Hasil pencarian
9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Ambisi Gajah Mada di Perang Bubat
KOTA Bandung kini punya Jalan Majapahit dan Jalan Hayam Wuruk. Penamaan jalan ini disebut sebagai rekonsiliasi hubungan antara suku Jawa-Sunda. Penyebabnya adalah peperangan antara Majapahit dan Sunda di lapangan Bubat pada 1357. Tanah lapang itu diperkirakan terletak di utara Kota Majapahit. Di sana raja Sunda, permaisuri, putri, para pengiring dan pengawalnya beristirahat seraya menunggu diterima Hayam Wuruk, raja Majapahit. Nahas, di tempat itu pula mereka menemui ajal. Menurut arkeolog Agus Aris Mundandar dalam Gajah Mada: Biografi Politik , Peristiwa Bubat bisa dianggap sebagai titik balik kesuksesan karier Mahapatih Gajah Mada. Ketika Sumpah Palapanya hampir sempurna dibuktikan, Gajah Mada justru menggagalkannya sendiri. Kejadian ini berawal dari rencana pernikahan putri Sunda, Dyah Pitaloka dengan Raja Hayam Wuruk. Untuk maksud itu, sebagaimana dikisahkan Pararaton dan Kidung Sunda, Raja Sunda dan rombongannya mendatangi Majapahit . Agus menyatakan hal itu dapat dianggap berbeda dalam perspektif politik Gajah Mada. Kedatangan rombongan Kerajaan Sunda bisa saja dinilai sebagai kelemahan pihak mereka, yaitu seorang penguasa Sunda bersedia datang menghampiri Kerajaan Majapahit untuk mengantarkan putrinya. Apalagi, pada masa itu, Kerajaan Sunda menjadi wilayah yang tersisa setelah wilayah lain di Pulau Jawa berhasil dikuasai Majapahit. Namun, pernikahan itu gagal. Dua naskah kuno itu menyebut kegagalan pernikahan itu akibat ambisi Gajah Mada yang bernafsu menaklukkan Kerajaan Sunda di bawah panji-panji Majapahit. “Kebetulan orang nomor satu dari Kerajaan Sunda hadir di wilayah Majapahit, lalu tinggal ditekan saja agar mau menuruti keinginan sang patih,” ujar Agus. Rencana Gajah Mada itu tak berjalan mulus. Orang Sunda menolak perintahnya. Mereka tak ingin sang putri dibawa sendiri ke istana Majapahit untuk diserahkan kepada Hayam Wuruk sebagai wujud takluk. Sedari awal, kedatangan mereka mengantar sang putri semata-mata untuk menikahkannya dengan raja Majapahit. Puncaknya, ketegangan berkembang menjadi pertempuran. Perang berdarah tak terhindarkan di lapangan Bubat. Hampir semua orang Sunda yang ikut rombongan tewas, tak terkecuali raja, patih, para menteri dan bangsawan. Sementara, permaisuri, istri-istri pejabat, dan sang putri bunuh diri. Agus menilai, Peristiwa Bubat memperlihatkan bahwa untuk mencapai ambisinya, Gajah Mada tak ragu memanfaatkan perasaan Hayam Wuruk. Dia memancing raja Sunda untuk datang ke Majapahit karena merasa tak mampu jika harus mengalahkannya langsung di wilayah asalnya. Kerajaan Sunda yang lahir dari peradaban lebih kuno membuatnya segan. Di sisi lain, Gajah Mada juga memanfaatkan emosi raja Sunda. Sang raja tak punya pilihan selain mengantarkan putrinya sebagai tanda tunduk atau berperang sampai mati membela kehormatannya. Raja Sunda itu merasa jika dia pulang tanpa melawan, akan menjadi aib sepanjang hidup di hadapan rakyatnya. Dia akan dicap sebagai raja yang gagal melangsungkan perkawinan putrinya. “Sunda pasti mudah dikalahkan karena berada jauh dari daerahnya dengan tentara yang terbatas pula,” ujar Agus. Pada akhirnya, hubungan dengan Sunda yang awalnya akan diperteguh melalui ikatan perkawinan menjadi sirna. Padahal, jika berhasil, Kerajaan Sunda bisa dirangkul sebagai negara mitra stata Kerajaan Majapahit. Itu sebagaimana yang disebutkan oleh Nagarakrtagama terhadap sejumlah negara lain yang menjalin hubungan persahabatan dengan Majapahit. Perang Bubat mungkin membuat Gajah Mada tak dipercaya lagi oleh keluarga kerajaan. Dia membuat Hayam Wuruk kehilangan cintanya. Hubungan Majapahit dengan Kerajaan Sunda pun memburuk. Maka, kata Agus, demi membersihkan namanya Sang Patih kemudian merancang serangan ke Dompo. Dia sendiri yang memimpin ekspedisi itu. “Pertama, untuk menghindari cercaan terhadap dirinya. Kedua, ini untuk mendapatkan kembali kepercayaan keluarga kerajaan terhadap dirinya. Ketiga, sebagai bentuk hukuman kepada dirinya sendiri,” jelas Agus. Adapun bagi Kerajaan Sunda, peristiwa Bubat nampaknya tak cukup besar hingga bisa meruntuhkannya. Kerajaan Sunda baru runtuh akibat serangan tentara Banten pada 1579. Ini 60 tahun lebih lama dari tahun keruntuhan Majapahit, sebagaimana yang diperkirakan arkeolog Hasan Djafar, yaitu tahun 1519. Terlepas dari itu, kata Agus, kendati dipaparkan gamblang dalam Pararaton, banyak ahli sejarah kuno yang tak percaya Perang Bubat pernah ada. Mereka menilai Perang Bubat tak lebih dari tuturan yang disisipkan oleh penyalin Pararaton. “Atau malah tambahan orang Belanda pertama yang meneliti Pararaton serta berbagai alasan lainnya,” ujar Agus. Sebaliknya, ada pula yang menganggap mengingkari kisah Perang Bubat adalah hal yang aneh. Jika kisah Ken Angrok dalam Pararaton yang mistis saja bisa dipercaya, seharusnya kisah Perang Bubat pun sepatutnya diyakini.*
- Pulau untuk Anak Terlantar
MERCUSUAR di atas hamparan pasir. Di sekelilingnya banyak pohon damar tumbuh. Orang pun menyebut pulau itu sebagai Pulau Damar Besar. Zaman kompeni VOC dulu namanya Pulau Edam. “Salah satu tempat paling menyenangkan di dunia,” tulis Adolf Heuken dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta . Pulau Edam hanya berjarak 30 menit perjalanan dengan menggunakan kapal motor dari Teluk Jakarta. Pulau ini sekarang lebih sering sunyi, tapi dulu punya banyak cerita tentang anak-anak terlantar di ibukota. Anak-anak terlantar adalah anak-anak yang luntang-lantung tak tentu. Scott Merrillees menangkap gejala ini telah muncul di Jakarta sejak masa Perang Kemerdekaan. Dalam Greetings From Jakarta: Postcards of a Capital 1900-1950 , Scott menampilkan foto seorang anak terlantar yang tertidur di tepi kali. “Pemandangan tragis dan menyayat hati dari seorang bocah lelaki berpakaian compang-camping di Jalan Juanda pada akhir dekade 1940-an,” tulis Scott. Beberapa anak terlantar tadinya masih punya orangtua dan kadang berhubungan dengannya. Tapi orangtua mereka berada dalam lingkaran kemiskinan: tak punya pendidikan mumpuni, tak ada pekerjaan tetap, dan tak menghuni rumah permanen. Aktivitas keseharian orangtua mereka ialah menggelandang di kota. Keadaan begitu berpengaruh terhadap anak. Mereka turut jejak orangtuanya jadi gelandangan. Dan lama-lama mereka kurang beroleh perhatian dari orangtua. Anak-anak itu tumbuh liar dan dewasa sebelum waktunya. Mereka bekerja sejak dini sebagai penyemir sepatu. Lainnya berupaya mencuri kecil-kecilan. Mereka tak punya agenda pergi ke sekolah. Waktu mereka habis bersama jalanan ketimbang bersama orangtuanya. Hubungan dengan orangtua pun jadi renggang. Jadilah mereka anak-anak terlantar. Sebagian anak-anak terlantar itu masih mendingan punya orangtua. Tapi