereka terpaksa tinggal bersama, sekalipun mereka tidak bercampur,” ungkap Lombard.
- Pram Minta Karyanya Dikembalikan
Pada September 1965, Pramoedya Ananta Toer mengirim surat kepada Kerajaan Belanda melalui Kedutaan Besar Belanda di Jakarta. Surat itu berisi permintaan Pram kepada pemerintah Belanda agar mengembalikan karya-karyanya yang dirampas saat Agresi Militer Belanda pertama pada 1947. Surat tersebut juga ditembuskan kepada Menteri Jaksa Agung, kantor berita Antara , serta redaksi Lentera Bintang Timur . Pram meminta empat naskah yakni tiga perempat bagian dari naskah Di Tepi Kali Bekasi , novel Sepuluh Kepala Nica dan dua karya terjemahannya. Selain itu, ia juga menuntut Belanda mengembalikan satu buku hariannya. Di Tepi Kali Bekasi ditulis Pram pada 1947 berdasarkan kisah revolusi yang terjadi sejak bulan-bulan pertama revolusi sampai tentara Belanda menduduki Bekasi pada 1946. Bercerita tentang perlawanan para pemuda Indonesia terhadap tentara Jepang, Inggris-India, dan tentara Belanda, serta adanya kontra revolusi dari dalam negeri. Naskah itu dirampas oleh Marinir Belanda pada 27 Juli 1947. Seperempat bagian naskah Di Tepi Kali Bekasi yang bisa diselamatkan kemudian diterbitkan dengan judul yang sama oleh Usaha Penerbitan Gapura, Jakarta pada 1951. Sementara itu, Pram menulis Sepuluh Kepala Nica pada 1946. Menurut Koh Young Hun dalam Pramoedya Menggugat , pada pertengahan 1946 Pram diangkat menjadi perwira persuratkabaran letnan dua yang memimpin 60 prajurit dan bermarkas di Cikampek. Pada masa inilah Pram menulis novel Sepuluh Kepala Nica . Kisah novel ini berangkat dari kejadian-kejadian revolusi selama tiga bulan pertama revolusi Indonesia di Jakarta. Novel ini sama sekali belum pernah diterbitkan. A. Teew dalam Citra Manusia Indonesia dalam Karya Sastra Pramoedya Ananta Toer menyebut naskah Sepuluh Kepala Nica dihilangkan oleh Penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta. Pram juga menuntut dua naskah terjemahannya dikembalikan yakni Moeder, Waarom Leven Wij atau Bunda, Mengapa Kita Hidup? karya Lede Zielens dan terjemahan Het Rijk der Mensen atau Bumi Manusia karya Antoine de Saint-Exupery. Menurut Pram, naskah-naskah itu lenyap ketika ia ditangkap tentara Belanda di rumah tumpangannya di Gang Mangga, Kemayoran, Jakarta, dua hari setelah Agresi Militer Belanda pertama tahun 1947. Bersama penangkapan itu, rumah digeledah dan naskah-naskah Pram pun disita. “Penggeledahan dan penyitaan tersebut dilakukan sampai berulang-ulang kali, terakhir oleh kesatuan dari basis Commando Batavia tentara Belanda,” tulis Bintang Timur , 5 September 1965. Selain karya-karya tersebut, Pram juga menyebut satu buku hariannya yang dirampas tentara Belanda. Buku harian itu tebalnya 5 cm dan terbuat dari kertas kuning buatan Padalarang serta diikat dengan tali sepatu militer Republik. Buku harian ini ditulis pada rentang 1941 hingga 1946. Buku harian ini dirampas dari tangan Soegiarto, seorang bekas kopral dalam Kesatuan Bung Pram, yang ditugaskan khusus untuk mengambil buku harian tersebut. Antara bulan Februari hingga Juni 1947, Soegiarto ditangkap di Bekasi ketika hendak memasuki Jakarta. Ia dijebloskan ke penjara Glodok selama empat bulan. Sementara buku harian Pram langsung lenyap dirampas. Pada 1948, Pram pernah meminta secara lisan melalui Sersan Mayor Vos dari Basis Komando Batavia. Saat itu Pram sedang dipenjara di Bukit Duri. Sersan Vos, terkait naskah Di Tepi Kali Bekasi , menjawab sambil tersenyum: “Oh, itu tulisan tuan sendiri? Interessant .” “Pada akhir surat gugatannya itu, pengarang Pramoedya Ananta Toer menutup bahwa setelah lebih dari 17 tahun naskah-naskah tersebut berada di tangan Kerajaan Belanda, maka sekarang dituntut untuk menyerahkan kembali kepada yang berhak dan jika tidak ada kemungkinan kembali untuk menyerahkannya maka pengarang ini menuntut diadakannya ganti rugi,” tulis Bintang Timur . Menurut Pram, ganti rugi tersebut bukan untuk keuntungan pribadinya melainkan akan digunakan untuk mendirikan sanggar serbaguna dan biro penghimpunan materi-materi sejarah modern Indonesia. Angga Okta Rachman, cucu Pram yang juga mengurusi arsip Pram, mengatakan bahwa ia sendiri belum pernah melihat surat itu maupun mengetahui adakah balasan dari Kerajaan Belanda. "Mungkin dibalas mungkin enggak . Tapi kalau dibalas pun pasti sudah kena vandalisme Oktober 65 di rumah Pram. Yang jelas sampai saat ini, aku nggak pernah liat surat itu di arsip Pak Pram. Juga naskah-naskah dan buku hariannya tidak pernah dikembalikan," ujar Angga kepada Historia . Surat Pram tampaknya memang tak membuahkan hasil. Hingga kini kita tak bisa membaca Sepuluh Kepala Nica , tiga perempat Di Tepi Kali Bekasi, maupun buku hariannya.
