- Amanda Rachmadita
- 5 Jun
- 6 menit membaca
BELAKANGAN ini sejarah Indonesia menarik perhatian banyak orang, khususnya generasi muda sebagai pengguna utama berbagai media sosial. Salah satu tokoh yang sering menjadi sorotan adalah Presiden Sukarno. Tak hanya tentang sosok Sukarno, pembahasan juga terkait perannya di masa pergerakan kemerdekaan hingga kiprahnya sebagai pemimpin pemerintahan. Banyak di antara anak muda penasaran mengapa di antara banyak tokoh pergerakan nasional, Sukarno yang terpilih menjadi presiden pertama Republik Indonesia?
Sehari setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengadakan rapat untuk membahas sejumlah hal terkait pemerintahan, salah satunya menetapkan presiden dan wakil presiden. Di tengah rapat itulah Sukarno dan Mohammad Hatta diusulkan menjadi presiden dan wakil presiden. Usulan itu disepakati anggota PPKI tanpa pemungutan suara. Sukarno dan Hatta ditetapkan sebagai presiden dan wakil presiden secara aklamasi.
Sukarno diusulkan sebagai presiden bukan tanpa alasan. Ia telah dikenal luas baik melalui tulisan maupun orasi yang memikat, serta kiprahnya sejak masa kolonial Belanda dan pendudukan Jepang.
Popularitas Sukarno meningkat sejak terlibat dalam gerakan nasionalis di zaman kolonial Belanda. Selain aktif dalam klub studi, Sukarno juga kerap menulis untuk menyebarkan ide-ide tentang nasionalisme dan pentingnya kemerdekaan bagi bangsa.
“Dengan seruannya kepada para nasionalis untuk bersatu, Sukarno telah jelas menempatkan dirinya sebagai ideolog nasionalis. Tak hanya itu, Sukarno juga memiliki kemampuan untuk menggerakkan massa dengan bakat oratornya. Di dalam Klub Studi Umum, muncul gagasan untuk mendirikan partai nasionalis dengan daya tarik yang luas... Pada 4 Juli 1927, Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) didirikan di paviliun rumah Iskaq di Jalan Regent, Bandung... Sukarno menjadi ketua dewan eksekutif, sedangkan Iskaq menjabat sekretaris bendahara,” tulis L.J. Giebels dalam Sukarno: A Biography.
Sukarno mendedikasikan waktunya untuk PNI. Ia ambil bagian dalam pendirian cabang-cabang PNI. Yang paling berkembang adalah cabang di Bandung dengan Sukarno menjadi ketuanya. Dalam sejumlah pertemuan, ia kerap menyampaikan pidato di hadapan massa. Laporan otoritas Belanda tentang PNI dan pemimpinnya memberikan gambaran tentang bakat orator Sukarno dan tema-tema pidatonya.
Giebels memaparkan bagaimana Sukarno berpidato: “Sebelum mulai berbicara, Sukarno akan memandang tenang ke arah pendengarnya selama beberapa menit hingga semua mata tertuju pada pemuda tegap di panggung dengan setelan jas yang rapi dan peci yang menghiasi kepalanya. Untuk memastikan perhatian, ia akan memulai, seperti yang ia lakukan saat menjadi mahasiswa dalam pidatonya untuk SI (Sarekat Islam) di Surabaya, dengan bisikan lembut dan pelan. Begitu ia mendapatkan perhatian publik, suaranya yang merdu menjadi lebih keras. Untuk penekanan, ia mengembangkan kebiasaan mengulang kata-kata dan kalimat lengkap, sekali, dua kali, kadang-kadang tiga kali. Pidatonya sering terputus oleh sorak-sorai antusias atau teriakan persetujuan, dan tawa meriah ketika ia menceritakan lelucon dan tingkahnya. Orator itu membiarkan sorakan, teriakan, dan tawa berlanjut sebentar, bergerak lebar seolah ingin merangkul semua orang, lalu melanjutkan garis utama argumennya. Sukarno menyampaikan pidatonya dalam bahasa Melayu, bahasa pengantar baru, yang ia campur dengan bahasa Jawa atau Sunda. Ketika ia tidak menemukan kata yang tepat dalam bahasa-bahasa tersebut, ia akan menggunakan bahasa Belanda. Sukarno juga dengan antusias menggunakan metafora dari wayang.”
