- Randy Wirayudha
- 13 Jun
- 2 menit membaca
KETIKA berkuasa, Presiden Sukarno berusaha mengikis mistik dan takhayul yang sudah mendarah daging di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Salah satunya dengan memajukan sains dan teknologi yang terus diperhatikan pemerintahannya. Dengan sains-tek, ia berharap masyarakat bisa memperdalam dan mengembangkan keilmuan antariksa yang mulai marak. Ia ingin bangsanya menyaingi bangsa-bangsa Barat.
Kaum elite Belanda sudah lebih dulu mempelajari benda-benda di antariksa beserta fenomena-fenomenanya. Di masa kolonial, mereka sudah punya wahana untuk mempelajarinya, yakni teropong bintang yang berada di Observatorium Bosscha di Lembang. Bangunan yang berdiri sejak 1923 itu dirancang arsitek yang juga dosen Bung Karno semasa kuliah di Technische Hoogeschool Bandoeng (kini Institut Teknologi Bandung/ITB), yakni Charles Prosper Wolff Schoemaker. Maka di masa pasca-kemerdekaan ketika Bung Karno sudah punya kekuasaan, ia ingin membangun wahana yang lebih besar dan bermanfaat berupa planetarium.
Mingguan Djaja edisi 6 April 1963 menyebut, ide planetarium datang dari Bung Karno pribadi. Selain didorong faktor ingin menyingkirkan takhayul, sains tentang antariksa bagi masyarakat, utamanya generasi muda, dinilai penting untuk mengikuti kemajuan zaman agar tak tertinggal dari negara-negara lain.
Keseriusan terhadap teknologi antariksa itu dibuktikan pemerintahan Sukarno dengan menghadirkan Panitia Astronautika (cikal bakal Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional/LAPAN), yang berada di bawah Dewan Penerbangan, pada 1962. Lembaga itu mengampu banyak proyek pengembangan roket yang “demamnya” tengah menjangkiti mahasiswa-mahasiswa ITB dan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Sebagai kelanjutannya, timbullah gagasan tentang planetarium untuk meluaskan keilmuan astronomi kepada masyarakat. Gagasannya direalisasikan melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 155 Tahun 1963 tentang Pembiayaan dan Pelaksanaan Pembangunan Planetarium di Jakarta.
Seperti halnya riset-riset roket untuk eksplorasi antariksa, bukan hal gampang untuk mewujudkan planetarium. Setidaknya butuh waktu hampir setahun pasca-keppres tadi ditandatangani pada 26 Juli 1963 untuk memulainya, dari mencari lokasi, proses perancangan bangunan, mencari kerjasama untuk peralatan dan perlengkapannya, hingga yang terpenting mencari dananya.
Namun, semua kesulitan itu perlahan tapi pasti bisa diatasi. Tentu tidak semua diupayakan pemerintah, bantuan dari luar negeri pun ada. Pemerintah Jerman tidak hanya membantu mengirim dua ahli planetarium untuk memilih lokasi, tapi juga membantu dalam penyediaan peralatan dan perlengkapan planetariumnya.
Soal biayanya, yang diperkirakan menghabiskan lebih dari satu milyar rupiah, Bung Karno tak mau membebani anggaran negara. Akhirnya didapatkan pihak swasta, yakni Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI), yang menyanggupi dengan penyaluran dana secara bertahap antara 1964-1966.
Dengan dana GKPBI itulah pembangunan Planetarium Jakarta di lahan seluas sekitar 10 hektare itu berjalan. Bung Karno hadir dalam pemancangan tiang pertamanya pada 9 September 1964.
“Wah, celaka! Nanti akan datang pagebluk. Kalau ada lintang kemukus, pasti bakal ada bencana. Nanti saudara bisa lihat di dalam planetarium bahwa komet itu tak lain dan tak bukan hasil daripada gerak-gerak bintang yang misalnya mengeluarkan gas,” kata bung Karno dalam pidatonya, mengungkit soal sains-tek yang diwakili Planetarium dapat mengalahkan kebenaran takhayul di masyarakat yang mempercayai komet sebagai Lintang Kemukus yang menandai akan datangnya bencana, dalam arsip pidato Sukarno 1958-1968 Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Namun, sang waktu berkata lain. Belum rampung pembangunan Planetarium, Peristiwa Gerakan 30 September 1965 keburu datang mengubah segalanya. Bung Karno pun terdepak dan rezim berganti ke Orde Baru.
Cerita lebih lengkap tentang Planetarium bisa Anda baca di: https://www.historia.id/article/planetarium-ambisi-sukarno-menguak-rahasia-angkasa-dwg55
Comentários