lebih banyak anak terlantar tak bernasib seperti itu. “Pada umumnya hubungan mereka dengan orangtuanya telah tidak ada lagi, bahkan banyak yang tidak mempunyai keluarga sama sekali (yatim-piatu),” tulis Kementerian Penerangan dalam Kotapradja Djakarta Raya , terbitan 1952. Anak-anak terlantar mudah tersua di pasar dan jalan-jalan umum ibukota pada dekade 1950-an. “Masih ada lebih kurang 5.000 anak yang masih bergelandangan di Jakarta,” tulis Sjamsuridjal, walikota Jakarta 1951-1953, dalam Karya Jaya: Kenang-kenangan Lima Kepala Daerah Ibukota 1945-1966 . Anak-anak itu menjadi urusan Djawatan Sosial. Negara bertanggung jawab merawat mereka sesuai dengan amanat Pasal 34 ayat 1 UUD 1945: fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Wujud pemeliharaan itu berupa penangkapan anak-anak terlantar berusia di bawah 16 tahun di jalan-jalan oleh aparat pemerintah. Mereka dibawa ke penampungan di seberang pulau Jakarta, yaitu Pulau Edam. “Di sanalah dididik, agar menjadi orang yang baik-baik. Rombongan pertama datang pada tanggal 12 Juni 1950 yang terdiri dari 50 anak-anak, kemudian disusul pula pada tanggal 4 Juli 1950 oleh 25 anak-anak, sedangkan rombongan ketiga ialah tanggal 18 Juli ditamvah pula 42 anak. Di antara anak-anak itu terdapat juga 3 orang anak Tionghoa,” tulis Ipphos Report , 15 Agustus 1950. Di Pulau Edam, anak-anak terlantar itu mendapat pakaian layak, makanan bergizi, dan kamar lapang. Badan mereka lebih bersih dan tubuh jadi berisi. Tiap hari mereka ceria. Anak-anak terlantar di Pulau Edam punya aktivitas teratur, dari pagi sampai malam. Mereka juga mengenal lagi kehidupan sekolah. Jam sekolah mereka antara pukul 10.00 sampai 12.00, 14.00 sampai 16.00, dan 16.30 sampai 17.30. Di sesela bersekolah ada jadwal makan, olahraga, bermain, cuci piring, dan bersih-bersih penampungan. Hasil penerapan jam sekolah itu cukup lumayan bagi anak-anak terlantar. “Dari antara mereka telah ada yang dapat terus melanjutkan pelajarannya di sekolah menengah dan sekolah teknik radio/elektro teknik,” tulis Kementerian Penerangan. Empat anak mampu menjadi siswa sekolah Angkatan Laut di Surabaya. Tapi di sebalik upaya pendidikan kembali anak terlantar ini, anggaran pemerintah terus menciut. Perekonomian negeri terjerembab pada dekade 1960-an, sedangkan gejala menggelandang kian menonjol. Dua ribu anak terlantar memenuhi penampungan di Pulau Edam, sesuai kapasitasnya. Kemudian jumlah mereka terus bertambah sehingga pemerintah tak sanggup lagi menampung anak terlantar. Pemerintah memindahkan anak-anak terlantar itu ke penampungan lain di luar Pulau Edam. Penampungan anak terlantar pun tak berpusat di Pulau Edam lagi, melainkan juga di dalam kota. Kebanyakan dibentuk oleh organisasi masyarakat. Pulau Edam perlahan jadi pulau terlantar. Tak ada aktivitas anak-anak terlantar lagi di sana.
- Ada Karena Desakan PBB
USAI melengserkan Sukarno, Soeharto langsung membenahi ekonomi Indonesia yang hampir bangkrut dengan membentuk tim ekonomi. Tim itu keliling ke negara-negara maju untuk mencari bantuan finansial. Demi dana bantuan, Indonesia mesti menerima persyaratan yang diberikan calon-calon pendonor. Salah satu hasil dari pemenuhan persyaratan itu, Indonesia punya kementerian Urusan Peranan Wanita (UPW). “UPW pembentukannya karena PBB punya program Dekade Perempuan. Jadi semua negara anggota PBB harus punya kementerian perempuan,” kata Wardah Hafidz, aktivis sosial perkotaan, kepada Historia . Dekade Perempuan bermula dari munculnya konsep perempuan dalam pembangunan (Woman in Development, WID) yang mulai dikenalkan pada 1970-an di Amerika Serikat (AS). Pemerintah AS lalu membuat Undang-Undang tentang Bantuan Luar Negeri (The Percy Amandement to the 1973 Foreign Assistance) yang di dalamnya memuat syarat adanya peningkatan peran perempuan dalam pembangunan negara penerima bantuan. UU tersebut membuat Badan Bantuan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) hanya mau memberi bantuan pada negara-negara yang serius menangani masalah perempuan. Ritu Sharma dalam Woman and Development Aid menulis, Departemen Luar Negeri Amerika juga harus mempertimbangkan kemajuan isu perempuan ketika hendak memberi pendanaan pada organisasi internasional seperti PBB dan Bank Dunia. Aturan itu diikuti PBB, yang pendanaannya banyak berasal dari AS, yang lalu menetapkan Tahun 1975 sebagai Tahun Wanita Internasional. Program itu berlanjut hingga 1985 dan dinyatakan sebagai dekade perempuan (International Decade of Woman). PBB mendesak negara anggotanya membentuk departemen yang khusus mengurusi masalah perempuan. Soeharto menyepakatinya dengan membentuk Kementerian Urusan Peranan Wanita (UPW) pada 1978 dan memberlakukan program-program yang disyaratkan PBB, seperti Keluarga Berencana (KB). Lasiyah Sutanto, ketua umum Kowani yang –mendukung pemerintahan Soeharto lewat Kongres Luar Biasa pada 30 Mei-1 Juni 1966– juga anggota MPR/DPR-RI dari Golkar, ditunjuk sebagai Menteri Urusan Peranan Wanita pertama. Dipenuhinya persyaratan itu membuat bantuan untuk Indonesia pun mengalir. Kementrian UPW aktif dalam agenda-agenda perempuan PBB. Bersama perwakilan dari Kowani, anggota Kementerian UPW ikut dalam Kongres Perempuan Sedunia yang dihelat PBB tiap lima tahun sekali. Kongres tersebut antara lain membahas ketidakberhasilan konsep Perempuan dalam Pembangunan mengatasi ketimpangan gender karena sistem patriarki. Untuk mengatasinya, United Nation Development Program (UNDP) memperkenalkan konsep kesetaraan gender. Konsep itu diikuti dengan pembentukan Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (Cedaw). Pada 1981, tulis Ap Murniarti dalam Getar Gender, Indonesia ikut menandatangani konvensi itu. Indonesia lalu mengeluarkan UU Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengahapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Peningkatan peranan perempuan dalam pembangunan negara, termasuk partisipasi politik, secara berkala dievaluasi Komite Cedaw. Soeharto, yang sebetulnya anti-gerakan perempuan, memberi ruang pada perempuan untuk berpolitik lantaran Indonesia masih terjerat utang. Jabatan menteri untuk perempuan disediakannya di Kementerian UPW dan Kementerian Sosial. Pemberian kedua jabatan ini, menurut Murniarti, diberikan karena perempuan “dianggap” pantas mengurusi masalah sosial. Namun, UU dan partisipasi politik perempuan realitanya hanya manis di permukaan. Rezim Soeharto yang otoriter mengontrol politik peremapun dengan menerapkan “ibuisme” sebagai ideologi gender negara: perempuan yang baik adalah perempuan yang patuh, pendamping suami, dan ibu yang baik. “UPW oleh pemerintahan memang dibuat sebagai mesin politik untuk memperkuat arah gerak atau aktivitas perempuan. Nah, tapi dari kalangan kelas menengah berpendidikan tinggi membuat arus balik,” kata Wardah.