- Babi dalam Masyarakat Batak Toba
Keberadaan babi di kota Medan sedang dipermasalahkan. Ribuan massa yang mengatasnamakan gerakan #savebabi menggelar unjuk rasa menolak isu pemusnahan babi. Gagasan ini muncul setelah wabah virus African Swine Fever (ASF) atau Demam Babi Afrika dan Hog Cholera (Kolera Babi) melanda peternakan babi di Sumatra Utara. Untuk mengatasinya, pemerintah didesas-desukan akan memusnahkan babi yang tercemar penyakit dan menertibkan peternakannya. Aksi #savebabi tersebut dilakukan di depan kantor DPRD Sumatra Utara di Jalan Imam Bonjol, Medan. Para pengunjuk rasa umumnya berasal dari suku Batak sebab mereka mengenakan ulos – kain khas Batak – sebagai penanda identitas. Bagi mereka babi mempunyai nilai penting. Selain mata pencaharian, beternak babi tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan Batak. “Kami menentang keras pemusnahan babi, karena kalau babi dimusnahkan berarti sudah menghilangkan budaya Batak. Karena sejak lahir sampai mati, babi jadi budaya di tanah Batak,” kata Boasa Simanjuntak, Ketua Aksi #savebabi dikutip merdeka.com . Jauh sebelum masuknya pengaruh agama Islam dan Kristen, suku Batak Toba (selanjutnya akan disebut Batak saja) memang telah mengenal tradisi beternak babi. Orang Batak yang tinggal di rumah bolon (rumah panggung Batak) menjadikan kolongnya yang lapang sebagai tempat babi berkandang. Dalam bahasa Batak, babi disebut pinahan . Sementara babi yang berumur di bawah tiga bulan disebut lomok-lomok . Binatang ini termasuk cepat perkembangbiakannya dan gampang merawatnya. Menurut budayawan Batak E. St. Harahap, dalam setiap upacara adat babi merupakan sajian umum. Kalau ada tamu terhormat yang berkunjung, sudah selayaknya tuan rumah menyembelih babi sebagai hidangan. Babi mempunyai tempat yang amat luas meliputi segala macam perjamuan, baik dalam perkabungan ataupun perayaan bahagia. Dalam masyarakat Batak lama, babi selalu jadi suguhan bermacam hajatan: pesta perkawinan, pesta memandikan anak, upacara kematian, hingga acara memasuki rumah baru. “Dalam semua peralatan daging babi yang disediakan untuk dibagi-bagikan kepada para tamu dan keluarga, yang disebut jambar ,” ujar Harahap dalam Perihal Bangsa Batak . Pun ketika agama Kristen berkembang di Tanah Batak, mengkonsumsi babi tetap dilakukan. Itu dianggap tidak menyalahi agama. Kendati sebenarnya dalam kitab Injil (bagian buku Imamat) ada perbedaan pandangan soal mengkonsumsi daging babi tersebut. Kultur memelihara babi ikut terbawa ketika orang Batak mengadu nasib ke tanah rantau. Kota Medan menjadi tujuan utama orang Batak mencoba peruntungan. Karena daging babi menjadi makanan bagi kebanyakan orang Batak, maka hewan ini diperjualbelikan di pasar-pasar kota Medan. Di lapo (rumah makan batak), babi termasuk hidangan spesial. Dalam daftar menu, babi disebut dengan kode khusus: B2. Aneka penganan daging babi seperti saksang (atas) dan panggang (bawah). Foto: Wikimedia Commons. Di kota Medan yang heterogen, tidak semua pihak bisa menerima kehadiran babi, baik sebagai makanan ataupun peliharaan. Bagi umat Islam, babi adalah binatang yang dagingnya tidak boleh dikonsumsi. Selain itu, tubuh babi diyakini sebagian pihak bisa menyebarkan penyakit seperti cacing pita serta rentan menjadi medium untuk penyakit jenis epidemi lainnya. Dalam Sejarah Kota Madya Medan 1950-1979 yang disusun Usman Pelly dkk, kebiasaan orang Batak beternak babi kadang menimbulkan gesekan sosial dengan etnik lain. Ketika sebagian orang Batak memelihara babi di belakang rumahnya, itu memunculkan ketidaksukaan tetangga mereka dari suku Melayu. Terlebih jika babi piaraan orang Batak itu "bertandang" ke pekarangan mereka . Kebiasaan memelihara babi memang telah mengakar kuat di sebagian besar keluarga Batak. Kalau sudah begini maka konflik pun tidak terhindarkan. Orang Melayu, Jawa, atau Mandailing biasanya lebih memilih menyingkir dari tempat itu daripada terus berurusan dengan orang Batak Toba. “Penyingkiran ini dianggap merupakan kemenangan bagi orang Batak, karena itu artinya perluasan wilayah mereka dapat dilakukan,” tulis Usman Pelly dkk. Oleh karena itu, selain bernilai ekonomis, babi berfungsi pula mengokohkan eksistensi orang Batak di mana pun mereka berada. Pendapat ini dikemukan oleh antropolog Illinois University Clark Cuningham pada 1958. Dalam penelitiannya The Post War Migration of Toba Batak to East Sumatra yang diterbitkan Yale University Southeast Asia Studies, Cuningham menyatakan bahwa babi bagi orang Batak merupakan alat perjuangan ( instrument of battle ). Hingga kini, di penjuru kota Medan masih dapat ditemui rumah-rumah dalam permukiman yang memelihara babi. Pun demikian dengan rumah makan Batak yang menyajikan penganan babi alias B2. Maka tidak heran apabila orang Batak saat ini menentang habis-habisan apabila babi bakal dimusnahkan.
- Banjiha, Potret Kemiskinan Korea dalam Parasite
LEMBAB, pengap, lusuh, dan suram. Di banjiha , ruang semi bawah tanah berukuran kecil, seperti itulah keluarga Kim hidup di sebuah komplek apartemen padat di Seoul, Korea Selatan. Mereka hidup pas-pasan dengan mengandalkan nafkah ayah sebagai pelipat kardus pizza part-time . Kakak-beradik dari keluarga Kim, yakni Ki-jeong (diperankan Park So-dam) dan Ki-woo (Choi Woo-shik), sampai harus berebut ruang sempit di kamar mandi yang klosetnya lebih tinggi dari lantai untuk mendapatkan sinyal telepon. Keluarga Kim jelas mendambakan punya kehidupan di atas kelayakan. Gambaran kemiskinan di negeri terkaya ke-12 dunia (per 2019) itulah yang ditonjolkan sutradara Bong Joon-ho dalam film black comedy berjudul Parasite . Film itu mencetak sejarah di Academy Awards ke-92 di Dolby Theatre, Los Angeles, Amerika Serikat, Minggu (9/2/2020) malam waktu setempat. Dari dari enam nominasi, Parasite menggondol empat Piala Oscars. Salah satunya, kategori Best Picture alias film terbaik. Parasite menjadi film Asia dan berbahasa asing pertama yang menang kategori prestisius itu. Namun tiada “ butterfly effect ” dalam kegemilangan itu. Kegirangan tim produksi dan para pemerannya di atas panggung Academy Award ke-92 itu tak serta-merta menular ke sesama orang Korea Selatan, terutama para penghuni banjiha . Seperti Song Sung-geun, pria berusia 82 tahun yang tinggal di salah satu banjiha di komplek apartemen area Samseog-dong, Distrik Gwanak, selatan Seoul, misalnya. “Udaranya lembab dan saya tidak suka tinggal di sini. Tetapi saya tidak mampu punya tempat tinggal lain yang lebih baik,” ujarnya pasrah kala berkisah kepada Daisuke Shimizu, koresponden The Asahi Shimbun di Seoul, Senin (10/2/2020). Salah satu penampakan "banjiha" di salah satu kota di Korea (Foto: locationkorea.com ) Penonton di segenap penjuru dunia hingga para juri- voter Piala Oscar mungkin hanya bisa melihat kenyataan itu dari 132 menit Parasite . Pun dengan para awak produksi hingga para pemainnya, hanya merasakan “gregetnya” hidup melarat seperti Song-geun selama masa produksi. Orang-orang seperti Song-geun lah yang benar-benar merasakan realitasnya. Di distrik apartemen yang sama masih ada sekira 200 keluarga seperti Song-geun yang terpaksa tinggal di banjiha . Song-geun sendiri tinggal di sebuah banjiha dengan luas 30 meter persegi tanpa kamar mandi –lebih buruk dari gambaran keluarga Kim di film Parasite . Selain banjiha -nya berudara lembab, jendela hanya setinggi jalan. Maka, itu rentan polusi baik udara maupun air. Bajinha itu juga rentan banjir jika hujan lebat lantaran posisinya berisisipan dengan drainase dari belasan hingga puluhan lantai apartemen di atas kepala mereka. Lingkungannya jelas kurang sehat. Data statistik pemerintah Korsel per 2015 mencatatkan, sekira 360 ribu keluarga tinggal di banjiha di berbagai kota di negeri itu. Sekira 220 ribu di antaranya berada di Seoul, baik yang hak milik maupun sewa. Memang tidak semua yang tinggal di bajinha hidup di bawah garis ‘ kemisqueenan ’. Beberapa dari mereka di merupakan kelas menengah yang tak sanggup membeli tempat tinggal yang lebih laik mengingat tingginya harga properti di “Negeri Ginseng” itu. “Kami mungkin bukan orang paling miskin, namun