top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Awas Cacar Monyet

    Untuk pertama kalinya terjadi kasus cacar monyet ( monkeypox ) di Singapura. Penderitanya seorang warga Nigeria yang tiba di Singapura pada 28 April 2019. Lelaki 38 tahun itu positif terjangkit virus cacar monyet pada 8 Mei. Sebelum ke Singapura, dia menghadiri pernikahan di Nigeria. Dia mungkin mengonsumsi daging hewan liar, yang bisa menjadi sumber penularan virus cacar monyet. “Bulan Mei 2019 dilaporkan seorang warga negara Nigeria menderita monkeypox , saat mengikuti lokakarya di Singapura. Saat ini pasien dan 23 orang yang kontak dekat dengannya diisolasi untuk mencegah penularan lebih lanjut,” kata dr. Anung Sugihantono, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, dalam rilis yang dimuat di depkes.go.id . Kementerian Kesehatan meminta masyarakat tidak panik dengan cacar monyet yang kemungkinan dapat masuk ke Indonesia. Meski demikian, masyarakat diimbau untuk waspada dan menjaga kebersihan. “Sampai saat ini belum ditemukan kasus monkeypox di Indonesia,” kata Anung. Cacar monyet adalah penyakit akibat virus yang ditularkan melalui binatang ( zoonosis ). Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan darah, cairan tubuh, atau lesi pada kulit atau mukosa dari binatang yang tertular virus. Penularan pada manusia, menurut Anung, terjadi karena kontak dengan monyet, tikus gambia dan tupai, atau mengonsumsi daging binatang yang sudah terkontaminasi. Inang utama dari virus ini adalah rodent (tikus). Penularan dari manusia ke manusia sangat jarang. Menurut drh. Soeharsono dalam Zoonosis, Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia Volume 2 , kasus cacar monyet pada manusia pertama kali ditemukan di laboratorium primata di Kopenhagen, Denmark, tahun 1958. Setelah temuan pertama itu, pada 1970, penyakit menyerupai small pox ( small pox-like disease ) ditemukan pada manusia di Zaire, Afrika Barat. Penelitian lebih lanjut membuktikan bahwa penyakit tersebut bukan small pox melainkan cacar monyet. Sejak saat itu, kejadian cacar monyet beberapa kali ditemukan sebagai zoonosis di desa-desa yang terletak di dekat hutan tropik Afrika Barat dan Afrika Tengah (Zaire, Republik Afrika Tengah, Nigeria, Pantai Gading, Liberia, dan Sierra Leone). Soeharsono menjelaskan bahwa sumber penyakit cacar monyet adalah monyet Afrika. Sejauh ini belum diketahui keberadaan cacar monyet pada satwa primata di luar Afrika.Penularan dari monyet ke manusia terjadi secara kontak langsung. Berhubung ada beberapa kasus penyakit yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan monyet, timbul dugaan bahwa nyamuk kemungkinan berperan sebagai vektor penyakit. Berbeda dengan cacar manusia, daya tular cacar monyet ke manusia relatif sulit. “ Oleh karena itu, penyebaran geografik cacar monyet di alam, terbatas di Afrika Barat dan Tengah, terutama di Zaire. Dalam kurun waktu 1970-1986 hanya ditemukan sekitar 400 kasus cacar monyet pada manusia. Kejadian cacar monyet di laboratorium primata Kopenhagen bersifat terbatas dan tidak berlanjut,” tulis Soeharsono. Anung menyebut bahwa cacar monyet pernah menjadi Kejadian Luar Biasa di beberapa wilayah. Tahun 1970 terjadi KLB pada manusia pertama kali di Republik Demokratik Kongo. Tahun 2003 dilaporkan kasus cacar monyet di Amerika Serikat, akibat kontak manusia dengan binatang peliharaan prairie dog yang terinfeksi oleh tikus Afrika yang masuk ke Amerika. Tahun 2017 terjadi KLB di Nigeria. Menurut Anung cacar monyet dapat dicegah dengan cara menerapkan hidup bersih dan sehat seperti cuci tangan dengan sabun; menghindari kontak langsung dengan tikus atau primata; menghindari kontak fisik dengan orang yang terinfeksi atau material yang terkontaminasi; menghindari kontak dengan hewan liar atau mengkonsumsi daging yang diburu dari hewan liar ( bush meat ). Anung berpesan kepada pelaku perjalanan yang baru kembali dari wilayah terjangkit cacar monyet agar segera memeriksakan diri jika mengalami gejala-gejala demam tinggi yang mendadak, pembesaran kelenjar getah bening dan ruam kulit, dalam waktu kurang dari tiga minggu setelah kepulangan, serta menginformasikan kepada petugas kesehatan tentang riwayat perjalanannya. Gejala dan Tanda Masa inkubasi (interval dari infeksi sampai timbulnya gejala) cacar monyet biasanya 6-16 hari, tetapi dapat berkisar dari 5-21 hari. Gejala yang timbul berupa demam, sakit kepala hebat, limfadenopati (pembesaran kelenjar getah bening), nyeri punggung, nyeri otot dan lemas. Ruam pada kulit muncul pada wajah kemudian menyebar ke bagian tubuh lainnya. Ruam ini berkembang mulai dari bintik merah seperti cacar ( makulopapula ), lepuh berisi cairan bening, lepuh berisi nanah, kemudian mengeras. Biasanya diperlukan waktu hingga tiga minggu sampai ruam tersebut menghilang. Cacar monyet biasanya dapat sembuh sendiri dengan gejala yang berlangsung selama 14-21 hari. Kasus yang parah lebih sering terjadi pada anak-anak dan terkait dengan tingkat paparan virus, status kesehatan pasien, dan tingkat keparahan komplikasi. “Kasus kematian bervariasi tetapi kurang dari 10% kasus yang dilaporkan, sebagian besar di antaranya adalah anak-anak. Secara umum, kelompok usia yang lebih muda lebih rentan terhadap penyakit monkeypox ,” kata Anung. Tidak ada pengobatan khusus atau vaksinasi yang tersedia untuk infeksi virus cacar monyet . Pengobatan simptomatik dan suportif dapat diberikan untuk meringankan keluhan .