- Selamat Jalan Gogon, Si Rambut Jambul
Kabar duka datang dari salah seorang pelawak anggota Srimulat yang memiliki ciri khas berambut jambul dan berkumis ala Adolf Hitler. Jhoni Margono, atau dikenal dengan Gogon Srimulat, meninggal dunia dalam usia 59 tahun, di sebuah rumah sakit di Kotabumi, Lampung, 15 Mei 2018 pagi. Lika-liku Gogon di panggung komedi terbilang singkat. Dia bergabung ke Srimulat pada 1982. Srimulat melambungkan namanya di dunia lawak tanah air. Gogon lahir di Boyolali, Jawa Tengah, pada 31 Januari 1959. Gogon muda sebenarnya tertarik seni lukis. Dia bahkan bertekad menjadi seorang pelukis. Selepas SMA, Gogon merantau ke Yogyakarta. Dia masuk Perguruan Tinggi Senirupa Yogyakarta demi mewujudkan cita-citanya. Menurut majalah Hai edisi 24-30 September 1985, Gogon tak melanjutkan kuliahnya di sana. Dia memutuskan berhenti di tingkat tiga. Arah angin malah membawanya untuk menekuni dunia lawak. Pada 1980, Gogon dan beberapa temannya membentuk grup lawak. Mereka lantas manggung di sejumlah kota di Jawa Tengah. Hasrat dan bakat melawaknya kian tumbuh. Pada 1982, Gogon bergabung dengan grup lawak besar dan legendaris, Srimulat. Srimulat bisa dikatakan grup lawak dengan anggota paling banyak di Indonesia. Grup lawak ini dibentuk Teguh Slamet Rahardjo dan Srimulat di Surakarta pada 1950. Dalam perkembangannya, Srimulat memiliki cabang-cabang di Surabaya, Surakarta, Semarang, dan Jakarta. Bergabungnya Gogon ke Srimulat atas anjuran sahabatnya yang juga seorang pelawak, Basuki. Basuki bergabung ke Srimulat pada 1979. Sebelumnya, Basuki ikut grup wayang orang Sri Wanito dari 1974 hingga 1978. Sebelum mendapatkan tempat di Srimulat, Gogon harus melewati ujian. “Tesnya cukup main bersama anggota Srimulat senior. Margono lulus, soalnya ia bisa berperan apa saja seperti kebanyakan pemain Srimulat,” tulis Hai, 24-30 September 1985 . Menurut Agus Dermawan T dalam Antologi Seni 2003: Panorama dan Isu Dominan Seni Indonesia, 1960-2003 , Gogon dan Mamik Prakoso termasuk pelawak muda yang dipasang pentolan Srimulat, Teguh Slamet Rahadjo, ketika grup Srimulat mulai goncang. Penyebabnya, anggota Srimulat senior kerap menerima pekerjaan sampingan. Basuki, Timbul, Kadir, dan Rohana bahkan sempat meninggalkan Srimulat dan membentuk grup lawak baru bernama Merdeka. Gogon terkenal dengan lawakan bahasa tubuhnya. Aksinya mendekapkan kedua tangan di dada, lantas duduk kemudian jatuh dari kursi, kerap membuat penonton terbahak. Gogon juga sering menjadi “objek penderita” kawan-kawannya, seperti dikeplak kepalanya. Gogon pernah bermain dalam film Finding Srimulat (2013) arahan sutradara Charles Gozali bersama Kadir, Mamik, Nunung, Tarsan, Tessy, Reza Rahadian, dan Rianti Cartwrigt. Film ini terinspirasi grup lawak Srimulat. Di dunia hiburan, karier Gogon pasang-surut. Bahkan Gogon sempat menghebohkan publik, karena kasus penggunaan dan kepemilikan narkotika jenis sabu pada 2007. Akibat perbuatannya, dia mendapat hukuman kurungan selama empat tahun dan denda Rp150 juta. Gogon memiliki riwayat penyakit jantung dua tahun terakhir. Bahkan dokter sempat memintanya untuk memasang ring jantung. Sebelum meninggal dunia, sehari sebelumnya Gogon sempat mengisi acara kampanye salah seorang calon bupati di Lampung. Selamat jalan, Gogon.
- Jakmania Setia Mengawal Persija
KEPRIHATINAN terhadap tak adanya organisasi suporter Persija membuat Tauhid Ferry Indrasjarief dan puluhan penggemar lain klub ibukota itu duduk bareng mencari pemecahan. “Kita diskusi tentang keinginan jadi member buat pendukung Persija,” ujar Ferry kepada Historia . Diskusi intens mereka lalu membuahkan hasil dengan berdirinya The Jakmania yang bertahan hingga kini. Keberadaan The Jak melanjutkan organisasi-organisasi suporter Persija yang pernah ada. Berbeda dari Persib yang sejak 1937 selalu diiringi Bobotoh, suporter terorganisir Persija timbul-tenggelam dan tak pernah lama. Pada 1930-an, Persija yang masih bernama Voetbal Indonesische Jacatra (VIJ) punya VIJers. Kelompok suporter ini tak hanya rajin menyambangi pertandingan-pertandingan kandang VIJ, di Pulo Piun, tapi juga tandang. Menurut Ario Yosia dkk. dalam Gue Persija , VIJers turut hadir kala Persija bertandang ke Lapangan Kebon Pala, markas tim Persatoean Perkoempoelan Voetbal Indonesia Meester Cornelis (PPVIM), atau ke markas Persitas Tasikmalaya pada 1934. Namun, VIJers mandek seiring terhentinya aktivitas Persija pada masa pendudukan Jepang. Setelah kemerdekaan, VIJers benar-benar hilang lantaran bergantinya nama VIJ menjadi Persija. Setelah itu, Persija selalu main tanpa suporter “resmi”. Stadion Menteng atau Senayan tempat Persija memainkan laga memang acap penuh penonton, tapi mereka hanya pribadi-pribadi penggemar Persija, bukan fans yang tergabung dalam sebuah organisasi. Keadaan seperti itu berakhir pada 7 Desember 1994 kala Persija menjamu Bandung Raya di edisi perdana Liga Indonesia. Di laga itu, kelompok suporter Persija terorganisir bernama Persija Fans Club (PFC) muncul. “Iya dulu saya dukung Persija zaman kuliah, itu ada Persija Fans Club. Banyak artis-artisnya yang ikut dukung. Ketuanya malah pernah juga Dicky Zulkarnaen, Oddie Agam. Artis-artis lain yang ikut PFC itu juga ada Nia Zulkarnaen, Ari Sihasale, Reni Jayusman, Jelly Tobing, Chintami (Atmanegara),” ujar Ferry. Di pertandingan-pertindangan Persija, mereka kerap menggunakan atribut, mulai syal hingga kaos, berwarna merah atau perpaduan merah-putih. Keanggotaan mereka ditandai dengan kepemilikan kartu anggota. Tauhid Ferry Indrasjarief, Ketum The Jakmania Periode 2017-2020 (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Ketua pertama PFC dijabat manajer Persija U-21 Zulfikar Utama. PFC membawa Persija lebih dekat dengan kultur Betawi. Alhasil, julukan “Macan Kemayoran” diganti jadi “Si Jampang”. Sayang, laiknya VIJers, eksistensi PFC tak bertahan lama. “Kemudian hilang begitu