saya yakin apartemen-apartemen semi bawah tanah adalah simbol kemiskinan,” kata Kim Young-nam, perempuan berusia 61 tahun penghuni banjiha di apartemen Distrik Mapo yang jadi salah satu lokasi pengambilan gambar film Parasite. Bunker Serangan Nuklir Sebelum munculnya film Parasite , jarang ada film-film Korea yang menggambarkan kehidupan masyarakat menengah dan miskin yang tinggal di banjiha . Parasite membuka mata dunia lebih lebar terhadap gambaran lebih utuh Korea sebagai negara kaya. Di balik beragam bidang industri yang gemerlapan, banyak kehidupan sulit masyarakat kelas proletar yang tersembunyi di baliknya. “Tempat tinggal seperti ( banjiha ) di film itu sangat serupa dengan psikologi protagonis kita. Kita menjadi negara kaya dengan sangat cepat. Dan orang-orang yang tak mampu mengejar ketertinggalan, akan merasa tersesat. Dan mereka merasakan inferioritas. Masalah ekonomi bukan sekadar angka. Namun juga tentang emosi yang besar,” tutur Bong Joon-ho, dinukil NPR Illinois , 5 November 2019. Kolase "banjiha" alias apartemen semi bawah tanah yang digambarkan film "Parasite" (Foto: CJ Entertainment) Gedung-gedung apartemen di Korea dibangun sebagai pengganti permukiman tapak yang banyak hancur usai Perang Korea (1950-1953). Utamanya di kota-kota besar seperti Seoul dan Busan seiring Korsel membangun perekonomiannya berbasis industri yang tentu mengundang urbanisasi. “Ekonomi Korea (Selatan) mulai tumbuh sejak awal 1960-an dan telah bertransformasi dari masyarakat pertanian menjadi masyarakat industri. Blok-blok apartemen di kota-kota dan kompleks-kompleks industri juga mulai dibangun,” ungkap Damian Harper dkk dalam Lonely Planet Korea. Kompleks-kompleks apartemen itu mulai dibangun pada 1961. Pemerintahan militer saat itu memercayakan pembangunannya kepada Korea National Housing Corporation. Kompleks apartemen yang dibangun adalah Mapo Apartments, yang dibangun di atas lahan bekas kompleks penjara. “Lalu dilanjutkan dengan Kompleks Apartemen Hangang di Ichondong, Seoul yang merepresentasikan desain terbaru untuk gedung apartemen. Desainnya kemudian ditiru untuk gedung-gedung apartemen lain di Distrik Banpo, Yeongdong, dan Jamsil pada 1970,” tulis Jung In-ha dalam Architecture and Urbanism in Modern Korea. Di tengah pembangunan itu, Korsel tetap dihantui konflik dengan saudaranya dari utara (Korut). Utamanya pada 1968, saat banyak infiltran militer Korut yang berupaya membunuh Presiden Korsel Park Chung-hee. Potensi eskalasi konflik bersenjata kian terasa kala kapal AL Amerika Serikat USS Pueblo ditangkap militer Korut pada 22 Januari 1968. Di tahun itu juga sekelompok infiltran militer Korut menyatroni Blue House (Istana Kepresidenan Korsel) untuk membunuh Presiden Park, namun gagal. Kompleks Apartemen Mapo pada 1963 (Foto: Repro "The Birth of the Apartment A Translated Modernity in South Korea") Sebagai langkah preventif untuk melindungi warganya jika terjadi perang lagi, pada 1970 pemerintah Korsel mengeluarkan kebijakan agar setiap gedung apartemen yang dibangun harus mempunyai ruang bawah tanah sebagai bunker darurat saat terjadi serangan bom maupun nuklir dari utara. “Dalam satu komplek apartemen terdiri dari tiga gedung yang memiliki tangga eksterior, sebuah ruangan semi bawah tanah dan pilotis (dinding penopang beton bertulang, red. ), sesuai kebijakan pemerintah tentang bangunan permukiman yang punya batasan jumlah lantai. Pembangunan ruang semi bawah tanah paling disukai pengembang karena tak terhitung dalam batasan lantai yang ditetapkan pemerintah,” lanjut In-ha. Mulanya, pemerintah melarang setiap pengembang maupun pemilik apartemen menyewakan atau menjual banjiha itu lantaran diperuntukkan khusus untuk situasi darurat. Namun tingginya kebutuhan permukiman akibat kebutnya laju industri dan perekonomian Korsel pada 1980-an membuat pemerintah melegalkan praktik jual-beli atau sewa banjiha untuk hunian.
- Rencana Indonesia Menjual Helikopter ke Iran
Dalam rapat intelijen, Letjen TNI L.B. Moerdani, Asintel Hankam/Kepala Pusintelstrat/Asintel Kopkamtib/Waka Bakin, menyampaikan bahwa Menristek/Ketua BPPT B.J. Habibie melaporkan dalam rapat kabinet akan menjual helikopter Super Puma kepada Iran. Rencana penjualan helikopter Super Puma itu bagian dari kerja sama perdagangan Indonesia-Iran yang ditandatangani pada 1987 dalam bentuk imbal beli ( counter trade ). Sesuai dengan persetujuan, Indonesia akan membeli minyak mentah dari Iran sebanyak 30.000 barel per hari. Sebaliknya, Iran mengimpor barang dari Indonesia dalam nilai yang sama. Namun, pembelian dari pihak Iran kurang lancar sehingga neraca perdagangan Indonesia selalu defisit. Menurut Habibie, Indonesia selama ini mengimpor minyak mentah dari Iran dengan nilai sekitar 100–150 juta dolar Amerika Serikat per tahun. Sementara Iran biasanya membeli barang-barang dari Indonesia, seperti jeans, tekstil, plywood , kopi, dan sepatu. Namun, pasar Iran menjadi jenuh. “Iran masih harus membelanjakan sekitar 200 juta dolar Amerika Serikat untuk barangIndonesia agar neraca perdagangan kedua negara bisa berimbang. Sebagai pilihan lain, Iran tertarik membeli pesawat helikopter dari Indonesia. Ini nilainya jauh lebih tinggi dibanding plywood dan tekstil,” kata Habibie, dikutip Antara , 21 November 1993. Dalam kesempatan memimpin delegasi Iran ke Indonesia pada pertemuan Komisi Bersama Ekonomi Indonesia-Iran kedua (1-3 November 1993), Mohammad Gharazi, menteri pos, telegraf, dan telepon, menyampaikan bahwa Iran ingin membelanjakan sekitar 80 juta dolar Amerika Serikat untuk membeli helikopter dari Indonesia. Sebenarnya, Iran ingin membeli helikopter buatan IPTN sejak awal dasawarsa 1980-an. “Delegasi dari Iran datang ke Indonesia awal 1980 untuk melihat barang yang mungkin bisa dibeli dan mereka tertarik pada helikopter Super Puma buatan IPTN,” kata Habibie. Super Puma TNI AL dengan dummy Exocet. ( lancercell.wordpress.com ). Saat itu tengah berkecamuk perang Iran-Irak (September 1980–Agustus 1988). Pada masa ini, menurut M. Riza Sihbudi dan Indonesia Timur Tengah: Masalah dan Prospek , hubungan Indonesia-Iran berada pada fase pertama (1979-1988) pasca revolusi Iran. Dalam konflik Iran-Irak, Indonesia bersikap netral, berusaha menjaga jarak dengan Iran maupun Irak. Oleh karena itu, rencana penjualan helikopter Super Puma mengundang intelijen untuk menelusurinya. “Kami orang intel ingin tahu apakah Iran hanya akan membeli helikopter kosong atau dengan senjata? Kalau dengan senjata, apa senjatanya?” kata Teddy Rusdy kepada pengamat militer, Salim Haji Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto . Saat itu, Kolonel Teddy Rusdy membantu Benny Moerdani sebagai Paban (Perwira Diperbantukan) VIII Staf Intel Hankam. Dari kajian tentang jual beli senjata dalam perang Iran-Irak, rapat intelijen yang dipimpin Benny Moerdani dan dihadiri Teddy Rusdy menyimpulkan ada sesuatu yang disembunyikan di balik rencana penjualan helikopter Super Puma itu. “Akhirnya, Pak Benny dapat menyingkap bahwa ‘secara tertutup’ helikopter Super Puma akan dipersenjatai dengan peluru kendali Exocet buatan Euromissile negara Prancis dan Jerman,” tulis Servas Pandur dalam biografi Teddy Rusdy, Think A Head . Marsekal Muda TNI Teddy Rusdy ketika menjabat Ketua LPT Taruna Nusantara menerima kunjungan Menhankam Jenderal TNI Benny Moerdani. (Repro Think A Head ). Benny kemudian menugasan Teddy Rusdy segera terbang ke Prancis untuk memastikan apakah pemerintah Prancis mengizinkan Indonesia menjual Exocet ke Iran. Dari Jakarta, Teddy naik pesawat Garuda menuju Singapura. Dari Singapura, dia naik pesawat supersonik Concorde menuju Paris. Sebelum berangkat, dia menelepon rekannya dari Euromissile untuk membuat janji pertemuan. Esok harinya, tepat jam 11.00 pagi waktu Paris, di hotel tempatnya menginap,Teddy bertemu pejabat dari Euromissile. Setelah berbasa-basi, dia menanyakan apakah Menristek/Kepala BPPT B.J. Habibie mendapat persetujuan menjual Exocet kepada Iran? Pejabat Euromissile itu menjawab dengan tegas: “Tidak!” Dia juga menambahkan kalau Habibie melakukannya, akan di- blacklist dan dituntut oleh negara