  • Rabeg, Santapan Sang Raja

    SETIAP mengunjungi kota Serang, Toni selalu menyempatkan diri singgah ke restoran milik Haji Naswi di seberang Rutan (Rumah Tahanan) Serang. Di sana ada satu menu yang selalu dia incar yakni rabeg, makanan yang sulit didapatkan di luar Banten. “Sejak kali pertama mencicipinya pada 2003, saya jadi tergila-gila pada makanan ini,” ujar jurnalis lepas asal Jakarta itu.   Rabeg memang makanan asli Banten. Berbahan dasar daging sapi atau kambing, rupanya nyaris sama seperti semur. Selain rasa manis yang berasal dari kecap, cita rasa rabeg juga diperkaya dengan berbagai bumbu dasar seperti bawang merah, bawang putih dan lada. Ada rasa pedas juga di dalam rabeg. Itu berasal dari campuran rempah-rempah seperti biji pala, jahe, lengkuas, cabe rawit dan kayu manis. Dipercaya semua campuran bumbu tersebut merupakan obat untuk menghangatkan tubuh sekaligus penetralisir kandungan lemak yang dibawa oleh daging sapi maupun kambing. Pembuatannya Mudah Kendati rasanya sangat enak dan khas, pembuatan rabeg bisa dibilang tidak terlalu susah. Terlebih bagi siapa pun yang terbiasa  mengolah makanan. Sebagai catatan, bahan dasar yang sebenarnya paling pas adalah daging kambing. Namun jika anda tidak menyukai daging kambing maka bisa diganti dengan daging sapi.   Cara pembuatannya, kali pertama tentu saja anda harus memilih daging terbaik sebagai bahan utama. Setelah direbus, daging dicincang dalam potongan kecil-kecil lantas dimasukan ke dalam tumisan bumbu yang sudah dihaluskan. Tambahkan kaldu, bekas rebusan daging ke dalam tumisan daging. Biarkan hingga air rebusan menjadi kental dan menyatu dengan potongan daging. Guna mengantisipasi bau khas daging (terutama daging kambing) yang kadang terasa anyir, maka daun salam dan bunga lawang yang beraroma harum bisa dijadikan “penutup”  bau tersebut. Makanan Sultan Tidak banyak penyuka rabeg tahu bahwa makanan tersebut memiliki sejarah yang panjang. Menurut Gagas Ulung dan Deerona dalam Jejak Kuliner Arab di Pulau Jawa , sesungguhnya rabeg tidak akan pernah ada di Banten andaikan salah seorang raja di Kesultanan Banten tidak melakukan muhibah ke tanah Arab. Tersebutlah Sultnan Maulana Hasanuddin alias Pangeran Sabakinking (1552-1570) yang tengah menunaikan ibadah haji ke Mekah. Setelah berbulan-bulan berlayar dari Nusantara maka sampailah sultan dan rombongannya ke suatu pelabuhan bernama Rabigh (terletak di tepi Laut Merah). Rabigh adalah sebuah kota kuno yang sebelumnya bernama Al Juhfah dan saat ini masuk dalam wilayah Jeddah, Arab Saudi. Pada awal abad ke-17, sebuah tsunami besar menghancurkan kota tersebut. Namun beberapa waktu setelah kejadian itu, Al Juhfah dibangun kembali dan malah menjadi sebuah kota yang sangat indah. Sultan Maulana Hasanuddin sangat kagum dengan keindahan kota Rabigh. Dia pun kerap menghabiskan waktu untuk berkeliling kota tersebut. Saat menikmati suasana kota Rabigh, Sultan Maulana Hasanuddin sempat mencicipi satu makanan yang bahan dasarnya terbuat dari daging kambing. Dia ternyata berkenan dengan kuliner khas Rabigh itu. Singkat cerita, Sultan Maulana Hasanuddin pun selesai menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air. Namun kenangan akan Rabigh tidak pernah hilang dari benaknya, terutama kelezatan olahan daging kambingnya. Untuk mengobati kerinduannya, maka dia memerintahkan juru masak istana untuk membuat masakan yang serupa dengan santapan yang dia nikmati saat di Rabigh. Merasa kesulitan dengan permintaan itu, maka sang juru masak menciptakan resep sendiri yang didasarkan pada makanan-makanan khas tanah Arab. Kendati tidak sama persis dengan masakan khas Rabigh, saat dihidangkan Sultan Maulana Hasanuddin menyukainya. “Sejak itulah, makanan yang terinspirasi dari negeri Arab itu, menjadi menu wajib di Istana Kesultanan Banten,” ujar Gagas Ulung dan Deerona. Kalangan istana lalu menamakan makanan eksklusif  santapan raja tersebut sebagai rabigh. Seiring waktu, resep rabigh bocor ke khalayak kemudian menyebar ke seluruh Banten. Hingga akhirnya kata “rabigh” berubah menjadi “rabeg”, yang  kerap dinikmati Toni setiap singgah di kota Serang.

  • Strategi Kooperasi Serikat Buruh Kereta Api

    Buruh kereta api di Hindia Belanda mogok kerja besar-besaran selama hampir tiga bulan. Dari Mei sampai Agustus 1923. Lebih dari 10 ribu buruh kereta api rendahan (penjaga palang kereta, tukang wessel, pengawas rel, juru api, tukang rem, dan kuli plat) milik negara dan swasta turut serta dalam pemogokan. Sebagian besar buruh rendahan kereta api berwadah di dalam VSTP (Vereeniging van Spoor en Tramweg Personeel/Serikat Kerja Buruh Kereta Api dan Trem Listrik). Tuntutan buruh kereta api bertumpu pada kesejahteraan. Tetapi perusahaan kereta api negara dan swasta enggan memenuhi tuntutan tersebut. Mereka memecat buruh demi meredakan mogok kerja. Tindakan perusahaan kereta api beroleh sokongan dari pemerintah kolonial. Pengejaran dan penangkapan menimpa sejumlah tokoh VSTP. Pemerintah kolonial lalu membatasi aktivitas VSTP melalui sejumlah aturan. “Setelah pemogokan tersebut usai, bagian-bagian anti pemogokan ditambahkan pada Hukum Pidana pada bulan Mei 1923 sebagai senjata ampuh untuk penggunaan di masa yang akan datang,” tulis John Ingleson dalam “Pemogokan Buruh Kereta Api”, termuat di Tangan dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh, Sarekat Kerja dan Perkotaan Masa Kolonial . VSTP akhirnya menjadi organisasi terlarang pada akhir 1926. Hilanglah serikat buruh pembela nasib dan kepentingan buruh kereta api rendahan. Yang tersisa hanya Spoorbond (Perhimpunan Pekerja Kereta Api) untuk buruh kelas 1 ( ambtenaar ) seperti juru tulis, teknisi, tenaga administratif, masinis, dan kondektur. Spoorbond memiliki kepentingan berbeda dengan buruh kereta api rendahan. Keadaan buruh kelas 1 lebih baik daripada buruh rendahan. “Mereka adalahpekerja yang bergaji agak tinggi dan memiliki banyak jaminan kerja,” tulis Kalam Jauhari dalam Radikalisasi Buruh Kereta Api di Perkotaan 1914—1926 , tesis di Program Studi Ilmu Sejarah, Universitas Gajah Mada. Nasib buruh rendahan kereta api tidak banyak berubah setelah pemogokan besar-besaran. Jam kerja panjang, ketiadaan jaminan, dan upah rendah. Mereka merasa perlu membuat serikat lagi. Mereka memandang serikat kerja berperan dalam memperkuat posisi mereka di hadapan pemerintah kolonial dan perusahaan. Strategi Kooperasi Tetapi buruh kereta api rendahan menginginkan serikat ini nantinya terlepas dari ikatan atau afiliasi politik manapun dan menahan diri dari konflik terbuka dengan perusahaan dan pemerintah kolonial. Setelah pemogokan buruh-buruh kereta api di bawah VSTP dan perlawanan Partai Komunis Indonesia pada 1926, pemerintah kolonial mulai bertindak keras terhadap aktivitas kaum pergerakan dan organisasi pendukungnya. Karena itu, buruh kereta api rendahan mengubah strategi serikat kerjanya menjadi kooperatif dengan pemerintah kolonial dan perusahaan. Kecenderungan tersebut tampak pada aktivitas Perhimpoenan Beambte Spoor dan Tram (PBST). Serikat buruh kereta api baru ini berdiri di Bandung pada 10 Juli 1927. Pemimpinnya antara lain Wiriaatmadja, Soemodinoto, dan Wiriosoeharto. Beambte berarti buruh rendahan atau buruh kelas 2. Ini menggambarkan latar belakang anggota mereka. Tapi Beambte di sini tidak mencakup semua buruh kereta api rendahan di berbagai perusahaan kereta api. PBST hanya beranggotakan buruh-buruh perusahaan kereta api milik pemerintah (Staats Spoorwegen/SS). PBST menerbitkan surat kabar bulanan bernama Kereta Api untuk menjalin komunikasi antar anggota. Dalam majalah ini termuat banyak kisah suka-duka, kesulitan, dan pengalaman para anggota selama bekerja di perusahaan. Melalui Kereta Api , PBST juga mengumumkan tujuan pendiriannya. “Menjadi suatu perkumpulan yang dapat menyatukan semua pekerja supaya suatu permohonan yang menyangkut kesejahteraan anggota untuk diajukan ke atasan-atasan dapat dimudahkan,” tulis Kereta Api , 15 Agustus 1927. Pembentukan PBST beroleh sambutan hangat dari pemimpin SS dan perusahaan kereta api swasta (Nederlansch Indisch Spoorweg Maatschappij/NISM). Mereka memuji tekad PBST menjauhi aksi politik dan berharap tidak mengulang mobilisasi pemogokan seperti VSTP.   Hingga awal Januari 1928, PBST mempunyai 13 cabang di Jawa dan Sumatra dengan anggota sebanyak 2.000. Anggota wajib membayar uang iuran bulanan ke PBST untuk memastikan aktivitas serikat berjalan. Selain itu, iuran juga berguna untuk membiayai kebutuhan tidak terduga atau mendesak para anggota. Misalnya dana kesehatan, dana pinjaman pendidikan anak-anak anggota, dan dana cadangan jika ada sengketa buruh dengan petinggi perusahaan. Terkait dengan kesejahteraan, PBST mengeluarkan tuntutan perbaikan tunjangan, upah, pengurangan jam kerja, dan perumahan buruh kereta api. Cara mereka menyampaikannya ke perusahaan jauh berbeda dari cara VSTP. Meskipun sebenarnya antara VSTP dan PBST masih beririsan. “Berdirinya PBST adalah atas inisiatif mantan anggota VSTP yang berusaha menghubungkan buruh kereta api dan buruh trem kelas dua,” tulis Razif dalam “Buruh Kereta Api dan Komunitas Buruh Manggarai”, termuat di Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa. VSTP menggunakan bahasa agitatif dan perlawanan, sedangkan PBST memilih menggunakan bahasa diplomatis. Mereka mengajukan tuntutan tersebut melalui surat resmi kepada pemimpin SS sesuai dengan aturan penyampaian pendapat untuk serikat kerja saat itu. Pemecatan Massal Cara lunak seperti ini menyelamatkan PBST dari tindakan represif pemerintah kolonial. Tapi tak bisa menghadirkan banyak perbaikan bagi nasib anggotanya. Situasi ini terlihat ketika depresi ekonomi melanda Hindia Belanda pada 1930-an. Biaya operasional SS membengkak, sedangkan pendapatannya menurun. Akibatnya kemampuan SS menggaji pekerjanya turut melemah. “Perusahaan-perusahaan kereta api baik Staats Spoor dan NIS saling berlomba untuk memberhentikan buruh-buruh dari perusahaan agar ongkos produksi dapat ditekan serendah mungkin,” tulis Razif. Dorongan penghematan ini berasal dari pemerintah negeri induk Belanda melalui De Graaf, Menteri Urusan Tanah Jajahan. Pemecatan buruh kereta api mengurangi jumlah anggota PBST. Keadaan ini berimbas pada isi kas PBST. Bila anggota PBST kena pemecatan, mereka tidak bisa membayar uang iuran. Dan bila uang iuran tidak dibayar, status keanggotaan mereka hilang. Ujungnya, jumlah dana darurat untuk para anggota merosot drastis justru pada masa sulit. PBST memang telah bergabung ke Persatoean Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN) sejak 12 April 1930. Tujuannya untuk memperkuat posisi PBST dalam negosiasi dengan pemerintah dan perusahaan untuk mencegah pemecatan. PVPN merupakan federasi serikat buruh pegawai negeri di Hindia Belanda. Mereka menentang pemecatan buruh perusahaan milik pemerintah selama masa depresi. Keberatan-keberatan mereka tertulis dalam surat resmi kepada pemimpin perusahaan dan pemerintah. Serupa dengan cara perlawanan PBST. Tetapi perlawanan mereka tidak mengubah keputusan pemerintah.   PBST masih bertahan hingga beberapa tahun setelah depresi. Tetapi jumlah anggota dan perannya semakin merosot. Mereka tidak mampu berbuat banyak untuk mengangkat tingkat kesejahteraan buruh kereta api.