saja,” kata Ferry. Gelora Jakmania Buruknya prestasi Persija di Liga Indonesia II (peringkat 13 wilayah Barat) dan III (peringkat 14 wilayah Barat) menyebabkan PFC tinggal nama. Ketiadaan organisasi suporter itu membuat prihatin banyak fans Persija. Sekira 40 fans Persija, termasuk Ferry, lalu merintis organisasi suporter baru pada 1997. “Ya berawal dari obrolan gue dengan beberapa teman dari Commandos (suporter Pelita Jaya). Kita diskusi tentang keinginan jadi member buat pendukung Persija. Lalu kita omongin ke manajer Persija saat itu, Diza Rasyid Ali. Dia lalu mengarahkan ke humas Persija Edi Supatmo. Dari situ kita ditantang sama mereka untuk bikin sendiri fans club,” kata Ferry kala menerima Historia di kediamannya, Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Rapat berikutnya mereka lepas dari tangan manajemen klub. Pada pertemuan di Graha Wisata Kuningan, Jakarta Selatan, 19 Desember 1997, mereka sepakat membentuk fans club dengan 40 anggota pertama. Markas pertama mereka di Stadion Menteng. Meski sudah berdiri, organisasi suporter mereka belum punya nama. “Waktu di Menteng, sempat lihat spanduk, tulisannya: ‘Welcome The Jak’. Dijelaskan manajemen, ternyata itu julukan baru Persija. Oh, kalau gitu suporternya biar kayak (band legendaris) The Beatles yang pendukungnya Beatlesmania, kita The Jakmania aja. Nama itupun disepakatin,” sambung pria kelahiran Bandung, 18 Februari 1965 itu. Para pionir Jakmania lalu mendapuk Muhammad Gunawan Hendromartono alias Gugun Gondrong jadi ketua umum pertama. “Ya dulu milihnya aklamasi aja. Kalau Gugun karena dia public figure. Terus gue ketua 1, sementara posisi yang lain juga main tunjuk aja yang ada di situ,” imbuh Ferry. Mereka lalu menetapkan logo jemari membentuk huruf “J” sebagai logo Jakmania. Ide logo datang dari Edi Supatmo, humas Persija. “Awalnya logo kita sudah sempat dibikin kawan kita, Heri. Logonya berupa pantulan bola berbentuk huruf ‘J’ dan titiknya itu gambar bola. Sudah kita pakai selama tiga bulan, tapi mas Edi bilang, dia ada logo baru, ya yang seperti sekarang ini dan kita setuju semua,” tuturnya. Logo itulah yang menginspirasi Ketua Gugun mencetuskan salam Jakmania berupa acungan tangan kiri di mana jemari membentuk huruf “J”. The Jakmania senantiasa mengawal Persija di manapun berlaga (Foto: persija.id) Seiring bergantinya jersey Persija jadi berwarna oranye, atribut Jakmania ikut serba oranye. “Warna oranye itu memang baru zaman Bang Yos (Gubernur DKI Sutiyoso) muncul. Kenapa oranye, belum terjawab. Banyak versi. Salah satu versinya, karena Bang Yos nggak pengin (menyamai) warna partai. Waktu itu kan partai masih cuma tiga: hijau (PPP), kuning (Golkar), merah (PDI). Makanya yang ditampilin oranye (untuk Persija dan Jakmania),” ujar Ferry. Hingga kini, kata Ferry, jumlah anggota Jakmania berkartu anggota mencapai 48 ribu. Jumlah itu terus bertambah dengan bermunculannya fans club anyar macam Jak Angel, Curva Nord Persija, Ultras Persija, Jak Kampus, dan lain-lain di berbagai kota. “ Alhamdulillah semua masih satu atap. Walau dia alirannya Ultras, Hooligans atau yang lain, ya silakan saja selama masih dalam satu komando (Jakmania). Mayoritas dari mereka juga semua anggota kita. Di Curva Nord misalnya. Para leader- nya itu anggota kita zaman gue ketua dulu (1999-2005). Beda dengan kota-kota lain, di Jakarta harus tetap ada satu payung yang mengayomi mereka semua,” tandas Ferry yang kembali jadi “panglima” Jakmania untuk periode 2017-2020.
- Orang Jawa yang Bertakhta di Sumatra
SEKIRA pertengahan abad 10, Dewapaladewa, Raja Benggala di India, menerbitkan Prasasti Nalanda. Isinya tentang permintaan Raja Sriwijaya Balaputradewa dari Suwarnadwipa , nama kuno Sumatra, kepada Dewapaladewa untuk mendirikan vihara di Nalanda. Menurut Prasasti Nalanda, ayah Balaputradewa adalah raja Jawa dari trah Sailendra bernama Samaragawira, putra dari tokoh yang berjuluk Wirawairimathana (Pembunuh Musuh Perwira). Ibunya adalah Putri Tara dari trah Somawangsa, putri Dharmasetu. “Soma ini wangsa di Sumatra, kalau di Jawa ada Sailendra,” kata Bambang Budi Utomo, arkeolog senior Puslit Arkenas, kepada . Karenanya, kata Bambang, tak heran kalau Balaputradewa punya hak bertakhta di Sumatra. Dia hanya kembali ke asal ibunya yang memang orang Sumatra. Pernyataan dalam Prasasti Nalanda seakan menjelaskan hubungan antara Jawa dan Sumatra. Namun, sebenarnya silsilah Balaputradewa, baik dari pihak ibu maupun ayah masih memunculkan beragam teori. Beberapa ahli, seperti N.J. Krom, F.D.K. Bosch, dan De Casparis, meyakini bahwa sebelum Balaputradewa, kakeknya, Dharmasetu, juga raja Sriwijaya. Namun, filolog dan sejarawan Slamet Muljana tak sependapat. “De Casparis masih beranggapan Dharmasetu, kakek Balaputradewa adalah raja Sriwijaya, tapi tak ada buktinya,” tegas Slamet dalam Sriwijaya. Slamet lebih yakin kalau Dharmasetu adalah tokoh yang diberikan tugas untuk menjaga bangunan suci di Jawa. Artinya, Dharmasetu berasal dari Jawa. Pasalnya, namanya muncul dalam Prasasti Kelurak (782) yang ditemukan di Desa Kelurak, dekat Pecandian Prambanan. Prasasti itu mengisahkan pendirian bangunan suci bagi arca Manjusri atas daulat Sri Sanggrama Dhananjaya. “Karena kedua nama ini ada bersama-sama dalam Prasasti Kelurak, maka saya menolak anggapan kalau Dharmasetu adalah raja Sriwijaya,” kata Slamet. Slamet menerangkan bahwa Dharmasetu dan Sri Sanggrama Dhananjaya atau Rakai Panunggalan, raja ketiga Mataram, akhirnya besanan. Ini dilihat dari kesamaan julukan, Pembunuh Musuh Perwira, yang muncul dalam Prasasti Kelurak dan Ligor B yang sezaman, serta dalam Prasasti Nalanda. Dengan begitu, kira-kira terjawab soal asal-usul ayah dan ibu Balaputradewa. Namun, pertanyaan bagaimana Balaputradewa bisa jadi raja di Sumatra, belum sepenuhnya jelas. Di Jawa, Bambang menerangkan, nama Balaputradewa muncul pula dalam Prasasti Karang Tengah (824). Dari sini ada