anggota NATO. “Mereka terkejut dan mengancam mengembargo Indonesia jika senjata itu dijual ke negara ketiga,” kata Teddy. Sesampainya di Jakarta, Teddy melaporkannnya kepada Benny bahwa Euromissile tidak tahu dan tidak setuju penjualan Super Puma dilengkapi Exocetkepada Iran. Benny kemudian melaporkannya kepada Presiden Soeharto. “Mendengar laporan intelijen itu, Presiden Soeharto tersenyum, mengangguk-anggukan kepalanya perlahan tapi pasti, sampai hilang senyumnya,” tulis Servas Pandur. “Akhirnya, rencana penjualan senjata itu berhenti di tengah jalan setelah Benny dan saya melapor ke Pak Harto,” kata Teddy. Jenderal TNI L.B. Moerdani menghadap Presiden Soeharto. (Repro Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto ). Salim Haji Said mengkonfirmasi kepada Habibie pada 9 Januari 2012. Habibie membantah akan menjual helikopter Super Puma dengan senjata Exocet kepada Iran. “Saya ini seorang profesional dan tahu mengenai apa arti embargo. Bagaimana mungkin saya akan menjual helikopter kepada Iran yang waktu itu perang dengan Irak dan sedang diembargo oleh Barat. Saya sampaikan rencana penjualan helikopter di sidang kabinet? Never . Silakan periksa semua laporan sidang kabinet di Setneg,” kata Habibie. Selanjutnya, Habibie mengakui, “Saya memang pernah diundang ke Iran waktu itu. Tapi, saya tolak. Saya tidak mungkin kerja sama dengan mereka. Saya tidak mau melanggar embargo. Bisa saja ada orang lain yang menggunakan nama Habibie. Lagi pula kita di Bandung tidak membikin Exocet. Dari mana ceritanya saya mau ekspor Exocet?” Dalam laporan majalah Angkasa disebut bahwa IPTN pernah memodifikasi satu unit AS332F Super Puma milik TNI AL dengan dummy rudal AM39 Exocet yang dipasang di kiri dan kanan . Namun, proyek coba-coba ini tak pernah lagi terdengar kelanjutannya. Pupus bersama krisis moneter yang menghantam pada 1997 -1998 .
- Karpet Merah Piala Oscar dalam Sejarah
Dari sekian nominasi di Academy Awards ke-92 di Teater Dolby, Los Angeles, Amerika Serikat, Minggu (9/2/2020) malam waktu setempat, film Joker jadi sorotan yang paling menonjol. Film yang diadaptasi dari komik itu masuk 11 nominasimeski hasilnya sekadar dua Piala Oscar, di kategori aktor utama terbaik (Joaquin Phoenix) dan musik scoring orisinil terbaik (Hildur Guðnadóttir). Film 1917 yang masuk di 10 nominasi, membawa pulang tiga Piala Oscar.Masing-masing dari kategori sound mixing terbaik (Mark Taylor dan Stuart Wilson), sinematografi terbaik (Roger Deakins), dan efek visual terbaik (Guillaume Rocheron, Greg Butler, dan Dominic Tuohy).Ia mengalahkan Avengers: Endgame yang laris dan populer . Yang menjadi kejutan adalah gemilangnya film Korea Selatan Parasite , yang menyabet empat Piala Oscar sekaligus. Masing-masing dari sutradara terbaik (Bong Joon-ho), naskah orisinil terbaik, film fitur internasional terbaik , dan best picture . Hebatnya, di kategori Best Picture ia mengalahkan The Irishman , Ford v Ferrari , Jojo Rabbit , Joker , Little Women , Marriage Story , 1917 , dan Once Upon a Time in Hollywood . Parasite mencetak sejarah d al am perhelatan Academy Awards , yakni sebagai film Asia pertama yang menang kategori film terbaik. Lantas, bagaimana sejarah Academy Award itu sendiri? Trofi Penyatu Industri Film Semua bermula dari berdirinya Academy of Motion Picture Arts and Sciences (AMPAS)pada 11 Mei 1927. Organisasi itu dinisiasi pemilik rumah produksi Metro-Goldwyn-Mayer (MGM) Louis Burt Mayer. AMPAS didirikan sebagai organisasi yang jadi wadah bagi penyelesaian sejumlah sengketa para pelaku film di Hollywood.Setahun kemudian, Mayer menawarkan ide apresiasi para pelaku film. “Saya menemukan cara terbaik menangani (para pekerja film) adalah dengan mengalungkan medali kepada mereka. Jika saya bisa memberikan mereka piala dan penghargaan, mereka akan ‘saling bunuh’ dalam persaingan produksi film sebagaimana keinginan saya. Itu alasannya Academy Award diciptakan,” ujar Mayer dalam biografi yang dituliskan Scott Eyman, Lion of Hollywood: The Life and Legend of Louis B. Mayer. Para petinggi AMPAS lantas memutuskan pemberian penghargaan Academy Award Merit akan diberikan kepada 17 kategori yang merepresentasikan 17 cabang AMPAS. Mulai dari kategori aktor terbaik hingga penulis naskah terbaik. Namun, baru pada 1929 Academy Awards pertama dihelat sebagai ajang apresiasi karyadan para pelakunya dalam kurun 1927-1928, di Hotel Hollywood Roosevelt. Para pemenangnya ditentukan berdasarkan voting ribuan anggota AMPAS. Nama-nama pemenang sudah diberikan ke sejumlah media cetak dan radio tiga bulan sebelum upacara penganugerahan. Namun kebijakan itu diubah setelah tahun 1930.Nama-nama pemenang baru diberikan ke media beberapa jam sebelum malam penganugerahan, untuk keperluan percetakan suratkabar. Namun, kebijakan itu rawan kebocoran.Pada Academy Awards ke-12, Los Angeles Times sudah memuat bocoran nama pemenangsebelum malam penganugerahan, 29 Februari 1940. AMPAS lalu mengubah kebijakannya untuk Academy Awards ke-13, yang berlaku hingga sekarang, bahwa nama-nama pemenang hanya akan dituliskan di dalam selember kertas tertutup amplop. Amplop itu baru akan dibuka di atas panggung malam penganugerahan. Malam anugerah Academy Awards pertama pada 1929. ( oscars.org ). Trofi dan Julukan “The Oscars” Simbol penghargaan Academy Award berupa trofi berlapis emas 24 karat berbobot 8,5 pon (±3,8 kilogram) dan tinggi 13,5 inci (34,3 sentimeter).Wujud trofi bergaya art deco itu berupa sosok seorang ksatria berdiri di atas gulungan film sambil memegang pedang. Trofi itu didesain Cedric Gibbons, sineas di Hollywood kala itu. “Sketsa desainnya dibuat pada saat dia bosan di rapat komite Academy (AMPAS, red). Saat dia bosan mendengarkan pidato tentang pentingnya imej yang kuat, Cedric Gibbons menggambar sesosok ksatria Perang Salib tanpa pakaian sedang menancapkan pedangnya ke sebuah gulungan pita film,” tulis Anthony Holden dalam The Oscars. Saat Mayer menggagas ajang Academy Award, dia meminta Gibbons membuat trofi apresiasinya. Untuk menyempurnakan desain dari sketsa awalnya, Gibbons menggunakan Emilio Fernández,aktor yang dikenalnyadari sang pacar Dolores del Río, sebagai modelnya. Hasil penyempurnaan sketsa Gibbons itu menjadi acuan pematung George Stanley dalam membuat trofi, dengan pengawasan Guido Nelli dari California Bronze Foundry. Trofi itu dinamai Academy Award of Merit. Sejak 1939, trofi itu lebih beken disebutThe Oscars atau Piala Oscar. Ada tiga individu yang mengklaim sebagai yang pertama mempopulerkan istilah The Oscars. Pertama adalah Bette Davis, aktris yang memenangi trofi itu lewat film Dangerous (1935)di Academy Awards 1936. Ia menyebut trofi itu sebagai Piala Oscar karena sosok ksatria telanjang di trofi itu mengingatkannya pada bokong suaminya, Harmon Oscar Nelson. Austin Cedric Gibbons (kiri) desainer trofi Academy Award of Merit/The Oscars yang lantas dibuat pematung George Maitland Stanley. ( Los Angeles Magazine , Februari 2016/Dok. Keluarga Stanley). Klaim kedua berasal dari Margaret Herrick, pustakawan AMPAS. Mengutip Emanuel Levy dalam All About Oscar: The History and Politics of the Academy Awards , Herrick menyebut nama “Oscar” saat melihat patung emas itu pertamakali pada 1931, merujuk pada nama sepupunya, Oscar Pierce yang acap ia juluki “Paman Oscar”. Klaim ketiga datang dari kolumnis Sidney Skolsky. D i artikelnya yang dimuat New York Daily pada 1934, Skolsky menyematkan kata “Oscar” untuk me ledek trofi itu . “ Will you have a cigar, Oscar ?” tulisnya. “Itu malam Academy Award saya ketika saya menjuluki trofi itu. Saya tak berusaha mengklaimnya secara hukum. Saya hanya ingin membuat trofi itu lebih humanis… Tahun-tahun berikutnya ketika merujuk penghargaan Academy, saya selalu memakai kata ‘Oscar’. Dalam beberapa tahun kemudian nama itu diterima dan diakui. Terbukti nama itu nama yang magis,” kata Skolsky dalam memoarnya yang dirilis pada 1975, Don’t Get Me Wrong, I Love Hollywood. Pada 1939, AMPAS menetapkan julukan “The Oscars” bermula dari Herrick secara tersirat. Sementara,Skolsky diakui sebagai pihak pertama yang menyebut julukan itu secara tersurat.