  • Menyambut Koleksi Kurasawa

    MASA pendudukan Jepang telah lewat 74 tahun silam. Namun masih banyak misteri yang belum tuntas. Buku Bibliografi Beranotasi Sumber SejarahMasa Pendudukan Jepang di Indonesia ini bertujuan menjadi pintu gerbang bagi peneliti muda Indonesia. Buku ini memuat daftar lengkap sumber-sumber sejarah primer dari berbagai tempat. Selain koleksi Kishi Koichi dan koleksi Nishijima Shigetada yang sebelumnya sudah dikenal para peneliti, buku ini mendata sumber-sumber dari lembaga resmi seperti Lembaga Kajian Pertahanan Jepang (NIDS), Arsip Departemen Luar Negeri Jepang, dan Perpustakaan Parlemen Jepang. Selain itu, buku ini memuat sumber-sumber arsip dari Asahi Shinbun , salah satu penerbit suratkabar resmi pada masa pendudukan Jepang, terutama di Jawa dan Borneo (Kalimantan). Pada masa itu ada Jawa Shinbun dan Borneo Shinbun yang terbit di bawah Asahi Shinbun .    Yang paling menarik dari daftar sumber dalam buku ini adalah koleksi pribadi milik Aiko Kurasawa, sejarawan Jepang. Kurasawa-sensei telah meneliti Indonesia selama lebih dari 50 tahun dan mengumpulkan banyak sumber primer. Dokumen-dokumen yang dikumpulkannya meliputi catatan harian, dokumen pribadi dari pelaku/saksi sejarah, dan beberapa dokumen yang tidak diketahui lagi lokasi penyimpanannya.   Dengan menyajikan daftar inventaris yang lengkap, buku ini berfungsi sebagai penuntun awal bagi para peneliti untuk melihat langsung sumber arsip dan dokumen pada masa pendudukan Jepang. Lebih jauh, buku ini dapat menjadi batu pondasi untuk menyelami sumber-sumber primer guna meningkatkan pengetahuan kita sendiri. Judul: Bibliografi Beranotasi Sumber Sejarah Masa Pendudukan Jepang di Indonesia. Penyusun: Aiko Kurasawa dan Mitsuko Nanke.Penerbit: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Terbit: Jakarta, 2018. Tebal: 266 halaman. Tantangan bagi Peneliti Muda Memang, sebagian besar sumber arsip dan dokumen ini ditulis dalam bahasa Jepang.  Bagi peneliti Indonesia, mempelajari bahasa Jepang tentu menjadi tantangan tersendiri. Bukan hanya sekadar untuk berbicara, tapi membaca naskah. Terlebih naskah tulisan tangan. Pula, dalam bahasa Jepang dari masa Perang Dunia II. Bahasa Jepang, seperti bahasa-bahasa lainnya, mengalami perubahan dan perkembangan drastis. Bahasa Jepang masa Perang Dunia II jelas berbeda dari bahasa Jepang abad ke-21. Bekerjasama dengan peneliti Jepang adalah salah satu cara mengatasi tantangan ini. Saat ini, penelitian sejarah tidak bisa mengabaikan aspek kerjasama antarpeneliti dari berbagai bangsa. Dari kerjasama ini diharapkan akan tumbuh generasi baru Indonesia yang benar-benar ahli membaca arsip dan dokumen sejarah Jepang. Dengan kemahiran berbahasa yang mumpuni, peneliti muda Indonesia tentu akan punya andil yang penting dalam mengembangkan teknis membaca dan menafsir sejarah.  Selain itu, dari daftar sumber-sumber primer ini terlihat bahwa masih ada banyak kisah sejarah yang belum sepenuhnya digarap. Kisah-kisah ini masih terpendam, belum sepenuhnya dipahami, atau masih perlu ditafsir-ulang. Ini adalah lahan yang terbuka lebar bagi peneliti muda Indonesia. Jalan Masih Panjang Di samping arsip dan dokumen dari zaman penjajahan Jepang, sesungguhnya masih ada banyak foto dan film yang belum seluruhnya diinventaris lengkap dan dikategorisasikan. Foto dan film adalah juga sumber sejarah penting. Karena itu, perlu kiranya ada usaha untuk melengkapi ini. Buku ini diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan tujuan untuk menyebarluaskan upaya pengembangan penulisan sejarah. Dengan menggunakan dana publik, buku ini tidak untuk dijual. Kiranya, buku ini dapat diperoleh dengan mudah, tak terkecuali bagi para peminat sejarah di tanah air. Acara peluncuran buku ini akan berlangsung pada 26 Juni 2019 di perpustakaan Universitas Rikkyo, Tokyo, dengan dihadiri Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid sebagai pembicara utama. Juga akan berlangsung seminar yang akan dihadiri sejumlah peneliti Jepang antara lain Nakamura Mitsuo, Hayase Shinzo, dan Himemoto Yumiko.