petunjuk kalau sebelum ke Sumatra, dia sempat berebut takhta dan kalah dari iparnya, Rakai Pikatan yang membela hak takhta istrinya, Pramodawardhani, sang putri mahkota. Namun, lagi-lagi Slamet Muljana berbeda pandangan. Menurutnya, Balaputradewa lebih mungkin merupakan paman dari Pramodawardhani. Dia adalah putra bungsu Samaragawira atau adik Raja Samarattungga. Nama Balaputradewa menunjukkan itu: wala (ekor) dan putra (anak). Slamet mengatakan berdasarkan petunjuk di Prasasti Karang Tengah, Pramodawardhani adalah putri satu-satunya Raja Samarattungga. Maka, tak mungkin Balaputradewa menjadi saudaranya atau ipar Rakai Pikatan. Kendati demikian, Slamet tak menampik kemungkinan terjadinya peperangan antara Rakai Pikatan dan Balaputradewa. Pemicunya karena Balaputradewa tahu Samarattungga tak berputra, maka dia sebagai adik laki-lakinya merasa lebih berhak sebagai penerus. Sementara itu, Sriwijaya sudah menjadi daerah bawahan Jawa berkat Rakai Panunggalan, kakek mereka. Nama sang kakek muncul dalam Prasasti Ligor B yang ditemukan di Ligor (kini, Nakhon Si Thammarat, Thailand Selatan), salah satu daerah kekuasaan Sriwijaya. Karenanya setelah kalah dari Rakai Pikatan, Balaputradewa pun menyingkir ke Sumatra. “Negeri yang harus diwarisinya dari kakeknya, Dharmasetu dan dari ayahnya, Samaragawira terampas semua oleh Rakai Pikatan, yang menurut adat tak berhak untuk menguasainya,” kata Slamet. Dengan begitu, menurut Slamet, melalui Prasasti Nalanda sesungguhnya Balaputradewa tengah menyerukan haknya sebagai penerus trah Sailendra atas takhta Mataram. Menurut George Coedes dalam Asia Tenggara Masa Hindu Buddha, Balaputradewa kemungkinan besar adalah raja Sailendra pertama di Sriwijaya. Setelah naik takhta, dia dan keturunannya terus memperkuat negeri barunya itu hingga dikenal oleh negara-negara di kawasan regional hingga Tiongkok dan India. “Jadi, ya akhirnya Sumatra dan Jawa itu masih satu keluarga, tapi beda kerajaan, tak bisa dibilang kemudian Jawa bagian Sriwijaya dan Sriwijaya bagian Jawa,” tegas Bambang.
- Riwayat Tempat Penitipan Anak
DAYCARE atau Tempat Penitipan Anak (TPA) ramai tumbuh di antero kota-kota besar Indonesia belakangan ini. Para orangtua menitipkan anak balita mereka di TPA sejak pagi hingga jelang sore pada hari-hari tertentu. Mereka ambil keputusan ini lantaran rutinitas kerja dan tak ada sanak keluarga di sekitar rumah. Mereka sudi membayar sekian rupiah supaya bisa memperoleh layanan terbaik dari TPA untuk anak-anak mereka. Sejarah TPA berakar di Prancis pada 1840-an. “Berkelindan dengan peningkatan jumlah perempuan pekerja pabrik pada pertengahan abad ke-19,” tulis Dorena Caroli dalam Day Nurseries & Childcare in Europe 1800-1930. Orang Prancis menyebut TPA sebagai crèches . Banyak anak balita mati terlalu dini dan tumbuh telantar lantaran kurang perawatan dari orangtua. Sekelompok perempuan perawat di Prancis berupaya mengubah keadaan tersebut. Para orangtua bukan tak ingin merawat dan membesarkan anak balita mereka. Mereka tergencet kemiskinan akut di kota. Upah bekerja seorang ayah tak cukup untuk menyambung hidup satu keluarga. Butuh ibu yang juga turut bekerja untuk menjamin keberlangsungan hidup keluarga. Tapi cara ini menghapus waktu luang mereka untuk anak-anaknya. Lalu bagaimana cara meninggalkan anak balita di rumah tanpa perlu membuat mereka telantar dan mati terkapar? Maka bertemulah prakarsa para perawat dengan kebutuhan orangtua terhadap keberlangsungan tumbuh-kembang anak balita mereka pada sebuah tempat bernama crèches . Kemudian konsep crèches berkembang ke kota-kota industri lain di Eropa. Di mana kelas pekerja berpijak, di situlah pula lahan tumbuh crèches . Gejala serupa juga hampir tampak di Indonesia. Kemerdekaan Indonesia mengubah peran perempuan. Urusan mereka tak lagi seukuran dapur dan senyaman kasur. Mereka turut giat dalam menggerakkan ekonomi negeri. Lowongan-lowongan kerja untuk beragam posisi tersedia bagi mereka. Satu dekade setelah kemerdekaan, perempuan Indonesia menyemarakkan pabrik-pabrik dan kantor dagang atau pemerintahan di kota-kota besar. “Di mana kita lihat berduyun-duyun wanita-wanita yang bekerja di waktu pagi berangkat ke kantor dan di waktu siang jam dua pulang ke rumah masing-masing,” tulis SK Trimurti dalam “Wanita dan Masalah Kerdja” termuat di Wanita , 10 Agustus 1957. Ketika perempuan pekerja mempunyai anak, tanggung jawab mereka bertambah. Mereka berkewajiban merawat dan membesarkan anak-anak. Tapi seringkali tanggung jawab ini berbenturan dengan tanggung jawab pada pekerjaan. Para pekerja perempuan yang mempunyai anak balita berhak memperoleh cuti selama tiga bulan. Hanya selama inilah waktu mereka untuk kasih perhatian penuh ke anak balita. Selepas tiga bulan, para ibu pekerja harus masuk kantor atau pabrik lagi. Dan anak balita tak mungkin ikut ke tempat kerja mereka. Maka menguarlah pikiran tempat penitipan anak balita selaik di negeri Barat. “Dalam keadaan demikian ternyatalah bahwa sebetulnya untuk anak-anak yang ditinggalkan harus disediakan suatu tempat penitipan di mana mereka dapat dijaga, soal makanan dan kesehatannya, dan untuk ibunya merupakan suatu keringanan sehingga dia dapat bekerja dengan tenang dan sempurna,” tulis Sunday Courier , No 5, Januari 1955. Gagasan tempat penitipan anak maujud di kota-kota besar. “Di sana-sini terutama di kota-kota besar mulai didirikan tempat penitipan kanak-kanak, baik yang diselenggarakan oleh majikan partikelir atau pemerintah,” tulis Wanita , 20 Oktober 1955. Tapi kebanyakan tempat penitipan anak tak bertahan lama. Ada beda kondisi kultural dan sosial antara Indonesia dan negeri Barat. Meski Indonesia punya banyak perempuan pekerja, kebanyakan orangtua masih lebih percaya menitipkan anaknya pada lingkungan sekitar. Entah tetangga atau keluarga. “Di negeri kita belum laku, sebab di rumah masih ada saudara atau pembantu yang momong anak,” tulis Wanita . “Untuk memperkenalkan tempat ini dibutuhkan waktu yang agak lama sebelum masyarakat terutama wanitanya membutuhkan dan mempergunakan tempat semacam tersebut,” lanjut Wanita . Enam puluh tahun kemudian, perkiraan tersebut menjelma kenyataan. Warga kota kian hari, kian sibuk. Ayah dan ibu bekerja sepanjang hari. Sanak keluarga dan tetangga juga padat kegiatan. Waktu senggang menjadi barang langka. Maka Tempat Penitipan Anak menjadi kebutuhan tak terelakkan bagi keluarga muda pekerja di kota-kota besar Indonesia. Bisnis Tempat Penitipan Anak pun mulai jadi lahan subur tumbuh-kembangnya uang bagi usahawan.*