- Membangun Ulang Pengetahuan Pasca-Merdeka
Proses memerdekaakan diri tidak hanya dilakukan para pendiri negeri ini melalui perjuangan fisik. Upaya jauh lebih mendasar yang dilakukan ialah meningkatkan kualitas manusia melalui pendidikan dan membangun ilmu pengetahuan yang terbebas dari unsur penjajahan. Usai proklamasi, upaya menyebarkan pengetahuan pun dilakukan dalam berbagai aspek, seperti pembangunan institusi pendidikan tinggi atau pengembangan riset. Ada pula upaya memelihara dan mengembangkan pengetahuan untuk tujuan yang lebih praktis. Ilmu pengetahuan tersebut amat dibutuhkan setelah kemerdekaan untuk membangun negara dan mendidik warganya. “Dari pendekatan inilah proyek penelitian ini berjalan. Bagaimana Indonesia pasca-merdeka mencoba membangun kembali budaya pengetahuannya,“ kata Profesor Remco Raben dari Universitas Amsterdam dalam pembukaan seminar “The Construction of Indonesian Knowledge Culture since Independence” di UGM, Rabu, 5 Februari 2020. Upaya mengorganisasi ilmu pengatahuan untuk membangun masyarakat amat kentara pada awal kemerdekaan. Contohnya, pembentukan Sekolah Tinggi Islam –institusi pendidikan tinggi Islam pertama di Indonesia; kini menjadi Universitas Islam Indonesia– di Yogyakarta pada 1946. Upaya membangun institusi pendidikan Islam itu sudah dirintis pada masa pra-kemerdekaan. Masyumi yang sudah punya gagasan untuk menyediakan pendidikan tinggi bagi negara baru ini, menyelenggarakan Sidang Umum Masyumi untuk membahas pembangunan perguruan tinggi Islam tersebut. Hasilnya, pendirian Sekolah Tinggi Islam di Jakarta pada 8 Juli 1945. Dua hari berselang, sebagaimana dicatat Ramlah Mardjoened dalam K.H. Hasan Basri 70 Tahun , para mahasiswa STI mendirikan Persatuan Pelajar Sekolah Tinggi Islam. Namun karena pendudukan Jakarta oleh Sekutu, STI dipindahkan ke Yogyakarta pada 1946. Sebagai presiden pertama, Sukarno juga mendorong para intelektual menciptakan pengetahuan yang dapat dipraktikkan langsung oleh rakyat bawah. Dalam pidatonya kala dinobatkan sebagai doctor honoris causa oleh UGM pada 1951, Sukarno menyebut bahwa dirinya tidak pernah puas pada ilmu pengtahuan bila tidak berguna bagi masyarakat. Pengetahuan tanpa praktik menjadi tak berarti karena kunci pengetahuan ada pada keberguanaannya bagi masyarakat. Upaya mengkonstruksi budaya pengetahuan terus berlanjut. Dalam pidatonya di Univeristas Padjajaran, September 1957, Sukarno menekankan pentingnya membangun karakter berbangsa yang sehat. Guru besar Ilmu Kesehatan Anak UI Profesor Sudjono Pusponegoro juga menekankan pada mahasiswanya betapa penting memahami perubahan sosial ekonomi masyarakat di samping mempelajari ilmu kedokteran. Usaha meningkatkan pengetahuan di era Sukarno cukup berhasil, khususnya dilihat dari cepatnya pertambahan jumlah mahasiswa dan besarnya keterlibatan negara dalam dunia pendidikan. Remco mencatat, ada tiga hal yang mempengaruhi berkembangnya budaya pengetahuan Indonesia pada dekade awal kemerdekaan. Pertama, keinginan untuk membangun negara; kedua , kewajiban sosial akademisi; dan ketiga, keikutsertaan masyarakat untuk membentuk pengetahuan budaya baru. Upaya semacam itu menurutnya bisa dimasukkan dalam kerangka dekonolisasi. Tanggung jawab sosial dan nasional pada para akademisi lebih dititikberatkan untuk keuntungan masyarakat di mana perspektif macam ini amat berbeda dari praktik kolonial. “Kemerdekaan berpengaruh pada perkembangan pengetahuan budaya Indonesia. Di samping itu, sejarah pengetahuan masih terpinggrikan dalam historiografi Indonesia. Padahal, pengetahuan menjadi dasar pembangunan agraria, pendidikan, atau industri pertambangan. Dekolonisasi bisa menjadi alat analisis yang berguna untuk melihat pilihan politik,” kata Remco. Lebih jauh, Remco menjelaskan bahwa sejarah ilmu pengetahuan banyak didominasi oleh epistimologi Barat. Hal ini terlihat jelas pada analisis tajam dan deskripsi kaku antara asal ilmu pengetahuan Barat dan bagaimana Indonesia memaknai, menggunakan, dan memproduksi ilmu pengetahuan. Alasan inilah yang menurutnya penting untuk meneliti ilmu pengetahuan budaya di Indonesia pada dekade awal setelah kemerdekaan. Periode ini memperlihatkan bagaimana kebijakan pemerintah Indonesia menyikapi ilmu pengetahuan peninggalan kolonial. “Ketiadaan diskusi tentang dekolonisasi di Indonesia menajdi menarik sekaligus mengejutkan,” lanjut Remco. Pembahasan tentang konstruksi budaya pengetahuan tersebut lebih lanjut dilakukan dalam seminar yang dihadiri lebih dari 20 peneliti sejarah, di antaranya Mikihiro Moriyama dari Univeristas Nanzen, Eline Kortekaas dari Universitas Amsterdam, dan Didi Kwartanada sebagai peneliti independen. Seminar itu sendiri merupakan program kerjasama antara Universitas Gadjah Mada, Amsterdam, dan Leiden yang didanai Nederlanse Organisatie voor Wetenschappelijk Onderzoek (Dewan Penelitian Belanda) sebagai bagian dari program “Decolonizing Knowledge. Postcoloniality and the Making of Modern Indonesia’s Knowledge Culture 1945-1970”. Dengan menelusuri upaya Indonesia membentuk pengetahuan, penelusuran lebih jauh tentang produksi pengetahuan bisa dilakukan. Selain itu, penelusuran juga tidak hanya berkutat pada institusi formal, seperti pusat penelitian, universitas, dan lembaga yang memegang didominasi konsepsi ilmu pengetahuan Barat namun juga praktik pengetahuan yang berkembang dan hidup di masyarakat.