  • Samurai dalam Pembantaian Banda

    PULAU kecil di bawah Maluku ini memang tidak semewah Batavia. Tapi ketenarannya mampu memikat orang-orang dari belahan bumi lain untuk datang dan menguasai kekayaan alamnya yang begitu melimpah. Dalam The Banda Islands: Hidden Histories & Miracles of Nature,  disebutkan sebelum VOC datang menguasai kepulauan Banda, Inggris telah lebih dahulu melakukan kontak dengan masyarakat di sana. Mengetahui adanya ladang rempah yang sangat melimpah di Banda, Belanda pun merangsak masuk. Kedua negara penjelajah itu akhirnya bersinggungan, dan melakukan cukup lama perang untuk menentukan kekuasaan pulau. Belanda sendiri baru memasuki Kepulauan Maluku pada 1607 saat membantu penguasa Ternate mengusir pasukan Spanyol dari negerinya. Setelah itu, pada 26 Juni 1607, Belanda melakukan perjanjian dengan Kesultanan Ternate untuk mendapatkan hak monopoli perdagangan rempah-rempah. Dalam perang tersebut, masyarakat Banda yang dimotori oleh orang-orang kaya sebagai penguasa pribumi, lebih berpihak kepada Inggris. “Orang Banda itu cukup cerdik. Mereka lebih suka berbisnis dengan orang Inggris dibandingkan dengan orang Belanda,” kata Meta Sekar Puji Astuti, saat mengisi seminar “Peran Samurai dalam Pembantaian Banda (1621) dan Maluku (1623): 400 Tahun Keterlibatan Orang Jepang di Maluku”, yang diadakan oleh Program Studi Jepang FIB UI. Lama kelamaan, baik Belanda maupun Inggris lelah dengan perang yang mereka lakukan. Keduanya pun sepakat untuk mengakhiri konflik dalam perundingan. Hasilnya, Belanda rela memberikan New Amsterdam, Manhattan (sekarang New York), kepada Inggris demi mendapatkan pulau penghasil pala satu-satunya di dunia tersebut. Berawal dari Dendam Setelah mendapat hak atas kepulauan Banda, Belanda segera melakukan kontak dengan masyarakat Banda. Admiral Pieterszoon Verhoeven, pemimpin Belanda, tiba di Banda pada 1608 untuk bernegosiasi. Mereka mencoba mendekati orang-orang kaya, yang memimpin masyarakat di sana. “Ketika mencoba bernegosiasi, orang-orang Banda ini malas bertemu dengan orang Belanda,” kata Meta Orang-orang Banda menaruh curiga kepada Belanda saat mereka datang dengan membawa pasukan, serta persenjataan lengkap. Akhirnya orang-orang Banda ini mengelabui Belanda, dengan mengarahkan mereka ke satu tempat yang sudah dipersiapkan sebagai tempat pertemuan. Tanpa menaruh curiga, Verhoeven pun menyutujui pertemuan tersebut, karena merasa perlu mendapat kepercayaan dari orang-orang Banda seperti yang Inggris terima. Verhoeven pun ditemani oleh beberapa bawahannya. Namun setelah sampai di tempat pertemuan, Verhoeven tidak menemukan siapapun. Ia lalu menyuruh penerjemahnya, Adriaan Ilsevier, untuk mencari penduduk Banda. Bukannya sambutan yang terima, Ilsevier malah dihadang oleh banyak orang bersenjata. Penerjemah itu lalu menjelaskan bahwa kedatangan mereka dimaksudkan untuk melakukan negosiasi seperti yang telah dijanjikan. Ia bahkan menyebut bahwa Verhoeven datang dengan damai, sebagai buktinya mereka tidak membawa satupun tentara. Namun orang-orang Banda itu tidak mempercayai perkataan Ilsevier. Setelah mendengar laporan dari penerjemahnya, Verhoeven sangat kecewa dan marah. Namun saat hendak pergi, orang-orang Banda itu menyerang. Sang admiral dan beberapa orang bawahannya tewas dalam serangan mendadak itu. “Verhoeven tewas seketika dan kepalanya ditancapkan di atas tombak oleh orang-orang Banda , ” tulis Willard A. Hanna, dalam The Banda Islands: Hidden Histories & Miracles of Nature. Penyerangan orang-orang Banda tidak berhenti sampai disitu. Mereka segera menyerbu tentara Belanda yang tidak siap bertempur. Hanya beberapa orang yang selamat dari penyerangan itu, salah satunya adalah juru tulis Verhoeven, Jan Pieterszoon Coen. Jan Coen sangat marah, dan diliputi rasa ingin balas dendam yang sangat besar kepada orang-orang Banda. Ia lalu kembali ke negeri Belanda. Karirnya yang baik membuat Jan Coen dengan cepat meraih posisi gubernur jenderal Hindia Belanda. Sebagai permulaan, Jan Coen membangun kekuatan tempurnya di Batavia. Ia menghimpun armada kapal besar sebelum bertolak ke Banda. Samurai Dilibatkan Bergabungnya para samurai dengan tentara VOC bermula dari kemelut yang terjadi, sekitar tahun 1600, di negerinya. Perang penentu kekuasaan Jepang, yang dikenal sebagai Perang Sekigahara, telah memecah dua kekuatan para samurai di negara tersebut. Sebagai pihak yang menang, Tokugawa Ieyasu dan para samurai pengikutnya berhak memegang kekuasaan. Sementara mereka yang kalah menjadi ronin –samurai tak bertuan. Jumlahnya tidak main-main, ada lebih dari 100.000 samurai yang kehilangan tuannya. Oleh karena tidak mendapat tempat di negerinya, para ronin itu mulai bekerja sebagai tentara sewaan. Lalu bagaimana para samurai itu dapat berhubungan dengan Belanda? Mengingat sebelum Restorasi Meiji, Jepang merupakan negara yang sangat tertutup terhadap bangsa asing. Meta menjelaskan bahwa pada 1600, Jepang belum menerapkan politik isolasi di negaranya. Namun walau begitu, tidak semua bangsa dapat keluar masuk wilayah Jepang seenaknya. “Pada waktu itu negara Eropa satu-satunya yang boleh melakukan kontak dengan Jepang adalah Belanda. Sebelumnya Portugis, tetapi mereka bermain agama sehingga orang Jepang mengusirnya keluar,” kata Meta. Belanda, yang berjanji hanya melakukan misi perdagangan, masuk ke Jepang melalui sebuah pelabuhan kecil di Hirado. Tetapi tidak lama setelah melakukan kontak di sana, Belanda memutuskan pindah ke Dejima, Nagasaki, karena merasa membutuhkan wilayah dagang yang lebih besar. “Satu tempat administrasi khusus untuk Belanda ada di Hirado dan Dejima,” lanjut Meta. Pemerintah Belanda yang mengetahui keberadaan para ronin itu akhirnya menyewa mereka untuk kepentingan-kepentingan penaklukan mereka. Para ronin itu ditempatkan pada satu kesatuan khusus. Dalam De archieven van de Verenigde Oosteindische Compagnie, yang disimpan oleh arsip nasional Belanda di Den Haag, pada 23 Januari 1613 Hendrik Brouwer mengirim surat resmi dari pemerintah Belanda kepada Pieter Both untuk menyewa para samurai tersebut. Awalnya pemerintah Belanda berencana membawa sekitar 300 samurai, tetapi karena pengeluaran selama pendudukan terlampau besar, akhirnya mereka hanya dapat menyewa 68 orang samurai saja, termasuk 9 tukang kayu, 3 pandai besi, dan beberapa pekerja kecil lainnya. Para samurai yang terpilih kemudian menandatangani sebuah kontrak dengan pemerintah Belanda. Mereka juga harus mematuhi seluruh peraturan yang dibuat. Salah satunya adalah larangan untuk bermain perempuan. “Mereka tidak boleh berkelahi sesama mereka, tidak boleh melakukan gambling (judi), tidak boleh bermabuk-mabukan. Mereka juga harus mengikuti perintah atasannya. Kemudian tidak boleh membuat kekacauan,” terang Meta. Awal Pembantaian Setelah seluruh persiapan dirasa matang, pada 1621, Jan Coen akhirnya berangkat menuju Banda. Kali ini mereka sama sekali tidak berniat untuk berunding, apalagi berbaik hati kepada orang-orang Banda. Jan Coen segera memerintahkan pasukannya untuk menguasai Banda beserta isinya. Jan Coen lalu mengumpulkan seluruh rakyat Banda di sebuah lapangan besar untuk menyaksikan eksekusi orang-orang kaya, yang dahulu hampir membunuh dirinya. Di sinilah peran para samurai itu dimulai. Mereka dilibatkan dalam pasukan VOC sebagai eksekutor karena pemerintah Belanda tahu kemampuan berpedang para samurai itu, ditambah senjata yang mereka gunakan dapat dengan mudah memotong tulang. Meta menjelaskan bahwa para Samurai Jepang ini mengeksekusi 8 orang kaya, dan beberapa penduduk lainnya, yang sebelumnya ditempatkan di sebuah kurungan yang sangat kecil. Orang-orang kaya itu dipenggal, dan tubuhnya dibagi menjadi empat bagian.. Kemudian kepalanya diseret di depan umum. Tujuan dari VOC melakukan eksekusi publik itu adalah untuk memperingatkan penduduk lain yang berani berbuat macam-macam dengan pemerintah Belanda. Menjadi Korban Berbeda dengan di Banda, para samurai Jepang yang ada di Maluku justru menjadi korban tentara VOC. Pada 1623, para samurai yang ada di Maluku ini merupakan tentara yang disewa oleh pemerintah Inggris. Pembantaian terhadap para samurai dan beberapa orang yang terlibat dengan pemerintah Inggris dilakukan karena Belanda curiga Inggris menyewa para samurai itu untuk memata-matai mereka. Suatu ketika ada seorang samurai yang sedang berkeliling di dekat benteng milik pemerintah Belanda. Ia kemudian berhenti dan bertanya kepada tentara Belanda mengenai cara menjaga benteng tersebut. Merasa curiga, tentara Belanda lalu menangkap samurai tersebut. Sejak saat itu, Belanda mulai melakukan penangkapan terhadap tentara Inggris dan samurai Jepang. Hingga akhirnya mereka dieksekusi. Menurut data yang diperoleh dari catatan pemerintah Inggris, dalam amboyna.org , ada 10 orang Inggris dan 9 samurai yang dieksekusi oleh pemerintah Belanda. “Meskipun orang Jepang itu jumlahnya sedikit yang terlibat dalam pembantaian Banda dan Maluku, tetapi sejarah ini menjadi sejarah yang sangat signifikan dalam sejarah dunia khusunya di kolonialisme,” kata Meta.

