top of page

Sejarah Indonesia

Dalam Fiksi Aidit Hidup

Dalam Fiksi, Aidit Hidup Kembali

D.N. Aidit menjadi tumbal sejarah Peristiwa Gerakan 30 September 1965. Namanya tabu dibicarakan selama masa Orde Baru. Namun, dalam bahasa sastra, sosok Aidit hadir kembali dalam perspektif yang berbeda dari narasi sejarah resmi. 

Oleh :
2 Oktober 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

...

KETIKA Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 terjadi di Jakarta, Yusron Ihza Mahendra masih bocah kelas 1 SD di Tanjung Pandan Belitung. Beberapa hari kemudian, koran-koran di Belitung mulai memberitakan tragedi nasional itu. Masyarakat pun ramai membincangkan, tak terkecuali orang tua Yusron, sampai membuat keributan di rumah mereka pada suatu malam.

“Bu, ada apa?” kata Yusron.


“Ada kudeta... ada kudeta...!” teriak Ibunda Yusron.


“Kudeta?” tanya Yusron yang saat itu masih berusia 6 tahun, “ya sudahlah, aku tidur saja.”


Karena tak mengerti apa itu kudeta, Yusron kembali melanjutkan tidurnya. Namun, bertahun-tahun kemudian, Yusron terus mempertanyakan tentang peristiwa itu. Rasa penasaran itu pula yang menuntunnya untuk membaca kembali dan menafsir sejarah G30S. Yusron mengalihwahanakannya ke dalam bentuk novel sejarah.


“Ternyata peristiwa itu selama 30 tahun amat mewarnai kehidupan kita. Bukan hanya kita pribadi, tapi juga kehidupan bangsa dan negeri ini,” kata Yusron dalam peluncuran dan bedah novelnya “Trilogi Refleksi 60 Tahun G30S” di Kompas Instititute, selumbari (30/9).


Tidak hanya satu, Yusron menulis tiga novel sejarah yang menjadi trilogi dengan latar peristiwa G30 1965. Ketiga novel itu antara lain: Irian Barat: Bayang-bayang Intrik Global di Balik Misteri Pembunuhan Kennedy, Nyanyian Bangsa Cacing dalam Orkestra Dusta, dan Nyanyian Bisu dalam Orkestra Bayang-Bayang. Dalam trilogi itu, Yusron memadukan riset sejarah dengan bahasa sastra sebagai wahana alternatif dalam memaknai peristiwa 1965.


“Saya memang menulis novel [sejarah], tapi saya tidak menulis novel dengan berkhayal-khayal saja, melainkan saya menulis didasarkan atas riset dan data. Tentu sebagai manusia ada miss, yang saya lakukan, ada kesalahan-kesalahan. Tapi, sedapat mungkin itu ada sumbernya,” jelas Yusron.


Peluncuran trilogi novel sejarah karya Yusron Ihza Mahendra di Kompas Institute, 30 September 2025. (Martin Sitompul/Historia.ID).
Peluncuran trilogi novel sejarah karya Yusron Ihza Mahendra di Kompas Institute, 30 September 2025. (Martin Sitompul/Historia.ID).

Selain sebagai adik dari Yusril Ihza Mahendra (Menko Hukum, Ham, Imigrasi dan Pemasyarakatan Indonesia), Yusron dikenal sebagai diplomat. Antara 2013 hingga 2016, Yusron menjadi duta besar Indonesia untuk Jepang. Selama bertugas di Tokyo, Yusron relatif dekat dengan Caroline Kennedy –putri dari Presiden AS ke-35 John F. Kennedy– yang di saat bersamaan bertugas sebagai duta besar AS untuk Jepang. Perbincangan dengan Caroline turut memberikan informasi bagi Yusron sebagai bahan dalam penulisan novelnya.


Dalam novel Irian Barat, Yusron menyimpulkan bahwa pembunuhan Kennedy di Dallas pada 22 November 1963 sepaket dengan proyek penggulingan Sukarno yang diawali peristiwa G30S 1965. Seperti diketahui, Kennedy adalah Presiden AS yang hubungannya cukup karib dengan Sukarno. Kennedy bahkan secara tersirat menyatakan dukungannya terhadap tuntutan Indonesia atas wilayah Irian Barat (kini Papua) yang sejak 1949 tidak dikembalikan Belanda dalam pengakuan kedaulatan.


Menurut Yusron, G30S adalah peristiwa kecil untuk tujuan yang lebih besar, yaitu penggulingan Bung Karno. Di Amerika sendiri, kelompok pemodal raksasa seperti Rockefeller berkepentingan untuk menguasai tambang emas yang terkandung di bumi Papua. Rencana kunjungan Kennedy ke Indonesia seyogianya pada Mei 1964 urung terjadi lantaran peristiwa penembakan –yang sampai saat ini masih kontroversi– yang merenggut nyawa Kennedy.


“Pada saat Kennedy dan Sukarno bertemu (di Jakarta) akan ada deklarasi bersama bahwa Bung Karno akan mengakhiri Ganyang Malaysia. Kalau Ganyang Malaysia berakhir, berarti lawan-lawan politik Kennedy kalah, terutama [Direktur CIA] Allen Dulles sehingga tidak ada pilihan lain selain menghabisi Kennedy. Kennedy dihabisi, masih ada yang lain [terkait kepentingan AS di Irian Barat], yaitu habisi Bung Karno. Bukan dengan cara didor, tetapi melalui G30S 1965,” tutur Yusron.


