top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

Berburu Binatang Berhadiah Uang

Penghuni awal kota Batavia ketakutan oleh harimau hingga buaya. Pihak VOC pun memberikan hadiah uang bagi mereka yang berhasil menangkap atau membunuh binatang buas itu.

5 Sep 2023

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Seekor harimau masuk Kastil Batavia ditembak sementara penduduk berlarian, dalam buku Francois Valentyn, Oud en Nieuw Oost-Indiën (1724).

GUBERNUR Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen membangun kota Batavia usai merebut wilayah itu dari Kesultanan Banten pada 1619.Sejumlah orang didatangkan untuk menjadi penghuni pertama kota tersebut. Selain serdadu VOC, Batavia juga dihuni warga Tionghoa yang didatangkan dari Banten dan tempat-tempat lain di sepanjang pantai utara Jawa.


Arsiparis dan sejarawan Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia menyebut kelompok lain yang termasuk penghuni pertama adalah para budak dari koloni-koloni VOC di Asia dan Indonesia timur. “Ada yang karena menjadi tawanan perang, ada yang memilih menjadi serdadu dan lalu dianggap sebagai orang merdeka, karena itu disebut mardijkers,” sebut Mona.


Keberadaan penduduk Batavia mendorong pihak VOC memikirkan cara mengatur dan memerintah kota. Tak hanya mengurus hal-hal terkait pemerintahan sipil dan pengadilan, VOC juga mengatur perburuan binatang buas yang mengancam penduduk Batavia.


Baca juga: Merampog Harimau


Menurut sejarawan Adolf Heuken SJ dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, pada abad ke-17 binatang buas seperti macan dan badak masih banyak berkeliaran di hutan-hutan sekitar Batavia, bahkan buaya ditemukan di beberapa kali di dalam kota. “Pada tahun 1692 misalnya, tiga orang laki-laki, yang baru saja tiba dari Eropa, hanya sempat menyelamatkan diri dengan memanjat tiang gantungan dekat sebuah kali. Sebab dari kali itu seekor buaya besar yang lapar mengejar mereka,” tulis Heuken.


Sebelumnya pada 1659, empat belas orang yang menebang kayu dekat kota, dimangsa macan seperti beberapa budak yang bekerja di daerah Ancol. Kejadian orang dimangsa binatang buas kembali muncul pada 1662 dalam laporan patroli ke Kali Bekasi yang dipimpin oleh A. Herport.Dilaporkan seorang penduduk Jawa yang sedang berjaga diterkam seekor harimau lalu dibawa lari. Hewan buas itu melepaskan korbannya setelah ditembak pasukan patroli. Luka parah yang dialami korban membuat nyawanya tak dapat diselamatkan.


Menurut sejarawan Peter Boomgaard dalam Frontiers of Fear: Tigers and People In the Malay World, 1600–1950, ancaman hewan buas membuat kegiatan berburu marak dilakukan oleh penduduk Batavia, tak terkecuali pejabat tinggi VOC. Selain itu, sebagai tanggapan atas kekhawatiran penduduk kota, Gubernur Jenderal VOC Pieter de Carpentier membuat perangkap harimau.



Dalam catatan harian Kastil Batavia disebutkan pada 1640-an sekali dalam sebulan ada saja mayat harimau yang dipertontonkan di lapangan kastil. Namun, ancaman hewan buas masih belum juga reda. Oleh karena itu, sejarawan Hendrik E. Niemeijer menyebut Kepala Dewan Peradilan Joan Maetsuycker memutuskan pada 1644 untuk memimpin sendiri perburuan besar-besaran dan untuk itu dikerahkan 800 orang yang terdiri dari 20 penunggang kuda, 100 serdadu, 50 budak, dan selebihnya warga Belanda dan penduduk asli, warga Tionghoa, orang-orang Banda dan Jawa.


“Namun, sesudah menyisir kawasan selama dua hari, rombongan itu terheran-heran karena tidak menjumpai seekor pun macan atau binatang buas lainnya sehingga mereka pulang ke dalam kota dengan masygul,” tulis Niemeijer dalam Batavia, Masyarakat Kolonial Abad XVII.

Tak hanya melakukan perburuan besar-besaran, pihak VOC juga memberikan hadiah uang kepada para pemburu yang berhasil menangkap atau membunuh hewan-hewan buas. Pemberian imbalan ini disebutkan pertama kali dalam sumber tahun 1644, yang berisi informasi mengenai penangkapan seekor harimau besar berjenis kelamin betina oleh Jan Cleijn. Atas aksinya, Cleijn mendapatkan uang dari gubernur jenderal.


Mulanya uang tersebut diberikan sebagai hadiah, atau lebih tepatnya tip, kepada orang-orang yang berhasil menangkap harimau atau macan tutul (dan juga badak, buaya, serta ular besar), saat mereka menyerahkan hewan tersebut kepada gubernur jenderal. Namun, pada 1648 pemberian uang kepada pemburu hewan buas dianggap hal yang lazim.



Menurut Boomgaard, jumlah uang yang diberikan kepada mereka yang berhasil menangkap maupun membunuh hewan buas bervariasi, bahkan ada yang mencapai puluhan gulden. “Kadang-kadang, jika pertemuan dengan harimau sangat mengerikan dan orang yang membunuh harimau tersebut sangat berani, gubernur jenderal dapat menunjukkan penghargaannya dengan memberikan hadiah yang jauh lebih besar,” tulis Boomgaard.


Seperti terjadi pada 1670-an atau 1680-an, saat seorang budak yang telah dimerdekakan dan dipekerjakan oleh gubernur jenderal, berburu merpati dan babi hutan dengan budak lainnya. Ketika sedang beristirahat, seekor harimau menyerang mereka. Rekannya yang hanya memiliki sumbu api untuk membela diri terbunuh seketika,sementara ia menembakkan senjata untuk berburu ke arah harimau tersebut. Tembakan itu hanya melukai harimau hingga membuatnya marah lalu menyerang dan menggigit tiga jarinya. Di tengah pergulatan hidup dan mati, orang itu berhasil mengisi ulang senjatanya dan membunuh harimau tersebut dengan tembakan kedua.


Setelah bermalam di atas pohon bersama mayat rekannya, ia kembali ke Batavia.Ia mendapat imbalan 12 gulden, dan di samping gajinyajuga mendapatkan satu set meja makan serta dianugerahi pangkat kopral.


Sayembara memburu harimau hingga buaya di sekitar Batavia lambat laun kian menarik perhatian penduduk. Niemeijer menyebut yang sering mendapatkan buaya di dalam parit-parit serta di luar tembok kota umumnya adalah para pemegang izin untuk menangkap ikan air tawar yang biasa menggunakan keramba. Sementara itu, tak jarang serdadu yang iseng memanfaatkan waktu senggangnya untuk berburu buaya dengan memasang umpan seekor anjing diikat di atas getek bambu. “Barang siapa berhasil menangkap seekor buaya atau ular, menyeretnya ke tepi sungai dan membunuhnya, menerima upah 10 real,” sebut Niemeijer.


Ancaman hewan buas yang membuat penduduk Batavia bergidik ketakukan tercermin dalam nama sejumlah parit di kota, seperti Parit Harimau (Tijgersgracht), Parit Buaya (Kaaimansgracht), dan Parit Badak (Rinocerosgracht).*

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
bottom of page