  • Kala Bandung Dilanda Bingung

    TERSIARNYA berita pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 tidak hanya membuat suka cita, tetapi juga kebingungan. Bandung menjadi salah satu daerah yang mengalami situasi tersebut. “Seperti halnya di berbagai tempat, di sini pun telah ada bermacam-macam kelompok lokal yang sulit dikoordinasikan berhubung rapinya pengawasan Jepang,” tulis A.H. Nasution, dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 1 . Namun walau begitu, para pemuda Bandung tidak kehilangan cara untuk mengabarkan proklamasi,. Alih-alih kehilangan nyali, mereka malah lebih bersemangat untuk menyiarkan berita kemerdekaan Indonesia di kotanya. “Dengan menaiki sepeda masing-masing, kami bergegas ke balai kota, menemui shicho (walikota). Pada waktu itu walikota adalah Pak Atmadinata. Beliau sudah berumur,” kenang Achmad Tirtosudiro dalam biografinya, Jenderal dari Pesantren Legok: 80 Tahun Achmad Tirtosudiro karya Rayani Sriwidodo. Misi utama para pemuda itu adalah meminta walikota untuk menginstruksi penurunan bendera Jepang yang tersebar di sudut-sudut kota Bandung, dan segera menggantinya dengan mengibarkan bendera merah putih.Di antara mereka yang pergi menemui walikota ada Mashudi (pangkat terakhir Letanan Jenderal dan mantan gubernur Jawa Barat), serta Achmad Tirtosudiro (pangkat terakhir Letnan Jenderal). Setelah berhasil bertemu, Achmad dan Mashudi langsung meminta jawaban walikota atas situasi kemerdekaan tersebut. Tetapi bukannya mendapat arahan yang tegas, Atmadinata malah kebingungan. Para pemuda yang tidak sabar mendesak walikota untuk segera mengambil tindakan sebelum situasi bertambah kacau. Namun bukannya mengambil sikap, sang walikota malah nyaris menangis karena bingung, tidak berani menentukan tindakan apa yang harus diambil sebelum ada instruksi resmi. Dalam situasi yang semakin tidak menentu karena ketidaktegasan sang walikota, para pemuda itu segera pergi menemui syucho (residen). Saat itu karesidenan Priangan dipimpin oleh Puranegara. Namun setelah berhasil menemui residen, lagi-lagi para pemuda tidak mendapat perintah yang jelas dan tegas. Mereka malah kembali harus melihat ketidakmampuan para pemimpin untuk menentukan sikap dalam situasi yang harus serba cepat itu. “Kami, para pemuda yang sedang haus-hausnya akan kepastian tindakan yang seharus dilakukan ketika itu, malah tidak mendapat pengarah sama sekali,” kata Achmad. Nasution menyebut bahwa pertimbangan-pertimbangan militer dari para pemuda Bandung mengalami jalan buntu. Mereka memutuskan untuk menunggu instruksi dari Jakarta. Keyakinan para pemuda dan barisan rakyat Bandung sangat besar terhadap para pemimpin di pusat. "Suatu keyakinan yang ternyata sangat naif. Dan seharusnya kita jangan berat sebelah dalam memperhitungkan pemberontakan secara militer," tulis Nasution. Tanpa di sangka-sangka, beberapa kelompok rakyat Bandung melakukan pergerakan. Walau masih ragu-ragu, karena tekanan polisi Jepang, tetapi mereka sudah berani turun ke jalan. Mahasiswa dan masyarakat bersatu melakukan aksi demonstrasi. Senjata dan kendaraan milik pasukan Jepang dengan cepat diliucuti.

  • Ketika Rumah Susi Susanti Nyaris Dibakar

    KENANGAN pahit itu masih mengendap di kepala Alan Budikusuma kendati sudah 21 tahun berlalu. Kala sebagian etnis Tionghoa yang tergabung dalam tim Thomas dan Uber Cup Indonesia sedang berjuang di Hong Kong untuk mempersembahkan Thomas dan Uber Cup kepada ibu pertiwi, etnis Tionghoa di tanah air justru jadi mangsa saat negeri tengah dilumpuhkan huru-hara.  “Konsentrasi tim tuh pecah. Bingung dengan keadaan di tanah air pada 1998 itu. Pusing kita, sempat berpikir, gimana ya? Apa mereka masih bisa bertanding dengan situasi seperti ini?,” tutur Alan mengingat 21 tahun lalu saat ditemui Historia di Kelapa Gading. Kerusuhan rasialis di tanah air pecah pada 13-14 Mei 1998. Jelas saja mental para pemain terpengaruh. Mereka yang beretnis Tionghoa mengkhawatirkan kondisi keluarga masing-masing. Alan yang turut dalam tim sebagai asisten pelatih, merasakan betul kecemasan mendalam istrinya (Susi Susanti) akan keluarganya di Tasikmalaya. “Keadaan semua panik dan cemas. Apalagi rumah orangtua Susi di Tasikmalaya itu sudah hancur, kaca jendela sudah habis. Mau dibakar (massa) rumahnya,” imbuhnya. Alan Budikusuma menceritakan 21 tahun lalu ketika tim bulutangkis berjuang di tengah situasi prahara. (Randy Wirayudha/Historia) Dewi Anggraeni dalam Mereka Bilang Aku China: Jalan Mendaki Menjadi Bagian Bangsa menyingkap, ayah Susi, Risad Haditono (Ong Siong Lie) nyaris jadi bulan-bulanan massa. Gerombolan massa sudah pasang target untuk membumihanguskan rumah peraih medali emas pertama Olimpiade bagi Indonesia itu. “Ayah Susi waktu itu sedang sendirian di rumah. Lalu dia mendengar bunyi-bunyi gerombolan massa. Mereka berteriak, ‘Bakar Rumah Susi Susanti!’ dan melemparkan batu. Untunglah ayah Susi sempat mencari perlindungan dan terhindar dari cedera fisik. Ternyata massa bukan dari warga lokal, melainkan orang luar,” tulis Dewi. Risad sudah lebih dulu diamankan para tetangga dekatnya. Rumahnya pun akhirnya urung dibakar massa tak dikenal berkat campur tangan warga sekitar. “Kebetulan tetangga-tetangga ini kan dekat hubungannya walau mereka bukan Tionghoa. Sudah seperti saudara. Mereka yang bantu. Yang mau bakar rumah Susi dihalau oleh mereka,” sambung Alan. Keluarga Alan sendiri di Surabaya dalam kondisi aman. Situasi Kota Pahlawan relatif kondusif. Pengalaman keluarga Susi itu jadi hal yang luput dari jaminan yang sebelumnya diberikan ketum PBSI. Saat kejadian, manajer tim mengeluarkan kebijakan membolehkan para pemain mengontak keluarga masing-masing di tanah air. “Kami semua dikumpulkan, dimintai alamat rumahnya, keluarganya, kemudian beliau (manajer tim, red. ) berpesan: ‘Sekarang kita di sini baru berjuang, keluarga yang ada di Indonesia dijamin aman.’ Beliau sampaikan itu, kemudian kita sendiri jadi termotivasi ya, apapun yang terjadi di Indonesia, ya kita lagi berjuang, kita membawa nama merah putih. Apapun itu, sebisa mungkin kita semaksimal yang kami mampu pada saat itu,” ujar Sigit Budiarto, anggota tim Thomas, kepada Historia . Sigit Budiarto, salah satu anggota tim Thomas 1998 Indonesia. (Randy Wirayudha/Historia) Alan ditunjuk jadi koordinator urusan mengontak keluarga masing-masing. “Jadi saya yang bantu anak-anak, meng- arrange kalau ada butuh apa-apa. Jadi kamar saya yang di- open (sambungan) telefonnya untuk mengontak masing-masing orangtua,” ujarnya. Toh , kebijakan itu tak menghilangkan rasa cemas masing-masing pemain. Terutama buat tim Uber, yang gagal di partai puncak setelah dibekuk China 1-4 pada 23 Mei 1998.  “Kami terganggu? Iya. Tapi tugas tetap berjalan. Susi sendiri menang tapi timnya kalah. Tapi syukur putranya (tim Thomas) masih bisa menang,” imbuh Alan lagi. Tim Thomas menang 3-2 atas Malaysia sehari setelahnya. Sigit yang berpasangan dengan Candra Wijaya di partai pamungkas, ganda putra, menjadi penentu kemenangan itu. “Itu momen pertamakali saya ikut Thomas Cup. Alhamdulillah kita bisa pertahankan, itu jadi suatu kebanggaan tersendiri. Pada saat Indonesia terjadi huru-hara sampai sedemikian rupa ya pada saat itu, kami di sana sedang berjuang dan kemudian kita menang. Merah Putih berkibar, nyanyi ‘Indonesia Raya’, kemudian kita pulang juga dengan suasana yang berbeda ya. Kita diterima dengan presiden yang lain. Kepada kita, presiden (BJ Habibie, red. ) berterimakasih sudah memberikan yang terbaik buat bangsa Indonesia,” kata Sigit menutup obrolan.

