- Petrik Matanasi
- 28 Agu
- 3 menit membaca
Diperbarui: 8 Okt
GELAR, entah itu gelar militer, kebangsawanan, ataupun keagamaan, dulu adalah hal penting di banyak daerah di Indonesia. Raden, Ksatria, Haji, Kiai dan gelar-gelar lain menjadi pembeda seseorang dengan masyarakat di lingkungannya sehingga pemiliknya akan dipandang lebih tinggi.
Hal itu terlihat antara lain di Madura dulu, zaman Hindia Belanda. Kiai di sana bukan hanya gelar untuk seorang guru agama yang mengelola pesantren. Di kemiliteran pun gelar Kiai ada.
Tersebutlah seorang perwira dari Korps Barisan Madura, Letnan Satu Kaij Djaeng Logo. Barisan adalah salah satu pasukan bantuan (hulptroepen) tentara kolonial Hindia Belanda Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL). Sementara “Kaij” adalah penulisan untuk “Kiai” di era 1800-an.
Letnan Satu Kaij Djaeng Logo, disebut Register Ridders Militaire Willemsorde Kelas Empat nomor 4258, dianugerahi Ridders Militaire Willemsorde 4e klasse berdasar Koninklijk Besluit 24 Maart 1877 Nomor 5 lima atas perannya dalam rangka operasi militer melawan Moekim IV, VI, IX, dan XXII di Aceh, 26 December 1875-9 Maret 1876.
Letnan Satu Kaij Djaeng Logo memimpin sebuah kompi merebut Lamkassan pada 30 Desember 1875. Di sana dia menunjukan keberanian, keteladanan, dan ketenangannya dalam memimpin pasukan yang bergerak penuh arti bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda itu. Di masa militer Belanda hanya percaya kepada orang Belanda dan meremehkan prajurit pribumi itu, Letnan Kaij Djaeng Logo bahkan bisa bertindak layaknya perwira Eropa. Itu terjadi dari 28 Januari-7 Februari 1876 di daerah 25 Moekim.
Dari namanya, Letnan Satu Kaij Djaeng Logo tampak bukan seorang yang berasal kalangan darah biru alias; dia dianggap berasal dari rakyat jelata. Contoh lain adalah seseorang bernama Kaboon (1832-1906). Dia mendaftar sebagai sukarelawan KNIL dengan nama Kaboon. Tanpa ada embel-embel “Raden” di depan namanya.
Koran Het Vaderland tanggal 22 Maret 1931 memberitakan, Kaboon yang pada usia 16 tahun tergabung di Batalyon Infanteri ke-3 KNIL di Surabaya ini dengan cepat menjadi kopral lalu sersan. Dia ikut perang di Bali, Kalimantan, dan Sumatra. Dia termasuk prajurit yang menonjol, bahkan salah satu pemegang bintang Ridders Militaire Willemsorde kelas empat. Pada 3 Juni 1859, Kaboon diangkat menjadi pembantu letnan Korps Barisan Madura. Di Barisan Madura dia mencapai pangkat kolonel tituler.
Tak hanya pangkat militer, Kaboon yang kemudian punya nama Majang Koro ini mendapatkan pula gelar “Raden” ketika menjadi perwira di Korps Barisan. Ketika berpangkat mayor, nama lengkap Kaboon adalah Mayor Raden Demang Majang Koro. Setelah letnan kolonel, gelar kebangsawanannya naik lagi, menjadi Raden Ario Majang Koro.
Korps Barisan tampaknya menjadi jalan bagi orang kebanyakan alias rakyat jelata untuk menjadi orang yang punya gelar. Tak peduli itu Korps Barisan di Bangkalan, Pemekasan, dan Sumenep. Kebanyakan perwira memang dari garis bangsawan, namun ada orang kebanyakan di sana. Bintaranya tentu saja banyak. Di Korps Barisan Bangkalan, yang paling dekat dengan Surabaya, banyak orang dari rakyat jelata punya posisi cukup baik. Setidaknya bintara di dalam korps tersebut. Mereka kadang punya gelar Mas, Kyai atau Kyai Mas.
“Mengingat gelar-gelar mas, kyai, dan kyai mas bukan menjadi gelar bangsawan, dapat dikatakan bahwa sampai pada pelaksanaan pemerintahan langsung separuh dari perwira-perwira barisan adalah orang-orang kebanyakan,” kata Kuntowijoyo dalam Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris: Madura 1850-1940.
Kuntowijoyo melanjutkan, “pemberian gelar kebangsawanan kepada mantri menimbulkan kesulitan.” Kesulitan yang dimaksud yakni dalam menandai mana bangsawan mana orang biasa.
Status sosial itu namun memudar pengaruhnya di Madura pada abad ke-19. Darah dan keturunan tak lebih penting daripada kepribadian dalam posisi yang dicapai dalam pemerintahan. Akibatnya, Madura tampak lebih maju daripada Jawa yang masih kuat memandang garis keturunan. Kaboon dan Djaeng Logo contoh orang Madura yang naik "kasta" melalui jalur militer yang bernama Barisan. Namun, contoh ini tidaklah banyak.*











Komentar