Tema utama pidato-pidato Sukarno adalah “Indonesia Merdeka”. Ia akan memulai pidato dengan analisis sejarah yang luas tentang kolonialisme. Setelahnya ia akan mengaitkan dengan nasib penduduk lokal di bawah pemerintahan kolonial, dan bagaimana penjajah mengeksploitasi wilayah jajahannya untuk kepentingan bangsa mereka di tanah airnya tanpa memperdulikan nasib masyarakat asli di wilayah koloni. Melalui hal ini, Sukarno menanamkan gagasan tentang nasionalisme dan kemerdekaan. Ia menekankan kemerdekaan hanya dapat dicapai melalui kekuatan sendiri.
Lewat orasi dan tulisan-tulisannya, Sukarno menggunggah hati dan pemikiran orang-orang sebangsanya. Tak mengherankan bila cabang-cabang PNI didirikan di berbagai kota, tak hanya di Jawa tetapi juga sampai Sulawesi. Menurut Giebels, ada beberapa hal yang mendorong Sukarno menjadi pemimpin gerakan politik dalam waktu singkat. Pertama, tidak ada tokoh nasionalis yang mencurahkan banyak waktu dan energi untuk gerakan nasionalis seperti Sukarno. Ia mampu melakukannya karena, tidak seperti rekan-rekannya di PNI atau PPPKI yang memiliki pekerjaan tetap, Sukarno dapat mencurahkan seluruh waktunya untuk pekerjaan partai. Ia satu-satunya anggota yang sebagai ketua menerima gaji sederhana sebesar 75 gulden per bulan. Pemasukan tambahan biasanya ia dapat dari menulis.
Faktor kedua yang memperkuat kepemimpinan Sukarno adalah kekuatan keyakinannya. Tanpa canggung, dengan gaya bicara yang khas, yang seringkali didukung oleh humor, ia memimpin rapat dan diskusi untuk mengambil keputusan. Sementara yang lain, sebagian besar adalah pengacara, terus menimbang-nimbang antara pro dan kontra.
Tentu saja, bakat terpenting yang mendasari kepemimpinan Sukarno adalah kemampuan orasinya. Dalam hal ini, ia memimpin di antara tokoh-tokoh lain dalam pergerakan. Dengan cara berpikirnya yang bercorak Barat, ia mampu mengungkapkan dengan kata-kata yang dipilihnya sendiri inti dari masalah-masalah yang dipertaruhkan dalam perjuangan melawan pemerintah kolonial untuk mencapai kemerdekaan. Pada saat yang sama, ia memiliki kemampuan untuk menemukan metafora yang tepat dengan latar belakang Bali atau Jawa yang beresonansi dengan pendengarnya yang sebagian besar berasal dari Jawa.
“Tidak ada yang dapat menandingi kepemimpinan Sukarno, bahkan para nasionalis yang lebih tua seperti Tjokro, Tjipto, Dr. Sutomo, Douwes Dekker, atau Dewantara. Hal ini cukup mengejutkan karena dalam budaya Jawa secara tradisional berlaku ‘bapakisme’, aturan tak tertulis bahwa yang muda harus tunduk pada yang lebih tua. Orang-orang sezamannya, yang kembali dari Belanda dengan gelar akademis, juga tidak menentang kepemimpinan orator yang energik dan persuasif ini,” tulis Giebels.
Kendati sikap non-kooperatif Sukarno pada pemerintah kolonial membuatnya dipenjara dan dibuang ke luar Jawa, pengaruhnya di masyarakat tidak hilang. Di masa pendudukan Jepang, Sukarno yang bersikap kooperatif kepada Dai Nippon sebagai upaya mewujudkan dan mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, menduduki jabatan penting di sejumlah lembaga bentukan Jepang. Bersama dengan Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Kiai Mas Mansur yang dikenal dengan sebutan Empat Serangkai, Sukarno dipandang oleh pemerintah milter Jepang sebagai perwakilan masyarakat Indonesia.