  • Gaya Rambut Nabi Muhammad

    Penyanyi religi Aunur Rofiq Lil Firdaus alias Opick mengaku membawa sehelai rambut Nabi Muhammad Saw. Dia menerimanya dari Dewan Dakwah dan Pemerintah Turki, saat dia dan istrinya, Bebi Silvana, berbulan madu ke Timur Tengah.  “Opick menceritakan, sehelai rambut Nabi Muhammad Saw. itu telah dijaga 100 pasukan khusus dan dikawal tujuh pesawat tempur saat dibawa ke Rusia untuk dipamerkan,” demikian dikutip tribunnews.com . Masduki Baidlowi, Ketua MUI Pusat Bidang Informasi dan Komunikasi, menanggapi bahwa “banyak yang bertanya kebenarannya. Sehingga perlu ada penelitian dari laboratorium.” Namun, menurut Masduki, memang ada museum yang memelihara artefak kehidupan Nabi Muhammad, salah satunya adalah rambut. Di museum itu pula dirawat dan dipelihara berbagai peninggalan Nabi Muhammad. Terkait sehelai rambut Nabi Muhammad yang dibawa Opick itu, Masduki menyatakan, ada beberapa pandangan ulama. “Banyak yang menyebutnya sebagai barokah dari peninggalan Nabi. Saat Nabi mencukur rambutnya, ada kisah bahwa rambutnya diambil para sahabat,” kata Masduki dikutip tribunnews.com . Lalu, seperti apa gaya rambut Nabi Muhammad? KH Moenawar Chalil dalam Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw Jilid III , menyebut bahwa rambut Nabi Muhammad lebih lebat dan tidak terlalu panjang (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Aisyah Ra). Riwayat lain (HR Nasa’i dari Anas bin Malik Ra). menyebut rambut Rasulullah berombak, tidak keriting dan tidak pula lurus, antara kedua telinganya dan tengkuknya. “Beberapa riwayat menerangkan bahwa panjang rambut Nabi Saw. sampai ke atas kedua bahunya, atau sampai ke cuping kedua telinganya, kadang-kadang sampai ke pertengahan kedua telinganya, kadang-kadang dibiarkan sampai ke bahunya,” tulis Moenawar Chalil. Abdul Moqsith Ghazali, dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengutip keterangan Ibn Katsir dalam Al-Bidayat wa al-Nihayat, Juz VI , bahwa kesukaan Nabi Muhammad memodel rambutnya seperti kebiasaan orang Yahudi dan Nasrani yang suka membiarkan rambutnya terurai lepas. Nabi kerap meniru kebiasaan orang-orang Musyrik yang suka membelah tengah rambutnya.  "Aisyah sering membantu membelah tengah rambut Nabi," tulis Abdul Moqsith Ghazali dalam Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an . Menurut Moenawar Chalil, Aisyah meriwayatkan cara menyisir rambut Nabi Muhammad: "bila aku mengorakkan (menguraikan, membuka) rambut Rasulullah Saw., aku belah orakan rambut beliau dari ubun-ubunnya dan aku uraikan di antara kedua pelipis beliau." KH Ali Mustafa Yaqub, mantan Imam Besar Masjid Istiqlal, menjelaskan dalam tausiyahnya di  @islamidotco (31/12/2018) bahwa ada hadis yang sahih yang tidak pernah disampaikan oleh sementara orang tentang gaya rambut Nabi Muhammad. Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Sahih Bukhari , bersumber dari sahabat Ibn Abbas Ra.  Beliau mengatakan Rasulullah semula kalau menyisir rambut memakai jambul di depan. Dan itu tradisi orang-orang Musyrikin. Tapi kemudian Rasulullah mengubah cara menyisir rambutnya dengan dibelah ke kanan dan ke kiri. Dan itu adalah tradisi orang-orang Yahudi dan Nasrani –Abd. Moqsith Ghazali menyebutnya tradisi kaum Musyrikin. Rasulullah menyukai model rambut kedua itu.  "Makanya Ibn Abbas mengatakan Rasulullah suka untuk menyamai orang-orang Yahudi dan Nasrani selama tidak ada larangan," kata Ali Mustafa Yaqub. "Jadi, Islam itu sebenarnya sangat lentur sekali. Yang bikin sumpek dan kaku itu sebagian orang Islam yang tasyaddud (mempersulit diri)."