- Hijrah yang Dibenci TNI
HUTAN Rawakalong, Sumedang pada pertengahan Januari 1948. Kapten Sentot Iskandardinata menatap tajam Letnan Muda Soedarja. Ketika perwira pertama itu menyampaikan pesan Kolonel A.H. Nasution bahwa seluruh pasukan TNI (termasuk Batalyon 27 Tarumangera yang dipimpinnya) diwajibkan melakukan gencatan senjata dengan Belanda, Sentot menyatakan ketidakpercayaannya. Terlebih sebagai konsekuensi dari Perjanjian Renville, seluruh kekuatan Divisi Siliwangi harus meninggalkan Jawa Barat menuju Jawa Tengah dan Yogayakarta. “Apakah kamu tidak salah mendengar perintah,Letnan?” tanya Kapten Sentot. “Jika Kapten tak percaya, ini saya bawakan koran-koran yang memuat hasil perjanjian dengan Belanda itu,” ujar Soedarja sambil menyodorkan seberkas dokumen. Alih-alih menerimanya, Sentot malah menatap kosong tumpukan-tumpukan kertas tersebut. Kekekecewaan yang sama juga dirasakan oleh Letnan Kolonel A.E. Kawilarang, Komandan Brigade II Surjakantjana Divisi Siliwangi. Ketika menerima perintah itu lewat Letnan Islam Salim, dia betul-betul terkejut luar biasa. Walau terpaksa menerimanya, hati Kawilarang tak bisa menyembunyikan kekesalannya kepada pemerintahnya. “Bukan main bencinya saya, ketika mendengar kabar itu. Seperti (mendengar) halilintar di siang bolong rasanya. Tapi kami mampu menguasai diri: tunduk kepada perintah atasan, perintah (pemerintah) pusat,” ujar Kawilarang dalam otobiografinya, Untuk Sang Merah Putih (disusun oleh Ramadhan KH). Awal Februari 1948, para prajurit Siliwangi mulai keluar dari hutan dan gunung di seluruh Jawa Barat. Mereka bukan saja membawa diri mereka masing-masing tetapi ada juga yang mengikutsertakan seluruh anggota keluarganya. Menurut buku Hijrah Siliwangi yang diterbitkan oleh Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat, jumlah keseluruhan peserta hijrah adalah 30.000 orang. Sebagai titik temu seluruh rombongan Divisi Siliwangi dari pelosok Jawa Barat, dipilihlah Cirebon. Dari kota udang tersebut, mereka berangkat ke wilayah Republik dengan menggunakan tiga cara: diangkut dengan kapal laut menuju Rembang, menggunakan kereta api hingga Yogyakarta dan berjalan kaki hingga Wonosobo atau Gombong. Selanjutnya dari kedua kota itu, rombongan menggunakan kereta api dan truk menuju Yogyakarta dan sekitarnya. Saat menuju tempat tujuan hijrah inilah, pihak Belanda dikejutkan dengan performa prajurit-prajurit Siliwangi. Kendati berpakaian compang-compang, mereka tetap menunjukan disiplin tinggi laiknya tentara profesional. Termasuk saat seluruh prajurit harus menyerahkan senjata masing-masing guna diangkut secara terpisah, sesuai kesepakatan dengan pihak pengawas dari Komisi Tiga Negara (KTN). “Berbeda dengan penggambaran yang kerap ditulis koran-koran Belanda bahwa TNI itu sejenis kumpulan perampok dan ekstrimis, mereka justru terlihat seperti pasukan yang sangat teratur dan memiliki disiplin,” ujar Piere Heyboer dalam De Politionele Acties . Namun tak ayal, pandangan merendahkan tetap diperlihatkan oleh pasukan Belanda, terutama para serdadu yang sebelumnya kerap terlibat dalam pertempuran brutal dengan anak-anak Siliwangi. Unit KST (Korps Pasukan Khusus) dan Batalyon Andjing NICA misalnya. Saat pelaksanaan hijrah, mereka sering berlaku sinis dan menghina seperti dilakukan kepada para prajurit dari Brigade II Surjakantjana. Ceritanya, sebelum bergerak ke titik kumpul di Cirebon, pasukan Siliwangi dari wilayah Cianjur, Sukabumi dan Bogor, yang langsung di pimpin Letnan Kolonel A.E. Kawilarang menunggu dahulu di Purabaya (suatu kawasan dekat Cimahi). Mereka dikawal secara ketat oleh satu kompi baret hijau Angkatan Darat Kerajaan Belanda (KST) pimpinan Letnan Pertama Henk Ulrici, yang merupakan tangan kanan Kapten R.P.P. Westerling. Karena merasa berlarut-larut dan tidak pasti, pada suatu kesempatan Kawilarang menanyakakan kepada Ulrichi: kapan pasukannya akan dibawa ke Cirebon? Ulrici menjawab dengan suara keras: “ Ya spoedig. Maar die gekke Kapitein Soegih Arto heft zich nog niet over gegeven en wij weten niet waar hij is” ( Ya, secepatnya, tetapi Si Gila Kapten Soegih Arto -Komandan Batalyon 22- itu belum menyerah dan kami tidak tahu di mana dia sekarang). Mendengar jawaban itu, Kawilarang berang dan langsung membentak Ulrici: “Kepergian Siliwangi tidak ada hubungannya dengan kata “menyerah”! Ini adalah atas dasar perjanjian Indonesia dengan Belanda! Letnan, kalau bicara harus hati-hati dan jangan berteriak-teriak kepada saya!”demikian seperti dipaparkan Soegih Arto dalam biografinya, Pengalaman Pribadi Letjen (Purn.) Soegih Arto . Belum habis rasa marah Kawilarang, tiba-tiba seorang sersan baret hijau beretnis Minahasa (satu etnis dengan Kawilarang) melapor kepada Ulrici bahwa satu lagi kelompok “rampokers” telah datang dan siap bergabung dengan rombongan besar. Tanpa banyak cakap, Kawilarang mendekati Si Sersan itu dan langsung memakinya habis-habisan. Usai dimaki-maki, alih-alih melawan, Si Sersan itu langsung ngeloyor pergi.*
- Merahasiakan Hubungan Uni Soviet-Indonesia
DESEMBER 1949. Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Mohammad Hatta menerima telegram dari Menteri Luar Negeri Uni Soviet Andrei Vyshinsky. Bunyinya: “Atas nama pemerintah Uni Soviet, saya dengan hormat menginformasikan kepada Anda, sejak pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada 27 Desember 1949 di Den Haag, Belanda, pemerintah Uni Soviet memutuskan mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia dan akan membangun hubungan diplomatik dengan Indonesia.” Pada 3 Februari 1950, Hatta memberi balasan kepada pemerintah Uni Soviet. Ia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia telah menerima keputusan pengakuan dari Uni Soviet dan merencanakan hubungan diplomatik dengan negara yang wilayah mencakup Asia dan Eropa tersebut. Saling berbalas telegram itu merupakan bukti hubungan diplomatik kedua negara secara resmi. Namun jika dilihat ke belakang, hubungan Indonesia dengan Uni Soviet sebenarnya telah dirintis sejak 1947. Melalui seorang tokoh muda komunis bernama Suripno, Indonesia telah lama mengincar pengakuan politik negara adidaya ini. Meski hubungan yang dijalin saat itu tidak mendapat pengakuan resmi pemerintah, bahkan terkesan ditutupi dari pemberitaan di dalam negeri. Diplomasi Rahasia Pertengahan 1947, Suripno meninggalkan Indonesia untuk menghadiri kegiatan kongres pemuda sedunia, World Federation of Democratic Youth (WFDY). Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan , menyebut jika Suripno mulai menetap di Praha begitu kongres selesai. Ia ditunjuk oleh Menteri Luar Negeri Agus Salim sebagai wakil Indonesia di Eropa Timur. Ia diberi wewenang menjalin hubungan dengan pemerintah Uni Soviet. Sementara menurut berita Pelita Rakjat, 3 Juni 1948, mandat yang dibawa Suripno di Uni Soviet datang dari Sukarno. Presiden menunjuknya sebagai wakil resmi Indonesia. NJF Zandstra, direktur surat kabar De Vrij Pers di Surabaya, pernah menemukan sepucuk surat bukti mandat untuk membuka hubungan diplomatik dengan Uni Soviet di kediaman Suripno di Yogyakarta. “Ditemukan surat jalan, lengkap dengan stempelnya buat perjalanan Suripno dan sepucuk surat yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno, di mana diberikan kewajiban kepada Suripno untuk mengadakan hubungan persahabatan dengan negara Eropa Timur dan Uni Soviet. Ditemukan juga sepucuk surat balasan dari Rusia yang ditulis dalam bahasa Roes,” tulis Pelita Rakjat , 30 Desember 1948. Rupanya di dalam negeri, hubungan dengan Uni Sovet itu harus dirahasiakan oleh Perdana Menteri Amir Sjarifuddin. Hal itu dilakukan agar hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) tetap terjaga baik. Mengingat pada 1947-1948, sedang berlangsung perundingan antara Indonesia dan Belanda yang ditengahi oleh pihak AS. “Selaku ketua delegasi, Amir Sjarifuddin segan melukai pihak Amerika, yang memimpin perundingan. Lagi pula, delegasi Republik Indonesia mengharapkan bantuan pihak Amerika dalam menghadapi delegasi Belanda. Oleh karena itu, hubungan Uni Soviet-Indonesia tersebut tidak diumumkan,” tulis Muljana. Tidak hanya masa Amir Sjarifuddin, pada periode Kabinet Hatta pun hubungan Uni Soviet-Indonesia tetap dirahasiakan. Hatta pun segan dengan Amerika. Ia tidak ingin keputusan mengumumkan secara terang-terangan hubungan mereka dengan Soviet malah menjadi bumerang bagi usaha di dalam negeri. Apalagi hubungan dengan Soviet masih belum tentu arahnya. Namun melalui Suripno, kata Muljana, usaha diplomatik dengan Uni Soviet akhirnya menjadi jelas, Pemerintah Indonesia sepakat membuka hubungan konsuler pada awal tahun 1948. Diberitakan harian Pelita Rakjat , 28 Mei 1948, kesepakatan kedua negara baru benar terjadi pada 19 Mei 1948. Siaran resmi stasiun radio Moskow menyebut jika penandatanganan perjanjian hubungan diplomatik antara Indonesia dan Uni Soviet telah selesai. Pemberitahuan itu mengejutkan Kabinet Hatta. Suripno akhirnya dipanggil pulang dari Praha untuk memberikan keterangan terkait kesepakatan tersebut. Suripno tiba di Yogyakarta pada 11 Agustus 1948. Setelah memberikan keterangan kepada menteri luar negeri, Suripno didampingi sekertarinya Suparto menghadap Sukarno. Rupanya si sekertaris adalah Muso, salah satu tokoh PKI, yang mengasingkan diri ke Moskow pada 1926. Ia menggunakan nama Suparto demi memelihara keamanannya selama di Indonesia. Rahasia Bocor Setelah pertemuan dengan Sukarno, Suripno dan Muso memberikan ceramah di Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia. Keduanya menceritakan perjalanan hidupnya di Eropa. Tidak lupa mereka memuji-muji Uni Soviet, yang dirasa memfasilitasi keduanya dengan baik. Dalam kesempatan tersebut, Muso mengakui dirinya berandil besar dalam melancarkan proses pengakuan Uni Soviet kepada Indonesia. “Pengakuan itu sangat penting karena Uni Soviet adalah satu-satunya negara yang ditakuti Amerika Serikat,” ucap Muso. Demikianlah, hubungan Uni Soviet-Indonesia yang sekuat tenaga dirahasiakan Kabinet Amir Syarifuddin dan Kabinet Hatta, begitu saja dibocorkan Suripno dan Muso. Dalam waktu singkat, rahasia itu menjadi konsumsi publik. Pihak oposisi, yang banyak beraliran kiri, tidak membiarkan begitu saja kesempatan tersebut, Melalui pers mereka, berbagai tuduhan terhadap pemerintah dilayangkan. Hatta dianggap antek AS. Ia juga dituduh tidak konsisten memberantas imperialisme. Pers Belanda tidak ketinggalan menyebut Indonesia telah terpengaruh komunisme. Pada 22 Agustus 1948, Muso berbicara di alun-alun Yogyakarta. Kegiatan itu dihadiri oleh ribuan masyarakat dan beberapa mahasiswa Uni Soviet. Muso kembali menyebut Uni Soviet sebagai pihak yang berjasa. Ia menyudutkan pemerintahan Hatta dengan menyebut pilihannya dalam menjalankan perundingan Renville adalah kesalahan. “Intinya, Muso membakar hati rakyat dan mengobarkan antipati terhadap Kabinet Hatta,” tulis Muljana. Akibat bocornya informasi terkait hubungan Uni Soviet-Indonesia dari mulut Suripno dan Muso, tuntutan pelaksanaan persetujuan keduanya semakin gencar di masyarakat. Banyak yang menganjurkan, terutama dari golongan kiri, agar Indonesia memihak blok Uni Soviet dalam menghadapi Belanda. Menanggapi hal tersebut, Menlu Agus Salim dalam sidang KNIP menegaskan jika pemerintah tidak menutup pengakuan dari pihak manapun. Pemerintah juga tidak berencana membatalkan persetujuan yang telah disepakati. Mereka hanya perlu menimbang pilihan terbaik demi kepentingan kedaulatan Republik Indonesia.*
- Saat Pesawat Sipil Dihantam Misil
SETELAH pesawat Boeing 777-200ER Malaysia Airlines dengan nomor penerbangan MH17 ditembak jatuh oleh misil/rudal BUK buatan Rusia pada 17 Juli 2014, pesawat Boeing 737 Ukraine International Airline menyusul pada 8 Januari 2020. Pesawat dengan nomor penerbangan PS752 itu dihantam dua misil milik militer Iran. Kedua pesawat menambah panjang daftar pesawat sipil yang celaka dihantam (misil) militer. Iran sendiri pernah mengalaminya 32 tahun silam, menimpa pesawat Airbus A300 Iran Air nomor penerbangan 655 dengan tujuan Tehran-Dubai. Peristiwa itu terjadi tak lama setelah pesawat mengudara dari Bandara Internasional Bandar Abbas, Iran pada pukul 10.17 waktu setempat usai transit. Lantaran situasi di kawasan itu sedang berbahaya akibat Perang Iran-Irak, pilot Kapten Mohsen Reaian, dengan pengalaman 7000 jam terbang, terus melakukan komunikasi dengan menara pengawas. Mohsen diperintahkan untuk menerbangkan pesawat ke ketinggian 14.000 kaki kemudian turun menuju Dubai, dan diperintahkan untuk terus menghidupkan transpondernya serta terus menerbangkan pesawat di atas Teluk Persia. Di pagi itu pula kapal penjelajah Amerika Serikat (AS) USS Vincennes masih berada di Selat Hormuz, Iran setelah melakukan tugas pengawalan kapal-kapal sipil. Pengawalan itu dilakukan karena sejak 1984 kapal-kapal sipil di Teluk Persia mulai menjadi sasaran serangan militer Iran. Upaya itu diambil Tehran untuk menghancurkan suplai logistik lawannya, Irak, maupun negara-negara yang menyokong Irak. Penyerangan meningkat dan intensif setelah Iran menguasai Semenanjung Faw, tepat di seberang Pulau Bubiyan, Kuwait pada Februari 1986. “Tiga kapal tanker berbendera Kuwait dan sepuluh kapal berbendera negara lain yang menuju negara itu diserang pada 1986,” tulis Lee Allen Zatarain dalam America’s First Clash with Iran: The Tanker War, 1987-88 . Selain kapal-kapal kargo yang mengangkut persenjataan Rusia ke Irak, kapal-kapal