- Pengeboman Gereja di Jawa Timur
TERORIS melakukan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, pada pagi, 13 Mei 2018. Korban tewas 14 orang enam di antaranya pelaku satu keluarga; dan 43 orang luka-luka. Pada malam harinya, sebuah bom meledak di lantai lima rusunawa di Wonocolo, Sidoarjo, Jawa Timur. Pelakunya satu keluarga: tiga tewas dan tiga terluka. Paginya, 14 Mei 2018, bom bunuh diri terjadi lagi di Polrestabes Surabaya. Semoga saja pengeboman itu tidak mengulang peristiwa serangan bom pada malam Natal tahun 2000. Saat itu, teroris Jamaah Islamiyah meledakkan bom di 15 gereja di sebelas kota: Jakarta, Bekasi, Sukabumi, Bandung, Ciamis, Mojokerto, Mataram, Pematang Siantar, Medan, Batam, dan Pekanbaru. Total 20 orang tewas dan 120 orang terluka. Untuk wilayah Jawa Timur, sasaran pengeboman adalah gereja di Mojokerto. Pelaku pengeboman, Ali Imron, mengungkap mengapa tidak memilih gereja di Surabaya. Dalam memoarnya, Sang Pengebom, Ali Imron mengatakan alasan mengebom gereja untuk membalas penyerangan terhadap umat Islam di Ambon dan Poso. Dia dan Amrozi bertemu dengan Hambali, koordinator serangan daerah Jawa, di sebuah hotel di Surabaya. Hambali menyampaikan, jika orang-orang Kristen di Ambon bisa menyerang umat Islam pada hari raya Idulfitri, mengapa tidak menyerang pada hari raya mereka, Natal. “Oleh karena itu, kita akan memulai jihad untuk membalas mereka dengan melakukan pengeboman terhadap gereja-gereja di malam Natal,” kata Ali Imron. Hambali menyerahkan pengeboman di Jawa Timur kepada Amrozi dan Ali Imron. Dia menanggung pembiayaannya. Menurut Ken Conboy dalam Intel II: Medan Tempur Kedua , Hambali memperkirakan biaya untuk serangan Natal mencapai US$50.000 untuk transportasi, rumah aman, bahan-bahan peledak, dan masing-masing pelaku. Dana itu berhasil diperoleh dari Masran bin Arshad, anggota Jamaah Islamiyah asal Malaysia, yang baru pulang dari Pakistan membawa sumbangan dari al-Qaeda. Yazid bin Sufaat, anggota Jamaah Islamiyah asal Malaysia, juga menyerahkan US$10.000 dari dana pribadinya. Sisanya dikumpulkan dari para anggota Jamaah Islamiyah Mantiqi 1 (cabang regional mencakup Malaysia dan Singapura). Mantiqi 1 menginginkan serangan malam Natal dilakukan di sepuluh –belakangan ditambah menjadi sebelas– kota. “Sebagai koordinator daerah Jawa, Hambali menyediakan dana dan memilih pemimpin di setiap kota sasaran,” tulis Conboy. Para pemimpin diberi kebebasan memilih tempat di mana bom diletakan di setiap kota sasaran. Mereka juga diberi kebebasan memilih jenis bom; beberapa memilih bom waktu sederhana; yang lain menyukai peledak lebih canggih yang dipicu oleh telepon atau pager. Ukuran bom bervariasi antara tiga hingga 14 kilogram. Hambali bertanya kepada Amrozi dan Ali Imron kira-kira gereja mana di Jawa Timur yang akan dijadikan sasaran bom. Mereka mengisyaratkan sasaran bom adalah gereja-gereja di Mojokerto. “Alasan kami saat itu karena Mojokerto kota kecil tetapi banyak gerejanya. Dan kami tidak memilih gereja-gereja di Surabaya karena kami khawatir, jangan-jangan setelah pengeboman nanti kami kesulitan membeli pupuk dan bahan-bahan bom lainnya di toko kimia di Surabaya,” kata Ali Imron. Ken Conboy menambahkan, sejak Jamaah Islamiyah mengirim anggotanya ke Ambon pada awal tahun 2000, Amrozi telah mengumpulkan bahan-bahan kimia untuk digunakan di Maluku. Dia membelinya di toko Tidar Kimia, penyalur bahan kimia di Surabaya. Karena sebagian besar komponen yang dia cari tidak berbahaya –contohnya potasium klorat adalah pupuk– maka pembeliannya tidak menimbulkan kecurigaan. Amrozi dan Ali Imron sempat menyurvei gereja di Jombang, Bojonegoro, dan Tuban. Namun, mereka akhirnya menetapkan tiga gereja di Mojokerto. Pelaksana pengeboman adalah Ali Imron, Mubarok, Sawad, Salman, dan Muhajir. Amrozi tidak ikut karena sakit. “Saya dan Mubarok mulai mencampur bubuk pupuk, bubuk belerang, dan bubuk aluminium. Dengan selesainya pencampuran tersebut maka jadilah bubuk peledak seberat 15 kg yang biasanya kami sebut black powder . Selanjutnya kami berdua mulai membuat Bom Kado dan Bom Tas,” kata Ali Imron. Mereka kemudian membagi pengeboman. Ali Imron dan Sawad membawa bom ke Gereja Pantekosta Allah Baik; Salman membawa bom ke Gereja Santo Yosef; Muhajir dan Mubarok membawa bom ke Gereja Eben Haezar. “Rencana kami meledakkan gereja di Mojokerto sudah tercapai dan berhasil,” kata Ali Imron. Ledakan itu menewaskan dua orang dan lima luka parah. Salah satu korban meninggal adalah Riyanto, anggota Banser NU, yang berjaga di Gereja Eben Haezar. Ali Imron ditangkap setelah terlibat dalam Bom Bali I pada 2002. Dia terhindar dari hukuman mati dan dihukum penjara seumur hidup karena mengaku bersalah, menyesal dan meminta maaf kepada semua orang terutama korban dan keluarganya, serta bersedia bekerja sama dengan polisi. Pada serangan bom malam Natal tahun 2000, teroris Jamaah Islamiyah tak memilih sasaran gereja di Surabaya tapi di Mojokerto. Kini, 18 tahun kemudian, tiga gereja di Surabaya jadi sasaran pengeboman. Kali ini, pelakunya adalah teroris Jamaah Ansharut Daulah/Jamaah Ansharut Tauhid yang mendukung gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
- Asad Shahab, Jurnalis Arab Pro Republik