  • Belanda Mabuk

    USIANYA jelas tak lagi muda. Namun meski sudah lebih dari seabad, kondisi Pendopo Ageng Pura Mangkunegaran masih amat baiksiang itu. Tak satu pun dari pilar-pilarnya yang keropos diasup rayap atau rapuh dimakan usia. Pendopo Ageng Pura Mangkunegaran dibangun pada masa Mangkunegara IV. Joglo seluas lebih dari 3000 m2 itu mengalami renovasi besar pada 1938 semasa kekuasaan Mangkunegara VII. “Beliau kan orangnya multitalenta,” ujar Supriyanto dari Dinas Urusan Istana Mangkunegara kepada Historia. “Gagasannya datang dari Stutterheim ketika konsultasi dengan Karsten dan Sang Pangeran. Stutterheim membuat dua foto lukisan pada langit-langit kayu yang ia lihat di Ceylon (Sri Langka), menyimbolkan planet-planet, meski di dalam foto terdapat sembilan planet (bukan delapan seperti yang direncanakan untuk hiasan langit-langit pendopo astana),” tulis Madelon Djajadiningrat dalam “Tidak Adakah yang Bisa Kita Perbuat dengan Cermin yang Buruk Itu?”, dimuat dalam buku suntingan Peter JM Nas Masa Lalu dalam Masa Kini: Arsitektur di Indonesia . Mengkunegara VII dikenal amat disipilin. Kendati sudah naik takhta, dia turun langsung mencari bibit untuk dilatih menari. Mangkunegara VII juga mengawasi langsung latihan tari para anak didiknya. Mangkunegara VII biasanya membawa kayu sambil mengawasi proses latihan. Apabila ada yang melakukan kesalahan, Mangkunegara VII langsung menegur dengan memukulkan kayu itu ke peserta latihan yang melakukan kesalahan. Sifat disipilin Mangkunegara VII itu diperolehnya dari didikan sang paman sekaligus ayah angkatnya, Mangkunegara VI, raja yang dikenal sebagai pendobrak tradisi. Mangkunegara VI mempelopori ditegakkannya kedisiplinan di praja Mangkunegaran. “Pembaruan dalam aspek ini sangat menarik karena sangat bersentuhan dengan tradisi orang Jawa secara keseluruhan yang sering dianggap tidak disiplin oleh orang Barat,” tulis Wasino dalam Modernisasi di Jantung Budaya Jawa: Mangkunegaran 1896-1944 . Dengan menegakkan kedisiplinan, Mangkunegaran tak hanya hendak memajukan praja sekaligus kawula -nya. Lebih dari itu, ia ingin menunjukkan eksistensi diri yang otonom, berbeda dari bekas induknya, Kasunanan, yang jauh dari disiplin. Aturan kedisiplinan itu pula yang membuat Susuhunan Pakubuwono X dipermalukan dalam sebuah acara yang diadakan Mangkunegaran. Pasalnya, Susuhunan berjanji akan datang pukul 21.00, namun ketika ditunggu hingga pukul 21.30 dirinya tak kunjung terlihat. Mangkunegara VI pun langsung memerintahkan gerbang istana ditutup. Maka ketika Susuhanan tiba, dia tak bisa masuk. Di lain waktu, Susuhunan kembali kena “tembak”. Tanpa pemberitahuan, Susuhunan menginap di sebuah pesanggrahan di Karanganyar, wilayah kekuasaan Mangkunegaran, untuk berburu. Begitu pulang, dia langsung mendapat surat tagihan ( bill ) dari Mangkunegaran. Jumlahnya, 100 gulden untuk biaya penginapan per malam dan 50 gulden untuk denda karena Susuhunan melepaskan tembakan tanpa izin khusus di wilayah Mangkunegaran.   Aturan kedisiplinan itu pula yang di lain kesempatan “memakan” korban seorang asisten residen. Tanpa mengikuti prosedur yang ditetapkan, di mana setiap orang yang hendak bertamu ke Mangkunegaran mesti mendapat izin patih terlebih dulu, sang asisten residen nyelonong masuk ke kantor Mangkunegara VI. Dia langsung mengetuk pintu. Mangkunegara VI yang saat itu sedang membaca koran, hanya menoleh dan kembali membaca koran. Tamunya yang orang Belanda itu tak dihiraukannya. Lantaran sakit hati dihina, asisten residen langsung melaporkannya kepada Residen Surakarta G.F van der Wijk. Mangkunegara VI pun langsung ditegur lewat telepon. Alih-alih manggut-manggut, Mangkunegara VI dengan santai memberi jawaban sambil bergurau. “Saya kira Belanda mabuk,” katanya. Jawaban itu membuat Van der Wijk balik memarahi asistennya yang dianggapnya mengangkangi aturan tata krama Mangkunegaran.

  • Dua Presiden Menangkal Ancaman

    UJARAN yang membahayakan nyawa Presiden Joko Widodo lagi-lagi dilontarkan. Dalam aksi unjuk rasa ke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), seorang pria yang diketahui berinisial HS mengatakan akan memenggal kepala Presiden Jokowi. Kata penggal lebih dari sekali diucapkan pemuda yang mengaku berasal dari Poso, Sulawesi Tengah ini.   “Dari Poso nih, siap penggal kepalanya Jokowi. Jokowi siap lehernya kita potong, Demi Allah,” kata HS dalam video yang viral di media sosial.   Kepolisian segera bertindak. HS pun kena ciduk. Akibat ucapannya, HS terjerat pasal makar . Kini, anak muda itu telah ditahan dan terancam hukuman mati. Sejak negeri ini berdiri, ancaman senantiasa menyasar presiden dari masa ke masa. Ancaman itu bisa berbentuk ujaran, aksi teror, hingga upaya pembunuhan. Presiden RI pertama, Sukarno, setidaknya tercatat mengalami tujuh kali percobaan pembunuhan. Dari tujuh percobaan pembunuhan terhadap dirinya, yang paling diingat Sukarno adalah Peristiwa Cikini pada 30 November 1957. Saat itu, iring-iringan mobil rombongan Presiden Sukarno dilempari granat usai menghadiri acara malam amal di Perguruan Cikini. Sebanyak 10 orang tewas, termasuk anak-anak dan ibu hamil, dan 48 lainnya mengalami luka-luka. Beruntung, Presiden Sukarno selamat dari tragedi berdarah itu. “Kartosuwiryo adalah orang yang meludahkan api di tahun ’50 dengan ucapannya, ‘Bunuh Sukarno’,” ujar Sukarno menyebut dalang Peristiwa Cikini dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Pelaku pelemparan granat merupakan anggota Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII). Mereka terkait erat dengan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan S.M. Kartosuwiryo. Di masa muda, Sukarno dan Kartosuwiryo adalah kawan sepondokan yang tinggal di rumah Haji Tjokroamoniro, tokoh Sarekat Islam. Di kemudian hari, keduanya bersilang jalan. Sukarno yang berpaham nasionalis menjadi presiden Indonesia. Sementara Kartosuwiryo memilih jalan radikal untuk mewujudkan negara Islam yang didambanya. Darul Islam yang dibentuk Kartosuwiryo selama bertahun-tahun merongrong pemerintahan Sukarno dengan menebar teror dan perlawanan bersenjata. Pemberontakan Kartosuwiryo berakhir setelah pengadilan memutuskan vonis mati.  “Di tahun 1963 Kartosuwiryo mengakhiri hidupnya di hadapan regu tembak. Ini bukan tindakan untuk memberikan kepuasan hati. Ia adalah tindakan untuk menegakkan keadilan,” kata Sukarno Berlanjut ke era Soeharto. Selama 32 tahun berkuasa, rasanya tiada yang berani mengancam Soeharto secara terang-terangan. Meski tangguh menghabisi lawan-lawannya, pernah pula Soeharto menghadapi ancaman serius. Seperti halnya Sukarno, Soeharto pun menindaknya  dengan dengan tegas walau pendekatannya agak berbeda. Bermula dari rencana kunjungan Presiden Soeharto ke Belanda pada awal September 1970. Rencana kedatangan Soeharto ditentang oleh kelompok separatis Maluku (RMS) yang berdiam di Belanda. Penolakan itu berkaitan dengan ditembak matinya pemimpin RMS Dr. Soumokil di Indonesia pada 1966. Soeharto terkena buntutnya. Padahal, esksekusi Soumokil terjadi pasa masa pemerintahan Sukarno. Satu hari sebelum jadwal kedatangan Soeharto, 1 September 1970, RMS memulai ancamannya dengan aksi berdarah. Seorang polisi Belanda yang ditugaskan menjaga keamanan  KBRI, ditembak mati oleh 32 pemuda anggota RMS yang menyerbu. Duta Besar Indonesia untuk Belanda, Taswin Natadingrat sempat melarikan diri melalui lubang pada tembok belakang. Namun 30 orang lainnya disandera, termasuk istri sang duta besar. Pemerintah Belanda berniat membatalkan kunjungan Soeharto. Kabar ini diterima oleh Soeharto dari salah satu menterinya, Mashuri Saleh, pada saat rombongan kepresiden di Bandara Halim Perdanakusuma bersiap untuk berangkat. Apa lacur, Soeharto bersikukuh untuk tetap datang ke Belanda. Sebagaimana dikisahkan Jusuf Wanandi dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965—1998 , Soeharto berkata kepada Mashuri, “Saya tidak paham, Belanda tidak tegas. Kenapa tidak ditembak saja  dan sesudah mereka kehabisan amunisi, baru lakukan penyerbuan.” "Benar, tapi Pak Presiden, istri duta besar ada diantara para sandera,” jawab Mashuri . “Bukannya untuk itulah makam pahlawan dibuat?,” timpal Soeharto. Menurut Jusuf Wanandi, bagi Soeharto, semua orang dapat dikorbankan. Setelah melalui perundingan alot antara beberapa pejabat terkait dengan Presiden RMS J.A. Manusama, penyanderaan di KBRI akhirnya dapat diatasi. Semua sandera dibebaskan dan para pengacau RMS menyerahkan diri. Pada 3 September 1970, Soeharto akhirnya mendarat di Bandara Schiphol, Belanda. Sebanyak 5000 pasukan dikerahkan untuk menjaga keamanan. Dengan senjata dan tongkat pemukul, mereka siap menyergap siapa saja yang mencurigakan. Sudah ada beberapa yang langsung diringkus dan dimasukkan ke mobil patroli berterali. “Tibalah saat kunjungan Soeharto. Seluruh Belanda dikepung! Begitu berita di koran-koran. Bagaimana tidak, belum pernah Belanda terkesan begitu mencekam demi menyambut kedatangan seorang presiden,” tulis Walentina Waluyanti dalam “Presiden Soeharto Berkunjung, Kerajaan Belanda Siagakan 5000 Pasukan Pengamanan” termuat di laman soeharto.co. Dari bandara Schiphol, rombongan kepresidenan diterbangkan ke bandara militer Ypenburg, di dekat kota Den Haag. Setelah sempat dipusingkan dengan ancaman penyanderaan di kedutaan, Soeharto dapat melenggang bersua dengan Ratu Juliana. Ini adalah kunjungan perdana Soeharto ke negeri Belanda, sekaligus menjadi presiden Indonesia pertama yang datang ke negeri bekas penjajahnya .