tanker Kuwait menjadi yang paling sering ditarget militer Iran. “Frustrasi atas dukungan Kuwait terhadap Irak, dan menuntut agar Emir (Kuwait, red .) ‘bertaubat’ dengan mengakhiri dukungannya, Iran berganti-ganti antara mengancam dan mengisyarakatkan perdamaian,” sambung Zatarain. Aksi Iran tersebut membuat Irak melakukan hal yang sama sebagai pembalasan. Setelah Presiden Saddam Husein memutuskan untuk menghancurkan kapal-kapal tanker Iran, satu-satunya medium ekspor minyak Iran, pesawat-pesawat AU Irak rutin berpatroli di Teluk Persia untuk mencari kapal-kapal tanker Iran. Suasana panas itu dirasa membahayakan kepentingan AS, yang saat itu tengah mengkampanyekan “Kemerdekaan Navigasi”. Middle East Force militer AS lalu menyiasatinya dengan mengeluarkan aturan bernama Rules of Engagement (RoE). Isinya antara lain, kapal-kapal perang AS dilarang melakukan tembakan pertama. Tembakan pertahanan diri diperbolehkan setelah target membahayakan tak merespon permintaan identifikasi diri dan peringatan yang dikirimkan. Dengan panduan RoE itulah para komandan kapal-kapal perang AS kerap terlibat dalam tembak-menembak dengan kapal-kapal perang AL Iran baik yang berukuran besar maupun kecil. Pada Februari 1988, kedua angkatan laut terlibat dalam pertempuran laut hebat. Akibatnya, tulis Jack Lewis dalam Worst Plane Crashes in History , “Pada 29 April 1988, AS memperluas cakupan perlindungan angkatan lautnya ke semua pelayaran netral yang bersahabat di Teluk Persia di luar zona ekslusif.” Di areal itulah USS Vincennes ditempatkan pada Juni 1988 untuk menutup celah yang tak mampu dikerjakan oleh pesawat-pesawat AWACS AS. Ketika sedang berada di Teluk Persia yang masuk perairan Oman pada 3 Juli pagi, USS Vincennes menerima kabar dari helikopternya bahwa kapal-kapal patroli Iran telah menembakinya. “Pada 3 Juli, kapal serang cepat Iran keluar untuk menyerang kapal kargo di Teluk (Persia) tak jauh dari surface action group AL AS. Dua kapal tanker mengirimkan panggilan darurat, dan salah satu kapal Iran menembaki helikopter AS,” tulis Kenneth Pollack dalam The Persian Puzzle: The Conflict Between Iran and America . Komandan USS Vincennes Kapten William C Rogers lalu menggerakkan kapalnya mendekati lawan. “Mereka semua melanggar perairan Oman dan pergi setelah dihadapi dan diperintahkan untuk pergi oleh kapal perang AL Kerajaan Oman,” tulis Lewis. Semua kapal yang terlibat konflik itu lalu memasuki Teluk Persia yang masuk ke dalam perairan teritorial Iran. Setelah memperoleh izin menembak untuk pertahanan diri pada pukul 9.39, USS Vincennes mulai melepaskan tembakannya. Meski jauh lebih superior, Vincennes tak mudah menghantam lawannya karena banyaknya kapal Iran yang mayoritas merupakan speedboat bersenjata dengan kecepatan jauh lebih tinggi dari Vincennes . Saat pertempuran tengah sengit itulah Andrew Anderson, petugas di Aegis Combat System Vincennes, melihat sebuah titik yang bergerak mendekati Vincennes di layar radar. NOTAM (Notice to Airmen) pun dikeluarkan awak Vincennes untuk mengidentifikasi titik itu. Bukan hanya oleh awak Vincennes , kontak juga dilakukan awak USS Sides dan USS Montgomery , dua kapal AL AS lain yang berada tak jauh dari Vincennes . Dengan inisiatif sendiri, Kapten Rogers lalu mengarahkan kapalnya ke timur laut untuk bergabung dengan USS Montgomery. Dia memberi tahu Kapten Richard McKenna, kepala Surface Warfare for the Commander of the Joint Task Force, akan menembak pesawat yang dianggapnya sebagai jet tempur Iran F-14 Tomcat itu. “Kapten Richard McKenna yang marah, memerintahkan Rogers kembali ke Abu Musa, tetapi pilot helikopter Vincennes Letnan Mark Collier, mengikuti speedboat Iran ketika mereka mundur ke utara, akhirnya menembaki,” tulis Lewis. Sementara, kontak terhadap pesawat yang bergerak ke arah Vincennes terus diupayakan awak Vincennes dan Sides . Namun, tak satupun panggilan itu mendapat jawaban. Bersamaan dengan itu, pesawat patroli maritim militer Iran P-3 Orion terbang tak jauh dari Iran Air 655. Pilot Mohsen tak menanggapi panggilan Vincennes dan Sides kemungkinan karena menggangap panggilan itu ditujukan ke pesawat Orion. Lantaran 10 kontak –7 via frekuensi militer dan 3 frekuensi sipil– dari Vincennes dan Sides tak berbalas, Kapten Rogers lalu menyimpulkan pesawat yang mendekati kapalnya merupakan jet tempur F-14 Tomcat milik AU Iran. “Pukul 10.24, dengan jet sipil berjarak 11 mil laut (20 km) darinya, Vincennes menembakkan dua rudal darat-ke-udara SM2MR, yang salah satunya menghantam pesawat. Setelah penembakan, kru Vincennes menyadari bahwa pesawat itu merupakan pesawat sipil.” Tak satu pun dari 290 orang –274 penumpang dan 16 awak– di dalam Iran Air 655 yang berada di ketinggian 12 ribu kaki itu selamat. Presiden Ronald Reagan menyatakan penyesalannya atas hilangnya nyawa akibat penembakan itu, Namun, Reagan menyatakan AL AS tak bersalah dalam peristiwa itu. Di PBB, Wapres George HW Bush menyatakan penembagakan itu semata insiden di masa perang. Dalam kampanyenya untuk pemilihan presiden pada 2 Agustus, Bush menyatakan, “Saya tak akan pernah meminta maaf. Saya tak peduli apapun faktanya.” Menlu Iran Ali Akbar Velayati pertengahan bulan itu juga langsung meminta Dewan Keamanan PBB mengutuk AS. Pada 1989, pemerintah Iran membawa kasus tersebut ke International Court of Justice di Den Haag. “Pemerintah Iran berpendapat AS sengaja menembak jatuh pesawat itu sebagai bagian dari upaya untuk membantu Saddam Hussein dalam Perang Irak dengan Iran. Rakyat Iran menyimpulkan penembakan Iran Air flight 655 merupakan peringatan perang total,” tulis buku yang dieditori Reese Erlich dan Robert Scheer, Iran Agenda: The Real Story of US Policy and the Middle East Crisis . Setelah keputusan dari Den Haag keluar pada Februari 1996, AS setuju membayar 61,8 juta dolar –jauh lebih kecil dari tuntutan AS pada Libya atas penembakan pesawat PanAm di Lockerbie, Skotlandia yang mencapai 2,7 milyar dolar– sebagai uang kompensasi. AS tetap menolak pertanggungjawaban secara hukum karena menganggap peristiwa itu murni kecelakaan. Iran tak menerima pendirian AS. “Terlepas dari kesalahan yang dilakukan oleh kru, AS secara hukum bertanggung jawab atas tindakan kapal perangnya berdasarkan hukum internasional. Iran menunjukkan bahwa di masa lalu ‘AS dengan tegas mengutuk penembakan pesawat, baik sipil atau militer, oleh angkatan bersenjata negara lain.’ Iran juga mencatat bahwa ketika Irak menyerang USS Stark , AS mendapati Irak bertanggung jawab penuh dengan alasan bahwa pilot Irak ‘tahu atau seharusnya tahu’ bahwa ia sedang menyerang kapal perang AS,” kata Lewis. “Insiden itu membayangi hubungan Iran-Amerika selama bertahun-tahun.”*





















