top of page

Sejarah Indonesia

Cerita Desa Transmigrasi Dinodai Seorang

Cerita Desa Transmigrasi Dinodai Seorang Haji

Seorang haji asal Yogyakarta jadi rentenir di Lampung. Belakangan dia tersangkut kasus penggelapan uang kas masjid.

27 Mei 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Para transmigran asal Jawa di Sumatra kerap dirundung masalah keuangan hingga mempertaruhkan nasib pada rentenir. Di Pringsewu, Haji Soedjak sohor sebagai rentenir yang kemudian berkasus. (ANRI).

Diperbarui: 4 Jun

SEORANG haji mestinya menjadi panutan di manapun dia berada. Namun tidak dengan Haji Soedjak. Ulahnya justru memancing kericuhan hingga membuat seorang pejabat Belanda sampai mesti turun tangan akibat ulahnya di suatu siang Desa Mataram.


Desa Mataram adalah nama sebuah desa di Kabupaten Pringsewu, Lampung. Desa ini baru dibuka sekitar tahun 1921 oleh para kolonis (kini transmigran) Jawa dalam program Kolonisatie (transmigrasi kolonial).


Para penduduknya sibuk bertani sehingga konsentrasi mereka tidak terpecah ke hal-hal lain. Desa Mataram terus berkembang pun tenang.


Namun, tidak pada tanggal 31 Mei  1926. Pada pukul empat sore hari itu, di Desa Mataram muncul Haji Soedjak. Penagih utang itu hendak mendatangi salah satu warga transmigran. Kemunculan Haji Soedjak sampai membuat seorang pejabat Belanda datang ke sana untuk menghampirinya dan menanyai surat-suratnya.


Haji Soedjak punya reputasi sebagai rentenir. Sebagai seorang haji dia punya keuangan lebih hingga punya modal untuk meminjamkan uang kepada pihak lain.


“Hadji Soedjak, seorang Jawa, datang ke daerah tersebut sebelum tahun 1922,” terang Schalkwijk di koran De Niewe Vorstenlanden tanggal 17 Juli 1926.


Haji Soedjak tinggal di rumah sewaan di Gadingrejo. Setelah beberapa bulan tinggal di Gadingrejo, dirinya kembali ke Jawa.


Biasanya Haji Soedjak datang ke Pasar Gadingrejo di musim panen saat para petani menjual barang-barang seperti kain di pasar tersebut. Pasar Gadingrejo, Kabupaten Pringsewu, sendiri sudah ramai sejak 1920-an. Pasar ini berkembang karena kehadiran petani-petani Jawa di Gadingrejo yang membuka lahan di sekitarnya.


Setelah 1922, demi bisa terus berdagang di Gadingrejo, Haji Soedjak minta izin tinggal. Keluarganya dia boyong ke sana.


Perdagangan yang dijalankan Haji Soedjak berjalan baik. Dia berdagang tak hanya di pasar, namun juga ke kampung-kampung.


Pada 1924, dia telah mampu membeli sebidang tanah di Desa Tulung Agung, juga termasuk di daerah Gadingrejo. Padahal, tanah itu belum resmi diberikan kepada transmigran yang menjualnya. Jadi secara hukum kepemilikan tanah haji Soedjak tidak sah.


Selain sebagai pedagang, selama di Gadingrejo Haji Soedjak terkenal di kalangan orang-orang Belanda sebagai tukang ijon alias lintah darat alias rentenir di kalangan warga transmigran di Gadingrejo. Sasarannya petani miskin yang baru mulai membuka lahan, yang umumnya memiliki banyak masalah terutama keuangan. Mereka biasanya pasrah dan dengan mudah terjerumus dalam praktek riba berupa menggadaikan lahan dan hasil panen mereka agar mendapat pinjaman uang untuk menyelesaikan masalah mereka.


“Haji Soedjak adalah tipe rentenir yang sangat berani, hampir arogan. Orang tidak perlu banyak bersimpati pada tipe ‘pedagang’ ini,” kata Schalkwijk.


Schalkwijk yang tahu betul reputasi Haji Soedjak kemudian menerima berita tentang sang haji yang lebih rinci. “Menurut laporan, Hadji Soedjak berasal dari Desa Bleberan, Kabupaten Yogyakarta dan telah menjalani hukuman penjara selama 3 tahun atas kejahatan yang dilakukannya sebagai ketua Sarikat Islam di pabrik gula Sewoe Galoer. Ia tampaknya juga ditakuti dan dibenci oleh rekan-rekan hajinya.” 


Latar belakang "hitam" itu membuat Haji Soedjak kemudian diawasi oleh orang-orang Belanda. Haji Soedjak sendiri sulit menjauh dari Gadingrejo yang punya perkembangan ekonomis cukup baik. terlebih, dia juga memiliki jabatan penting dalam praktek keagamaan masyarakat Islam, yakni penghulu di Gadingrejo.


Namun, jabatan penghulu itulah yang beberapa tahun kemudian membuat kehebohan di Gadingrejo. Koran Het Nieuws van den dag edisi 7 November 1933 memberitakan Haji Soedjak ditahan di Penjara Tanjungkarang. Dia dikenai tahanan preventif terkait tuduhan kepadanya dalam kasus penggelapan dana kas masjid yang dikelolanya. Besar dana yang dia gelapkan diperkirakan 800 gulden. Dari pemeriksaan didapati, penggelapan oleh Haji Soedjak itu diduga sudah terjadi bertahun-tahun dan katanya selama bertahun-tahun tak ada pemeriksaan atas keuangan masjid tersebut.*

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page