  • Kisah Para Perempuan Sumba

    DI depan rumah, orang-orang berkumpul untuk menghadiri pemakaman dalam kepercayaan Marapu. Mereka melakukan itu setelah ada kesepakatan para tokoh adat tentang tata cara pemakaman empat raja sekaligus. Kesepakatan itu dicapai setelah negosiasi bertahun-tahun. Pasalnya, umumnya pemakaman dilakukan satu per satu. Namun karena penyelenggaraan adat yang besar, beberapa orang berpikir untuk melakukannya sekaligus. Mereka lalu menyembelih kerbau dan kuda. Sejurus kemudian, ramai-ramai mereka menarik batu penutup makam. Empat raja dimakamkan sekaligus dalam upacara adat yang super megah ini. Scene itu jadi salah satu sajian Lasya F Susatyo dalam film dokumenter garapannya kali ini, Perempuan Tana Humba . Lasya mengisahkan tentang dampak tradisi Sumba pada perempuan. Ia membagi cerita dalam tiga babak: Marapu, Belis, dan Perkawinan. Babak Marapu menyajikan gambar ciamik tentang rangkaian upacara adat Sumba dari perkawinan hingga kematian. Sementara babak Belis (mas kawin) bercerita tentang posisi perempuan dalam keluarga yang dipengaruhi oleh belis yang diberikan. Wujud belis biasanya ternak yang dianggap maskulin, semisal kuda atau kerbau. Seiring waktu, belis tak melulu ternak tapi kombinasi dengan barang berharga atau uang. Jumlah belis tergantung posisi keluarga perempuan di masyarakat. Ada maramba (bangsawan), rakyat biasa, dan hamba atau budak. Perempuan kasta maramba umumnya meminta belis yang tinggi sebagai tanda penghormatan bagi keluarganya. Rakyat biasa pun  bisa saja meminta belis yang tinggi bila calon pengantin perempuan berpendidikan tinggi. Sementara, belis untuk hamba akan dibayarkan oleh tuannya. Makin tinggi status sosialnya, baik kasta maupun tingkat pendidikan, makin besar jumlah belis . “ Belis masih kerap memberatkan, tak jarang jadi ada persinggungan. Saya ingin mengangkat ini. Perubahan tidak bisa dihindari dan berpengaruh ke tatanan kehidupan lainnya. Film ini membagi pengalaman para ibu di Sumba,” kata Lasya pada Historia. Tawar-menawar belis juga dilakukan antar-dua wakil pihak keluarga. Tak jarang tawar-menawar berjalan alot dan berujung ketidaksepakatan sehingga hubungan cinta batal dijalin. Ketika proses ini berlangsung, calon pengantin perempuan tidak boleh menampilkan diri. Dalam filmnya, Lasya menggambarkan ketika para bapak berkumpul di balai, para perempuan sibuk di dapur menyiapkan makanan. Namun, tradisi itu perlahan berubah. Seperti yang dialami Rambu Ana, salah satu narasumber yang diwawancara Lasya. Ana menikah dengan cara adat. Pilihan suaminya pun sesuai tradisi, dari desa Lewa, tempat ibu Ana berasal. Ketika hendak menikah, Ana ikut bicara tentang jumlah belis dan tanggal pernikahannya. Seorang pamannya sempat kaget lantaran Ana sudah menyiapkan undangan dan urusan perkawinan sendiri sejak jauh hari. “Biasanya tidak bisa ikut omong, tapi makin lama berubah. Kadang ada bapak-bapak bilang, ‘tega sekali kau punya suami kau suruh masak’. Tapi mereka tidak bisa hanya jadi tuan besar terus,” kata Ana pada Historia . Ana datang dari keluarga bangsawan. Ia anak raja Prailiu dan kini jadi Polisi Kehutanan di Taman Nasional Matalawa. Kakak lelaki Ana menjadi penerus tahta Kerajaan Prailiu, yang jadi setting film ini , menggantikan ayahnya yang sudah almarhum. Sepanjang film, keluarga Ana menjadi gambaran utama tentang serba-serbi kebudayaan Sumba dan bagaimana posisi perempuan dimaknai di sana. Olin Monteiro, periset dalam film ini, menyebutkan di Sumba masih ada dua kerajaan yang menganut kepercayaan Marapu, yakni Rende dan Prailiu. Kerajaan Rende masih menjalankan tradisi secara penuh, sementara Prailiu lebih longgar. Olin menyebut beberapa tradisi dan artefak sejarah hilang setelah perang tahun 1950-an. Nusa Tenggara Timur yang dulu terbagi dua antara jajahan Portugis dan Belanda, mengalami beberapa kerusakan. “Banyak artefak budaya yang rusak, termasuk rumah adat karena perampokan dan pembakaran, sehingga beberapa tradisi hilang. Sudah tidak banyak yang menjalankan tradisi di Sumba Timur, kecuali di Rende, karena tokoh adatnya masih banyak,” kata Olin. Dibanding wilayah Nusa Tenggara Timur lain seperti Flores dan Timor, tambah Olin, peran perempuan di Sumba amat kurang. Tidak ada keikutsertaan perempuan di tikar adat meski sebenarnya posisi mereka dalam masyarakat cukup penting. Gambaran inilah yang disajikan dalam film, di mana Lasya mengikuti para bapak dalam beberapa pertemuan adat. Para ibu tak pernah ikut pertemuan itu. Menenun, memasak, dan menyiapkan perhiasan untuk belis jadi kegiatan utama mereka. Beberapa ibu bahkan mengepalai bisnis tenun yang jadi sumber perekonomian dan daya tarik wisata Sumba. Meski demikian, mereka tak bisa ambil bagian dalam urusan keputusan adat. Film dokumenter sepanjang 30 menit ini mendapat dukungan dari Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Mandy Marahimin yang bersama Nicholas Saputra mendirikan T anakhir Films pada 2013, duduk sebagai produser . Begitu mendengar Lasya hendak membuat film dokumenter tentang budaya, Mandy langsung menyetujuinya. Lewat film ini dia ingin membuka diskusi tentang posisi perempuan di Sumba. Selain dibantu Olin sebagai periset, Lasya dan Mandy juga menarik beberapa sineas lain, seperti Nur Hidayatsebagai sinematografer,Wawan I. Wibowo sebagai editor, Thoersi Argeswara sebagai penata musik, dan Satrio Budiono sebagai penata suara. Penataan musik dalam film ini amat apik. Menggunakan alat musik tradisional dan lagu daerah, alunan music scoring sukses mengiringi tiap pergeseran cerita. Pengambilan gambarnya pun cukup memanjakan mata dengan keindahan alam dan lingkungan tradisional. Perempuan Tana Humba rencananya diputar keliling di Yogyakarta, Surabaya, dan terkhusus Sumba. Lantaran tak masuk bioskop, film ini akan diputar di institusi pendidikan tingkat SMA dan perguruan tinggi mulai Juli 2019.

bottom of page