Menurut John David Legge dalam Sukarno: A Political Biography, posisi prestisius yang diberikan kepada pemimpin nasionalis, pembentukan sistem dewan penasihat, dan pendirian PETA (Pembela Tanah Air) menunjukkan pengakuan terbatas Jepang terhadap tujuan nasionalis, dan Sukarno menjadi penerima manfaat dari kebijakan ini. Sikap kooperatif Sukarno membawanya menjadi ketua Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dan Djawa Hokokai serta ketua Dewan Pertimbangan Pusat. Jabatan-jabatan ini penting dalam membentuk dirinya sebagai seorang pemimpin.
“Setelah bertahun-tahun menentang, tidak mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial Belanda, dipenjara dan diasingkan, Sukarno tiba-tiba memiliki posisi dan tanggungjawab. Pada saat yang sama, ia terlibat dalam pelaksanaan tugas-tugas yang tidak populer. Ia harus memobilisasi dukungan untuk upaya perang Jepang... Tidak mudah membuat penilaian tentang benar dan salah dari kolaborasinya...,” tulis Legge.
“Peran Sukarno selama pendudukan Jepang sangat penting dalam pembentukan revolusi. Pembentukan Peta memiliki arti besar bagi masa depan, karena memberikan dasar kekuatan material bagi Republik yang sedang berjuang. Pembentukan sistem dewan lokal menyediakan kerangka kerja untuk pemerintahan lokal yang akan diteruskan ke dalam revolusi dan menyediakan mekanisme melalui mana pemerintahan Republik dapat memperluas otoritasnya. Penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional secara luas juga memiliki arti yang tak terukur dalam mengonsolidasikan rasa kebangsaan. Ini adalah hasil dari manuver dan negosiasi Sukarno, dan mencerminkan kemahirannya dalam keterampilan politik, melampui bakatnya dalam orasi yang menginspirasi,” tambahnya.
Selain itu, keterlibatan Sukarno dalam propaganda Jepang memberikan dampak tersendiri baginya. Kehadirannya dalam rezim militer membantu memperkuat kesadaran massa akan dirinya sebagai pemimpin rakyat dan menciptakan kesadaran akan tujuannya. Sukarno mungkin tidak menyuarakan gagasannya terkait nasionalisme dengan berani, atau berdiri teguh melawan otoritas rezim Jepang, tetapi ia memiliki saluran komunikasi dengan massa yang sebelumnya tak tersedia, dan penggunaannya menciptakan pemilih baru di masa depan.
Kesempatan Sukarno berpidato pada acara resmi, kebebasannya bepergian ke berbagai wilayah di Jawa, dan perluasan komunikasi radio di desa-desa memiliki arti sangat besar bagi popularitasnya di mata masyarakat. Kemampuannya menggunakan kiasan wayang atau simbolisme lain memungkinkannya menghindari sensor secara signifikan dan menjangkau audiens di Jawa. Penyediaan radio desa ditujukan untuk memberi tahu masyarakat Jawa tentang keinginan penjajah mereka. Tetapi, dalam praktiknya, radio-radio ini juga memperkenalkan ide-ide dan sosok Sukarno.
Peran Sukarno dalam memobilisasi massa di masa pendudukan Jepang dikisahkan dalam otobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang disusun Cindy Adams. Ketika menjabat ketua Putera, sebagai upaya mengatasi kelaparan, melalui radio yang dipasang di setiap desa, Sukarno menganjurkan penduduk untuk menanam jagung.
“Ibu-ibu sekalian... Dalam waktu yang terluang lakukanlah seperti yang dikerjakan oleh Ibu Inggit dan aku. Tanamlah jagung. Di pekarangan depan rumah ibu-ibu dapat menanamnya untuk mencukupi makan keluarga ibu-ibu. Karena Sukarno yang mengatakan kepada mereka, mereka menanamnya. Dan di setiap pekarangan bertunas tanaman jagung. Langkah ini sangat membantu,” kata Sukarno.
Pada akhirnya, dari pengalaman pertama dalam organisasi politik dan kepemimpinan melalui publisitas persidangan dan pemenjaraan serta pengasingan sebagai wujud sikap menentang kolonialisme Belanda, Sukarno secara bertahap membangun posisi sentral dalam gerakan nasionalis. Namun, tahun-tahun pendudukan Jepang merupakan tahun-tahun di mana ia menjadi pemimpin bangsa Indonesia.*
Comentarios