Sejarah mencatat Mesir adalah negara pertama yang mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia. Para pelajar Indonesia yang ada di sana menerima berita tentang perjuangan kemerdekaan Indonesia dari kantor berita Arabian Press Board ( APB ). Berita-berita itu diteruskan dalam konferensi Liga Arab. Walhasil, negara-negara Islam di Timur Tengah bersimpati dan memberikan dukungannya. Menurut Nabiel A. Karim Hayaze, peneliti Menara Center – Lembaga Riset Keturunan Arab – dari berita-berita itulah negara di Timur Tengah mendapat informasi tentang Indonesia; negara berpenduduk Muslim dengan presidennya yang bernama Ahmad Sukarno. Dan sejak itu pula masyarakat Mesir memantau perjuangan Indonesia melawan Belanda yang berujung pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Mesir. “Berita-berita APB diterjemahkan dalam bahasa Arab oleh penyiar RRI dan diterima oleh pelajar-pelajar Indonesia yang ada di Mesir. Berita yang dikirim sepotong-sepotong, kemudian dikumpulkan dan dituliskan dalam media Mesir,” ujar Nabiel dalam diskusi “Mengenang M. Asad Shahab: Arabian Press Board Mengawal Proklamasi” di Perpustakaan Nasional (11/5.) Dari beberapa kantor berita yang beroperasi di masa revolusi, APB menjadi media pro-Republik yang paling leluasa bergerak di mancanegara. Kantor berita Antara jangkauannya hanya terbatas di dalam negeri. Kantor berita Domei masih dikontrol oleh Jepang. Reuters berpihak kepada Sekutu. Sementara APB memiliki hubungan dengan jaringan ulama para imigran ke Indonesia dalam rangka berdakwah dan berdagang. Sosok penting di balik aktifitas APB menyebar berita proklamasi di luar negeri tersebutlah nama Mohammad Asad Shahab. Asad Shahab dan APB Asad Shahab lahir di Jakarta pada 23 September 1910 dari keluarga Betawi berdarah Arab. Ayahnya, Ali Shahab adalah juragan tanah yang termasuk salah seorang tokoh perintis Jamiat Kheir. Menurut Alwi Alatas, sejarawan yang mengkaji komunitas Hadrami di Indonesia, Jamiat Kheir merupakan organisasi Islam modern pertama di Hindia Belanda. Pada masa pergerakan, Asad Shahab aktif di perkumpulan Hizbu Shabab. Perkumpulan pemuda-pemuda Hadrami ini dalam bahasa Belanda disebut Partij van de Jongere Arabieren (Partai Arab Muda). Pada 1938, Asad Shahab tercatat sebagai sekretaris pertama. “Tujuan organisasi ini cukup banyak. Memberikan bantuan beasiswa, menolong keluarga Hadrami yang miskin, melakukan pembelaan terhadap Islam, hingga mengorganisir klub sepak bola,” kata Alwi Alatas. Diskusi “Mengenang M. Asad Shahab: Arabian Press Board Mengawal Proklamasi” di Perpustakaan Nasional (11/5.). Foto: Martin Sitompul/Historia. Pada 2 September 1945, Asad Shahab mendirikan kantor berita Arabian Press Board ( APB ). Kata Arab dibubuhkan guna mengelabui Belanda yang berupaya menekan atau membubarkan setiap gerakan berbau Indonesia. Kantor berita APB terletak di Jalan Gang Tengah No. 19 yang kini dikenal sebagai kawasan Salemba. Berita yang diterbitkan APB berupa buletin harian yang diterjemahkan ke dalam tiga bahasa: Indonesia, Arab, dan Inggris. Produk media APB cukup beragam. Mulai dari buletin harian, suratkabar, dan majalah berkala. Selain koreponden di berbagai negara, pendistribusian APB terbantu oleh Kementerian Luar Negeri yang mengirimkan buletin harian ke seluruh perwakilan RI di luar negeri. Dari berita APB, negara-negara Timur Tengah mengetahui keadaan yang terjadi di Indonesia. Corong Perjuangan Sejarawan cum antropolog Belanda dari Universitas Nijmegen, Huub de Jonge menguak fakta sejarah menarik tentang APB . Menurutnya, berita-berita APB memuat informasi yang kaya rekaman sejarah. Berdasarkan sumber militer Belanda, baik arsip NICA ataupun arsip intelijen (PID) yang diteliti Jonge, menyebutkan bahwa tulisan-tulisan di koran Belanda mengambil rujukan berita dari APB . “Pemberitaan Belanda yang ada di Indonesia mengambil berita yang dikeluarkan APB dan ditulis dalam komentar yang respek,” kata Jonge. Di tengah perjuangan revolusi, salah satu pemberitaan APB menyebutkan pentingnya pencatatan populasi ternak di Indonesia. Sumber Belanda juga melansir berita APB tertanggal 20 April 1948 terkait Perjanjian Renville yang mewartakan bahwa berita Indonesia tak seharusnya bekerja sama dengan negara asing. APB juga memberitakan tentang para pelaku pemberontakan di Madiun sudah menjadi gila. Selain itu, pasca Perjanjian Roem-Rooijen dan para tokoh Republik dikembalikan ke Yogyakarta, APB memberitakan bantuan orang kaya Arab menyumbangkan perlengkapan furnitur di Istana Yogyakarta karena kondisi finansial negara yang sulit. “Ini menunjukkan bagaimana pemberitaan APB bisa sangat detail mengenai sejarah,” ujar Jonge. Jonge juga mengimbau apabila kita bisa menemukan semua buletin yang dikeluarkan oleh APB, itu bisa digunakan untuk merekonstruksi sejarah bangsa. Semua pergerakan tertulis secara detail mengenai siapa, kapan, dan bagaimana kejadiannya. Dokumen-dokumen APB semasa revolusi sempat lenyap. Tentara NICA melakukan penggerebekan yang mengakibatkan kantor berita APB ditutup. Siaran APB pun dibredel. Pasca pengakuan kedaulatan, Arabian Press Board berganti nama menjadi Asian Press Board . Di masa Sukarno, APB menjadi pers yang kritis menentang komunisme dan politik Demokrasi Terpimpin. Asad Shahab menolak konsepsi Sukarno tentang Nasakom. Lagi pula, kecendrungan pers komunis saat itu tengah kuat-kuatnya. Pertentangan politik menyebabkan APB dibubarkan pada 1962 dan dileburkan ke dalam Antara . Muncul desas-desus Asad Shahab menjadi target sasaran untuk diadili. Asad Shahab kemudian meninggalkan Indonesia dan menghabiskan sekian lama waktunya di Arab Saudi. Dia berkecimpung dalam organisasi Islam Rabithah al-Alam al-Islami yang aktif dalam kegiatan dakwah. Pada 1980, Asad Shahab kembali ke Tanah Air. Di masa tuanya, dia dikenal sebagai tokoh pers pejuang sekaligus tokoh keturunan Arab terkemuka. Pada usianya yang ke-90, Assad Shahab wafat, tepatnya pada 5 Mei 2001.
