- Martin Sitompul

- 20 Sep
- 3 menit membaca
PERASAAN tak menentu dialami Maludin Simbolon saat bersua dengan Ahmad Yani. Saat itu, Simbolon baru saja turun gunung setelah menerima amnesti dari pemerintah. Baru saja berkelahi, tembak-menembak, lantas bertemu. Demikian pikiran Simbolon terhadap Yani. Sebelumnya, Simbolon dan Yani saling berhadap-hadapan sebagai lawan.
Pada 1958, eks Kolonel Simbolon dicopot dari jabatannya sebagai panglima Divisi Bukit Barisan. Simbolon kemudian memihak Pemerintahanan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang dicap pemerintah pusat sebagai pemberontak. Simbolon bahkan didapuk sebagai menteri luar negeri dalam Kabinet PRRI. Sementara itu, Kolonel Yani ditunjuk sebagai komandan Operasi 17 Agustus untuk menumpas gerakan PRRI di Sumatra Barat.
Memasuki 1961, TNI berhasil menumpas PRRI. Untuk memanggil pulang orang-orang PRRI yang masih bergerilya, pemerintah menerbitkan amnesti atau pengampunan pada Agustus 1961.
Dalam keadaan sebagai rakyat biasa, Simbolon melapor kepada Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Gatot Subroto di Balige. Dari Balige, Simbolon kembali ke Medan menemui keluarganya yang sudah lama ditinggalkan. Namun, tak berapa lama kemudian, Simbolon dipanggil ke Jakarta untuk menghadap Yani. Nama yang disebut terakhir sudah menjabat sebagai Deputi II/Pembinaan KSAD dengan pangkat brigadir jenderal. Simbolon mengenang pertemuan yang berkesan dengan Yani di kediamannya di Jl. Lembang, Menteng, Jakarta Pusat itu.
“Kami diterima dengan baik oleh Jenderal Yani di rumahnya, lalu dia katakan, supaya suasana itu segera menjadi enak, dia bilang sama saya dalam bahasa Inggris, 'let by gone, be by gone' (yang sudah berlalu, biarlah berlalu),” kata Yani seperti dituturkan Simbolon dalam Majalah Mutiara, No. 832, 1-7 Oktober 1996.
Setelah pertemuan dengan Yani, Simbolon diminta lagi untuk menghadap Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal Abdul Haris Nasution. Pembicaraan dengan Nasution berkisar soal rencana tindakan selanjutnya bagi pentolan PRRI yang menerima amnesti. Apa yang disampaikan Nasution membuat Simbolon terkejut.
“Dia diperintahkan oleh Presiden untuk menahan saya,” kenang Simbolon.
Meski sempat kecewa karena telah menerima amnesti, Simbolon bersedia ditahan setelah menghabiskan waktu berhari Natal dan tahun bersama keluarga. Tak hanya Simbolon, sejumlah tokoh PRRI maupun Permesta lainnya ikut ditahan. Mereka antara lain Mohammad Natsir, Sjafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap, Assaat, Saladin Sarumpaet, Zulkifli Lubis, Ventje Sumual, dll. Penahanan ini dalam bahasa yang lebih halus disebut sebagai karantina politik yang tujuannya untuk mengasingkan mereka dari kehidupan sosial dan politik.
Dalam Sejarah TNI-AD, 1945-1973: Riwayat Hidup Singkat Pimpinan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat disebutkan bahwa Presiden Sukarno memang telah menandatangani putusan amnesti dan abolisi yang dipersiapkan oleh Panitia Yani. Namun, para tokoh PRRI/Permesta yang menerimanya harus menjalani karantina terlebih dulu.
Keputusan tersebut diambil presiden dengan menimbang meski keamanan fisik telah pulih, tapi keamanan politik masih belum. Dasar hukum untuk mengkarantina tahanan politik PRRI/Permesta itu adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Berbahaya (PPUUKB) No. 23 tahun 1959. Pasal 43 peraturan tersebut menyebutkan, wewenang kepada pemerintah untuk menahan setiap warga negara dalam waktu yang tidak ditentukan lamanya. Jadi, meskipun para mantan pemimpin PRRI-Permesta sudah diberi amnesti, berdasarkan PPUUKB itu mereka dapat ditahan dengan dasar hukum yang kuat.
“Oleh karena istilah yang dipakai karantina, penahanan mereka pun tanpa melalui proses peradilan dan tidak diketahui batas waktunya. Hal ini menunjukkan bahwa Sukarno tidak memenuhi janjinya dengan pemberian amnesti kepada tokoh-tokoh PRRI-Permesta.” ulas M. Dzulfikriddin dalam biografi Mohammad Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia.
Pada 1962, para tokoh PRRI-Permesta mulai menjalani masa penahanan. Mula-mula peserta karantina politik ini ditempatkan dalam tahanan berbeda-beda. Ventje Sumual dan Zulkifli Lubis dikarantina di Cipayung, Jawa Barat. Sjafruddin Prawiranegara dikarantina di Kedu, Jawa Tengah. Burhanudin Harahap dikarantina di Pati, Jawa Tengah. Sjahrir dan beberapa pengikutnya seperti Soebadio Sastrosatomo di Penjara Madiun. Yang paling jauh, Natsir dan Simbolon dikarantina di Batu, Malang.
Setelah dua tahun dalam tahanan terpisah-pisah, para tahanan politik PRRI-Permesta ini dikumpulkan dalam Rumah Tahanan Militer (RTM) Budi Utomo, Jakarta pada 1964. Mereka adalah Natsir, Sjafruddin, Burhanudin, Amelz, Nawawi, Simbolon, Assar, Nun Pantouw, Ventje Sumual, dan Rudolf Ranturambi. Karantina politik terakhir bertempat di Wisma Keagungan, Jakarta Kota, hingga mereka semua akhirnya dibebaskan setelah Sukarno lengser.
Menurut Simbolon, RTM Budi Utomo Jakarta merupakan tempat tahanan yang paling tidak wajar pelayanannya. Sementara di Batu, dia dan Natsir tidak terlalu merasakan sebagai tahanan, melainkan benar-benar karantina politik. Begitu pindah di RTM, dia mengalami kekerasan yang menjurus kepada kekejaman. Namun, di RTM pula Simbolon mendengar berita terjadinya Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965 dari petugas rutan yang membawa koran ke dalam sel. Berita mengenai Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966 yang diikuti pembubaran PKI dan pelarangan ajaran komunisme juga didengar Simbolon dalam tahanan ini.
“Wah, itu saya lupa diri, saya dalam tahanan melonjak-lonjak karena gembira. Berarti yang dulu saya perjuangkan, benar,” kenang Simbolon.












Komentar