- Petrik Matanasi
- 28 Mei
- 3 menit membaca
Diperbarui: 4 Jun
SEORANG haji mestinya menjadi panutan di manapun dia berada. Namun tidak dengan Haji Soedjak. Ulahnya justru memancing kericuhan hingga membuat seorang pejabat Belanda sampai mesti turun tangan akibat ulahnya di suatu siang Desa Mataram.
Desa Mataram adalah nama sebuah desa di Kabupaten Pringsewu, Lampung. Desa ini baru dibuka sekitar tahun 1921 oleh para kolonis (kini transmigran) Jawa dalam program Kolonisatie (transmigrasi kolonial).
Para penduduknya sibuk bertani sehingga konsentrasi mereka tidak terpecah ke hal-hal lain. Desa Mataram terus berkembang pun tenang.
Namun, tidak pada tanggal 31 Mei 1926. Pada pukul empat sore hari itu, di Desa Mataram muncul Haji Soedjak. Penagih utang itu hendak mendatangi salah satu warga transmigran. Kemunculan Haji Soedjak sampai membuat seorang pejabat Belanda datang ke sana untuk menghampirinya dan menanyai surat-suratnya.
Haji Soedjak punya reputasi sebagai rentenir. Sebagai seorang haji dia punya keuangan lebih hingga punya modal untuk meminjamkan uang kepada pihak lain.
“Hadji Soedjak, seorang Jawa, datang ke daerah tersebut sebelum tahun 1922,” terang Schalkwijk di koran De Niewe Vorstenlanden tanggal 17 Juli 1926.
Haji Soedjak tinggal di rumah sewaan di Gadingrejo. Setelah beberapa bulan tinggal di Gadingrejo, dirinya kembali ke Jawa.
Biasanya Haji Soedjak datang ke Pasar Gadingrejo di musim panen saat para petani menjual barang-barang seperti kain di pasar tersebut. Pasar Gadingrejo, Kabupaten Pringsewu, sendiri sudah ramai sejak 1920-an. Pasar ini berkembang karena kehadiran petani-petani Jawa di Gadingrejo yang membuka lahan di sekitarnya.
Setelah 1922, demi bisa terus berdagang di Gadingrejo, Haji Soedjak minta izin tinggal. Keluarganya dia boyong ke sana.
Perdagangan yang dijalankan Haji Soedjak berjalan baik. Dia berdagang tak hanya di pasar, namun juga ke kampung-kampung.
Pada 1924, dia telah mampu membeli sebidang tanah di Desa Tulung Agung, juga termasuk di daerah Gadingrejo. Padahal, tanah itu belum resmi diberikan kepada transmigran yang menjualnya. Jadi secara hukum kepemilikan tanah haji Soedjak tidak sah.
Selain sebagai pedagang, selama di Gadingrejo Haji Soedjak terkenal di kalangan orang-orang Belanda sebagai tukang ijon alias lintah darat alias rentenir di kalangan warga transmigran di Gadingrejo. Sasarannya petani miskin yang baru mulai membuka lahan, yang umumnya memiliki banyak masalah terutama keuangan. Mereka biasanya pasrah dan dengan mudah terjerumus dalam praktek riba berupa menggadaikan lahan dan hasil panen mereka agar mendapat pinjaman uang untuk menyelesaikan masalah mereka.
“Haji Soedjak adalah tipe rentenir yang sangat berani, hampir arogan. Orang tidak perlu banyak bersimpati pada tipe ‘pedagang’ ini,” kata Schalkwijk.
Schalkwijk yang tahu betul reputasi Haji Soedjak kemudian menerima berita tentang sang haji yang lebih rinci. “Menurut laporan, Hadji Soedjak berasal dari Desa Bleberan, Kabupaten Yogyakarta dan telah menjalani hukuman penjara selama 3 tahun atas kejahatan yang dilakukannya sebagai ketua Sarikat Islam di pabrik gula Sewoe Galoer. Ia tampaknya juga ditakuti dan dibenci oleh rekan-rekan hajinya.”
Latar belakang "hitam" itu membuat Haji Soedjak kemudian diawasi oleh orang-orang Belanda. Haji Soedjak sendiri sulit menjauh dari Gadingrejo yang punya perkembangan ekonomis cukup baik. terlebih, dia juga memiliki jabatan penting dalam praktek keagamaan masyarakat Islam, yakni penghulu di Gadingrejo.
Namun, jabatan penghulu itulah yang beberapa tahun kemudian membuat kehebohan di Gadingrejo. Koran Het Nieuws van den dag edisi 7 November 1933 memberitakan Haji Soedjak ditahan di Penjara Tanjungkarang. Dia dikenai tahanan preventif terkait tuduhan kepadanya dalam kasus penggelapan dana kas masjid yang dikelolanya. Besar dana yang dia gelapkan diperkirakan 800 gulden. Dari pemeriksaan didapati, penggelapan oleh Haji Soedjak itu diduga sudah terjadi bertahun-tahun dan katanya selama bertahun-tahun tak ada pemeriksaan atas keuangan masjid tersebut.*











Komentar