- Ketika Robby Darwis Dikerjai Malaysia
Rivalitas Malaysia-Indonesia telah merembes ke berbagai bidang, terlebih di olahraga. Robby Darwis, stopper Persib dan timnas era 1980-an, merasakan betul hal itu. Dia tak pernah melupakan peristiwa yang dialaminya 29 tahun silam. Alih-alih mendapat senang dan kebanggaan merumput bersama klub luar, dia justru sial sejak awal gegara sebuah insiden. Pada 1989, Robby dikontrak Kelantan FC dari Persib. Bersama Kelantan, Robby bermain di Divisi 1 Liga Semi-Pro Malaysia. Robby menjalani debutnya pada 11 Juli kala timnya menghadapi Singapore FA (timnas Singapura yang “membonceng” kompetisi Liga Malaysia). “Ketika itu saya baru saja pulang dari (timnas) PSSI untuk Pra Piala Dunia, saya langsung ke Singapura. Di pertandingan lawan Singapura itulah terjadi insiden. Ada protes sampai ricuh di lapangan,” ujar Robby kepada Historia. Mengetahui ada kericuhan, Robby mendekati rekan-rekannya yang mengerubungi wasit untuk melerai. “Waktu saya lagi berusaha memisah-misahkan rekan-rekan tim, wasit kakinya ketendang ,” kenang Robby. Tendangan itu membuat wasit tersungkur dan marah. “Begitu bangun, dia (wasit) ngeluarin kartu merahnya ke saya. Saya sendiri nggak tahu pelakunya,” lanjut Robby. Skorsing Aneh Negeri Jiran Hukuman itu membuat Robby merasa dijadikan korban “konspirasi”. Pasalnya, setelah itu FAM (induk sepakbola Malaysia) membawa kasus itu ke FIFA. Berbeda dari para pemain Singapura yang disanksi hanya dengan skorsing 2-3 pertandingan, Robby dapat skorsing jauh lebih banyak. “Saya tiga-empat bulan larangan bermain. Makanya aneh di situ. Ya habis itu musim sudah selesai. Jadi sedikit sekali saya bermain di sana,” sesalnya. Skorsing itu juga membuat Robby tak bisa memperkuat timnas Indonesia di SEA Games 1989. “Tahun 1989 itu kan Malaysia tuan rumah. Sementara Indonesia juara bertahannya (cabang sepakbola SEA Games). Apalagi saya juga di tim inti timnas, jadi ya nggak tahu lah (konspirasinya). Saat itu kita masih tim kuat. Di samping fisik kita bagus, kualitasnya juga bagus-bagus,” sambung Robby. Kecurigaan Robby bukan tanpa alasan. Sebab, ingat Robby, technical meeting (TM) ASEAN Football Federation sempat membicarakan kasusnya. “Waktu rapat TM itu saya dibilangnya boleh main. Makanya waktu menjelang lawan Brunei (di penyisihan Grup B), saya sudah pemanasan. Tapi lalu saya malah nggak boleh main. Nah , habis SEA Games justru sanksi saya dicabut,” kata Robby. Sekembalinya ke Persib usai putus kontrak dengan Kelantan, Robby juga baru bisa merumput di Perserikatan 1989/1990 selepas 2 Desember, setelah FIFA mencabut sanksinya. Menurut Sekretaris Umum PSSI Nugraha Besoes, dilansir Pikiran Rakyat 1 November 1989, hukuman Robby dicabut FIFA kemungkinan besar lantaran rekaman video yang diperiksa tak menunjukkan Robby melakukan serangan fisik terhadap wasit. “Itulah makanya. Saya sendiri nggak mau mempermasalahkan yang sudah lalu. Meski pihak klub (Kelantan) juga sempat protes dan ingin melihat saya lebih sering bermain untuk mereka. Hubungan saya, pergaulan dengan rekan-rekan setim yang asli Malaysia pun baik-baik saja, nggak ada sentimen apa-apa,” ujarnya menutup pembicaraan.
- Orang Katolik di Masa Jepang
Umat Katolik bumiputra terasing di dua komunitas pada masa kolonial. Mereka hidup dalam masyarakat mayoritas Muslim. Sedangkan di dalam gereja, mereka terasing karena berada dalam golongan di bawah Eropa dan Tionghoa. Ketika masa pendudukan Jepang, mereka mendapatkan nasib yang tak lebih baik. Menurut Gregorius Budi Subanar, rohaniwan dan budayawan, sejumlah pemimpin Katolik bumiputra ditahan. Layanan para misionaris untuk pendidikan dan kesehatan pun nyaris macet. “Orang-orang Kristen ini dicap sebagai antek kolonial,” kata Budi Subanar, yang akrab disapa Romo Banar, kepada Historia . Di sisi lain, kata Romo Banar, ada umat Katolik yang berbalik iman, dengan mengembalikan buku doa ke gereja. Kendati demikian, pemimpin umat Katolik yang tersisa tetap berusaha turun ke daerah-daerah untuk menenangkan umat dan memberikan pelayanan. Nasib Tragis Nasib tragis juga dialami para pemimpin Katolik berdarah Belanda. Romo Banar mengatakan, mereka ditangkap dan dipenjara. Di wilayah misi di Flores, misalnya, 173 imam misionaris dimasukkan ke kamp interniran. Nasib yang sama dialami pemimpin Katolik di Langgur, Maluku Tenggara. Menurut Romo Banar, sesaat setelah tentara Jepang mendarat di Pulau Kei, Mgr. Aerts yang menjadi pemimpin gerejani Maluku dihabisi. Begitu pula dengan empat imam, delapan bruder, dan satu suster. Penangkapan-penangkapan pun terjadi di wilayah Vikariat Apostolik Semarang. Proses penahanan dimulai pada Mei 1942. Vikariat Apostolik merupakan bentuk otoritas sebuah kawasan dalam Gereja Katolik Roma, yang dibentuk dalam wilayah misi di negara yang belum memiliki keuskupan. Status Vikariat Apostolik Semarang ditingkatkan menjadi Keuskupan Agung Semarang pada 1961. Di Surakarta, tiga misionaris Serikat Jesuit dan dua misionaris Keluarga Kudus ditangkap pada 30 Mei 1942. Kemudian, pada 28 Juni 1942, para bruder anggota Tarekat Maria Yang Dikandung Tanpa Noda di Surakarta ditahan. Menyusul, sejumlah orang dari komunitas Katolik lainnya di berbagai tempat ditawan. “Saat pendudukan Jepang, Yesuit yang berkarya di Jawa ada 172 orang, 120 misionaris Eropa ditahan dalam kamp internir,” kata Romo Banar, yang menulis buku Soegija Catatan Harian Seorang Pejuang Kemanusiaan. Guna menegakkan kekuasaannya, pemerintah militer Jepang mengeluarkan sembilan undang-undang. “Dua di antaranya mengatur dan membatasi gerak lembaga agama,” ujar Romo Banar. Seluruh kegiatan di dalam gereja, baik khotbah, nyanyian, dan ungkapan religius harus menggunakan bahasa Indonesia atau daerah. “Bahasa musuh”, dalam hal ini bahasa Belanda, dilarang. Para pastor berada di bawah kontrol, dan laporan tentang mereka harus dikirim kepada pejabat Jepang setempat. “Pastor-pastor di internir banyak yang meninggal. Yang kemudian (selamat) pulang, ya gila. Stres,” kata Romo Banar. Perjuangan Soegijapranata Ketika banyak petinggi gerejani ditangkap Jepang, Soegijapranata menjadi penjaga keutuhan umat Katolik di Semarang, dan wilayah Jawa Tengah. Dia adalah sosok pemimpin umat Katolik bumiputra kala itu. Sebagai pemimpin Apostolik Semarang, Soegijapranata intens berkomunikasi dengan para aktivis gereja yang diinternir. Salah satunya dengan Mgr. P. Willekens, Vikaris Apostolik Batavia, yang kemudian dibebaskan dari tahanan setelah mendapat bantuan dari diplomat Swiss. Kedua pemimpin gereja itu menjalin relasi surat-menyurat. Bersama Rektor Seminari Kecil Mertoyudan, Jawa Tengah. Soegojapranata dan Willekens lalu berkirim surat kepada penguasa Jepang untuk meminta izin membuka kembali Seminari Menengah yang ditutup. Dalam situasi sulit, Soegijapranata mengkoordinir pelayanan dengan turun langsung ke daerah-daerah maupun lewat surat-menyurat. “Surat-surat yang saya temukan banyak. Ada ratusan. Setiap minggu selama masa Jepang dia kirim surat. Dia diplomasi, komunikasinya, secara tulisan dan lisan,” ujar Romo Banar. Komunikasi juga dilakukannya dengan Sukarno. “Jadi selama masa Jepang, Sukarno pernah ke Semarang, pidato, lalu komunikasi lewat kurir. Dia menyerukan pemuda-pemudanya, ikut gerakan Sukarno.” Setelah kemerdekaan, menurut Romo Banar, umat Katolik menyatakan 100 persen Katolik, 100 persen Indonesia. Motto ini populer di kalangan umat Katolik, sebagai upaya menepis cap lama, yakni tudingan antek kolonial, sekaligus memotivasi umat Katolik agar berguna bagi masyarakat Indonesia.





