Dalam Nyanyian Cacing, Yusron mengisahkan intrik-intrik yang membanyangi Indonesia hingga bermuara pada pecahnya G30S. Ia menyisipkan narasi tentang operasi RAND Coorporation, yang disebut-sebut sebagai perpanjangan tangan CIA dalam tubuh militer Indonesia. Secara khusus, novel ini juga menghadirkan tokoh D.N. Aidit sebagai protagonis, tentu dengan narasi yang berbeda dari versi sejarah resmi pemerintah Orde Baru. Yusron sendiri lebih cenderung dengan versi CIA sebagai dalang dari peristiwa G30S.


“Saya tidak menyebut G30S dengan PKI. PKI sebenarnya hanyalah korban dari G30S. Saya bukan mengatakan PKI tidak salah, Pak Aidit tidak terlibat, [justru] terlibat, tapi bukan Beliau tokoh utamanya,” tandas Yusron.


Diskusi bedah novel sejarah “Trilogi Refleksi 60 Tahun G30S”. (Foto: Martin Sitompul/Historia.id.)
Diskusi bedah novel sejarah “Trilogi Refleksi 60 Tahun G30S”. (Foto: Martin Sitompul/Historia.id.)

Karakter Aidit dalam Nyanyian Cacing semakin unik karena dikisahkan oleh Yusron, yang berasal dari keluarga Masyumi. Namun, Yusron punya kesamaan dengan Aidit, yaitu sama-sama kelahiran Tanjung Pandan, Belitung. Dari penuturan ayah dan kakeknya pula, Yusron mengetahui bahwa Aidit pun berasal dari keluarga Islam yang taat. Dalam beberapa fragmen, terjalin percakapan imajiner antara Aidit dengan karakter bernama Tamsil, yang disinyalir adalah Yusron sendiri.

 

Yusron menyadari, nama Aidit pernah menjadi mantra terlarang dalam kurun waktu rezim Orde Baru berkuasa. Di masa itu, hanya dengan menyebut namanya saja, seseorang bisa diawasi, dicurigai, atau bahkan dihilangkan dalam senyap. Apalagi dengan menyebut nama Aidit dengan nada yang salah sedikit saja, bisa berarti resiko atas keselamatan diri dan keluarga. Hingga kini ini pun, masih banyak orang yang kesadarannya dibentuk oleh pola kebenaran tunggal dan mutlak itu, tetap mencurigai siapa pun yang mencoba menyebut sejarah dengan cara yang berbeda. Novel ini bagi Yusron menjadi wahana untuk menguji pembaca apakah siap menatap wajah asli negeri ini, yang selama ini sengaja diburamkan atau dipoles dengan kosmetika-kosmetika politik rezim.


“Selama 30 tahun, kita amat sulit berbicara bebas seperti ini. Dimana-mana ada tekab, dimana-mana ada intel. Kita tidak berani berbicara. Pemerintah membentuk institusi TNI, dari sejak Panglima TNI sampai babinsa. Pemerintah punya mata dan telinga sampai ke desa. Tahun 1998, rezim Soeharto jatuh, dunia berubah. Sejak saat itu terbuka kesempatan bahwa kita boleh berbicara tentang G30S itu dengan suara yang berbeda,” terang Yusron.


Sementara itu, Nyanyian Bisu merekam ingatan tentang orang-orang yang menjadi korban dari peristiwa kelam pasca tragedi 1965. Yusron seolah mengungkap kesaksian para korban, mulai dari Belitung, seantero Jawa, hingga Pulau Buru. Yang menarik, novel ini juga menukil sepak terjang Sjam Kamaruzzaman, tokoh biro khusus PKI yang disebut-sebut sebagai operator kunci dari G30S dan indikasinya sebagai agen ganda. Ia dikisahkan luput dari eksekusi hukuman mati karena koneksinya dengan Soeharto di masa lalu dengan dilarikan ke luar negeri. Fragmen ini tak luput dari kritikan sejarawan Asvi Warman Adam yang membandingkannya dengan riset John Roosa, sejarawan mendedikasikan penelitiannya pada peristiwa 1965. Roosa dalam bukunya Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto, menyebut bahwa Sjam akhirnya dieksekusi mati di Pulau Seribu pada 1986.


“Saya melihat ada perbedaan antara buku yang ditulis John Roosa dengan versi yang ditulis Yusron,” kata Asvi yang turut sebagai pembedah novel, “tapi, lagi-lagi ini buku novel sejarah, kita tidak bisa mengklaim bahwa ini sejarah harus benar atau tidak.”


Selain sebaga buku sastra yang ditulis dengan indah, menurut Asvi, trilogi novel sejarah yang ditulis Yusron bisa mengungkapkan intrik global yang mewarnai sejarah Indonesia periode 1960-an. “Bukan persoalan ideologi yang penting ternyata, tapi ada lagi yang lebih dari itu, yaitu soal money (uang),” kata Asvi.*



Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page